"Sorry ya, gara-gara gue lo masih belum baikan juga sama Bella." Sani meminta maaf.Vian menggeleng. "Bukan salah lo kok. Bella cuma butuh waktu aja. Nanti juga dia balik lagi.""Lo yakin? Masalahnya gue liat Bella udah menghindar dari lo seminggu lebih, loh.""Yakin," jawab Vian namun tampak tidak yakin. Vian tidak tahu harus melakukan apalagi agar dia bisa dimaafkan oleh Bella. "Yan, itu Alan nempel mulu sama Bella. Lo biarin aja? Emang gak cemburu?" tanya Beno.Vian hanya diam sembari memperhatikan Bella dan Alan. Tentunya Vian cemburu. Kalau saja mereka tidak bertengkar mungkin sekarang Vian sudah mengusir Alan pergi. Kalau Vian menghampiri mereka yang ada Bella malah makin marah padanya. "Harusnya Alan jaga jarak sama Bella. Ini malah manfaatin keadaan," ujar Sani."Gak bisa salahin Alan juga sih. Bella juga kan gak masalah kalau Alan dekatin dia. Kecuali Bella gak suka didekatin sama dia baru itu salah." Regan menimpali."Kok lo belain dia?" Vian tidak terima karena merasa Re
"Kerjain soalnya, Yan. Jangan main game mulu," tegur Bella.Sepulang sekolah Bella mengajak Vian belajar di rumahnya karena akan segera menghadapi ujian akhir semester. Bella tidak mau nilai Vian menurun. "Iya-iya, bentar lagi udah mau menang kok.""Vian!"Buru-buru Vian menaruh ponselnya di meja. "Bentar gue ke toilet dulu. Lima menit doang."Bella menghela napas. Vian benar-benar menguji kesabarannya. Saat sedang menunggu Vian kembali, ponsel Vian berdering. Karena penasaran Bella mengintip ponsel Vian. Tertera nama Sani di sana. Membuat Bella mendadak kesal. Namun, Bella segera menyibukkan diri dengan bukunya ketika Vian kembali."Tadi ada telfon," ujar Bella."Siapa?"Bella mengendikan bahunya. "Cek aja sendiri."Vian pun mengecek ponselnya. "Sani yang telfon." Vian kembali menaruh ponselnya lalu beralih mengambil buku untuk mengerjakan soal yang telah diberikan Bella."Gak mau ditelfon balik?" Bella bertanya.Vian menggeleng. "Nanti aja. Kalau penting juga pasti dia telfon lagi
"Jadi sekarang lo biarin mereka dekat?" tanya Sita."Bukan biarin sih lebih ke mencoba buat ngertiin kondisi mereka aja."Sita menatap Bella tak percaya karena jawaban yang diberikan Bella. "Ngertiin mereka? Terus yang ngertiin lo siapa? Please Bell, jadi orang jangan terlalu naif.""Sani lagi sakit.""Ya terus kenapa kalau dia sakit? Kan ada Beno sama Regan bukan cuma Vian doang. Lagian bokap-nyokapnya kemana kok gak bisa urusin dia sampai Vian mulu yang anterin dia ke rumah sakit." Sita mendumel. Tentu saja dia kesal."Lo udah kerjain tugas Fisika?" Bella bertanya agar mengalihkan topik pembicaraan. Dia tidak ingin Sita terus menceramahinya.Ekspresi Sita yang kesal berubah bingung. "Emang ada tugas?""Ada lah. Tugasnya kan dari minggu lalu."Sita menepuk keningnya. "Mati gue! Belum gue kerjain. Gue lupa kalau ada tugas.""Kebiasaan banget," cibir Bella."Bell, pinjam punya lo boleh gak? Gue traktir deh."Bella memberikan buku tugasnya pada Sita. "Buruan salin. Awas aja kalau gak di
"Yan, gue mau ngomong sesuatu.""Ngomong ya tinggal ngomong aja kali." Beno menyahut."Mau ngomong apa?" Vian bertanya."Kemarin gue gak sengaja ketemu Bella di mall. Pas gue tanya dia mau beli apaan katanya dia mau cari kado buat sepupu lo. Awalnya dia pengin ngajak lo biar gampang cari kadonya, tapi karena lo harus anterin Sani makanya dia pergi sendiri dan bohong ke lo kalau dia balik bareng kakaknya." Vian terdiam sejenak. Sepertinya Bella berbohong karena tidak mau membuatnya khawatir. Vian jadi merasa bersalah karena sudah membiarkan Bella pergi sendirian. "Parah sih, Yan. Pantes aja tadi pagi waktu gue nyapa Bella dia cuek banget. Padahal biasanya dia senyum. Gara-gara lo gue juga yang kena imbas," timpal Beno."Itu sih karena emang Bella yang risih sama lo.""Enak aja. Bella baik kok sama gue. Waktu itu aja dia pernah kasih bekalnya ke gue pas liat Vian makan bareng Sani.""Kapan Ben?" Kali ini Vian yang bersuara."Kalau gak salah sih dua minggu lalu.""Kenapa lo baru bilang
