Share

Mas Husein

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2025-03-02 20:50:08

Mas Husein membeku, dia memandangku dengan tatapan heran tapi dia tahu maksudku.

Suara jam dinding kembali bergema seperti Setiap detik menjadi palu yang menghantam jantungku. Duniaku runtuh bukan karena gemuruh dahsyat atau gelombang melainkan oleh penghianatan. Harapan yang selama ini Kurawat seperti taman bunga kini layu seketika diracuni oleh pahitnya kebohongan.

"Tenangkan dirimu, apa yang terjadi?" Lelaki itu mendekat sambil meraih tanganku tapi aku segera menepis dan mendorongnya mundur.

Demi Allah, aku seolah bisa mencium bau parfum wanita yang tersamar di kemeja suamiku, bau yang menusuk hidung lebih tajam dari cuka.

Pengalaman luka pagi tadi bukan sekedar luka saja, tapi sayatan yang merobek jiwaku. Aku seperti layang yang dipermainkan lalu tali-talinya putus kemudian terhempas ke jurang terburuk.

Cinta yang dulu kujaga seperti harta paling berharga, kini hancur berkeping-keping, hatiku berdarah, dan aku sudah tak mampu menggambarkannya.

"Alya, apa yang terjadi?"

"Jawab saja pertanyaanku, sejak kapan kau membohongiku, sejak kapan kau menikah dan punya anak?"

"Apa?" Pria bertubuh tinggi itu mengernyitkan alisnya.

"Aku melihatmu... aku melihat kau dan keluarga kecilmu di lampu merah."

Mas Husen terhuyung mundur, dia shock dan langsung pucat, tatapan matanya redup seketika seiring dengan tenggorokannya yang terlihat naik turun, susah payah menelan ludah.

"Ta-tapi...."

"Tapi apa Mas? Mau kasih alasan apa lagi?!" Aku juga ikut kehilangan keseimbangan dan jatuh di atas sofa, air mata ini berderai-derai, tubuhku lemas dan aku hanya bisa menangis sambil menyentuh dada, mencoba menenangkan lebaran jantungku yang berpacu kencang.

Nafasku tersengal membayangkan betapa selama ini dia telah menipuku, mungkin pagi dia memelukku, lalu siang dia memeluk wanita itu. Mungkin setiap malam izin pergi olahraga atau ada pertemuan, itu merupakan alasan saja demi bertemu dengan wanita idamannya.

Ah, hatiku makin tercabik-cabik saja rasanya.

"Aku bisa jelaskan semuanya Alia!"

"Cukup!" Aku mulai merasakan mataku berkunang-kunang nafasku menjadi sesak karena udara terasa tipis di paru-paru. Aku mulai menyadari kepalaku berdenyut dengan keras kulitku terasa dingin seperti keringat dingin yang menetes perlahan dan menguasai punggungku. Rasanya ingin pingsan Tapi aku berusaha menahan dan tidak ingin terlihat lemah di hadapan Mas husain.

"Kau terlihat tidak baik-baik saja sayang, mari kita bicarakan itu nanti!" Pakai itu sigap mengeluarkan tangan untuk membantuku berdiri tapi aku menepisnya dengan keras.

"Tidak, jangan sentuh aku sebelum kau ceritakan yang sebenarnya. Kapan kau menikahinya, berapa usia anakmu dan kenapa pandai sekali kalian sekeluarga menyimpannya dariku."aku mencecarnya sementara lelaki itu menundukkan kepalanya.

"Teganya mertua dan adik iparku tidak menceritakan apapun padaku! kalian benar-benar komplotan penjahat yang telah menipu diri ini!" Aku berteriak sambil menangis, tak peduli betapa suaraku bergema ke seluruh sudut rumah atau mungkin bisa saja terdengar ke rumah tetangga. Aku tidak peduli, aku hanya ingin melampiaskan kekecewaan dan kemarahan yang kini menggelegak di hatiku.

"Kita bahas itu!"

