Share

Mas Husein

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2025-03-02 20:50:08

Mas Husein membeku, dia memandangku dengan tatapan heran tapi dia tahu maksudku.

Suara jam dinding kembali bergema seperti Setiap detik menjadi palu yang menghantam jantungku. Duniaku runtuh bukan karena gemuruh dahsyat atau gelombang melainkan oleh penghianatan. Harapan yang selama ini Kurawat seperti taman bunga kini layu seketika diracuni oleh pahitnya kebohongan.

"Tenangkan dirimu, apa yang terjadi?" Lelaki itu mendekat sambil meraih tanganku tapi aku segera menepis dan mendorongnya mundur.

Demi Allah, aku seolah bisa mencium bau parfum wanita yang tersamar di kemeja suamiku, bau yang menusuk hidung lebih tajam dari cuka.

Pengalaman luka pagi tadi bukan sekedar luka saja, tapi sayatan yang merobek jiwaku. Aku seperti layang yang dipermainkan lalu tali-talinya putus kemudian terhempas ke jurang terburuk.

Cinta yang dulu kujaga seperti harta paling berharga, kini hancur berkeping-keping, hatiku berdarah, dan aku sudah tak mampu menggambarkannya.

"Alya, apa yang terjadi?"

"Jawab saja pertanyaanku, sejak kapan kau membohongiku, sejak kapan kau menikah dan punya anak?"

"Apa?" Pria bertubuh tinggi itu mengernyitkan alisnya.

"Aku melihatmu... aku melihat kau dan keluarga kecilmu di lampu merah."

Mas Husen terhuyung mundur, dia shock dan langsung pucat, tatapan matanya redup seketika seiring dengan tenggorokannya yang terlihat naik turun, susah payah menelan ludah.

"Ta-tapi...."

"Tapi apa Mas? Mau kasih alasan apa lagi?!" Aku juga ikut kehilangan keseimbangan dan jatuh di atas sofa, air mata ini berderai-derai, tubuhku lemas dan aku hanya bisa menangis sambil menyentuh dada, mencoba menenangkan lebaran jantungku yang berpacu kencang.

Nafasku tersengal membayangkan betapa selama ini dia telah menipuku, mungkin pagi dia memelukku, lalu siang dia memeluk wanita itu. Mungkin setiap malam izin pergi olahraga atau ada pertemuan, itu merupakan alasan saja demi bertemu dengan wanita idamannya.

Ah, hatiku makin tercabik-cabik saja rasanya.

"Aku bisa jelaskan semuanya Alia!"

"Cukup!" Aku mulai merasakan mataku berkunang-kunang nafasku menjadi sesak karena udara terasa tipis di paru-paru. Aku mulai menyadari kepalaku berdenyut dengan keras kulitku terasa dingin seperti keringat dingin yang menetes perlahan dan menguasai punggungku. Rasanya ingin pingsan Tapi aku berusaha menahan dan tidak ingin terlihat lemah di hadapan Mas husain.

"Kau terlihat tidak baik-baik saja sayang, mari kita bicarakan itu nanti!" Pakai itu sigap mengeluarkan tangan untuk membantuku berdiri tapi aku menepisnya dengan keras.

"Tidak, jangan sentuh aku sebelum kau ceritakan yang sebenarnya. Kapan kau menikahinya, berapa usia anakmu dan kenapa pandai sekali kalian sekeluarga menyimpannya dariku."aku mencecarnya sementara lelaki itu menundukkan kepalanya.

"Teganya mertua dan adik iparku tidak menceritakan apapun padaku! kalian benar-benar komplotan penjahat yang telah menipu diri ini!" Aku berteriak sambil menangis, tak peduli betapa suaraku bergema ke seluruh sudut rumah atau mungkin bisa saja terdengar ke rumah tetangga. Aku tidak peduli, aku hanya ingin melampiaskan kekecewaan dan kemarahan yang kini menggelegak di hatiku.

"Kita bahas itu!"

"Mau menunggu sampai kapan! Kenapa nanti apa aku harus mati dulu sampai kau jujur?"

"Astagfirullah bicara apa kamu Alyah?"

"Tega ya kalian... kenapa tidak ada satu orang pun yang memberitahuku agar aku segera menyadarinya."

"Sebenarnya aku sih ingin segera jujur padamu tapi ...."

"Karena aku sakit lalu kau takut menyakitiku... sebenarnya kebohonganmu lebih menyakitkan daripada kejujuran meski itu serupa duri!"

