"Duit gue hilang, Ya," lirih Rio dengan lemas. "Semuanya hilang, lo bayangin aja. Kartu kredit, ATM, semuanya gak ada. Dompet gue kosong gak ada isi."
Ekspresi sedihnya itu sudah pasti bikin orang percaya. Namun, tak urung Naya mengernyit bingung. Bukankah aneh kalau yang hilang hanya isinya saja, sementara dompetnya tidak?
Memangnya dompet Rio bolong hingga isinya jatuhan?
Karena otak Naya tak sampai memikirkannya, akhirnya ia bertanya, "Isi dompetnya hilang? Semuanya?"
Anggukan kepala Rio berikan untuk pertanyaan itu.
Karena itulah makin terbentuk kernyitan di dahi gadis itu. "Kalau dompetnya hilang?"
Rio menatap Naya dengan gemas. Ia membanting dompet kosong tanpa isinya tadi ke atas meja. "Dompetnya ada, isinya yang gak ada."
"Ha? Kok, bisa?"
"Mana gue taulah!" seru Rio ngegas.
Naya mengangguk-anggukkan saja kepalanya.
Jujur saja terdapat kenangan buruk yang menghimpit paru-paru hingga sesak dirasa. Tepat di hari wisuda Kanaya Putri, harusnya ia berbahagia telah berhasil menyelesaikan studinya di salah satu universitas ternama kota Jakarta, tak lain ialah UNJA dengan program studi yang diambil management bisnis.Berbekal kecerdasan dan keseriusan dalam belajar, Naya berhasil wisuda S1 dengan jangka waktu 3,5 tahun.Salah satu prestasi yang membanggakan selama ia hidup di dunia.Saat itu semua wajah para mahasiswa dan mahasiswi yang berhasil wisuda tampak berbinar diliputi bahagia. Namun, tidak dengan Naya beserta keluarganya yang justru bersimbah air mata.Papanya, laki-laki yang banyak berjasa dalam hidupnya, laki-laki pahlawan untuknya bahkan sampai akhir hayat, laki-laki itu menghembuskan napas terakhir di sebuah rumah sakit karena penyakit jantung yang dideritanya.Jika mengingat momen yang harusnya
Sedang asik bergelung dengan selimut sambil menikmati tontonan, suara ketukan pintu dari arah depan terdengar berulang. Tentu saja hal itu mengganggu kenyamanan Ina. Ia bahkan sengaja tak beranjak karena tadi melihat putri semata wayangnya duduk santai di ruang tamu. Namun, kenapa tak kunjung disambut juga tamunya? Karena tak bisa konsen lagi dengan tontonan, Ina mempause terlebih dahulu laptopnya kemudian beranjak turun dari ranjang meski malas-malasan. Kala kakinya sampai di ruang tamu, tepat saat itu juga ia melihat siluet tubuh anaknya sedang telentang di atas sofa. Nih, anak budek apa gimana? Main hape sampai gak sadar situasi. "Naya!" panggilnya keras. "Hmm," sahutan malas-malasan yang terdengar acuh tak acuh itu mengudara. "Dari tadi ada yang ketok pintu kenapa nggak dibukain!" Ina berakhir ngomel. Ia berja
Dengan sangat antusias Ina mencuil sedikit saja bagian dari martabak rasa keju yang tersedia di hadapannya ini. Sambil menggigit bibir bawahnya karena merasa gemas, Ina merentangkan tangannya, terulur pada bayi El seolah sudah siap untuk menggendong cucunya itu.Di keluarga orang tuanya maupun mertua, hanya ia satu-satunya yang belum memiliki cucu kandung seperti para kakak dan abang kandung maupun ipar. Ia adalah anak bungsu, dipertemukan dengan Septian yang juga merupakan anak bungsu.Menikah dan lahirlah Naya sebagai anak tunggal yang saat ini masih sibuk berkarier. Umurnya pun juga masih terbilang muda yakni 21 tahun.Jadi, Naya di sini sebagai anak perbungsuan baik ditinjau dari belah pihak mama ataupun papa-nya. Itu sebabnya ia memiliki banyak sekali abang dan kakak yang semuanya sudah berumah tangga."Sini sama oma, yuk!" ajak Ina dengan binar mata yang bahagia.Awalnya menonton han