"Mau menunggu sampai kapan! Kenapa nanti apa aku harus mati dulu sampai kau jujur?"

"Astagfirullah bicara apa kamu Alyah?"

"Tega ya kalian... kenapa tidak ada satu orang pun yang memberitahuku agar aku segera menyadarinya."

"Sebenarnya aku sih ingin segera jujur padamu tapi ...."

"Karena aku sakit lalu kau takut menyakitiku... sebenarnya kebohonganmu lebih menyakitkan daripada kejujuran meski itu serupa duri!"

"Lalu aku bagaimana Alya?"

"Aku yang harus bertanya aku harus bagaimana, ke mana aku pergi dan bagaimana nasib keluarga kita." Aku mendongak sambil memandangnya sementara dia menatapku dengan iba. Aku benci saat lelaki itu melihatku dengan kasihan bukan dengan cinta, aku tidak selemah itu sampai harus dikasihani dengan cara yang begitu menyedihkan.

"Dan yaa, ini bukan lagi keluarga, ini hanya harapan palsu yang kau ciptakan untukku agar aku bisa mati dengan damai," balasku sambil tertawa getir lelaki itu menggelengkan kepala seakan menolak argumenku.

"Tidak Alya, aku tidak pernah berharap kau meninggal. Aku bahkan ingin kau sembuh dan menjalani hidupmu seperti semula. Kita pasti bisa bahagia!"

Dia berlutut sambil menggenggam tanganku tapi aku sudah benar-benar muak, aku mendorongnya hingga tersungkur ke lantai.

"Kebahagiaan macam apa? Kau sudah menikah punya istri yang cantik dan anak yang tak kalah lucunya. Apa yang kau harapkan dari wanita yang punya tumor di rahimnya! Apa?!"

"Sakitmu bukan salahmu jadi jangan berkata seperti itu!"

"Kau bilang kau akan mencintaiku dengan paripurna, sakitku Bukan halangan untuk mencintaiku tapi kau laki-laki yang munafik!" jawabku sambil memandangnya dengan jijik. Lelaki itu menundukkan kepala sambil menghela nafasnya. Kalau tak lama ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel.

Dia menjauh padaku dan seperti sedang menghubungi ibunya.

"Umi, Aku ingin umi datang ke rumah."

"Kenapa?"suara wanita paruh baya itu terdengar ke telingaku.

"Alia sudah tahu semuanya dan aku butuh seseorang untuk membantuku menjelaskannya, Aku tidak mau Alya merasa terluka dan hancur, Umi."

Cih! Dia tidak perlu mengerahkan keluarganya untuk membujukku karena hak aku sudah benar-benar murka. Untuk apa kedatangan ibu mertua, paling, dia hanya akan membujukku dan bilang kalau keikhlasanku akan membawaku ke surga, istri yang mau dipoligami bisa masuk pintu surga dari manapun. Cih! Aku muak dengan bayang-bayang yang akan terjadi kedepannya, karena sudah pasti itu terjadi.

Begitu dia selesai bicara pria itu mengembalikan ponselnya ke saku lalu kembali mendatangi dan duduk di sisiku.

"Aku sudah meminta umi untuk datang Jadi kita bisa bicara sebagai satu keluarga."

"Untuk apa masih menganggapku sebagai keluarga, padahal kalian tidak melibatkanku saat pernikahanmu.. kenapa harus merepotkan dirimu," jawabku sambil tertawa mengejeknya.

"Alya, kau itu sedang shock dan sakit!"

"Meski demikian aku masih waras Mas? Logika dan akal sehatku masih berjalan! Baik apapun kau mencari pembelaan dan membenarkan tindakanmu aku tetap melihatmu sebagai orang yang bersalah. Bagaimanapun.... Kau menipuku," jawabku sambil menunjuk dadaku sendiri.

"Aku akan minta Rania datang ke sini dan bicara padamu!"

"Oh jadi wanita itu bernama Rania?!" tanyaku sambil tertawa.

"Dia sepupumu kan, anak Tante Anggi yang ada di Semarang."

