Praaangggg
"Awhh...ayah...." Ara terduduk di lantai karena kakinya terkena pecahan vas yang dilemparkan ayahnya itu
"Kamu dari mana saja hah? Bukannya pulang malah keluyuran. Kamu sudah tidak mau tinggal disini lagi?" bentak Evan
"A-ayah ta-tadi malem i-itu---
"Pasti dia mau ngeles yah. Ngaku kamu! Tadi malam kamu ke hotel kan sama pak Edwin," ucap Winda membuat Evan melotot
"Kamu dibawa ke hotel?" teriak sang ayah membuat Ara gelagapan sendiri
"Tapi Ara berhasil kabur, Yah," ucap Ara yang sebenarnya.
"Lalu kenapa kamu tidak pulang? Hah? Kamu tidak mau tinggal disini lagi? Atau kamu malu karena kamu sudah bukan gadis lagi?" Winda memanas manasi keadaan. Memang ibu tirinya itu selalu menyudutkannya
"Nggak, Ma. Tadi A-Ara ada di rumah Reisya. Ta-tadi malem Ara berhasil ka-kabur" jawab Ara dengan suara bergetar. Ia tidak salah apa apa tapi kenapa mamanya itu selalu menyudutkannya dengan hal yang tidak tidak membuat ayah semakin marah.
"Kamu ikut ayah" Evan menarik Ara paksa dan membawanya ke jalanan depan. Di dudukkannya Ara di tengah tengah sana, lalu Evan kembali dengan membawa selang air.
"Ayah, maafin Ara" tangis Ara pecah ketika ia mulai disiram air oleh Evan.
"Ayahh, A-Ara nggak salah apa apa"
"Hiksss"
"A ayahh udahh, maafin Ara"
Evan semakin menjadi jadi. Bukannya menghentikan perbuatannya itu, Evan malah semakin menyiramkan airnya membuat tubuh Ara menggigil
Tetangga pun hanya bisa mengintip dari dalam pagar mereka masing masing saja. Mereka kasihan dengan Ara karena selalu dipermalukan seperti itu, padahal jelas jelas mereka tau Ara adalah anak yang baik
Setelah hampir setengah jam Ara disiram layaknya tanaman oleh Evan, Ara ditinggalkan begitu saja dan dikuncikan pagar oleh Evan
"Ayaaahhh, jangan kunciin Ara. Maafin Ara, ayah" tangis Ara sambil memukul mukul pagar berharap ayahnya membukakan pintu
"Ayaaahhh, Ara nggak lagi bikin ayah marah. Ayaah maafin Ara" mohonnya tapi sama sekali tidak direspon oleh sang ayah
Ara terduduk lesu sambil bersandar di pagar. Rasa pusing mulai muncul dan yang pastinya tubuh Ara kini menggigil kedinginan.
Hari sudah mulai sore, sebentar lagi sudah masuk waktu Maghrib namun ayahnya tak kunjung membukakan pintu, bahkan tidak ada satu orang pun yang mau menolongnya
Hingga tibalah tetangga depan yang baru saja pulang dari kantor
"Ara" teriak Bu Andin, tetangga depan Ara
"B-b-buu" jawab Ara seraya menggigil
"Ya Allah kamu kenapa?" tanya Bu Andin yang mulai khawatir terhadap Ara
Ara menggeleng membuat Bu Andin semakin kasihan. Beliau pun mengajak Ara untuk ke rumahnya agar bisa menghangatkan diri. Saat akan memasuki pagar rumah Bu Andin, suara ayah terdengar
"Mau anda bawa kemana anak saya?" ucap Evan yang baru saja keluar dari rumahnya
"Bapak, mohon maaf. Kenapa anaknya dibiarkan sampai Maghrib begini di luar rumah dengan keadaan basah kuyup?" tanya Bu Andin membuat Evan berdecih
"Bukan urusan anda. Jadi anda tidak perlu ikut campur," jawabnya tegas lalu menoleh ke arah Ara yang berada di samping Bu Andin
"Pulang" Evan menarik paksa tangan Ara membuat Ara meringis
"Makasih Bu Andin" ujarnya lirih membuat Bu Andin berkaca kaca. Tega sekali pak Evan itu, diberi anugerah anak yang baik seperti Ara tapi malah disia siakan. Bahkan dia saja yang sudah menikah 3 tahun namun belum dikaruniai anak sangat ingin memilikinya.