"Lalu aku bagaimana Alya?"

"Aku yang harus bertanya aku harus bagaimana, ke mana aku pergi dan bagaimana nasib keluarga kita." Aku mendongak sambil memandangnya sementara dia menatapku dengan iba. Aku benci saat lelaki itu melihatku dengan kasihan bukan dengan cinta, aku tidak selemah itu sampai harus dikasihani dengan cara yang begitu menyedihkan.

"Dan yaa, ini bukan lagi keluarga, ini hanya harapan palsu yang kau ciptakan untukku agar aku bisa mati dengan damai," balasku sambil tertawa getir lelaki itu menggelengkan kepala seakan menolak argumenku.

"Tidak Alya, aku tidak pernah berharap kau meninggal. Aku bahkan ingin kau sembuh dan menjalani hidupmu seperti semula. Kita pasti bisa bahagia!"

Dia berlutut sambil menggenggam tanganku tapi aku sudah benar-benar muak, aku mendorongnya hingga tersungkur ke lantai.

"Kebahagiaan macam apa? Kau sudah menikah punya istri yang cantik dan anak yang tak kalah lucunya. Apa yang kau harapkan dari wanita yang punya tumor di rahimnya! Apa?!"

"Sakitmu bukan salahmu jadi jangan berkata seperti itu!"

"Kau bilang kau akan mencintaiku dengan paripurna, sakitku Bukan halangan untuk mencintaiku tapi kau laki-laki yang munafik!" jawabku sambil memandangnya dengan jijik. Lelaki itu menundukkan kepala sambil menghela nafasnya. Kalau tak lama ia merogoh sakunya dan mengeluarkan ponsel.

Dia menjauh padaku dan seperti sedang menghubungi ibunya.

"Umi, Aku ingin umi datang ke rumah."

"Kenapa?"suara wanita paruh baya itu terdengar ke telingaku.

"Alia sudah tahu semuanya dan aku butuh seseorang untuk membantuku menjelaskannya, Aku tidak mau Alya merasa terluka dan hancur, Umi."

Cih! Dia tidak perlu mengerahkan keluarganya untuk membujukku karena hak aku sudah benar-benar murka. Untuk apa kedatangan ibu mertua, paling, dia hanya akan membujukku dan bilang kalau keikhlasanku akan membawaku ke surga, istri yang mau dipoligami bisa masuk pintu surga dari manapun. Cih! Aku muak dengan bayang-bayang yang akan terjadi kedepannya, karena sudah pasti itu terjadi.

Begitu dia selesai bicara pria itu mengembalikan ponselnya ke saku lalu kembali mendatangi dan duduk di sisiku.

"Aku sudah meminta umi untuk datang Jadi kita bisa bicara sebagai satu keluarga."

"Untuk apa masih menganggapku sebagai keluarga, padahal kalian tidak melibatkanku saat pernikahanmu.. kenapa harus merepotkan dirimu," jawabku sambil tertawa mengejeknya.

"Alya, kau itu sedang shock dan sakit!"

"Meski demikian aku masih waras Mas? Logika dan akal sehatku masih berjalan! Baik apapun kau mencari pembelaan dan membenarkan tindakanmu aku tetap melihatmu sebagai orang yang bersalah. Bagaimanapun.... Kau menipuku," jawabku sambil menunjuk dadaku sendiri.

"Aku akan minta Rania datang ke sini dan bicara padamu!"

"Oh jadi wanita itu bernama Rania?!" tanyaku sambil tertawa.

"Dia sepupumu kan, anak Tante Anggi yang ada di Semarang."

"Iya betul," balas Mas Husain pelan.

"Wanita jalang!" Desisku sambil tertawa sinis. Masih husain terbelalak sambil menggelengkan kepalanya, tentu saja dia menolak argumenku dan tidak terima kalau istri keduanya adalah wanita yang kusebut diatas.

"Jangan berkata begitu tentang Rania, yang meyakinkannya untuk menikahiku adalah keluarga kami!"

"Lalu kenapa kau mau?! Kalau kau menghargaiku kau tidak akan mengkhianatiku!"

"Aku hanya mengikuti permintaan keluarga dan...."

"Egomu sendiri untuk memiliki anak kan?!" lanjutku dengan sinis.

Lelaki itu menghela napasnya, lalu perlahan beranjak ke dapur untuk mengambil segelas air dan membawanya untukku.

