"Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu."
"Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami. Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. Sakit mana lagi yang akan memecahkan rekor sakit terburuk di jiwaku. Ucapan mana lagi yang harus terlontar, agar aku mati berdiri dan dia ketawa bahagia, serta puas menyaksikan segalanya. Aku terdiam, mulutku setengah terbuka tapi aku kehilangan kata-kata. Melawan bukan bagian dari tindakan dan kebiasaanku sebagai istri yang berbakti. Pun aku bukan wanita yang pemarah, tapi pukulan fakta seperti gelombang tsunami yang terjadi dalam dua hari terakhir lalu memporak-porandakan prinsip dan idealismeku. . Dulu, tugas seorang istri adalah menuruti dan berbakti tapi sekarang, aku harus mengimbangi keadaan, bersabar, menambahkan kelapangan dadaku serta mencoba berdiri diantara penderitaan yang makin bertambah setiap harinya. Haruskah aku seperti ini sampai akhir ataukah aku akan berakhir gila? Kalau aku diam saja Mungkin aku akan menggantung tak bernyawa di seutas tali, atau mungkin menjadi gelandangan dengan rambut berantakan di sepanjang tol Jagorawi. Aku harus bagaimana? "Aku minta maaf atas ucapanku tapi penting bagiku untuk bersikap adil dan membela istriku saat seseorang menilainya dengan anggapan yang buruk!" "Iya, kau benar," jawabku singkat, kendati begitu air mata ini mengalir ke sudut bibir dan membuatku merasakan sensasi asin. "Rania wanita yang baik, qndai ia tidak baik Aku tidak setuju menikahinya. Dia adalah sepupuku, ibunya adalah bibi kesayanganku, saudara-saudaranya adalah sepupu terbaik yang pernah kumiliki jadi bagaimanakah aku membiarkan seseorang melukainya." "Penting untuk membuat seorang istri tidak terluka, tapi bagaimana dengan istri lainnya? Aku juga anak dari seorang pria, aku juga seorang putri yang diharapkan kebahagiaan oleh orang tuanya. Aku juga seorang wanita yang ingin sembuh dan membahagiakan suamiku..." Sampai di sana aku tidak sanggup melanjutkan perkataanku, sebab tenggorokan ini seperti tercekik, hanya air mata yang terus menetes dan membuat wajah ini tak berbentuk, bengkak, sembab menyedihkan, serta mengerikan. "Karena itulah aku meminta keikhlasanmu," jawabnya sambil mendekat dan mencoba memelukku tapi, seperti biasa aku menjauh darinya. "Jangan terus menghindar!" "Aku tidak mau Mas, aku sudah tidak kuasa," jawabku lemas, energiku terkuras dan pikiran-pikiran yang menumpuk menjadikan diri ini semakin menderita." Mas Husein memelukku, membuatku menangis di antara dadanya yang bidang. Aku menjerit dan memukul tapi dia bergeming dan hanya terus mencoba untuk memelukku. Aku tahu ini puncak penderitaan dan hari terburuk dalam hidupku, namun ke mana aku harus berlari, dulu pelukannya adalah tempat pulang dan bagian ternyaman dari diriku, tapi sekarang aku kehilangan segalanya. Dalam tangisanku yang pilu aku mulai menyadarkan diriku bahwa, aku sudah harus mulai berkemas dari hati suamiku, aku harus membingkai kenangan, melipat semua harapan, menggulung mimpi-mimpi lalu menyimpannya rapat-rapat untuk diriku sendiri. Mungkin saat hatiku terkunci kembali, aku bersedia melangkah untuk membiarkannya bahagia bersama Rania.Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya
*Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan
Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.
