Kini mereka berdua dalam perjalanan pulang. Setelah membicarakan Satria tadi, Meyra banyak berdiam diri dan tidak mengeluarkan sepatah kata pun membuat Ara bingung. Ingin bertanya, namun takut salah. Jadi lebih baik diam saja.
Sesampainya di rumah, terdapat mobil seseorang yang tidak Ara dan Meyra kenal membuat mereka berdua saling pandang. Dengan segera, Meyra keluar dari mobil dan berlari menuju ke dalam rumah. Ara yang melihat hal itu bingung dan ikut mengejar Meyra.
"Meyra," panggil Ara membuat Meyra menoleh.
"Lo kenal ini mobil siapa?" tanyanya membuat Ara menggeleng. Ara saja tidak tahu, kenapa malah bertanya.
"Apa mama udah pulang?" celetuk Ara membuat Meyra terdiam.
"Bisa jadi, ayo masuk." Meyra dan Ara melangkah masuk dan menuju ke kamar Winda.
Tok tok tok
"Mamaaaa," panggil mereka berdua namun tidak ada jawaban.
"Maaaa," panggil mereka lagi lalu keluarlah Winda dengan baju yang sedikit acak acakan?...
"Mama udah pulang," ucap Meyra lalu berhambur ke pelukan Winda membuat Winda mengusap rambut anaknya sayang. Ara yang melihat itu hanya tersenyum simpul, sudah biasa melihat pemandangan seperti ini jadi dia sudah cukup kebal.
"Kalian dari mana?" tanya Winda setelah Meyra melepaskan pelukannya.
"Dari mall, mama kok pulang sekarang? Katanya masih lama?" tanya Ara membuat Meyra juga mengangguk.
"Ayah kalian besok akan pulang," ucap Winda membuat Ara dan Meyra kaget. Benarkah?
Ara tersenyum senang, begitupun Meyra.
"Ma, mobil di depan mobil siapa?" tanya Meyra membuat kening Winda berkerut.
"O-oh itu emm apa itu mobil temen mama. Tadi mama pinjem, iya pinjem," ujar Winda membuat Ara dan Meyra mengangguk.
"Kalau gitu kalian mandi dulu, nanti kita makan. Mama pesenin delivery," ucap Winda lalu menutup pintu kamarnya.
Ara dan Meyra hanya acuh lalu berjalan menuju kamar mereka masing masing.
Beberapa menit lalu, Ara sudah selesai makan malam. Tadi Winda memesankan mereka ayam crispy. Kini Ara sudah berada di kamar. Selesai berganti baju, Ara ingin merebahkan tubuhnya. Hari ini dia sangat lelah, untung saja Winda tidak menyuruhnya untuk membersihkan rumah. Saat akan memejamkan matanya, suara ponselnya berbunyi membuat Ara mengernyit. Malam malam begini siapa yang menelepon?
Ara mengambil handphone nya yang ada di nakas dan melihat nama kontak yang tertera disana.
Satria is calling...
Satria? Untuk apa telepon malam malam begini?
Ara mendudukkan tubuhnya lalu merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Lalu ia menggeser tombol hijau yang ada di sana untuk menerima panggilan.
Hai, Ara. Ganggu ya?
Eh, hai. Nggak kok, ada apa?
Nggak ada sih, emmm kangen aja
O-ohh kangen
Udah makan malam, Ra?
Udah kok, kamu gimana?
Udah. Baru selesai
Ara hanya mengangguk
Mereka sama sama terdiam membuat suasana menjadi canggung. Ara memperhatikan Satria, kenapa dengan dia, melamun kah?
Ara, maaf
Iya, kenapa?
Kamu ada pacar, kah?
Ah, enggak. Aku lagi nggak pacaran, kenapa?
