"Umi, maafkanlah saya belum ingin bertemu siapapun dan membahas apapun. Saya butuh istirahat dan waktu untuk mencerna semua ini."
"Umi harap kau bisa menenangkan hatimu, ya Sayang. Toh, Rania dan Husain sudah menikah juga, dan mereka punya anak. Jadi, tidak adil rasanya jika kemarahanmu membuat mereka berdua bercerai. Iya kan, Kak." Aku terdiam, untuk beberapa detik aku terdiam kehilangan kata-kata. Aku tercekat dan ingin sekali memungkiri bahwa sebenarnya aku ingin Rania dan suamiku segera berpisah. Aku ingin keadaan kembali seperti semula, di mana suamiku hanya milikku saja dan dia hanya mencintaiku. Kalau waktu bisa diputar... aku ingin kembali ke beberapa tahun yang lalu, aku ingin menjaga kesehatanku dan melindungi diriku dari penyakit. Aku ingin program kehamilan lebih cepat dan membawakan anak kembar untuk suamiku, kehidupan kami akan harmonis dan bahagia, tentu saja. Tapi, sekali lagi... Itu adalah paradoks waktu yang tidak mungkin diulangi. "Umi, dengar!" "Kau pasti akan baik-baik saja sayang, umi dan adik-adik iparmu akan mendukungmu. Kau adalah istri yang baik dan menantu yang penurut!" "Ummi! Aku tahu aku siapa dan seberapa baik diriku. Tapi untuk sementara ini aku sedang marah, aku sangat-sangat marah jadi tolong jangan paksa aku untuk segera menerima kenyataan ini!" "Oh, uhm, hmm, ma-maaf!"wanita paruh baya itu terdengar gelagapan dari seberang sana. Sepertinya dia malu sekaligus gugup mendengar ucapanku. "Aku ingin wanita itu menjumpai ku dan bicara secara langsung, Aku ingin mendengar permintaan maafnya, Aku ingin dia jujur padaku Kenapa dia merebut suamiku." "Astagfirullah Kak jangan ngomong begitu, dia tidak pernah merebutnya, sampai hari ini husain adalah suamimu. Tidak ada yang direbut sebenarnya, dia hanya membantumu melaksanakan tugasmu." "Tugas untuk menghasilkan anak? Jadi yang terjadi saat ini hanya jarak antara aku dan penghasil anak suamiku, begitu ya?" "Astaga Kak, umi benar-benar terkejut dengan ucapanmu, ini bukan kamu kak...." "Berhentilah untuk terus memaksaku bersikap baik sementara kalian telah membohongiku. Bisa-bisanya semua orang menutup mulut dalam 3 tahun terakhir, Apa kalian tidak kasihan padaku, Apa kalian tidak peduli pada perasaanku sampai semua orang menutupi segalanya. Apa yang umi pikirkan hanya perasaan Rania?" "Bukan begitu, Kak?" "Ataukah karena aku sakit-sakitan dan mau mati... Jadi kalian semua sudah mencanangkan istri dan anak baru untuk suamiku?" "Astagfirullah Kak sebaiknya percakapan kita tidak usah dilanjutkan ya Kak takutnya umi dan kamu sama-sama sakit hati, jadi tolong jaga dirimu di seberang sana dan sampai nanti." Klik! Aku belum selesai marah tapi ibu mertua sudah kabur dari pembicaraan kami, buru-buru ia mengatakan pamit, lalu mematikan ponselnya di wajahku. Aku tersinggung, tapi itu lebih baik daripada kami akan bertengkar dan saling menghujat. Dan... Seperti biasa, selalu klise seperti ini, jika ada wanita yang tersakiti, mereka mereka akan pulang dan mengadu ke rumah orang tuanya, menangis sejadi-jadinya, mencoba menemukan solusi, lalu memutuskan untuk berpisah. Aku juga ingin melakukan hal yang sama, pulang ke rumah ayahku merajuk dan mengadu padanya, menangis histeris, dan mengungkapkan kemarahanku tapi bagaimana orang tuaku akan menghadapi situasi ini. Dia mungkin akan bertengkar dengan menantunya dan saling membenci. Aku pun belum bisa memastikan Apakah aku masih bersama Husain ke depannya ataukah bercerai. akan lucu kalau aku mengadu pada ayahku dan membuat suamiku ditampar, sementara akhirnya aku tidak bercerai dengannya. Kebencian dan ketegangan antara menantu dan mertua tidak akan bisa dihindari. * Kelopak bunga kenanga terlihat cerah di antara latar awan biru dengan barisan mega seputih kapas Sejak pukul 09.00 pagi aku duduk di bangku taman sambil memperhatikan lalu lalang kendaraan, dahan pepohonan yang tertiup angin juga burung pipit yang berkejaran. Sesekali menangis, satu kali aku mencoba tanpa tapi sesekali juga ada skenario balas dendam paling menyakitkan yang bisa kulakukan untuk Rania dan suamiku. Tapi bagian terakhir... aku tidak akan melakukannya kecuali mereka menyakitiku dengan cara terburuk. Kulirik layar ponselku, ada 15 panggilan terjawab dari Mas Husein, ada beberapa chat di W******p tapi aku enggan untuk melihatnya. Paling-paling dia hanya ingin minta maaf dan memaksaku untuk segera menemui istri dan anaknya. Hatiku rasanya getir menyadari bahwa seseorang sedang berjuang untuk menghalalkan hubungan dan membuat semua orang menerima itu hubungan rahasia yang ingin segera terlihat nyata. Hah, dan aku tiba-tiba tertawa. "Boleh