Brakkk
"Dasar kamu anak tidak berguna!" bentak Evan ketika sudah sampai di dalam rumah membuat Ameyra dan Winda terkaget
"Ada apa, Yah?" tanya Ameyra
"Ini, dia ini sangat tidak berguna. Beda sekali dengan kamu yang penurut dan tidak pernah membantah ayah" ujar Evan mulai membanding bandingkan Ara dengan Meyra
"Sepatutnya Ara itu dihukum supaya ada efek jera. Jika dibiarkan begini terus, dia pasti akan lebih tidak sopan lagi mas." Seperti biasa, Winda mulai memanas manasi sedangkan Ara hanya bisa menunduk dan menangis
"Ya, memang kamu harus saya beri pelajaran" Evan kembali menarik Ara menuju kamar Ara sendiri.
Dihempaskan Ara ke lantai dan diambilnya sabuk yang terletak di balik pintu kamar Ara
Ctasss
Satu pukulan menyapa tubuh Ara membuat Ara meringis
Ctasss
"A-ayah, ampuunn" ujar Ara
"Dasar anak tidak tahu diri"
Ctasss
"Hiksss ayaahhh"
Ctasss
"Maafin Ara, yah"
Ctasss
"Hiksss bundaaa"
Setelah mengatakan bunda, Evan berhenti memukuli anaknya itu. Tiba tiba saja dia teringat dengan mendiang istrinya yang meninggal beberapa tahun lalu
"Mas, aku titip Ara ya. Jaga anak kita baik baik"
"Aku yakin kamu bisa menjaga Ara sebagai ayah juga ibu yang baik"
"Jangan pernah sakiti Ara ya, mas"
Evan terduduk di lantai sambil memandang ke arah sabuk yang ia gunakan tadi untuk memukul Ara
"Ayah.." lirih Ara membuat Evan menoleh lalu memeluk anak kandungnya itu
"Ara, maafin ayah" ujarnya sambil memeluk Ara membuat Ara mengangguk. Sudah lama ia tidak merasakan pelukan dari ayahnya sendiri
"Sial, kenapa dia bisa luluh" batin Winda yang mengintip dari pintu
"Ma, kita harus lakuin sesuatu buat nyingkirin Ara dari kehidupan kita" bisik Ameyra membuat Winda tersenyum licik
_________________
Kini mereka sedang berada di meja makan. Luka Ara tadi siang sudah diobati dan diperban agar tidak menimbulkan infeksi. Dengan lahap, mereka semua menyantap makanan buatan Winda. Memang setiap hari Winda yang memasak karena Evan tidak mau mempekerjakan pembantu di rumah ini
"Besok, ayah akan berangkat ke Kalimantan selama beberapa Minggu. Kalian baik baik disini, jangan ada masalah" ujar Evan membuat semuanya kaget
"Kok mendadak yah?" tanya Ameyra dan diangguki oleh Winda
"Ya, karyawan ayah barusan mengabari ada masalah di proyek jadi ayah harus segera berangkat" jelas Evan membuat semuanya mengangguk tak terkecuali Ara. Winda tersenyum sinis
"Bagus, ini kesempatan yang tepat" batinnya
_____________
"Ayah hati hati di jalan ya, jangan lupa jaga kesehatan" ujar Ara di pelukan ayahnya
"Iya, kamu juga baik baik ya disini sama mama dan Meyra. Ayah akan segera pulang" jawab Evan sambil mengelus surai lembut anaknya itu
Sedangkan Ameyra dan Winda hanya melihat mereka dengan tatapan tidak suka. Sebisa mungkin mereka harus bisa menghancurkan Ara dan menjauhkan Ara dan Evan, secepatnya.
"Kalau gitu, ayah berangkat dulu. Assalamualaikum"
"Walaikumsalam"
Mobil Evan sudah tidak terlihat lagi. Ara yang akan masuk ke dalam tiba tiba ditahan oleh Winda
"Eh? Kenapa ma?"
"........