Gapapa, tanya aja hehehe
Ohhh
Yaudah kalau gitu kamu tidur aja, udah malem nggak baik cewe begadang
Iya, ini juga mau tidur
Good night, Ara
Night too
Ara mematikan sambungannya secara sepihak, lalu kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Ia sebenarnya ingin mengabari Reisya, namun ia urungkan karena rasa kantuk yang sudah melanda dan akhirnya Ara terlelap masuk ke dalam alam mimpinya.
Keesokan paginya....
"Araaaaaaa,"
Ara yang belum terbangun kaget. Siapa yang sudah memanggilnya pagi pagi seperti ini?
"Araaaaaa,"
Ara menggeliat dari tidurnya dan langsung terduduk. Akhh dia sebenarnya masih mengantuk, matahari saja belum menampakkan dirinya.
"Araaaaa,"
"Iya sebentar,"
Ceklek
"Eh, ma. Kenapa?" Ternyata yang memanggilnya tadi adalah Winda.
"Jangan tidur mulu, cepet beres beres rumah, ayah kamu mau datang. Saya yang masak," ucapnya lalu melenggang pergi dari sana.
Ara kembali menutup pintunya lalu mengambil wudhu dan melaksanakan shalat subuh. Setelah itu barulah dia membersihkan rumah. Mulai dari menyapu, mengepel, dan yang lainnya. Tapi dia tidak melihat Meyra, di mana dia?
"Ma, Meyra ada di mana?" tanyanya.
"Meyra masih tidur, dia kecapean," ujar Winda yang tengah sibuk dengan masakannya. Ara menghela napas pelan. Seperti biasa, Meyra selalu dimanja oleh Winda, bahkan Meyra tidak diperbolehkan sama sekali untuk menyentuh sapu, bahkan cuci piring saja tidak.
"Oh iya, nanti setelah selesai, jangan lupa cuci piring sama cuciin baju yang ada di keranjang," ucap Winda yang mau tak mau harus Ara turuti agar tidak terkena hukuman.
Matahari sudah mulai menampakkan dirinya, kini Ara sedang menyiram tanaman milik mendiang bundanya yang masih ia rawat sampai saat ini. Bunga inilah salah satu kenang kenangan yang ia miliki untuk mengenang bundanya. Karena saat pergi, bunda tidak menitipkan apapun dan kebanyakan barang barang lama bunda sudah diletakkan di gudang dan sebagian baju baju milik bunda disedekahkan kepada orang yang kurang mampu.
Tin tin
Suara klakson mobil terdengar memasuki pekarangan rumah membuat Ara menoleh. Ahh ayahnya sudah tiba. Dengan cepat, Ara mematikan keran air dan menghampiri sang ayah. Namun, dia kalah cepat. Sang ayah sudah lebih dulu memeluk Meyra dan Winda. Ara tersenyum simpul, lagi lagi ia tertinggal momen berharga yang jarang sekali ia rasakan. Bahkan dia tidak tahu bagaimana rasanya dipeluk seorang ibu, sudah tiga tahun ini ia tidak merasakannya.
Evan menoleh ke arah Ara membuat Ara tersenyum. Ara mendekat ke arah mereka bertiga.
Dengan senyum yang merekah, Evan melebarkan tangannya agar Ara masuk ke dalam pelukannya. Dengan senang hati, Ara mulai masuk ke dalam pelukan Evan dan memeluk ayahnya itu dengan erat. Lama sekali Ara tidak merasakan pelukan yang damai seperti ini, andai saja waktu bisa terulang kembali dan ia bersama ayah serta bundanya berpelukan seperti ini lagi. Namun Ara sadar, keadaan sudah berbeda, bunda sudah tidak ada dan yang ada sekarang hanyalah mama Winda. Ara harus menerima apapun yang memang sudah ditakdirkan dalam hidupnya.
"Ayo masuk. Aku sudah masak, mas," ajak Winda kepada Evan membuat mereka semua masuk ke dalam.
Evan menghirup aroma rumahnya yang sangat wangi dan rapi serta sangat bersih.
"Waahh rapi sekali rumah kita, siapa yang membersihkan?" tanya Evan
Saat ingin menjawab, Meyra sudah lebih dulu membuka suaranya membuat Ara menghela napas.
