Bukan tanpa sebab Naya bertanya tentang pendidikan terakhir. Tak sedikit pun ia bermaksud menyinggung etnis seseorang.
Ia hanya ingin tahu saja. Pun disamping itu bukankah Rio terlahir dari keluarga terpandang? Sudah pasti sangat mampu untuk membiayai kuliahnya.
Jadi, garis bawahi bahwa tak ada yang termasuk dalam perendahan etnis di sini.
"Aku seorang petani berdasi," ucap Rio formal.
Naya tertawa menanggapinya. Humor gadis ini memang receh sekali.
"Sarjana Perkebunan," tebak Naya sudah pasti tepat sasaran.
Sejenak Naya terdiam memikirkan sesuatu. Ia memiringkan kepala hingga mulutnya berdekatan dengan telinga Rio. Supaya mempermudah diri sendiri saja, jadi tak perlu ribet harus mengeraskan suara. Pasalnya angin membawa suara mengudara hingga hanya terdengar samar. Ditambah kendaraan di kanan-kiri yang berlalu-lalang.
"... tapi bukannya lebih baik kamu di
Sepanjang perjalanan jemari mereka saling terpaut menggenggam satu sama lain. Jika dibilang tak sopan baru kenal sudah berani pegang-pegang, Rio menampiknya, tak terima dikatai seperti itu. Bukankah dia sudah izin tadi, 'kan? Naya juga tak permasalahkan.Jika memang tak suka pasti Naya sudah katakan dari awal dan Rio akan melepas tautan tangan mereka.Buktinya Naya nyaman-nyaman saja tuh. Wajar saja Rio ambil kesempatan itu. Menikmati kehalusan kulit telapak tangan gadis itu.Entah bagaimana Rio itu, tak sadar bahwa kulitnya juga lembut karena memang tak pernah bekerja."Sebenernya aku punya tempat hasil rekomendasi dari temen aku."Naya bersuara di antara keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berdua, seolah tengah menikmati momen dengan hati tanpa perlu banyak bicara."Apa?" Rio merespon seraya menolehkan kepala. Pandangannya turun ke bawah karena perbedaan tin
Dua pasang manusia yang menjadi sorot titik fokus dalam cerita ini akhirnya tiba di kedai ice cream yang mereka hendak tuju.Wanita itu bahkan sampai menge-cek hape-nya sekedar untuk mencocokkan sebuah foto temannya—yang kemarin merekomendasikan tempat es krim enak padanya—sedang berpose tepat di depan pintu kedai."Bener, 'kan?"Entah berapa kali Naya mengajukan pertanyaan yang sama sampai Rio bosan mendengarnya."Udah dicocokin belum? Kalau sama, ya, berarti ini tempatnya," jawab Rio lempeng."Coba, deh, kamu liat."Naya menyuruh Rio untuk mengamati fotonya. Namun, Rio malas nunduk-nunduk untuk melihatnya. Pun matahari sedang bersinar dengan terang membuat pandangan Rio pada benda dengan layar seperti kaca itu silau."Kayaknya bener ini."Akhirnya Rio menjawab asal. Namun, sayangnya Naya tampak belum puas.
Rio menerima nampan berisi dua gelas es tebu yang diulurkan oleh penjualnya. Minuman berwarna kuning itu tampak menyegarkan sekali. Terlebih dahulu Rio menaruh nampan tersebut di atas kaca berisi tebu yang telah dipotong sekira-kira berukuran seperempat meter.Kemudian ia mengeluarkan dompet dari saku celana. "Berapa, Mang?""Kayak biasa," jawab si mamang seadanya.Rio tak menjawab lagi. Ia mengangguk saja lalu mengeluarkan satu-satunya lembar uang yang ada di dalam dompet tersebut untuk dibayarkan."Uangnya gede banget. Uang kecil gak ada?"Gelengan kepala Rio berikan sebagai jawabannya. Mau tak mau si mamang memberi kembalian uang berwarna biru satu dan yang berwarna hijau dua.Namun, beberapa selang pembelinya ini tak jua beranjak dari stand-nya padahal uang kembalian sudah diberi? Maka dari itu ia bertanya, "Kenapa lagi?""Loh ini cuman 90 ribu sosokny
Naya memiringkan kepala hendak lebih fokus mendengar jawaban apa yang akan Rio berikan."Maybe karena tebu itu cuma diambil airnya doang terus tebunya dibuang. Kalo buah lain, 'kan, sekalian sama buah-buahnya diblender terus ditambahin air. Kalau jus teksturnya juga kental karena buahnya ikut nyatu sama airnya pas diblender. Kalo tebu, kan, tektsurnya cair karena cuma diambil airnya doang. Eh, tapi gak tau, deh, soalnya gue ngarang."Seketika Naya terbahak dengan kencang. Memang asem si Rio. Padahal dirinya sudah sangat serius mendengarkan penjelasan dari awal, tapi keterangan diakhir tadi sangat membagongkan, huh!"Lagian kalo masalah buah nyatu atau enggak, jus timun disaring loh. Kan, buahnya keras tuh. Nah, selesai diblender ampasnya dibuang yang diminum cuman airnya aja. Hayoloh, namanya tetep jus timun bukan es timun. Malahan bikinnya dicampur air pemanis gitu, 'kan? Gak asli air sari dari buah itu sendiri k