"Eh..kenapa, Ma?""Mau kemana kamu?" tanya Winda sinis"Ara mau ke kamar, emangnya kenapa?""Cepet beresin rumah. Cuci baju juga jangan lupa masak, kita mau shopping dulu," suruh Winda lalu pergi bersama AmeyraAra masih terdiam sambil menatap Winda dan Ameyra yang mulai memasuki mobil.Ara menghela napasnya pelan. Tugas baru di hari pertama liburan. Tidak masalah lah, pikirnya. Ia pun mulai menyapu lantai dari lantai atas sampai teras depan, tak lupa juga mengepel dan menyiram tanaman. Ara sudah seperti asisten rumah tangga saja._______________"Huftttt capek banget," keluh Ara yang baru saja selesai mengerjakan semuanya. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore, sebaiknya Ara mandi terlebih dahuluSelesai mandi, Ara hanya berdiam diri di sofa sambil memakan snack kesukaannya. Rumah terasa sepi sekali, ayah, ibu dan saudara tirinya sedang tidak ada di rumah. Ara juga sudah memasak, takut takut makanannya jadi dingin"K
Kini Ara dan Winda sedang berada di rumah sakit. Beberapa menit lalu baru saja Meyra masuk di dalam ruangan untuk ditangani dokter"Kalau ada apa apa yang terjadi pada anak saya, kamu saya hukum," ancam Winda sambil mondar mandir di depan ruangan tempat Meyra diperiksa.Sedangkan Ara hanya duduk di kursi sambil menunduk. Dia juga tidak tahu kalau Meyra alergi udang, kalaupun dia tahu maka dia akan memisahkan udang dengan sop-nya."Dok, gimana keadaan anak saya?" Winda langsung menghampiri dokter yang baru saja keluar dari ruangannya."Alhamdulillah, anak ibu baik baik saja. Untungnya tadi dia tidak memakan udangnya terlalu banyak sehingga alerginya tidak begitu parah. Nanti saya akan buatkan resepnya, saya permisi dulu," jelas dokter tersebut lalu pergi meninggalkan Winda dan Ara.Winda pun segera masuk ke dalam ruangan Meyra. Sedangkan Ara masih terdiam di luar."Masuk ng
Kini Ara sudah sampai di rumah. Tadi sebenarnya Reisya menawarkan agar Ara menginap dulu di rumahnya namun Ara menolak karena tidak ada ayahnya dan mungkin dia akan dimarahi oleh mamanya."Tau gini aku nginap aja di rumah Reisya, Meyra kayaknya masih dirawat deh," ucap Ara yang kini sedang menonton film di kamarnya.Reisya💜 is calling...Halo?Halo, Ra. Gimana?Dirumah nggak ada orang, kayaknya mama sama Meyra belum pulang.Tau gitu kamu nginap aja di rumahku, mau aku jemput nggak?Eh, ngapain? Nggak usah. Aku di rumah ajalah, lagian besok besok juga bisa nginap ke rumahmu.Ohhh okedeh, oh iya aku dipanggil mama buat makan, aku makan dulu ya. ByeeeIya, byeeReisya mematikan teleponnya secara sepihak lalu Ara juga teringat dirinya belum makan dari tadi
"Araaaaaaa."Ara yang mendengar itu langsung terduduk. Kenapa Meyra memanggilnya?CeklekTerlihat Meyra yang sudah berpenampilan rapi. Mau kemana dia?"Mau kemana?" tanya Ara."Ke mall, ikut nggak?" tawar Meyra membuat Ara bingung, tumben sekali Meyra menawarinya untuk ikut."Temenin gue, yuk." Meyra mendekat ke arah Ara lalu duduk di sampingnya."Yaudah, aku mau cuci muka bentar," ujar Ara lalu masuk ke dalam kamar mandi, sedangkan Meyra keluar dari kamar Ara menuju kamarnya sendiri.Ara berdiri di depan lemarinya lalu memandang baju baju yang terletak disana. Jika dipikir pikir, banyak sekali bajunya ini. Kapan dia membelinya ya?Akhh ini bukan waktunya untuk memikirkan itu, sekarang waktunya untuk bersiap siap karena sepertinya Meyra sudah menunggu.CeklekMeyra menyembulkan kepalanya l