"Meyra, yah yang bersihin. Meyra bangun pagi pagi biar bisa bersihin rumah, supaya ayah nyaman kalau udah sampai," ujarnya lalu mendekat ke arah Evan dan memeluk lengannya membuat Evan mengelus lembut rambut coklat milik Meyra.
"Yasudah, ayo makan." Winda, Evan dan Meyra berjalan menuju meja makan meninggalkan Ara yang masih berdiri disana dengan senyuman miris. Dia yang lelah mengerjakan semua ini, tapi malah diakui orang lain, bahkan tidak dipedulikan.
Ara melangkah pelan menuju meja makan. Saat akan duduk, Winda membuka suara membuat Ara mengurungkan niatnya.
"Ara, mama boleh minta tolong?" ucapnya membuat Ara mengangguk.
"Tolong ambilkan barang barang ayah yang masih tertinggal di depan, takut diambil orang kan kalau dibiarkan disitu," ucap Winda selembut mungkin membuat Ara kadang bingung sendiri. Sifat ibu tirinya ini saat ada ayahnya dan tidak ada ayahnya sangat berbeda.
Setelah sarapan tadi, sekarang Ara sedang cuci piring. Tadi Winda mengancamnya untuk cuci piring, lalu saat ditanya oleh Evan mengapa Ara yang mencuci piring, dengan pintar Ara mengelak dengan alasan bergantian karena tadi ia tidak membantu berberes rumah.Kini ia sedang berada di dapur berkutat dengan piring piring kotor yang sedang ia cuci. Dari ruang tamu terdengar suara gelak tawa dari Meyra, Winda maupun Evan. Mereka bercanda tawa sedangkan Ara disini sedang melakukan tugas rumah. Ara rindu ayahnya yang dulu. Rindu keadaan yang dulu, Ara rindu bunda juga. Air mata Ara ingin menetes namun dengan cepat Ara menahannya. Dia tidak boleh menangis, dia sudah berjanji kepada bundanya untuk selalu tersenyum.Selesai mencuci piring, Ara akan kembali ke kamarnya saja, namun Evan memanggilnya membuatnya mau tak mau menghampiri nya."Ara, kamu mau ikut jalan jalan?" ujar Evan membuat Ara tersenyum. Tak sengaja matanya menangkap Winda yang memelototinya
Bel istirahat sudah berbunyi 5 menit yang lalu. Kini Ara dan Reisya juga tengah menikmati makanannya. Sesuai janji, Ara mentraktir sahabatnya itu makan bakso dan juga jus alpukat. Saat sedang asyik mengobrol, atensi mereka tertuju pada gadis gadis yang baru masuk ke dalam kantin. Suasana kantin menjadi ricuh karena kedatangan Ellyn dan Sisca. Mereka adalah mouswanted SMA Permata. Tapi yang membuat Ara heran, disana ada Meyra. Apakah Meyra bergabung dengan geng Ellyn? Apakah Meyra juga akan ikut ikutan menjadi tukang bully seperti Ellyn?"Ra, itu si Meyra," ujar Reisya membuat Ara mengangguk. Mereka berdua terus saja memperhatikan Meyra yang berjalan dirangkul oleh Ellyn. Seperti sudah akrab lama, mereka pun mulai bercengkrama sembari tertawa."Ih, jangan sampe deh Meyra ketularan Ellyn jadi tukang bully," celetuk Ara membuat Reisya mengeryit."Lah, biarin aja. Orang jahat emang cocok temenan sama orang jahat," julid Reisya membuat Ara menggeleng.&nbs