Jika hari minggu Naya akan bermalas-malasan ria dan tidur sepuasnya sebagai bentuk balas dendam akan aktivitas padatnya selama seminggu. Namun, kali ini tidak. Karena hari ini jadwal libur ke kantor, ini pula yang menjadi peluang kencan pertamanya dengan Rio. Hmm, sudah bisa dibilang kencan belum, ya? Katanya hari ini Rio akan main ke rumahnya sekaligus berkenalan dengan mama-nya. Hanya main ke rumah saja atau nanti Naya akan diajak jalan? Lihat sajalah nanti. Tak mau memikirkan lebih jauh lagi, Naya segera mandi untuk bersiap. Sesekali ia bersenandung ria ketika berbenah. Sementara di tempat lain, di rumah Rio saat ini cowok itu sedang mesem-mesem karena bahagia one step dalam rencananya telah berhasil. Ucapannya yang mengatakan akan main ke rumau Naya direspon baik oleh gadis itu. Namun, kali ini Rio harus memikirkan
Sempat adu bacot dengan si tante-tante yang ngotot dengan kemauannya yaitu jalan-jalan, pada akhirnya kemenangan tetap jatuh pada Rio yang pandai berkilat lidah.Ah, makin lama Rio makin bangga dengan bakatnya tersebut.Awalnya om dan bibi-nya itu hendak melakukan rutinitas unfaedah menghabiskan waktu dengan jalan-jalan bersama keluarga kecil mereka.Namun, Rio datang dan merusak segalanya."Kalau jalan-jalan itu nanti sore pun bisalah. Gak harus pagi begini. Memang kalau mau jalan itu bagusnya sore. Toko bakso mana ada buka pagi jam segini," ujar Rio berusaha memonopoli motor untuknya.Isteri om-nya yang tak terima itu langsung menyahut. "Kata lo aja masih pagi. Udah siang terang benderang gini. Noh, liat gue aja kerja udah selesai. Nyuci piring, masak, nyuci baju, beres-beres rumah, udah semua. Lo kata masih pagi, hah?!"Lantas saja Rio memberi respon dengan putaran mala
Rio tersenyum penuh kemenangan. Hal itu adalah suatu yang membuat Lia sangat mengkesal. Sudah kelewat gondok, wanita itu langsung masuk begitu saja meninggalkan kedua laki-laki tersebut.Jujur saja, di sini hatinya tersentil untuk kejadian tadi. Mungkin kelihatannya memang sepele. Mungkin untuk mentolerirnya ia akan bisa seiring berjalannya waktu. Namun, Lia sungguh tak bisa untuk melupakannya begitu saja.Posisinya sebagai isteri dan ibu rumah tangga seolah tersisih. Padahal ia bekerja keras setiap hari mengerjakan semua pekerjaan rumah dari mulai pagi ketika bangun tidur sampai hendak tidur lagi ketika malam. Tanpa pernah mengeluh menjalani itu semua.Lia hanya perlu hiburan sebentar, refreshing membalas penatnya bekerja nonstop dengan jalan-jalan bersama keluarga kecilnya ini.Tak pernah juga ia menuntut ini itu. Keinginannya pun sederhana dan mereka sudah membicarakan ini dari jauh-jauh hari dan akan b
Menahan senyum sebisa mungkin ialah tindakan yang Naya lakukan saat ini. Gadis itu melontarkan tanya sambil menahan tawa yang hendak mengudara."Masa, sih? Emang aku beda dari segi apa kalo dibandingin cewek-cewek yang lain?"Jujur saja, pertanyaan itu terlontar hanya agar telinganya dapat mendengar jawaban yang lebih lagi dari mulut Rio.Mendengar Rio menjelaskan tentang dirinya seperti membuat hati Naya berbunga-bunga. Ada perasaan senang yang tak kuasa Naya terima hingga dua sudut bibirnya terus mengukir senyuman indah.Untungnya panggilan ini hanya melalui suara saja yang terdengar. Jika tampak di depan Rio pastilah wajah Naya akan memanas karena malu.Deheman Rio di seberang sana makin membuat Naya ketar-ketir. Entah sejak kapan sosok Rio begitu berdamage dalam hati Naya. Ia senantiasa diam mendengarkan lebih jelas apa yang akan Rio deskripsikan tentang dirinya.Semen