"Minum dulu!"

"Tidak!"

"Tolong minumlah!"

"Aku tidak mau!" bentakku

"Kamu tidak boleh kurang minum, dalam keadaan seperti ini kamu harus menenangkan dirimu!"

"Aku tidak butuh perhatianmu!" balasku dengan bola mata yang terasa sangat perih dan panas. Bayangkan aku telah menangis selama kurang lebih 7 jam, jadi, aku tidak bisa membayangkan seperti apa bentukku dalam pantulan kaca.

Lama aku dan dia membeku dalam keheningan masing masing, hanya detak jam dinding, sesekali gorden jendela yang disibak oleh angin atau suara Isakan tangisku yang terdengar sengau. Aku tidak ingin menangis tapi luka ini benar-benar membuatku kehilangan kata-kata.

Duniaku hancur, harapan serta kepercayaanku, punah begitu saja.

Sekitar 10 menit kemudian mertua dan adik iparku datang, melihat keadaan rumah yang kacau pecahan ornamen di lantai wanita itu terkesiap tapi dia mencoba bersikap tenang.

"Arimbi tolong sapu lantainya," ucap ibunya Mas Husain pada adiknya.

"Iya umi." Gadis muda yang masih berkuliah itu mengangguk lalu beranjak ke belakang untuk mengambil sapu dan serokan, dia menyapu lantai sambil melirik diriku yang membeku. Tatapan mataku lurus ke depan tapi air mata tak pernah henti-hentinya menetes.

"Mbak...." Gadis itu hanya memanggil lalu aku menoleh dan dia tidak mengatakan apapun lagi, sepertinya rasa sungkan dan rasa bersalah itu memenuhi pikirannya.

Mas Husein dan ibunya terlihat berbincang di dapur tapi mereka berbisik dan terus melirik ke arahku, aku mulai merasa tidak nyaman seolah-olah aku anak tiri yang tidak boleh diberitahu apapun, aku seperti tidak dianggap sebagai anggota keluarga karena tidak diikutsertakan dalam keputusan penting, terlebih masuk Husein adalah suamiku dan mereka telah menikahkannya dengan wanita lain.

"Uhm, Alya... Umi ingin bicara padamu!"

"Katakan saja umi aku mendengarkannya!" Wanita keturunan Arab yang juga mewarisi paras arabik kepada anaknya terlihat menarik nafas dalam sambil menatapku.

"Kami sudah lama mempertimbangkan hal ini tapi kami terlalu ragu untuk segera menyampaikannya padamu. Maaf yaa!"

Mendengar ucapannya yang seolah ringan tak terbebani, aku hanya kembali meneteskan air mata.

"Rania adalah sepupunya Husain, memilih dia sebagai istri anakku Karena dia sudah tahu seluk beluk keluarga kita dan umi rasa tidak akan terjadi konflik antara kamu dan dia. Sebagai istri kedua dan keponakan kami Aku yakin dia akan lebih pengertian padamu dan mengalah."

"Oh ya?" tanyaku dengan sinis.

"Dari kemarin umi ingin sekali segera mempertemukan kamu dengan Rania agar kalian bisa saling mengenal dan bicara. Karena kau sudah tahu lebih awal jadi sebaiknya tidak perlu ada yang ditutup-tutupi lagi."

Ya Tuhan, bagai palu godam yang menghantam tubuhku aku bahkan kesulitan untuk mengais udara, hatiku hancur melihat betapa kejam dan betapa tidak berprasaannya mereka semua.

Related chapters

  • ANTARA AKU DAN RANIA    penjelasan

    Aku tercekat mendengar ucapan ibu mertua, kaget seakan diberi pukulan yang amat menyakitkan. Aku terdiam sembari memikirkan nilai diriku dan bagaimana mereka telah menganggapku selama ini. Kupikir aku dihargai, ternyata aku hanya seperti remahan roti diantara makanan berharga. Kukira mereka akan mengatakannya dengan jujur dan melibatkanku dalam semua keputusan keluarga, tapi ternyata aku adalah orang yang terakhir tahu fakta sebenarnya. "Apa kau mendengar umi?" Wanita itu mendekat dan mengguncang lututku. Pakaian yang masih sama dengan pakaianku di pagi hari saat berangkat ke klinik tadi. Aku menoleh ke arahnya dan air mataku kembali menetes lagi. Wanita itu tidak menunjukkan penyesalan atau raut kesedihan melainkan hanya senyum tipis dan anggukan kepalanya. "Umi yakin semuanya akan baik-baik saja?"Dia menggenggam tanganku sambil tersenyum, senyumnya seperti tombak yang menghujam hati, sementara suamiku berdiri menyandar di dinding sambil melipat tangannya di dada. Kedua manusi