"Ngapain cari mama?"Laki laki itu terdiam lalu menggelengkan kepalanya membuat Ara bingung."Sampaikan salam kepada Winda, dari Rd," ujarnya lalu berlalu begitu saja dari rumah Ara."Eh, om," teriak Ara namun diabaikan oleh orang tersebut."Lah, itu om om kenapa," gumamnya."Siapa, Ra." Reisya menepuk pundak Ara yang sedang melamun membuat Ara kaget."Eh ayam, astaghfirullah""Ayam ayam, udah ayo makan ntar keburu dingin," ajak Reisya kembali menarik Ara ke meja makan. Mereka berdua pun makan dengan tenang.Malamnya, mereka berdua berada di ruang tamu untuk mengerjakan tugas yang diberikan guru mereka. Dari tadi Reisya menggerutu tidak jelas masalah tugas yang diberikan Bu Evi, guru baru mereka."Masa baru hari pertama udah dikasih tugas sebanyak ini sih,""Harusnya tuh hari pertama cuman perkenalan doang
Kini Ellen, Sisca, Ara dan Reisya tengah berada di ruang BK. Tadi mereka sempat kepergok oleh kakak OSIS karena pertengkaran itu."Kalian ini bagaimana bisa sampai bertengkar seperti itu,""Kamu juga, Arabella. Sebagai murid teladan harusnya kamu bisa melerai mereka." lanjut Bu Siti selaku guru bimbingan konseling. Bu Siti ini orangnya tidak terlalu galak, namun tegas. Banyak anak anak yang takut dengan Bu Siti karena tatapannya yang tajam dan suaranya yang sangat menakutkan."Terutama kamu, Reisya. Selama kamu sekolah di sini nama kamu sama sekali tidak pernah tertulis di buku, tapi kenapa sekarang muncul, Reisya?" tanya Bu Siti frustasi. Mengapa anak didiknya ini menjadi seperti ini?"Maaf, Bu," ucap Ara dan Reisya bersamaan."Jelaskan kronologis awalnya."Ellen membuka suara membuat Reisya membekap mulutnya."Hmmhhh," gumam Ellen yang mulutnya dibekap o
3 hari setelah kejadian tersebut, Ara tidak pernah lagi menerima surat atau apapun. Hal itu membuat Ara sedikit lega dan tenang. Sekarang ia sedang berada di dapur untuk memasak karena sebentar lagi Evan, Winda dan Meyra akan datang."Assalamualaikum, Ara," teriak seseorang dari luar membuat Ara segera mematikan kompor dan berlari ke arah depan."Ayahhh," balas Ara lalu berhambur ke pelukan Evan."Kangen ayah?" Ara hanya mengangguk di dalam pelukan Evan."Ayah bawa oleh-oleh, ayo dibuka," ajak Evan kepada Ara."Ara lagi masak yah, mau makan dulu?" tawar Ara membuat yang lainnya mengangguk sedangkan Ara langsung kembali menuju dapur."Wahh, enak sekali makanannya," puji Evan membuat Ara tersenyum senang. Lagi lagi ia mendapat perlakuan baik dari Evan.Setelah selesai makan, mereka berkumpul di ruang tengah untuk membuka hadiah.Ara diberikan 5 paper bag oleh Evan."Ayah, ban
"Awhhh,""Araaa," Reisya berteriak membuat seluruh atensi murid mengarah padanya."Ra, kamu nggak apa apa kan?" Reisya terlihat khawatir sedangkan Ara mengangguk pertanda tidak apa apa.Reisya berdiri dari duduknya"Plakk"Reisya menampar pipi Meyra membuat sang empu meringis dan temannya merasa tak terima"Heh, lo apa apaan?" teriak Ellen kepada Reisya yang tengah tersenyum sinis."Lo pada, kalo mau cari masalah sama Ara," Reisya berhenti sejenak lalu menunjukkan wajah songongnya."Lawan gue dulu," lanjutnya kemudian membantu Ara berdiri menuju UKS.Tadi, saat Reisya akan menghampiri Ara, ia melihat Ellen, Sisca dan Meyra yang sudah lebih dulu berada di sana. Hingga akhirnya dirinya kaget ketika melihat Ara didorong oleh Sisca."Harusnya kamu tadi nggak perlu nampar Meyra, Sya," ucap Ara kepada Reisya yan