"Iya betul," balas Mas Husain pelan.

"Wanita jalang!" Desisku sambil tertawa sinis. Masih husain terbelalak sambil menggelengkan kepalanya, tentu saja dia menolak argumenku dan tidak terima kalau istri keduanya adalah wanita yang kusebut diatas.

"Jangan berkata begitu tentang Rania, yang meyakinkannya untuk menikahiku adalah keluarga kami!"

"Lalu kenapa kau mau?! Kalau kau menghargaiku kau tidak akan mengkhianatiku!"

"Aku hanya mengikuti permintaan keluarga dan...."

"Egomu sendiri untuk memiliki anak kan?!" lanjutku dengan sinis.

Lelaki itu menghela napasnya, lalu perlahan beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air dan membawanya untukku.

"Minum dulu!"

"Tidak!"

"Tolong minumlah!"

"Aku tidak mau!" bentakku

"Kamu tidak boleh kurang minum, dalam keadaan seperti ini kamu harus menenangkan dirimu!"

"Aku tidak butuh perhatianmu!" balasku dengan bola mata yang terasa sangat perih dan panas. Bayangkan aku telah menangis selama kurang lebih 7 jam, jadi, aku tidak bisa membayangkan seperti apa bentukku dalam pantulan kaca.

Lama aku dan dia membeku dalam keheningan masing masing, hanya detak jam dinding, sesekali gorden jendela yang disibak oleh angin atau suara Isakan tangisku yang terdengar sengau. Aku tidak ingin menangis tapi luka ini benar-benar membuatku kehilangan kata-kata.

Duniaku hancur, harapan serta kepercayaanku, punah begitu saja.

Sekitar 10 menit kemudian mertua dan adik iparku datang, melihat keadaan rumah yang kacau pecahan ornamen di lantai wanita itu terkesiap tapi dia mencoba bersikap tenang.

"Arimbi tolong sapu lantainya," ucap ibunya Mas Husain pada adiknya.

"Iya umi." Gadis muda yang masih berkuliah itu mengangguk lalu beranjak ke belakang untuk mengambil sapu dan serokan, dia menyapu lantai sambil melirik diriku yang membeku. Tatapan mataku lurus ke depan tapi air mata tak pernah henti-hentinya menetes.

"Mbak...." Gadis itu hanya memanggil lalu aku menoleh dan dia tidak mengatakan apapun lagi, sepertinya rasa sungkan dan rasa bersalah itu memenuhi pikirannya.

Mas Husein dan ibunya terlihat berbincang di dapur tapi mereka berbisik dan terus melirik ke arahku, aku mulai merasa tidak nyaman seolah-olah aku anak tiri yang tidak boleh diberitahu apapun, aku seperti tidak dianggap sebagai anggota keluarga karena tidak diikutsertakan dalam keputusan penting, terlebih masuk Husein adalah suamiku dan mereka telah menikahkannya dengan wanita lain.

"Uhm, Alya... Umi ingin bicara padamu!"

"Katakan saja umi aku mendengarkannya!" Wanita keturunan Arab yang juga mewarisi paras arabik kepada anaknya terlihat menarik nafas dalam sambil menatapku.

"Kami sudah lama mempertimbangkan hal ini tapi kami terlalu ragu untuk segera menyampaikannya padamu. Maaf yaa!"

Mendengar ucapannya yang seolah ringan tak terbebani, aku hanya kembali meneteskan air mata.

"Rania adalah sepupunya Husain, memilih dia sebagai istri anakku Karena dia sudah tahu seluk beluk keluarga kita dan umi rasa tidak akan terjadi konflik antara kamu dan dia. Sebagai istri kedua dan keponakan kami Aku yakin dia akan lebih pengertian padamu dan mengalah."

"Oh ya?" tanyaku dengan sinis.

"Dari kemarin umi ingin sekali segera mempertemukan kamu dengan Rania agar kalian bisa saling mengenal dan bicara. Karena kau sudah tahu lebih awal jadi sebaiknya tidak perlu ada yang ditutup-tutupi lagi."