duduk di sini?" Suara seorang pria dari belakangku menyentak lamunan ini, nadanya berat tapi terdengar merdu seperti siaran Hard Rock FM. Mataku menoleh, hatiku tersentak dan jantungku berdegup. Seorang pria berkulit putih dengan tatanan rambut belah pinggir yang rapi, senyum lebar yang menawan dan kacamata hitam membingkai wajahnya. "Silakan!" Kata orang bertemu pria tampan akan meningkatkan mood memperbaiki daya ingat dan memberi motivasi semangat, tapi aku sama sekali tidak tertarik, malah sekarang Aku ingin segera bangkit dan menjauhinya. "Aku sedang menunggu seseorang tapi lama sekali,"ujarnya sambil menggulir layar ponsel. "Oh." Sudah kubilang aku tidak tertarik Aku tidak ingin dia bicara padaku karena aku sedang sibuk dengan pikiranku sendiri, Aku tidak mau menanggapinya dan tidak ingin dia mengajakku bicara. "Apa yang dilakukan seorang wanita berpakaian rapi di jam kerja? Apa kamu sedang menunggu klien?" "Aku hanya ibu rumah tangga, bukan pekerja." "Kupikir pekerja kantoran di gedung sebelah, karena penampilanmu sangat rapi?" "Oh, tidak." Aku mencoba tersenyum tapi mataku terlihat jelas menunjukkan kesedihan, sembab perih dan air matanya banyak. "Maaf tapi apa kau baik-baik saja?" "Aku baik-baik saja, permisi!" Aku segera berdiri dan meraih tasku tapi lelaki itu malah menahanku. "Jika kau tidak baik-baik saja aku disini, kita mungkin bisa bicara atau minum kopi!" "Maaf aku tidak bicara dengan orang asing! Permisi!" Kutinggalkan pria berjas biru navy itu, sesekali menoleh padanya dan dia masih terlihat tercengang sekaligus heran padaku. Mungkin reaksiku aneh dan terlalu berlebihan tapi aku benar-benar tidak ingin bicara pada siapapun saat ini. * Langit sore terlihat kuning seperti bara yang akan redup, aku tiba di rumah dengan beberapa tas belanja setelah menghabiskan banyak waktu di supermarket untuk berkeliling, memilih bahan belanjaan, kadang menangis, kadang makan es krim lalu hanya duduk bingung selama 2 jam. Waktu menunjukkan pukul empat sore, suamiku sudah tiba di rumah dan terlihat sedang merawat tanaman. Ada beberapa koleksi mawar kaktus dan lidah buaya kesukaannya jadi dia akan menyiramnya sambil bersiul dan bersenandung gembira. Dulu itu adalah kegiatan kesukaan kami, dia merawat tanaman lalu aku akan menggodanya dari teras, sekarang aku muak, jangankan memandangnya... melihat siluet badannya dari belakang saja aku sudah marah. "Kau darimana?" Aku hanya mengangkat bahu. Sambil menunjukkan tas belanjaanku. Sebenarnya dilema sekali untuk bersikap tidak sopan pada suami sendiri. Aku ingin cemberut sepanjang waktu, aku ingin kasar setiap kali dia bertanya, dan aku ingin membuat rumah ini seperti neraka, di mana tidak ada ketentraman di dalamnya. Tapi Apa untungnya bagiku, pria itu akan benci dan semakin jauh dariku. Rumah tangga kami akan berantakan lalu kami bercerai dan tidak menyisakan perasaan apapun selain kebencian. Dia tidak akan pernah menyesal dan minta maaf, juga tidak akan pernah menyadari nilai istrinya yang berharga. Ya, setidaknya aku masih merasa berharga, Karena itulah aku menghargai integritas diriku. "Aku beli makanan dari luar, kau tidak usah repot-repot masak hari ini!" "Oh ya? Terima kasih atas kebaikanmu." "Biasa saja sayang, kita selalu melakukan ini kan." "Dulu senyummu menawan tapi sekarang kau seperti tokoh jahat yang sedang berpura-pura padaku. Hentikan senyum itu!" Ketika pria itu mendadak pucat dan malu padaku. Dia hanya menelan ludah sambil mematikan keran air yang ada di tangannya. "Mau keluar jalan-jalan denganku?" "Saat ini aku sedang berada di puncak kebencian padamu jadi aku tidak mau berdekatan, apalagi jalan-jalan denganmu. Jadi Terima kasih atas tawaranmu," balasku sambil membawa masuk tas belanja dan menghempaskannya di atas meja dapur. Dengan manisnya dia menawarkan jalan-jalan sementara angka 90 juta terus terngiang-ngiang di kepalaku. 10 juta untukku Dan aku memanfaatkannya dengan baik sementara Rania menghamburkan 90 juta dengan gembira. Astaga Aku benar-benar ingin mencabik seseorang.Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang. Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya. "Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?"Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri. "Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikka
"Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu.""Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. S
Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya
*Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan
Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.