"San! Sani!" Alan memanggil Sani yang menghindar darinya. Hingga Alan berhasil menjajarkan langkahnya dengan Sani."Lo mau apa dari gue?" tanya Sani terkesan dingin.Alan tahu Sani masih marah dengannya karena olimpiade kemarin. "Lo masih marah sama gue?"Sani hanya diam."Sorry kalau gue buat lo kecewa, tapi kan gue juga udah berusaha. Mungkin emang belum rezeki kita.""Gak usah basa-basi lo mau perlu apa?""Gue cuma mau bilang sama lo untuk jaga perasaannya Bella. Emang lo sama Vian udah temenan dari lama, tapi gimanapun juga kan Vian udah punya Bella. Gue harap lo bisa ngerti itu, ya. Gue kasihan sama Bella."Sani menghela napas. "Jadi tujuan lo itu? Karena Bella? Emang lo udah gak suka sama dia?""Kalaupun gue masih suka gue gak akan rebut dia dari Vian. Karena gue tahu Bella cuma sayang sama Vian. Jadi percuma kalau gue berusaha. Lagian Bella juga bahagia sama Vian.""Gue kira lo gigih, ternyata gue salah. Prinsip gue gak kayak lo."Kening Alan seketika mengerut. "Lo mau rebut Vi
"Filmnya seru, ya," ucap Vian memecah keheningan diantaranya dengan Bella.Vian memang mengajak Bella pergi menonton film dan Bella menyetujui. Saat di dalam bisokop tadi Bella terlihat begitu menikmati filmnya, bahkan sesekali tertawa. Namun, ketika keluar dari bioskop Bella malah diam. Membuat Vian jadi takut untuk memulai pembicaraan.Bella yang menyeruput minumannya hanya mengangguk. "Gue ada salah, ya?"Bella menggeleng. "Gak.""Terus kenapa daritadi lo diam? Padahal waktu nonton lo ketawa-tawa.""Sariawan."Vian manggut-manggut. "Mau gue beliin obat gak? Biar sembuh.""Gak usah. Gue tadi udah beli kok."Bella memang sedang sariawan, tapi bukan karena itu dia mendiamkan Vian. Dia hanya ingin Vian tahu bagaimana rasanya tidak diajak bicara ketika sedang bersama dan malah berbicara dengan orang lain. Hanya bedanya saat ini mereka hanya berdua."Em, soal Egi lo masih tetap mau datang ke pertandingannya?" tanya Vian.Bella mengangguk. "Gue udah janji.""Ya udah, kalau gitu gue ikut.
"Kenapa lo berdua? Kok diam-diaman? Berantem?" tanya Beno ketika menyadari Vian dan Sani sedaritadi hanya diam. Enggan untuk mengobrol, tidak seperti biasanya."Bilang sama teman lo jadi orang jangan suka ingkar janji. Kalau gak bisa ya ngomong jangan bikin orang nunggu.""Gue kan udah jelasin sama lo, San. Masa lo gak percaya sih? Apa perlu gue suruh Bella yang jelasin?"Beno menatap keduanya bingung. "Bentar-bentar. Sebenarnya masalah kalian apa sih?""Tanya langsung sama teman lo." Setelahnya Sani langsung pergi ke kelas."Kenapa Yan?"Vian pun menceritakan kejadian kemarin dimana dia yang ketiduran di rumah Bella hingga lupa akan janjinya dengan Sani."Mungkin dia butuh waktu dulu. Kalau lo desak dia terus yang ada Sani malah makin ngambek sama lo.""Apa gue minta tolong Bella buat jelasin ke Sani? Biar dia gak salah paham lagi.""Kalau menurut gue sih gak perlu, tapi balik lagi ke lo."***"San, boleh ngomong bentar?"Sani yang sedang sibuk dengan ponselnya seketika beralih menat
“Bell, sorry banget gue tadi gak bilang sama lo kalau gue nganterin Sani ke rumah sakit. Gue telfon lo daritadi, tapi gak diangkat. Gue ke rumah kata nyokap lo gak ada. Feeling gue lo pasti ke sini makan siomay. Ternyata gue benar.”Bella sama sekali tidak menanggapi Vian. Dia tetap sibuk menikmati siomay yang dia beli.“Kok diam? Marah ya? Gue benar-benar minta maaf.”Bella yang sudah selesai makan pun bangkit berdiri kemudian pergi. Vian segera menyusul.“Bell, maafin dong.” Vian masih tidak menyerah.Bella menghentikan langkahnya lalu menatap Vian. “Lo tahu kan gue gak suka sama orang yang ingkar janji.”“Gue tahu gue salah. Tadi itu gue udah mau samperin lo ke kelas, tapi tiba-tiba Sani dapat telfon dari rumah sakit kalau nyokapnya pingsan. Makanya gue buru-buru anterin Sani dan gak sempat bilang sama lo.”“Harus banget lo yang anterin? Gak bisa Beno atau Regan gitu? Kenapa setiap Sani kesusahan harus lo yang selalu ada buat dia? Emang gak ada orang lain selain lo?” Bella sudah ti