Kini mereka berdua dalam perjalanan pulang. Setelah membicarakan Satria tadi, Meyra banyak berdiam diri dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun membuat Ara bingung. Ingin bertanya, namun takut salah. Jadi lebih baik diam saja.Sesampainya di rumah, terdapat mobil seseorang yang tidak Ara dan Meyra kenal membuat mereka berdua saling pandang. Dengan segera, Meyra keluar dari mobil dan berlari menuju ke dalam rumah. Ara yang melihat hal itu bingung dan ikut mengejar Meyra."Meyra," panggil Ara membuat Meyra menoleh."Lo kenal ini mobil siapa?" tanyanya membuat Ara menggeleng. Ara saja tidak tahu, kenapa malah bertanya."Apa mama udah pulang?" celetuk Ara membuat Meyra terdiam."Bisa jadi, ayo masuk." Meyra dan Ara melangkah masuk dan menuju ke kamar Winda.Tok tok tok"Mamaaaa," panggil mereka berdua namun tidak ada jawaban."Maaaa," panggil
Setelah sarapan tadi, sekarang Ara sedang cuci piring. Tadi Winda mengancamnya untuk cuci piring, lalu saat ditanya oleh Evan mengapa Ara yang mencuci piring, dengan pintar Ara mengelak dengan alasan bergantian karena tadi ia tidak membantu berberes rumah.Kini ia sedang berada di dapur berkutat dengan piring piring kotor yang sedang ia cuci. Dari ruang tamu terdengar suara gelak tawa dari Meyra, Winda maupun Evan. Mereka bercanda tawa sedangkan Ara disini sedang melakukan tugas rumah. Ara rindu ayahnya yang dulu. Rindu keadaan yang dulu, Ara rindu bunda juga. Air mata Ara ingin menetes namun dengan cepat Ara menahannya. Dia tidak boleh menangis, dia sudah berjanji kepada bundanya untuk selalu tersenyum.Selesai mencuci piring, Ara akan kembali ke kamarnya saja, namun Evan memanggilnya membuatnya mau tak mau menghampiri nya."Ara, kamu mau ikut jalan jalan?" ujar Evan membuat Ara tersenyum. Tak sengaja matanya menangkap Winda yang memelototinya
Bel istirahat sudah berbunyi 5 menit yang lalu. Kini Ara dan Reisya juga tengah menikmati makanannya. Sesuai janji, Ara mentraktir sahabatnya itu makan bakso dan juga jus alpukat. Saat sedang asyik mengobrol, atensi mereka tertuju pada gadis gadis yang baru masuk ke dalam kantin. Suasana kantin menjadi ricuh karena kedatangan Ellyn dan Sisca. Mereka adalah mouswanted SMA Permata. Tapi yang membuat Ara heran, disana ada Meyra. Apakah Meyra bergabung dengan geng Ellyn? Apakah Meyra juga akan ikut ikutan menjadi tukang bully seperti Ellyn?"Ra, itu si Meyra," ujar Reisya membuat Ara mengangguk. Mereka berdua terus saja memperhatikan Meyra yang berjalan dirangkul oleh Ellyn. Seperti sudah akrab lama, mereka pun mulai bercengkrama sembari tertawa."Ih, jangan sampe deh Meyra ketularan Ellyn jadi tukang bully," celetuk Ara membuat Reisya mengeryit."Lah, biarin aja. Orang jahat emang cocok temenan sama orang jahat," julid Reisya membuat Ara menggeleng.&nbs
"Ngapain cari mama?"Laki laki itu terdiam lalu menggelengkan kepalanya membuat Ara bingung."Sampaikan salam kepada Winda, dari Rd," ujarnya lalu berlalu begitu saja dari rumah Ara."Eh, om," teriak Ara namun diabaikan oleh orang tersebut."Lah, itu om om kenapa," gumamnya."Siapa, Ra." Reisya menepuk pundak Ara yang sedang melamun membuat Ara kaget."Eh ayam, astaghfirullah""Ayam ayam, udah ayo makan ntar keburu dingin," ajak Reisya kembali menarik Ara ke meja makan. Mereka berdua pun makan dengan tenang.Malamnya, mereka berdua berada di ruang tamu untuk mengerjakan tugas yang diberikan guru mereka. Dari tadi Reisya menggerutu tidak jelas masalah tugas yang diberikan Bu Evi, guru baru mereka."Masa baru hari pertama udah dikasih tugas sebanyak ini sih,""Harusnya tuh hari pertama cuman perkenalan doang
"Loh? Kok kamu udah dateng sih?" tanya Ara yang baru turun dari mobil bersama Reisya. Mereka kaget karena Satria yang tiba-tiba sudah nangkring di depan rumah Reisya."Ya ngga boleh cepet-cepet?" tanya Satria membuat Ara menggeleng. "Ya boleh. Siapa bilang nggak boleh," jawabnya membuat Satria mengangguk."Yaudah yuk masuk, nggak enak kalo di luar terus," ajak Reisya. Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah. Keadaan rumah sangat sepi karena Reino yang pergi ke luar kota bersama temannya dan orang tua Reisya yang berada di luar negeri."Om sama Tante nggak pulang, Sya?" tanya Ara membuat Reisya menggeleng. Ara hanya ber-oh saja."Gimana Meyra? Udah sampe rumah kan?" Ara bertanya kepada Satria dan dibalas dengan gelengan."Loh?""Aku tinggalin. Lagian ya, Ra. Si Ellen sama Sisca tuh belum pulang. Jangan percaya deh sama sandiwara mereka," jelas Satria membuat Ara menghela napas lalu mengangguk."Oke,"