"Apa maksudmu mengatakan cinta dan seluruh pemberianku sebagai formalitas! Jika aku tidak mencintaimu, Sudah lama aku meninggalkanmu!"kali ini ucapannya terdengar seperti tantangan dan kesombongan. Aku seperti wanita yang mudah diambil dari keluarganya lalu dikembalikan tanpa perasaan. Seperti benda yang bisa dioper atau dilempar-lempar saja. "Mungkin kau tidak tega, sebab aku juga istri yang sempurna!" Balasku yang tak kalah ingin menyombongkan diri. "Hah?!" Lelaki itu tercengang sambil menelan ludah. "Apa?" Dia seperti tidak percaya."Aku tidak memiliki alasan untuk membuatmu kecewa karena aku selalu berusaha jadi istri yang baik. Coba, cari di mana kekuranganku!! ayo sebutkan pelayanan mana yang tidak kau sukai!" Sekarang kami berhadapan dengan bola mata yang saling berkilat satu sama lain. Bahkan mungkin kalau aku maju sedikit saja kami akan saling bertabrakan. "Aku sedang jujur padamu, aku sedang menabung untuk kesembuhan dan operasimu karena itu sangat mahal, kau tahu kan ka
Aku kehilangan kata-kata dan hanya bisa terdiam, air mata yang terus berjatuhan tak mampu mengubah keadaan apalagi membuat suamiku berubah dan meninggalkan istri barunya. *Matahari sore menyelinap di balik cakrawala meninggalkan langit jingga yang memudar oleh mendung. Cahaya redup di luar sana seakan menembus kegelapan dan mencengkram hatiku. Di dapur, Mas Husen terlihat menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, aroma bawang dan sosis goreng yang tercium samar, tak mampu mengundang seleraku untuk makan, justru hanya ada ketakutan yang menyengat, apa yang perceraian dan menjalani kita hidup sendirian dalam keadaan sakit, aku ngeri, tapi sepertinya itu tak ayal terjadi. Masih kupandangi wajah suamiku yang terlihat acuh tak acuh saja, dia nampak sibuk dan pandangannya hanya tertuju pada kuali dan masakannua. Ya, Husein Ali Bahanan, suamiku. Pria yang biasanya penuh kasih sayang berubah menjadi sosok yang mengerikan. Kata katanya yang kasar beberapa jam yang lalu masih terngiang
Setelah berhasil tiba di kamar dan menutup pintu, hujan deras membasahi pipiku, ku usap wajahku dengan tanganku yang dingin dan gemetar. Rasa sakit di perut dan lapar yang bercampur membuatku merasakan kepedihan yang mendalam. Bukan tumor yang membuatku hancur, melainkan kenyataan pahit yang baru saja kutemukan. Bunga mawar yang layu di vas kristal, seperti simbol kehidupanku yang perlahan-lahan memudar tercabik oleh rahasia yang tersimpan rapat di hati suamiku rahasia yang lebih mematikan daripada penyakit yang menggerogoti tubuh ini. Di sebelah mawar itu ada beberapa pigura foto kami saat berlibur, hadiah-hadiah yang diberikan suamiku setiap Valentine, atau ulang tahun pernikahan kami semuanya kupajang di sana sebagai bentuk penghormatan dan kebanggaan tertinggi mendapatkan cintanya. "Ah ya Tuhan, kenapa baru sekarang aku menyadarinya selama 15 tahun."Bisa-bisanya aku hidup dalam kebohongan yang terbungkus jadi manis suamiku, 8 tahun terakhir melawan, aku juga berjuang melawan k
Gelap di sekitarku sementara malam terus beranjak larut, suasana ruangan temaram dengan lampu dapur yang menyala samar, saat kubuka mata perlahan dan menyadari diriku meringkuk di sofa, jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam.Jarumnya yang berdetak seperti palu memukul jantungku, menggema di telinga dan menciptakan suasana yang suram. Aku menggigil, seakan suhu ruangan turun drastis. Kupeluk diriku sendiri sambil mengusap kedua tanganku perlahan, gigiku beradu menahan hawa yang menusuk hingga ke tulang. "Apa dia belum pulang juga?" bisikku dalam hati. "Kenapa dia tidak kembali?"Kota sudah lengang, begitu juga lingkungan sekitarku yang tertidur, jalanan sepi dengan sesekali kendaraan yang melintas, aku khawatir, kenapa dia belum juga pulang. Lalu aku teringat, bohong mungkin ia telah bergelung dalam selimut yang hangat bersama istri dan anaknya. Tidak mungkin ia akan memilih berkendara menembus cuaca dingin ini demi kembali pada istri mandul yang tidak bisa memberi