"Awhhh, maa a-ampun m-maa."Disini mereka sekarang. Di kamar mandi yang biasanya digunakan Ara untuk menangkan diri malah menjadi tempat dirinya disiksa. Sedari tadi, Winda tak henti hentinya menyiramkan air panas ke badan Ara. Sudah berkali-kali Ara berteriak kesakitan namun tak digubris juga. Akhhh Ara tidak kuat. Rasanya ingin pingsan saja namun ia harus kuat."Maaa, u-udahh," lirihnya tak tertahan lagi. Sudah hampir 2 jam ia terus disiram oleh Winda, namun tetap saja tak digubris."Ma, udah cukup." Meyra membuka suara membuat Winda mematikan shower air panas itu.Brukk"Shhhh," ringisnya ketika Winda melemparkan gayung ke kepala Ara.Winda dan Meyra pun keluar dari kamar Ara."Kenapa sih, sayang kamu suruh mama berhenti, mama masih belum puas," omel Winda saat mereka berjalan turun ke bawah."Assalamualaikum."Winda me
Pukul 05.00, Ara baru bangun dari tidurnya. Ia terduduk lalu menatap lurus ke arah depan"Akhh, pusing." Ara memegangi kepalanya yang sedikit pusing. Ia mengedarkan pandangannya ke samping namun tidak ada Reisya disana. Dimana dia?"Sya," panggilnya pelan.Karena tidak ada jawaban, Ara segera mandi dan bersiap-siap untuk pulang karena ia tidak membawa seragam ataupun yang lainnya, dan juga ia takut dimarahi ayahnya jika sampai ketahuan ia kabur.Ara keluar dengan badan yang sudah segar dan terlihat Reisya juga sudah keramas pagi-pagi seperti ini."Hey," ucap Ara sembari memeluk Reisya."Kamu mandi di mana?""Oh, aku mandi di bawah tadi. Ya biar kamu nggak telat pulangnya," ucap Reisya membuat Ara tersenyum."Kamu mau aku anter pulang?" tawar Reisya kepada Ara membuatnya menggeleng."Nggak, lah. Ngapain?""
"Loh? Kok kamu udah dateng sih?" tanya Ara yang baru turun dari mobil bersama Reisya. Mereka kaget karena Satria yang tiba-tiba sudah nangkring di depan rumah Reisya."Ya ngga boleh cepet-cepet?" tanya Satria membuat Ara menggeleng. "Ya boleh. Siapa bilang nggak boleh," jawabnya membuat Satria mengangguk."Yaudah yuk masuk, nggak enak kalo di luar terus," ajak Reisya. Mereka bertiga pun masuk ke dalam rumah. Keadaan rumah sangat sepi karena Reino yang pergi ke luar kota bersama temannya dan orang tua Reisya yang berada di luar negeri."Om sama Tante nggak pulang, Sya?" tanya Ara membuat Reisya menggeleng. Ara hanya ber-oh saja."Gimana Meyra? Udah sampe rumah kan?" Ara bertanya kepada Satria dan dibalas dengan gelengan."Loh?""Aku tinggalin. Lagian ya, Ra. Si Ellen sama Sisca tuh belum pulang. Jangan percaya deh sama sandiwara mereka," jelas Satria membuat Ara menghela napas lalu mengangguk."Oke,"