Pada nuansa ruangan bercat pink kolaborasi donker seorang gadis yang sudah cukup dewasa dari segi umur, pun penampilannya juga dewasa meski terlihat santai dengan pakaian blouse longgar pelangi juga celana levis menutup sampai tepat pada mata kaki.Sekali lagi ia berkaca, bukan untuk berhias yang ke-dua kalinya, melainkan hanya sekedar memeriksa penampilan, sudah benar atau belum.Memirsa sosok diri sendiri yang terpantul dalam bayangan cermin yang teronggok di pintu lemari dari ujung kepala hingga ujung kaki."Seett ... settt ... seettt."Gadis bernama lengkap Kanaya Putri itu asyik berputar-putar di depan cermin mengakibatkan blouse selututnya yang lebih tepat dikatakan macam tunix itu mengembang pada bagian bawah.Mentari saja sedang cerah sekali, meliputi perasaan setiap orang untuk ikut bersemangat dan terciprat kebahagiaannya.Oleh sebab itu Naya ta
Naya melotot bungkam atas apa yang ia lihat dengan mata kepalanya sendiri. Telapak tangannya menutup mulut. Terlalu syok atas apa yang disaksikannya.Bagaimana tidak? Secara jelas Naya melihat bahwa Rio baru saja menampar kepala anak kecil itu hingga kepalanya terputar dan tubuh mungil itu tersungkur.Tidak ingin Rio berbuat lebih lagi, Naya terburu-buru menyampirkan tas yang ia kenakan di pundak kemudian segera mengambil langkah menuju posisi Rio berada.Bukankah Rio terlalu berlebihan? Ini hanyalah masalah sepele. Cuma soal es fanta harga lima ribuan, tak seharusnya Rio melakukan hal sejahat itu. Emosi Naya benar-benar terpancing untuk datang."Rio!" teriaknya saat sudah dekat.Membuat si empunya nama menoleh pada panggilan dari suara yang sudah ia kenali jelas siapa pemiliknya.Raut Naya tampak datar. Tatapan matanya amat tajam menghunus Rio. Ia hanya melirik laki-laki itu sekilas dengan ekor matanya, terlalu menunjukkan secara terang-ter
"Neng, beli fanta gak?"Teguran tersebut mengalihkan atensi Naya dan Rio yang sedang bercengkrama. Terlihat seorang laki-laki paruh baya berkulit hitam legam menghampiri mereka dengan membawa sebuah nampan berukuran cukup besar yang di atasnya tersusun gelas-gelas plastik yang biasanya dipakai untuk wadah pop ice. Namun, kali ini wadah tersebut diisi oleh air fanta berwarna merah, oren, dan biru keunguan.Rio menelisik pedagang tersebut. Sudah sangat biasa jika berkunjung ke sebuah tempat wisata atau pun tempat-tempat sejenisnya, maka ada saja pedagang-pedagang es, gorengan, jajan-jajanan tusuk, yang berniaga dengan berjalan-jalan menghampiri para pengunjung. Baik yang sedang berjalan menulusuri tempat, terlebih sedang duduk bersantai pada bangku yang telah disediakan, contohnya mereka.Ia tak mau beli. Sayang duit jika dibelikan barang tak berguna. Membiarkan pedagang tersebut tetap di sini, Rio hendak melihat Naya. Apaka
Naya meraih nampan yang ada di samping kaki Rio. Kemudian ia menaruh gelasnya di atas sana. Ia juga mengambil gelas kosong Rio untuk ditaruh di atas nampan juga."Taruh aja di bawah nanti mamangnya ngambil ke sini sendiri," kata Rio."Eh, iyakah?"Rio mengangguk ringan sebagai respon untuk pertanyaan Naya. Maka gadis itu menurut. Ia menaruh nampan berisi dua gelas yang telah kosong tadi di samping kursinya.Setidaknya ia sudah merasa segar dan lebih baik dari kondisi tadi meski sinar mentari bersinar terang di bumi Jakarta. Namun, rasanya lega sudah melepas dahaga dengan minum es tebu yang sangat menyegarkan.Pun di belakang tempat duduknya terdapat pohon bintaro yang melindungi dari paparan sinar matahari."Ayok, tadi mau cerita apa? Biar aku dengerin, deh.""Oh." Rio mengangguk. "Aku sebenernya ke Jakarta itu gak serta merta ikut kata hati aja, sih, kare
Naya memiringkan kepala hendak lebih fokus mendengar jawaban apa yang akan Rio berikan."Maybe karena tebu itu cuma diambil airnya doang terus tebunya dibuang. Kalo buah lain, 'kan, sekalian sama buah-buahnya diblender terus ditambahin air. Kalau jus teksturnya juga kental karena buahnya ikut nyatu sama airnya pas diblender. Kalo tebu, kan, tektsurnya cair karena cuma diambil airnya doang. Eh, tapi gak tau, deh, soalnya gue ngarang."Seketika Naya terbahak dengan kencang. Memang asem si Rio. Padahal dirinya sudah sangat serius mendengarkan penjelasan dari awal, tapi keterangan diakhir tadi sangat membagongkan, huh!"Lagian kalo masalah buah nyatu atau enggak, jus timun disaring loh. Kan, buahnya keras tuh. Nah, selesai diblender ampasnya dibuang yang diminum cuman airnya aja. Hayoloh, namanya tetep jus timun bukan es timun. Malahan bikinnya dicampur air pemanis gitu, 'kan? Gak asli air sari dari buah itu sendiri k
Rio menerima nampan berisi dua gelas es tebu yang diulurkan oleh penjualnya. Minuman berwarna kuning itu tampak menyegarkan sekali. Terlebih dahulu Rio menaruh nampan tersebut di atas kaca berisi tebu yang telah dipotong sekira-kira berukuran seperempat meter.Kemudian ia mengeluarkan dompet dari saku celana. "Berapa, Mang?""Kayak biasa," jawab si mamang seadanya.Rio tak menjawab lagi. Ia mengangguk saja lalu mengeluarkan satu-satunya lembar uang yang ada di dalam dompet tersebut untuk dibayarkan."Uangnya gede banget. Uang kecil gak ada?"Gelengan kepala Rio berikan sebagai jawabannya. Mau tak mau si mamang memberi kembalian uang berwarna biru satu dan yang berwarna hijau dua.Namun, beberapa selang pembelinya ini tak jua beranjak dari stand-nya padahal uang kembalian sudah diberi? Maka dari itu ia bertanya, "Kenapa lagi?""Loh ini cuman 90 ribu sosokny
Dua pasang manusia yang menjadi sorot titik fokus dalam cerita ini akhirnya tiba di kedai ice cream yang mereka hendak tuju.Wanita itu bahkan sampai menge-cek hape-nya sekedar untuk mencocokkan sebuah foto temannya—yang kemarin merekomendasikan tempat es krim enak padanya—sedang berpose tepat di depan pintu kedai."Bener, 'kan?"Entah berapa kali Naya mengajukan pertanyaan yang sama sampai Rio bosan mendengarnya."Udah dicocokin belum? Kalau sama, ya, berarti ini tempatnya," jawab Rio lempeng."Coba, deh, kamu liat."Naya menyuruh Rio untuk mengamati fotonya. Namun, Rio malas nunduk-nunduk untuk melihatnya. Pun matahari sedang bersinar dengan terang membuat pandangan Rio pada benda dengan layar seperti kaca itu silau."Kayaknya bener ini."Akhirnya Rio menjawab asal. Namun, sayangnya Naya tampak belum puas.
Sepanjang perjalanan jemari mereka saling terpaut menggenggam satu sama lain. Jika dibilang tak sopan baru kenal sudah berani pegang-pegang, Rio menampiknya, tak terima dikatai seperti itu. Bukankah dia sudah izin tadi, 'kan? Naya juga tak permasalahkan.Jika memang tak suka pasti Naya sudah katakan dari awal dan Rio akan melepas tautan tangan mereka.Buktinya Naya nyaman-nyaman saja tuh. Wajar saja Rio ambil kesempatan itu. Menikmati kehalusan kulit telapak tangan gadis itu.Entah bagaimana Rio itu, tak sadar bahwa kulitnya juga lembut karena memang tak pernah bekerja."Sebenernya aku punya tempat hasil rekomendasi dari temen aku."Naya bersuara di antara keheningan yang sempat tercipta di antara mereka berdua, seolah tengah menikmati momen dengan hati tanpa perlu banyak bicara."Apa?" Rio merespon seraya menolehkan kepala. Pandangannya turun ke bawah karena perbedaan tin
Bukan tanpa sebab Naya bertanya tentang pendidikan terakhir. Tak sedikit pun ia bermaksud menyinggung etnis seseorang.Ia hanya ingin tahu saja. Pun disamping itu bukankah Rio terlahir dari keluarga terpandang? Sudah pasti sangat mampu untuk membiayai kuliahnya.Jadi, garis bawahi bahwa tak ada yang termasuk dalam perendahan etnis di sini."Aku seorang petani berdasi," ucap Rio formal.Naya tertawa menanggapinya. Humor gadis ini memang receh sekali."Sarjana Perkebunan," tebak Naya sudah pasti tepat sasaran.Sejenak Naya terdiam memikirkan sesuatu. Ia memiringkan kepala hingga mulutnya berdekatan dengan telinga Rio. Supaya mempermudah diri sendiri saja, jadi tak perlu ribet harus mengeraskan suara. Pasalnya angin membawa suara mengudara hingga hanya terdengar samar. Ditambah kendaraan di kanan-kiri yang berlalu-lalang."... tapi bukannya lebih baik kamu di
Terpaan angin yang sepoi-sepoi sepanjang jalan membuat kibasan pada rambut Naya yang tergerai indah makin terasa.Untungnya Rio membawa motor dengan laju sedang hingga rambut itu tak disayangkan akan berantakan.Laki-laki itu seolah tahu permasalahan wanita.Selain itu juga, ke-dua-nya terlihat serasi menikmati momen kebersamaan sepanjang jalan ini.Rio memandang kaca spion yang sebelumnya telah ia atur terkait tata letak hingga dapat menantulkan bayangan dari manifestasi perempuan cantik yang tengah duduk di jok belakang.Sesekali Naya menyipitkan mata karena mendapat serangan dari angin yang menerpa wajah. Ekspresi-nya begitu menggemaskan.Ke-dua-nya sama-sama tak memakai alat pengaman berkendara motor. Rio yang memang sedari awal tak pakai helm, sedangkan Naya memang tak biasa. Kepala terasa berat jika memakai benda itu dan menimbulkan sakit pada bagian tertentu yang ra