    Last Updated : 2025-03-02
  • ANTARA AKU DAN RANIA    Bersamanya

    Aku bersandar di balik meja kerja mas Husein dengan hati yang tak karuan rasanya. Kepalaku sakit dan telingaku rasanya berdenging putaran bayangan Mas husein bersama istrinya di dalam mobil, celoteh bocah yang memanggilnya ayah, ucapan ibu mertua permintaan maaf suamiku yang terkesan tidak berprasaan serta rangkaian angka-angka dalam slip gaji dan struk belanja. Itu seperti tumpang tindih dan berlomba di dalam kepalaku, rasanya hati ini makin sesak, dan semua itu seakan terdengar di telingaku secara bersamaan. "Tidak, tidak mungkin!" Aku menutup telingaku sendiri dengan kedua tangan sambil membenamkan wajah diantara kedua lutut. "Hahaha, hahaha, kau tidak tahu apa-apa!" Kelebatan bunyi tawa dan kumpulan anggota keluarga Mas Husain seakan terlihat di mataku. Wajah dan senyum mereka seperti bayangan kamera yang di zoom in dan out, mendekat lalu menjauh lalu datang tiba-tiba seperti hantu. Aku melihat ibu mertua yang sedang merangkul wanita itu mereka duduk bahagia sambil menuding ke a

    Last Updated : 2025-03-02
  • ANTARA AKU DAN RANIA    umi

    "Umi, maafkanlah saya belum ingin bertemu siapapun dan membahas apapun. Saya butuh istirahat dan waktu untuk mencerna semua ini.""Umi harap kau bisa menenangkan hatimu, ya Sayang. Toh, Rania dan Husain sudah menikah juga, dan mereka punya anak. Jadi, tidak adil rasanya jika kemarahanmu membuat mereka berdua bercerai. Iya kan, Kak."Aku terdiam, untuk beberapa detik aku terdiam kehilangan kata-kata. Aku tercekat dan ingin sekali memungkiri bahwa sebenarnya aku ingin Rania dan suamiku segera berpisah. Aku ingin keadaan kembali seperti semula, di mana suamiku hanya milikku saja dan dia hanya mencintaiku. Kalau waktu bisa diputar... aku ingin kembali ke beberapa tahun yang lalu, aku ingin menjaga kesehatanku dan melindungi diriku dari penyakit. Aku ingin program kehamilan lebih cepat dan membawakan anak kembar untuk suamiku, kehidupan kami akan harmonis dan bahagia, tentu saja. Tapi, sekali lagi... Itu adalah paradoks waktu yang tidak mungkin diulangi."Umi, dengar!""Kau pasti akan bai

    Last Updated : 2025-03-02
  • ANTARA AKU DAN RANIA    6

    Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang. Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya. "Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?"Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri. "Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikka

    Last Updated : 2025-03-07
  • ANTARA AKU DAN RANIA    7

    "Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu.""Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. S

    Last Updated : 2025-03-08
  • ANTARA AKU DAN RANIA    8

    Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya

    Last Updated : 2025-03-08
  • ANTARA AKU DAN RANIA    9

    *Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan

    Last Updated : 2025-03-09
  • ANTARA AKU DAN RANIA    10

    Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.

    Last Updated : 2025-03-09

Latest chapter

  • ANTARA AKU DAN RANIA    14

    Gelap di sekitarku sementara malam terus beranjak larut, suasana ruangan temaram dengan lampu dapur yang menyala samar, saat kubuka mata perlahan dan menyadari diriku meringkuk di sofa, jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam.Jarumnya yang berdetak seperti palu memukul jantungku, menggema di telinga dan menciptakan suasana yang suram. Aku menggigil, seakan suhu ruangan turun drastis. Kupeluk diriku sendiri sambil mengusap kedua tanganku perlahan, gigiku beradu menahan hawa yang menusuk hingga ke tulang. "Apa dia belum pulang juga?" bisikku dalam hati. "Kenapa dia tidak kembali?"Kota sudah lengang, begitu juga lingkungan sekitarku yang tertidur, jalanan sepi dengan sesekali kendaraan yang melintas, aku khawatir, kenapa dia belum juga pulang. Lalu aku teringat, bohong mungkin ia telah bergelung dalam selimut yang hangat bersama istri dan anaknya. Tidak mungkin ia akan memilih berkendara menembus cuaca dingin ini demi kembali pada istri mandul yang tidak bisa memberi