Ya Tuhan, bagai palu godam yang menghantam tubuhku aku bahkan kesulitan untuk mengais udara, hatiku hancur melihat betapa kejam dan betapa tidak berprasaannya mereka semua.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Related chapters

  • ANTARA AKU DAN RANIA    penjelasan

    Aku tercekat mendengar ucapan ibu mertua, kaget seakan diberi pukulan yang amat menyakitkan. Aku terdiam sembari memikirkan nilai diriku dan bagaimana mereka telah menganggapku selama ini. Kupikir aku dihargai, ternyata aku hanya seperti remahan roti diantara makanan berharga. Kukira mereka akan mengatakannya dengan jujur dan melibatkanku dalam semua keputusan keluarga, tapi ternyata aku adalah orang yang terakhir tahu fakta sebenarnya. "Apa kau mendengar umi?" Wanita itu mendekat dan mengguncang lututku. Pakaian yang masih sama dengan pakaianku di pagi hari saat berangkat ke klinik tadi. Aku menoleh ke arahnya dan air mataku kembali menetes lagi. Wanita itu tidak menunjukkan penyesalan atau raut kesedihan melainkan hanya senyum tipis dan anggukan kepalanya. "Umi yakin semuanya akan baik-baik saja?"Dia menggenggam tanganku sambil tersenyum, senyumnya seperti tombak yang menghujam hati, sementara suamiku berdiri menyandar di dinding sambil melipat tangannya di dada. Kedua manusi

    Last Updated : 2025-03-02
  • ANTARA AKU DAN RANIA    Bersamanya

    Aku bersandar di balik meja kerja mas Husein dengan hati yang tak karuan rasanya. Kepalaku sakit dan telingaku rasanya berdenging putaran bayangan Mas husein bersama istrinya di dalam mobil, celoteh bocah yang memanggilnya ayah, ucapan ibu mertua permintaan maaf suamiku yang terkesan tidak berprasaan serta rangkaian angka-angka dalam slip gaji dan struk belanja. Itu seperti tumpang tindih dan berlomba di dalam kepalaku, rasanya hati ini makin sesak, dan semua itu seakan terdengar di telingaku secara bersamaan. "Tidak, tidak mungkin!" Aku menutup telingaku sendiri dengan kedua tangan sambil membenamkan wajah diantara kedua lutut. "Hahaha, hahaha, kau tidak tahu apa-apa!" Kelebatan bunyi tawa dan kumpulan anggota keluarga Mas Husain seakan terlihat di mataku. Wajah dan senyum mereka seperti bayangan kamera yang di zoom in dan out, mendekat lalu menjauh lalu datang tiba-tiba seperti hantu. Aku melihat ibu mertua yang sedang merangkul wanita itu mereka duduk bahagia sambil menuding ke a

    Last Updated : 2025-03-02
  • ANTARA AKU DAN RANIA    umi

    "Umi, maafkanlah saya belum ingin bertemu siapapun dan membahas apapun. Saya butuh istirahat dan waktu untuk mencerna semua ini.""Umi harap kau bisa menenangkan hatimu, ya Sayang. Toh, Rania dan Husain sudah menikah juga, dan mereka punya anak. Jadi, tidak adil rasanya jika kemarahanmu membuat mereka berdua bercerai. Iya kan, Kak."Aku terdiam, untuk beberapa detik aku terdiam kehilangan kata-kata. Aku tercekat dan ingin sekali memungkiri bahwa sebenarnya aku ingin Rania dan suamiku segera berpisah. Aku ingin keadaan kembali seperti semula, di mana suamiku hanya milikku saja dan dia hanya mencintaiku. Kalau waktu bisa diputar... aku ingin kembali ke beberapa tahun yang lalu, aku ingin menjaga kesehatanku dan melindungi diriku dari penyakit. Aku ingin program kehamilan lebih cepat dan membawakan anak kembar untuk suamiku, kehidupan kami akan harmonis dan bahagia, tentu saja. Tapi, sekali lagi... Itu adalah paradoks waktu yang tidak mungkin diulangi."Umi, dengar!""Kau pasti akan bai