Tidak ada yang spesial di hari Minggu ini. Besok sudah Senin saja, waktunya upacara. Sebenarnya, meskipun Ara pintar, ia juga seperti murid pada umumnya yang tidak menyukai upacara. Panas, capek, keringetan, pegel semua.Ara sudah selesai belajar dan menyiapkan buku mapel untuk besok. Rencananya, besok setelah pulang sekolah ia akan mampir sebentar ke rumah Reisya untuk mengerjakan tugas kelompok.BrukAra merebahkan dirinya di kasur. Ia menatap langit kamarnya lalu tersenyum. Beberapa hari ini, kehidupannya berjalan dengan baik. Hari-harinya menjadi bahagia. Tidak ada yang melakukan kejahatan pada dirinya, ia selalu diperlakukan baik oleh semua orang. Senang? Tentu saja. Akhirnya kehidupannya yang dulu kembali walaupun tak sepenuhnya."Kangen bunda," lirihnya lalu menatap pigura yang selalu ia letakkan di atas nakas."15 September, sebentar lagi bunda ula
Paginya, Ara sudah sampai di sekolah. Betapa kagetnya dia karena sepanjang perjalanan menuju kelas, banyak teman-teman lainnya yang meminta maaf kepada Ara."Ra," panggil Reisya ketika Ara sudah duduk di sampingnya."Ini semuanya beneran minta maaf tau, Sya," jelas Ara membuat Reisya mengangguk. Reisya juga tidak habis pikir, sebenarnya mereka benar-benar berubah atau tidak."Tapi kamu jangan langsung percaya gitu aja, Ra. Takutnya kamu dijebak," ujar Reisya serius membuat Ara mengangguk. Benar, ia jangan terlalu percaya begitu saja kepada Meyra dan yang lainnya. Siapa tau ini hanya bualan mereka semata."Oh iya, Minggu depan Meyra ulang tahun, kayaknya kamu juga bakalan diundang deh."Reisya terkaget, "hah? Dirayain lagi?""Ya iya, kan emang biasanya gitu," ujar Ara membuat Reisya menggeleng."Terus ka
"Salepnya digunakan secara rutin ya, agar segera pulih dan bekasnya tidak terlihat," jelas dokter membuat mereka mengangguk."Baik, dok. Terima kasih,"Setelah kepergian dokter, mereka bertiga berdiam di ruangan. Tanpa mengucapkan kata sedikitpun.Lalu atensi mereka teralihkan karena mendengar pintu ruangan yang terbuka."Araaa," teriak Meyra, Ellen dan Sisca. Hah? Mereka kenapa?Satu-persatu mereka memeluk Ara yang tengah berbaring di ranjang rumah sakit. Sedangkan Reisya dan Satria saling tatap."Ara, maafin kita karena udah buat jahat sama kamu," ujar Ellen tiba-tiba membuat semuanya kaget.Bisa gitu ya?"Iya, Ra. Maafin juga ya kita udah bikin kamu masuk rumah sakit terus. Aku bakal bayarin biaya rumah sakitnya.""Ga perlu," tolak Satria dengan tegas. Wajahnya yan
Pagi ini, Ara sudah bersiap-siap untuk pergi sekolah. Berusaha mungkin ia akan menguatkan mentalnya karena pasti saat disekolah ia akan dibully habis-habisan mengingat kejadian kemarin yang tersebar luas seantero sekolah."Sayang, sini duduk," ajak Evan membuat Ara tersenyum dan duduk di samping ayahnya."Berani juga, Lo masuk sekolah," batin Meyra sembari menatap Ara sinis."Ada apa, Mey?" tanya Evan yang tidak sengaja melihat Meyra yang sedang menatap Ara."Eh, nggak yah." Meyra gelagapan sendiri lalu beralih memainkan ponselnya. Semoga saja ayahnya tidak ada curiga terhadapnya."Ara nanti ayah yang antar ya?" tanya Evan membuat Ara terdiam sejenak kemudian mengangguk."Meyra?" Evan beralih bertanya pada anaknya itu. Ya walaupun bukan anak kandungnya setidaknya Evan berusaha adil kepada mereka berdua.