  • ANTARA AKU DAN RANIA    13

    Setelah berhasil tiba di kamar dan menutup pintu, hujan deras membasahi pipiku, ku usap wajahku dengan tanganku yang dingin dan gemetar. Rasa sakit di perut dan lapar yang bercampur membuatku merasakan kepedihan yang mendalam. Bukan tumor yang membuatku hancur, melainkan kenyataan pahit yang baru saja kutemukan. Bunga mawar yang layu di vas kristal, seperti simbol kehidupanku yang perlahan-lahan memudar tercabik oleh rahasia yang tersimpan rapat di hati suamiku rahasia yang lebih mematikan daripada penyakit yang menggerogoti tubuh ini. Di sebelah mawar itu ada beberapa pigura foto kami saat berlibur, hadiah-hadiah yang diberikan suamiku setiap Valentine, atau ulang tahun pernikahan kami semuanya kupajang di sana sebagai bentuk penghormatan dan kebanggaan tertinggi mendapatkan cintanya. "Ah ya Tuhan, kenapa baru sekarang aku menyadarinya selama 15 tahun."Bisa-bisanya aku hidup dalam kebohongan yang terbungkus jadi manis suamiku, 8 tahun terakhir melawan, aku juga berjuang melawan k

  • ANTARA AKU DAN RANIA    12

    Aku kehilangan kata-kata dan hanya bisa terdiam, air mata yang terus berjatuhan tak mampu mengubah keadaan apalagi membuat suamiku berubah dan meninggalkan istri barunya. *Matahari sore menyelinap di balik cakrawala meninggalkan langit jingga yang memudar oleh mendung. Cahaya redup di luar sana seakan menembus kegelapan dan mencengkram hatiku. Di dapur, Mas Husen terlihat menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, aroma bawang dan sosis goreng yang tercium samar, tak mampu mengundang seleraku untuk makan, justru hanya ada ketakutan yang menyengat, apa yang perceraian dan menjalani kita hidup sendirian dalam keadaan sakit, aku ngeri, tapi sepertinya itu tak ayal terjadi. Masih kupandangi wajah suamiku yang terlihat acuh tak acuh saja, dia nampak sibuk dan pandangannya hanya tertuju pada kuali dan masakannua. Ya, Husein Ali Bahanan, suamiku. Pria yang biasanya penuh kasih sayang berubah menjadi sosok yang mengerikan. Kata katanya yang kasar beberapa jam yang lalu masih terngiang

  • ANTARA AKU DAN RANIA    11

    "Apa maksudmu mengatakan cinta dan seluruh pemberianku sebagai formalitas! Jika aku tidak mencintaimu, Sudah lama aku meninggalkanmu!"kali ini ucapannya terdengar seperti tantangan dan kesombongan. Aku seperti wanita yang mudah diambil dari keluarganya lalu dikembalikan tanpa perasaan. Seperti benda yang bisa dioper atau dilempar-lempar saja. "Mungkin kau tidak tega, sebab aku juga istri yang sempurna!" Balasku yang tak kalah ingin menyombongkan diri. "Hah?!" Lelaki itu tercengang sambil menelan ludah. "Apa?" Dia seperti tidak percaya."Aku tidak memiliki alasan untuk membuatmu kecewa karena aku selalu berusaha jadi istri yang baik. Coba, cari di mana kekuranganku!! ayo sebutkan pelayanan mana yang tidak kau sukai!" Sekarang kami berhadapan dengan bola mata yang saling berkilat satu sama lain. Bahkan mungkin kalau aku maju sedikit saja kami akan saling bertabrakan. "Aku sedang jujur padamu, aku sedang menabung untuk kesembuhan dan operasimu karena itu sangat mahal, kau tahu kan ka

  • ANTARA AKU DAN RANIA    10

    Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.

  • ANTARA AKU DAN RANIA    9

    *Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan

  • ANTARA AKU DAN RANIA    8

    Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya

  • ANTARA AKU DAN RANIA    7

    "Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu.""Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. S

  • ANTARA AKU DAN RANIA    6

    Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang. Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya. "Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?"Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri. "Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikka

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status