    Last Updated : 2025-03-02
  • ANTARA AKU DAN RANIA    6

    Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang. Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya. "Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?"Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri. "Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikka

    Last Updated : 2025-03-07
  • ANTARA AKU DAN RANIA    7

    "Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu.""Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. S

    Last Updated : 2025-03-08
  • ANTARA AKU DAN RANIA    8

    Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya

    Last Updated : 2025-03-08
  • ANTARA AKU DAN RANIA    9

    *Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan

    Last Updated : 2025-03-09
  • ANTARA AKU DAN RANIA    10

    Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.

    Last Updated : 2025-03-09

Latest chapter

  • ANTARA AKU DAN RANIA    54

    Makan malam berlangsung dengan nyaman, duduk di resto dari lantai lima sebuah gedung mewah, dengan pemandangan lampu-lampu kota yang cantik dia tambah berhadapan dengan pria tampan yang kata-katanya selalu terdengar lembut dan menyenangkan, menciptakan suasana berbeda yang tidak terbeli harganya. Terlebih ia terus membuat jantungku bergetar. Aku tidak ingin menyebut ini sebagai ketergantungan emosional atau pelampiasan sebab aku baru saja berpisah dari suamiku. Aku menyebut ini keberuntungan dan rezeki karena sangat jarang seorang berasal dari kalangan menengah mengenal seorang pengusaha terkenal lalu menjadi begitu dekat. Kadang aku berpikir ini hanya euforia, hanya keberuntungan sesaat atau aku terlalu terbawa perasaan sebab mengenal orang sesempurna Tuan Fadli adalah hal yang jarang bisa dirasakan oleh semua orang. Aku harus mencubit tanganku berkali-kali untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang sedang kualami. Aku sedang memakai pakaian terbaikku, duduk menikm

  • ANTARA AKU DAN RANIA    53

    Saat dia menyebut namaku ada ledakan flare warna warni di hati ini, ribuan bunga seakan jatuh dari langit membuatku tak bisa mengendalikan senyum. Tanganku seketika panas dingin dan berkeringat membuat jantung ini berdegup kencang.Lalu, aku hanya bisa tersipu malu dan menundukkan kepalaku."Aku menyukaimu, tapi tenang saja, kau jangan takut, aku tidak buru buru untuk segera melamar dan membuatmu tidak nyaman, aku tahu kau masih dalam proses menata hatimu, jadi aku akan menunggu dengan sabar."Hmm, dia pintar sekali membaca suasana hatiku, tapi buru buru pun tak masalah, aku menyukainya. "Ini mengejutkan sekali, tapi, saya menghargainya.""Apa kau bisa memberi sinyal bahwa kau akan menerima perasaanku?" tanyanya sambil menatap mataku, di lokasi parkir itu, aku rasanya ingin lari keluar dari mobil dan menghindarinya tapi aku tahu bahwa ia menunggu jawabanku. Aku ingin menjawab iya, namun aku tak mau terlihat buru buru menerima dan kesannya menjadikan dia pelarianku, mungkin saja kan,

  • ANTARA AKU DAN RANIA    52

    Kupandangi diriku di depan cermin, kupandangi gamis putih yang kukenakan, juga jilbab senada, jam tangan dan bros cantik yang menampilkan presentasi diriku yang sempurna. Ya, tidaknya ini adalah penampilan terbaik yang bisa kuberikan malam ini untuk diriku sendiri. Kuraih ponselku dan kutunggu kabar dari tuan Fadli, kapan dia merapat ke rumahku dan kapan dia berdiri di depan pintu gerbang untuk membawa diri ini pada situasi makan malam yang menyenangkan."Oh dia belum memberiku kabar, kapan dia akan mulai jalan." Jujur saja aku antusias, aku belum bilang aku jatuh cinta meski jatuh cinta adalah hal manusiawi. Aku tidak akan secepat itu menilai ini sebagai hal yang membuat diriku terbang melayang. Menurut penelitian terbaru Cinta itu bukan seperti emosi yang Mudah dihilangkan, dia seperti kebutuhan fisiologis tubuh yang sama halnya dengan lapar dan haus. Ketika seseorang lapar atau haus mereka akan mencari makan dan minuman.Maka, seperti itulah cinta mendeteksi kebutuhan manusia ak