Naya meraih nampan yang ada di samping kaki Rio. Kemudian ia menaruh gelasnya di atas sana. Ia juga mengambil gelas kosong Rio untuk ditaruh di atas nampan juga."Taruh aja di bawah nanti mamangnya ngambil ke sini sendiri," kata Rio."Eh, iyakah?"Rio mengangguk ringan sebagai respon untuk pertanyaan Naya. Maka gadis itu menurut. Ia menaruh nampan berisi dua gelas yang telah kosong tadi di samping kursinya.Setidaknya ia sudah merasa segar dan lebih baik dari kondisi tadi meski sinar mentari bersinar terang di bumi Jakarta. Namun, rasanya lega sudah melepas dahaga dengan minum es tebu yang sangat menyegarkan.Pun di belakang tempat duduknya terdapat pohon bintaro yang melindungi dari paparan sinar matahari."Ayok, tadi mau cerita apa? Biar aku dengerin, deh.""Oh." Rio mengangguk. "Aku sebenernya ke Jakarta itu gak serta merta ikut kata hati aja, sih, kare
"Neng, beli fanta gak?"Teguran tersebut mengalihkan atensi Naya dan Rio yang sedang bercengkrama. Terlihat seorang laki-laki paruh baya berkulit hitam legam menghampiri mereka dengan membawa sebuah nampan berukuran cukup besar yang di atasnya tersusun gelas-gelas plastik yang biasanya dipakai untuk wadah pop ice. Namun, kali ini wadah tersebut diisi oleh air fanta berwarna merah, oren, dan biru keunguan.Rio menelisik pedagang tersebut. Sudah sangat biasa jika berkunjung ke sebuah tempat wisata atau pun tempat-tempat sejenisnya, maka ada saja pedagang-pedagang es, gorengan, jajan-jajanan tusuk, yang berniaga dengan berjalan-jalan menghampiri para pengunjung. Baik yang sedang berjalan menulusuri tempat, terlebih sedang duduk bersantai pada bangku yang telah disediakan, contohnya mereka.Ia tak mau beli. Sayang duit jika dibelikan barang tak berguna. Membiarkan pedagang tersebut tetap di sini, Rio hendak melihat Naya. Apaka
Naya melotot bungkam atas apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Telapak tangannya menutup mulut. Terlalu syok atas apa yang disaksikannya.Bagaimana tidak? Secara jelas Naya melihat bahwa Rio baru saja menampar kepala anak kecil itu hingga kepalanya terputar dan tubuh mungil itu tersungkur.Tidak ingin Rio berbuat lebih lagi, Naya terburu-buru menyampirkan tas yang ia kenakan di pundak kemudian segera mengambil langkah menuju posisi Rio berada.Bukankah Rio terlalu berlebihan? Ini hanyalah masalah sepele. Cuma soal es fanta harga lima ribuan, tak seharusnya Rio melakukan hal sejahat itu. Emosi Naya benar-benar terpancing untuk datang."Rio!" teriaknya saat sudah dekat.Membuat si empunya nama menoleh pada panggilan dari suara yang sudah ia kenali jelas siapa pemiliknya.Raut Naya tampak datar. Tatapan matanya amat tajam menghunus Rio. Ia hanya melirik laki-laki itu sekilas dengan ekor matanya, terlalu menunjukkan secara terang-ter
Pernikahan adalah salah satu hal sakral. Setiap insan baik dari tiap gender, laki-laki atau perempuan pasti menginginkan sebuah pernikahan yang mereka dambakan.Tepat hari ini; menit ini; detik ini, hari bahagia bagi dua belah pihak keluarga. Akan tetapi, terdapat suatu hal mengganjal di sini."Saya terima nikah dan kawinnya Kanaya Putri binti Keano dengan mas kawin 1 gram cincin perak dibayar tunai.""Bagaimana para saksi, sah?""SAH!" Seruan para hadirin sekalian menggema dalam ruang tamu di kediaman pihak perempuan.Mama Naya menuntun putri semata wayangnya itu untuk melakukan gerakan masyhur setekah akad pernikahan berlangsung. Naya mencium punggung tangan lelaki yang saat ini telah berganti posisi menjadi suaminya. Dibalas ciuman lembut pada keningnya.Ina selaku orang tua dari Naya terharu setelah berhasil menggugurkan kewajibannya terhadap sang putri. Tak sangka ia