Disini Ara sekarang, gudang belakang rumahnya. Tadi setelah di siksa oleh Angel dan Sisca, Ara langsung dimasukkan ke dalam gudang belakang. Badannya menggigil karena kedinginan. Bahkan ia saja masih memakai seragam."Aakhh, bunda," lirihnya. Suasana gudang yang gelap ditambah dengan cuaca yang mulai dingin membuat Ara semakin menggigil.Ia ingin meminta bantuan juga tidak mungkin, kepada siapa ia akan meminta bantuan. Berteriak pun percuma, ini gudang belakang tidak ada seorangpun yang akan mendengar."Tolongin Ara," lirihnya. Bibirnya sudah pucat pasi, terlebih dia belum makan sejak siang tadi. Kepalanya sudah mulai berkunang-kunang, tubuhnya siap untuk ambruk namun tidak jadi karena pintu gudang sudah dibuka."Heh, keluar lo," teriak Meyra dari luar membuat Ara berdiri dan berjalan pelan menuju pintu gudang."Buruan, lama banget sih." Meyra menarik lengan Ara dan dibawanya masuk ke dala
"Makasih, Sat." Ara menurunkan dirinya dari motor milik Satria dan melepas helm milik laki-laki itu."Sama-sama, besok berangkat sekolah aku yang anter ya?" tawar Satria membuat Ara dengan cepat menggeleng."Loh, kenapa?" tanya Satria bingung sedangkan Ara berpikir keras untuk mencari alasan."Ra, ayah kamu lagi sakit, gak mungkin juga kan anterin kamu,""Reisya juga, akhir-akhir ini dia berangkat telat kan? Kamu juga cerita katanya Reisya nggak bisa dihubungi," ucap Satria membuat Ara semakin bingung."Nggak, aku nanti sama pak supir aja, mungkin berangkat bareng sama Meyra," ujar Ara membuat Satria mengernyit."Bukannya kamu bilang supir kamu lagi cuti, ya?""Astaga," batin Ara menepuk dahinya pelan."Ra, segitu nggak maunya kamu berangkat sama aku?" ucap Satria lirih."Ah nggak, Sat. Aku dengan senang hati mau berangkat sama kamu kok, tapi untuk besok nggak dulu, ya," ucap Ara
Sesampainya di rumah, Ara merebahkan dirinya di kasur empuk miliknya. Ingatannya masih terbayang tentang kejadian tadi saat ia melihat Reisya bersama Reino di hotel.Ara terduduk. Ia berinisiatif akan menelepon Reisya agar memastikan gadis itu baik-baik saja.Sudah hampir 10 kali namun Reisya tak menjawab panggilannya padahal jelas-jelas disitu sedang berdering. Ara semakin khawatir dengan apa yang dialami Reisya. Semoga saja tidak terjadi apa-apa.Tok tok tok"Masuk,"Masuklah Meyra yang langsung duduk di ranjang milik Ara."Kenapa?" tanya Ara sembari mendudukkan dirinya."Lo bisa jauhin Satria?" ucapnya dengan tatapan tajam membuat Ara bingung."Untuk?""Gue suka sama Satria!!" bentak Meyra membuat Ara berjingkat kaget. Apakah iya?"Aku sama Satria cuman sebatas teman aja, nggak lebih. Kamu boleh suka sa
"Heh!" Seseorang menarik rambut Ara dari belakang membuat sang empu hampir saja terjengkang jika tidak berpegangan pada tiang."Lo pake pelet apa? Hah?" hardik Ellen kepada Ara. Ara yang tidak tahu maksudnya hanya mengerutkan kening."Gak usah pura-pura nggak tau. Lo itu ganjen banget sama si anak baru itu ya," tuduh Sisca makin-makin."Siapa? Awhh, Satria?" Ara mulai membuka suaranya dan berusaha melepas cengkraman tangan Ellen."Berani-beraninya lo berangkat bareng gebetan gue, mau lo apa sih, dasar anak pembantu,"PlakMeyra menampar keras pipi kanan Ara membuat sang empu meringis hingga menimbulkan bekas merah."WOY APA-APAAN LO," teriak seseorang dari arah sana. Semuanya menoleh dan mendapati, Reisya? Apakah itu Reisya?"Sya?" Ara juga tak kalah terkejut sama seperti siswa-siswi lain. Reisya yang, berbeda. Ya, rambutnya yang ia potong