  • ANTARA AKU DAN RANIA    51

    Kupandang wajahnya kupandangi dia dengan seksama hingga aku mampu meneliti betapa apa yang ia ucapkan itu adalah benar bermakna dari hati atau mungkin hanya lampiasan perasaan emosi dan kecewa. "Iya benar masalahnya ada padaku. Aku tidak bisa diduakan dan itu adalah kesepakatan Kita sejak awal. Jika kau menduakanku maka aku akan pergi.""Tapi itu pembicaraan 15 tahun yang lalu saat aku dan kamu masih menggebu dan saling mencintai. Saat kau sakit dan tidak bisa memberiku anak maka keputusanmu itu opsional bisa berubah. Apakah aku salah dan harus bertahan setia padamu sementara aku tidak bisa melanjutkan keturunanku?""Kita sudah bicara banyak," jawabku sambil menutup koper, dan tersenyum manis padanya. "Kenapa kau menghindari ucapanku?""Maaf aku sudah 30 menit di sini, aku harus pulang sebelum timbul fitnah dan asumsi negatif dari para tetangga terlebih jika ini sampai ke telinga istrimu.""Tapi kau masih istriku masih status kita sedang menggantung di pengadilan.""Oh ya?""Sampai

  • ANTARA AKU DAN RANIA    50

    Lalu kami pun mengurus perceraianku, seminggu berlalu setelah pertemuan dengan keluarga Mas Husein Ayah membantuku untuk memasukkan berkas ke pengadilan agama. Mendampingiku mencatatkan gugatan serta membantuku membayar biayanya. Setiap kali dia menatapku dengan sedih meski aku sendiri berusaha tersenyum di hadapannya, Ayah selalu menguatkanku, menggenggam tanganku dan mengatakan bahwa semuanya akan berubah dan hari esok akan jadi baik-baik saja meski statusku sendiri."Kak, ayah akan selalu mendukungmu. Fokuslah pada impian dan kehidupanmu, bila kau sembuh kau harus bahagiakan dirimu sendiri. Berkarir dengan baik dan jadilah sukses.""Iya, ayah.""Ayah mau kau jadi lebih kuat.""Insya Allah."Sepulangnya dari pengadilan agama, aku dan ayah mampir di restoran seafood kesukaan kami, aku dan dia makan bersama dan menikmati hidangan favorit keluarga yang selalu kami beli sejak aku remaja. Kami berbincang sambil makan berdua, memikirkan rencana masa depan, apa yang akan aku lakukan den

  • ANTARA AKU DAN RANIA    49

    (jika kau tidak keberatan tolong hentikan mengirim pesan ke ponsel aku sebab aku bukan lagi istrimu!)(Kalau begitu, sejak kapan kita bercerai? Aku tidak berasa menandatangani persetujuan di pengadilan!)(Cukup, aku sedang berbincang dengan bosku dan aku tidak mau terlihat sibuk dan membuatnya tersinggung!) Aku sengaja mengirimkan pesan seperti itu untuk memberinya pelajaran, ketika dia terus menyiksa perasaanku dengan kecemburuan, kebahagiaannya bersama Rania, maka aku pun bisa memberikan pukulan yang lebih telak. (Dasar jalang!) Ungkapnya dengan emoji wajah merah padam.Pukul 04.00 sore aku kembali ke rumah, aku dorong pintu gerbang dan mendapati kedua orang tuaku sedang duduk di teras dan berbincang. Bunda terlihat khawatir dan segera menyongsongku sementara aku terheran-heran dengan ekspresinya yang cermat. "Kau Baik-baik saja kan Nak?""Iya aku baik-baik saja! Ada apa Bunda?""Beberapa saat yang lalu suamimu datang ke rumah dan memberitahu betapa kau benar-benar berselingkuh d