Tidak ada yang spesial di hari Minggu ini. Besok sudah Senin saja, waktunya upacara. Sebenarnya, meskipun Ara pintar, ia juga seperti murid pada umumnya yang tidak menyukai upacara. Panas, capek, keringetan, pegel semua.Ara sudah selesai belajar dan menyiapkan buku mapel untuk besok. Rencananya, besok setelah pulang sekolah ia akan mampir sebentar ke rumah Reisya untuk mengerjakan tugas kelompok.BrukAra merebahkan dirinya di kasur. Ia menatap langit kamarnya lalu tersenyum. Beberapa hari ini, kehidupannya berjalan dengan baik. Hari-harinya menjadi bahagia. Tidak ada yang melakukan kejahatan pada dirinya, ia selalu diperlakukan baik oleh semua orang. Senang? Tentu saja. Akhirnya kehidupannya yang dulu kembali walaupun tak sepenuhnya."Kangen bunda," lirihnya lalu menatap pigura yang selalu ia letakkan di atas nakas."15 September, sebentar lagi bunda ula
Paginya, Ara sudah sampai di sekolah. Betapa kagetnya dia karena sepanjang perjalanan menuju kelas, banyak teman-teman lainnya yang meminta maaf kepada Ara."Ra," panggil Reisya ketika Ara sudah duduk di sampingnya."Ini semuanya beneran minta maaf tau, Sya," jelas Ara membuat Reisya mengangguk. Reisya juga tidak habis pikir, sebenarnya mereka benar-benar berubah atau tidak."Tapi kamu jangan langsung percaya gitu aja, Ra. Takutnya kamu dijebak," ujar Reisya serius membuat Ara mengangguk. Benar, ia jangan terlalu percaya begitu saja kepada Meyra dan yang lainnya. Siapa tau ini hanya bualan mereka semata."Oh iya, Minggu depan Meyra ulang tahun, kayaknya kamu juga bakalan diundang deh."Reisya terkaget, "hah? Dirayain lagi?""Ya iya, kan emang biasanya gitu," ujar Ara membuat Reisya menggeleng."Terus ka
"Salepnya digunakan secara rutin ya, agar segera pulih dan bekasnya tidak terlihat," jelas dokter membuat mereka mengangguk."Baik, dok. Terima kasih,"Setelah kepergian dokter, mereka bertiga berdiam di ruangan. Tanpa mengucapkan kata sedikitpun.Lalu atensi mereka teralihkan karena mendengar pintu ruangan yang terbuka."Araaa," teriak Meyra, Ellen dan Sisca. Hah? Mereka kenapa?Satu-persatu mereka memeluk Ara yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit. Sedangkan Reisya dan Satria saling tatap."Ara, maafin kita karena udah buat jahat sama kamu," ujar Ellen tiba-tiba membuat semuanya kaget.Bisa gitu ya?"Iya, Ra. Maafin juga ya kita udah bikin kamu masuk rumah sakit terus. Aku bakal bayarin biaya rumah sakitnya.""Ga perlu," tolak Satria dengan tegas. Wajahnya yan
Pagi ini, Ara sudah bersiap-siap untuk pergi sekolah. Berusaha mungkin ia akan menguatkan mentalnya karena pasti saat disekolah ia akan dibully habis-habisan mengingat kejadian kemarin yang tersebar luas seantero sekolah."Sayang, sini duduk," ajak Evan membuat Ara tersenyum dan duduk di samping ayahnya."Berani juga, Lo masuk sekolah," batin Meyra sembari menatap Ara sinis."Ada apa, Mey?" tanya Evan yang tidak sengaja melihat Meyra yang sedang menatap Ara."Eh, nggak yah." Meyra gelagapan sendiri lalu beralih memainkan ponselnya. Semoga saja ayahnya tidak ada curiga terhadapnya."Ara nanti ayah yang antar ya?" tanya Evan membuat Ara terdiam sejenak kemudian mengangguk."Meyra?" Evan beralih bertanya pada anaknya itu. Ya walaupun bukan anak kandungnya setidaknya Evan berusaha adil kepada mereka berdua.