Setelah berhasil tiba di kamar dan menutup pintu, hujan deras membasahi pipiku, ku usap wajahku dengan tanganku yang dingin dan gemetar. Rasa sakit di perut dan lapar yang bercampur membuatku merasakan kepedihan yang mendalam. Bukan tumor yang membuatku hancur, melainkan kenyataan pahit yang baru saja kutemukan. Bunga mawar yang layu di vas kristal, seperti simbol kehidupanku yang perlahan-lahan memudar tercabik oleh rahasia yang tersimpan rapat di hati suamiku rahasia yang lebih mematikan daripada penyakit yang menggerogoti tubuh ini. Di sebelah mawar itu ada beberapa pigura foto kami saat berlibur, hadiah-hadiah yang diberikan suamiku setiap Valentine, atau ulang tahun pernikahan kami semuanya kupajang di sana sebagai bentuk penghormatan dan kebanggaan tertinggi mendapatkan cintanya. "Ah ya Tuhan, kenapa baru sekarang aku menyadarinya selama 15 tahun."Bisa-bisanya aku hidup dalam kebohongan yang terbungkus jadi manis suamiku, 8 tahun terakhir melawan, aku juga berjuang melawan k
Aku kehilangan kata-kata dan hanya bisa terdiam, air mata yang terus berjatuhan tak mampu mengubah keadaan apalagi membuat suamiku berubah dan meninggalkan istri barunya. *Matahari sore menyelinap di balik cakrawala meninggalkan langit jingga yang memudar oleh mendung. Cahaya redup di luar sana seakan menembus kegelapan dan mencengkram hatiku. Di dapur, Mas Husen terlihat menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, aroma bawang dan sosis goreng yang tercium samar, tak mampu mengundang seleraku untuk makan, justru hanya ada ketakutan yang menyengat, apa yang perceraian dan menjalani kita hidup sendirian dalam keadaan sakit, aku ngeri, tapi sepertinya itu tak ayal terjadi. Masih kupandangi wajah suamiku yang terlihat acuh tak acuh saja, dia nampak sibuk dan pandangannya hanya tertuju pada kuali dan masakannua. Ya, Husein Ali Bahanan, suamiku. Pria yang biasanya penuh kasih sayang berubah menjadi sosok yang mengerikan. Kata katanya yang kasar beberapa jam yang lalu masih terngiang
"Apa maksudmu mengatakan cinta dan seluruh pemberianku sebagai formalitas! Jika aku tidak mencintaimu, Sudah lama aku meninggalkanmu!"kali ini ucapannya terdengar seperti tantangan dan kesombongan. Aku seperti wanita yang mudah diambil dari keluarganya lalu dikembalikan tanpa perasaan. Seperti benda yang bisa dioper atau dilempar-lempar saja. "Mungkin kau tidak tega, sebab aku juga istri yang sempurna!" Balasku yang tak kalah ingin menyombongkan diri. "Hah?!" Lelaki itu tercengang sambil menelan ludah. "Apa?" Dia seperti tidak percaya."Aku tidak memiliki alasan untuk membuatmu kecewa karena aku selalu berusaha jadi istri yang baik. Coba, cari di mana kekuranganku!! ayo sebutkan pelayanan mana yang tidak kau sukai!" Sekarang kami berhadapan dengan bola mata yang saling berkilat satu sama lain. Bahkan mungkin kalau aku maju sedikit saja kami akan saling bertabrakan. "Aku sedang jujur padamu, aku sedang menabung untuk kesembuhan dan operasimu karena itu sangat mahal, kau tahu kan ka
Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.
*Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan
Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya
"Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu.""Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. S
Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang. Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya. "Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?"Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri. "Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikka