Summer bisa merasakan perubahan halus pada ekspresi Rain begitu ia menyebutkan kedatangan Lili dan apa yang Lili inginkan. Senyuman Rain yang tadi hangat perlahan memudar, dan tatapannya sedikit berubah, meski Rain berusaha keras menyembunyikannya. Summer merasa bersalah karena telah membawa topik yang berat di momen seperti ini, apalagi di depan Haru yang sedang bersemangat tentang liburan. “Maaf, Rain,” ucap Summer dengan suara lembut, menundukkan kepala sedikit. “Aku tau nggak seharusnya aku bahas soal ini sekarang, tapi aku terbebani dengan permintaan Tante Lili. Maafin aku." Rain menggelengkan kepalanya pelan, berusaha meredakan kekhawatiran Summer. Dia meletakkan tangannya di atas tangan Summer, menatapnya dengan lembut. "Nggak perlu minta maaf, Summer. Aku ngerti kamu hanya mau aku tahu, dan aku menghargai kejujuran kamu. Tapi, mungkin lebih baik kalau kita bahas ini nanti." Haru, yang sedang sibuk dengan makanan di depannya, tidak menyadari ketegangan yang muncul di anta
Lili maju, memegang tangan Rain. "Mama mengerti. Kamu duduk dulu." Rain mengikuti kemauan ibunya. Ia duduk, lalu menatap ke sekeliling. "Papa mana? Bukannya papa juga harus hadir, biar masalah ini bisa jelas?" Lili menggelengkan kepalanya. "Papa kamu nggak perlu tau soal masalah ini. Semuanya bukan keinginan papa kamu, tapi mama yang mau kamu ambil alih Guardian Group." Rain menarik napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Ma, sepuluh tahun yang lalu, mama sudah dengar janji papa, kan? Papa janji ke aku kalau aku bisa sukses sebagai seniman, papa nggak akan maksain kehendak papa ke aku. Aku sudah mencapai semua itu, tapi kenapa mama masih intervensi karir dan jalan hidup aku? Apalagi, mama minta Summer untuk bujuk aku. Kenapa, ma? Aku butuh penjelasan dari mama." Lili mendengarkan dengan seksama, tatapannya tetap tenang meski ada kilatan emosi yang sulit ditebak di matanya. "Rain, memang benar, kamu sudah mencapai lebih dari yang pernah mama bayangkan. Kamu sudah jadi senima
Di balik meja kantornya, Rain duduk diam dengan pandangan kosong menatap ke luar jendela. Pikirannya jauh melayang, tenggelam dalam percakapan dengan ibunya yang masih terngiang jelas di telinganya. Berbeda dengan Summer yang sedang diliputi kebahagiaan karena kabar baik dari ibunya, Rain merasa hatinya bercampur aduk. Kata-kata ibunya, Lili, seolah terus menghantuinya, mengingatkannya akan janji lama yang ia buat pada orang tuanya—janji yang kini terasa seperti beban berat yang kembali menghimpit dadanya. Lili telah berbicara dengan penuh harap, mengingatkan Rain bahwa kesuksesannya sebagai seniman telah memenuhi harapan mereka, namun ada hal lain yang belum terpenuhi. Harapan-harapan lain yang mereka miliki untuknya—harapannya untuk karir yang lebih mapan, untuk kehidupan yang lebih terstruktur, dan anak laki-laki yang akan selalu dapat diandalkan, untuk melindungi keluarga mereka. Rain memejamkan matanya sejenak, mencoba mengusir kecemasan yang mulai menyelimutinya. “Aku benar
Sesampainya di hotel mereka menginap, Haru kembali melihat foto-foto dan video yang mereka ambil. Rain dan Summer yang melihat kebahagiaan Haru, merasa lega karena Haru sudah melupakan kesedihannya."Gimana? Kamu senang datang ke sini?" tanya Rain.Summer mengangguk. "Senang banget. Makasih, sayang." Summer melalu menatap Haru. "Haru benar-benar menikmati liburan kali ini."Rain tersenyum. Bagaimana ia tidak menikmatinya?Rain lalu mengingat saat mereka baru tiba di Labuan Bajo.Mereka tiba dengan kegembiraan yang sulit untuk disembunyikan. Setelah merencanakan perjalanan dengan matang, Rain, Summer, dan Haru akhirnya tiba di pulau yang terkenal dengan keindahan alamnya. Pagi itu, matahari bersinar cerah saat mereka melangkah keluar dari bandara kecil Labuan Bajo. Aroma laut yang segar dan suasana yang tenang langsung menyambut mereka. “Ibu! Liat pemandangannya, Bu!” seru Haru, matanya berbinar saat melihat lautan biru dan pulau-pulau kecil yang tersebar di kejauhan. “Ini lebih bag
Kembali ke masa sekarang... Saat matahari mulai terbenam di Pulau Komodo, Rain dan Summer mengajak Haru untuk berjalan di pinggir pantai. Pemandangan langit yang berubah warna dari oranye ke ungu memberikan latar belakang yang mempesona. Haru, yang masih bersemangat dari snorkeling, berlari dengan bebas, menikmati sentuhan angin dan pasir halus di kakinya. Sementara Rain dan Summer berjalan dengan lambat sambil bergandengan tangan. Mereka tetap memperhatikan Haru yang berlari di depan mereka. “Liat langitnya,” kata Rain sambil memandang ke arah langit yang berwarna-warni. “Ini luar biasa. Langit Jakarta nggak akan pernah kayak gini.” Summer, berdiri di samping Rain, merasakan suasana yang tenang dan damai. “Iya, pemandangan di sini benar-benar indah. Aku nggak bisa bayangin kalau kita bisa liat langit yang indah gini tiap hari. Aku Oro banget sama orang-orang sini.” Rain menatap Summer dengan lembut. “Iya, apalagi aku bisa nikmatin semua ini dengan kamu. Bagi aku, ini jadi sala
Setelah kembali dari liburan yang singkat namun penuh kenangan di Labuan Bajo, kehidupan kembali ke rutinitas sehari-hari. Jakarta yang sibuk menanti mereka dengan segudang aktivitas yang sudah menunggu. Summer kembali bekerja sebagai asisten rumah tangga di apartemen Rain. Meski lelah karena aktivitas di rumah Rain, dia merasa lebih segar setelah liburan, seperti ada energi baru yang membuatnya lebih fokus dan bersemangat. Rain, di sisi lain, mulai tenggelam kembali dalam pekerjaannya, terutama dalam persiapan acara launching produk kecantikan terbaru milik Wulan. Meskipun sibuk, pikirannya sering kembali pada momen-momen indah bersama Summer dan Haru di Labuan Bajo. Di sekolah, Haru tampak ceria dan penuh semangat saat menceritakan pengalamannya kepada teman-temannya. "Kalian harus lihat pasir pink itu sendiri! Rasanya seperti di dunia lain!" ujarnya dengan antusias. Cerita tentang pantai, komodo, dan snorkeling membuatnya menjadi pusat perhatian di kalangan teman-temannya. Nam
Wulan berdiri di luar pintu kantor Ben, merasakan denyut jantungnya yang tak menentu. Tangannya sedikit gemetar ketika dia hendak mengetuk pintu, namun rasa penasaran dan kecemasan memaksanya untuk segera masuk tanpa basa-basi. Dia tidak ingin menunda konfrontasi ini lebih lama lagi. Begitu pintu terbuka, ia melihat Ben duduk di balik meja kerjanya, tampak terkejut saat melihatnya."Wulan?" Ben mengangkat alis, bingung dengan kedatangan mendadak tunangannya. "Ada apa? Kok nggak bilang kalau mau ke sini?"Wulan tak membuang waktu. Dia menarik napas dalam-dalam, lalu mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan pesan yang ia terima kepada Ben. "Ini apa, Ben? Kamu bisa jelasin ke aku?"Ben mengambil ponsel Wulan, menatap layar dengan wajah yang perlahan memucat. Ia memang tidak mengenal nomor telepon tersebut, tapi hanya ada orang yang bisa ia pikirkan dalam situasi serba kebetulan seperti ini. Sudah jelas, ini adalah ulah Sari yang juga mengancamnya beberapa waktu lalu. Sepertinya wanita i
Ben duduk sendirian di sudut bar yang remang-remang, dengan segelas bourbon di tangannya. Malam itu terasa lebih dingin dari biasanya, atau mungkin hanya imajinasi Ben yang terlalu terbebani dengan pikirannya. Setiap tegukan bourbon terasa berat, seperti beban di hatinya yang semakin menekan.Pikirannya terus berputar, memikirkan ancaman Sari yang semakin lama semakin intensif. Sari, dengan segala kecerdikannya, telah berhasil mengoyak ketenangan hidup Ben. Dan kini, Ben merasa terjebak dalam skenario yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Semua keputusan yang diambilnya selama ini tampak sia-sia di hadapan ancaman Sari yang begitu nyata."Ben," katanya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tenggelam oleh musik jazz yang lembut di latar belakang. "Kamu harus cari jalan keluar dari semua ini. Kalau nggak, semuanya akan hancur berantakan."Ben tahu bahwa posisinya saat ini sangatlah rentan. Jika Wulan sampai tahu tentang apa yang sebenarnya terjadi, tidak hanya hubungannya dengan Wula