Disini Ara sekarang, gudang belakang rumahnya. Tadi setelah di siksa oleh Angel dan Sisca, Ara langsung dimasukkan ke dalam gudang belakang. Badannya menggigil karena kedinginan. Bahkan ia saja masih memakai seragam."Aakhh, bunda," lirihnya. Suasana gudang yang gelap ditambah dengan cuaca yang mulai dingin membuat Ara semakin menggigil.Ia ingin meminta bantuan juga tidak mungkin, kepada siapa ia akan meminta bantuan. Berteriak pun percuma, ini gudang belakang tidak ada seorangpun yang akan mendengar."Tolongin Ara," lirihnya. Bibirnya sudah pucat pasi, terlebih dia belum makan sejak siang tadi. Kepalanya sudah mulai berkunang-kunang, tubuhnya siap untuk ambruk namun tidak jadi karena pintu gudang sudah dibuka."Heh, keluar lo," teriak Meyra dari luar membuat Ara berdiri dan berjalan pelan menuju pintu gudang."Buruan, lama banget sih." Meyra menarik lengan Ara dan dibawanya masuk ke dala
"Makasih, Sat." Ara menurunkan dirinya dari motor milik Satria dan melepas helm milik laki-laki itu."Sama-sama, besok berangkat sekolah aku yang anter ya?" tawar Satria membuat Ara dengan cepat menggeleng."Loh, kenapa?" tanya Satria bingung sedangkan Ara berpikir keras untuk mencari alasan."Ra, ayah kamu lagi sakit, gak mungkin juga kan anterin kamu,""Reisya juga, akhir-akhir ini dia berangkat telat kan? Kamu juga cerita katanya Reisya nggak bisa dihubungi," ucap Satria membuat Ara semakin bingung."Nggak, aku nanti sama pak supir aja, mungkin berangkat bareng sama Meyra," ujar Ara membuat Satria mengernyit."Bukannya kamu bilang supir kamu lagi cuti, ya?""Astaga," batin Ara menepuk dahinya pelan."Ra, segitu nggak maunya kamu berangkat sama aku?" ucap Satria lirih."Ah nggak, Sat. Aku dengan senang hati mau berangkat sama kamu kok, tapi untuk besok nggak dulu, ya," ucap Ara
Sesampainya di rumah, Ara merebahkan dirinya di kasur empuk miliknya. Ingatannya masih terbayang tentang kejadian tadi saat ia melihat Reisya bersama Reino di hotel.Ara terduduk. Ia berinisiatif akan menelepon Reisya agar memastikan gadis itu baik-baik saja.Sudah hampir 10 kali namun Reisya tak menjawab panggilannya padahal jelas-jelas disitu sedang berdering. Ara semakin khawatir dengan apa yang dialami Reisya. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.Tok tok tok"Masuk,"Masuklah Meyra yang langsung duduk di ranjang milik Ara."Kenapa?" tanya Ara sembari mendudukkan dirinya."Lo bisa jauhin Satria?" ucapnya dengan tatapan tajam membuat Ara bingung."Untuk?""Gue suka sama Satria!!" bentak Meyra membuat Ara berjingkat kaget. Apakah iya?"Aku sama Satria cuman sebatas teman aja, nggak lebih. Kamu boleh suka sa
"Heh!" Seseorang menarik rambut Ara dari belakang membuat sang empu hampir saja terjengkang jika tidak berpegangan pada tiang."Lo pake pelet apa? Hah?" hardik Ellen kepada Ara. Ara yang tidak tahu maksudnya hanya mengerutkan kening."Gak usah pura-pura nggak tau. Lo itu ganjen banget sama si anak baru itu ya," tuduh Sisca makin-makin."Siapa? Awhh, Satria?" Ara mulai membuka suaranya dan berusaha melepas cengkraman tangan Ellen."Berani-beraninya lo berangkat bareng gebetan gue, mau lo apa sih, dasar anak pembantu,"PlakMeyra menampar keras pipi kanan Ara membuat sang empu meringis hingga menimbulkan bekas merah."WOY APA-APAAN LO," teriak seseorang dari arah sana. Semuanya menoleh dan mendapati, Reisya? Apakah itu Reisya?"Sya?" Ara juga tak kalah terkejut sama seperti siswa-siswi lain. Reisya yang, berbeda. Ya, rambutnya yang ia potong