  • ANTARA AKU DAN RANIA    48

    Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Mas Husein, pria itu terintimidasi, di antara semua orang yang bergelar dan punya posisi hanya dia satu-satunya yang kini terlihat pucat dan ketakutan. Riuh pesta, lagu-lagu yang diputar dan suara tawa-tawa para karyawan tak serta merta membuatnya cukup membaur. Lelaki duduk di pojok acara sambil menatap nanar pada semua orang. Sepertinya dia mendapat pukulan syok yang sangat besar, sepertinya dia sudah menyadari sedang berurusan dengan orang yang salah, berani memukul, memprovokasi dan menghadang Mas Fadli. Tapi herannya, Mas Fadli sama sekali tidak menunjukkan Siapa dirinya yang sebenarnya saat dia menghadapi sikap jahat Mas Husein, kalau mau, dia bisa menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya dan menghukum Mas Husein dengan cara memecatnya, tapi Mas Fadli memilih bersikap elegan, memilih untuk tetap tenang dan biarkan waktu yang membuktikan segalanya. Aku masih duduk bersama Viora, dua orang rekan lain nya juga duduk bersamaku. Tiba-tiba Mas H

  • ANTARA AKU DAN RANIA    47

    "Bukannya tidak nyaman, saya sedikit canggung karena bos besar malah memilih duduk di meja karyawan biasa." di tengah alunan lagu dan keriuhan karyawan yang mengobrol dengan sesamanya. Suara kami timbul tenggelam tapi aku bisa mendengar dengan jelas ucapan Mas Fadli serta melihat bagaimana ia menatapku dengan binar mata yang sedikit berbeda. "Aku biasa membaur dengan semua orang jadi tenang saja," jawabnya sambil mengedipkan mata. Fiora melirik kami dan ia terlihat menahan tawa. Sepertinya gadis itu menyadari bahwa ada yang berbeda dengan sikap bosnya, pun aku pun memahami kalau dia memiliki kepedulian yang berbeda padaku tapi aku tidak segera menyimpulkannya sebagai perasaan cinta atau ketertarikan yang berlebihan.Anggap itu kebaikan dan kepedulian seorang bos pada bawahannya. "Sepertinya kau tidak betah di situasi yang ramai seperti ini!""Sebenarnya iya tapi Saya menghargai acara pestanya. Jadi saya akan baik-baik saja.""Mau ikut bicara di balkon denganku, kebetulan aku juga i

  • ANTARA AKU DAN RANIA    46

    "keputusan Apa yang kau ambil tanpa berdiskusi lebih dahulu pada suamimu?" Seketika tangisan suamiku terhenti, matanya mendongak dan melihat padaku dengan lekat. "Aku tetap ingin berpisah. Ini jalan terbaik untuk kita.""Namun aku tetap ingin berusaha...""Tidak Mas sudah cukup! Mari kita selesaikan semua ini baik-baik dan kita bagi Apa yang harus kita bagi.""Tapi semuanya milikmu Alya, semua yang kuberikan adalah milikmu dan aku tidak akan mengambilnya kembali.""Kalau begitu aku bebas mempergunakan sesuka hatiku?""Iya.""Aku tetap memutuskan berpisah denganmu. Tentang rumah itu aku tidak tertarik lagi... Kau bisa menyimpannya untuk kau dan keluargamu, juga uang tabungan dan perhiasanku. Aku cuma minta agar kau mengembalikan surat-menyurat dan berkas-berkasku agar aku bisa menyelesaikan urusan kita.""Kenapa kau begitu keras hati Aliyah?""Dikhianati itu sakit, Mas. Daripada menyimpan luka itu terus-menerus lebih baik kita selesaikan saja."Aku bangun dari tempat duduk agar perdeb

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status