"Apa maksudmu mengatakan cinta dan seluruh pemberianku sebagai formalitas! Jika aku tidak mencintaimu, Sudah lama aku meninggalkanmu!"kali ini ucapannya terdengar seperti tantangan dan kesombongan. Aku seperti wanita yang mudah diambil dari keluarganya lalu dikembalikan tanpa perasaan. Seperti benda yang bisa dioper atau dilempar-lempar saja. "Mungkin kau tidak tega, sebab aku juga istri yang sempurna!" Balasku yang tak kalah ingin menyombongkan diri. "Hah?!" Lelaki itu tercengang sambil menelan ludah. "Apa?" Dia seperti tidak percaya."Aku tidak memiliki alasan untuk membuatmu kecewa karena aku selalu berusaha jadi istri yang baik. Coba, cari di mana kekuranganku!! ayo sebutkan pelayanan mana yang tidak kau sukai!" Sekarang kami berhadapan dengan bola mata yang saling berkilat satu sama lain. Bahkan mungkin kalau aku maju sedikit saja kami akan saling bertabrakan. "Aku sedang jujur padamu, aku sedang menabung untuk kesembuhan dan operasimu karena itu sangat mahal, kau tahu kan ka
Aku kehilangan kata-kata dan hanya bisa terdiam, air mata yang terus berjatuhan tak mampu mengubah keadaan apalagi membuat suamiku berubah dan meninggalkan istri barunya. *Matahari sore menyelinap di balik cakrawala meninggalkan langit jingga yang memudar oleh mendung. Cahaya redup di luar sana seakan menembus kegelapan dan mencengkram hatiku. Di dapur, Mas Husen terlihat menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, aroma bawang dan sosis goreng yang tercium samar, tak mampu mengundang seleraku untuk makan, justru hanya ada ketakutan yang menyengat, apa yang perceraian dan menjalani kita hidup sendirian dalam keadaan sakit, aku ngeri, tapi sepertinya itu tak ayal terjadi. Masih kupandangi wajah suamiku yang terlihat acuh tak acuh saja, dia nampak sibuk dan pandangannya hanya tertuju pada kuali dan masakannua. Ya, Husein Ali Bahanan, suamiku. Pria yang biasanya penuh kasih sayang berubah menjadi sosok yang mengerikan. Kata katanya yang kasar beberapa jam yang lalu masih terngiang
Setelah berhasil tiba di kamar dan menutup pintu, hujan deras membasahi pipiku, ku usap wajahku dengan tanganku yang dingin dan gemetar. Rasa sakit di perut dan lapar yang bercampur membuatku merasakan kepedihan yang mendalam. Bukan tumor yang membuatku hancur, melainkan kenyataan pahit yang baru saja kutemukan. Bunga mawar yang layu di vas kristal, seperti simbol kehidupanku yang perlahan-lahan memudar tercabik oleh rahasia yang tersimpan rapat di hati suamiku rahasia yang lebih mematikan daripada penyakit yang menggerogoti tubuh ini. Di sebelah mawar itu ada beberapa pigura foto kami saat berlibur, hadiah-hadiah yang diberikan suamiku setiap Valentine, atau ulang tahun pernikahan kami semuanya kupajang di sana sebagai bentuk penghormatan dan kebanggaan tertinggi mendapatkan cintanya. "Ah ya Tuhan, kenapa baru sekarang aku menyadarinya selama 15 tahun."Bisa-bisanya aku hidup dalam kebohongan yang terbungkus jadi manis suamiku, 8 tahun terakhir melawan, aku juga berjuang melawan k
Gelap di sekitarku sementara malam terus beranjak larut, suasana ruangan temaram dengan lampu dapur yang menyala samar, saat kubuka mata perlahan dan menyadari diriku meringkuk di sofa, jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam.Jarumnya yang berdetak seperti palu memukul jantungku, menggema di telinga dan menciptakan suasana yang suram. Aku menggigil, seakan suhu ruangan turun drastis. Kupeluk diriku sendiri sambil mengusap kedua tanganku perlahan, gigiku beradu menahan hawa yang menusuk hingga ke tulang. "Apa dia belum pulang juga?" bisikku dalam hati. "Kenapa dia tidak kembali?"Kota sudah lengang, begitu juga lingkungan sekitarku yang tertidur, jalanan sepi dengan sesekali kendaraan yang melintas, aku khawatir, kenapa dia belum juga pulang. Lalu aku teringat, bohong mungkin ia telah bergelung dalam selimut yang hangat bersama istri dan anaknya. Tidak mungkin ia akan memilih berkendara menembus cuaca dingin ini demi kembali pada istri mandul yang tidak bisa memberi
Pedih rasanya hati saat diperlakukan seperti orang asing oleh orang yang paling mencintaimu. Sosok favorit yang selalu jadi panutan hidup dan alasan semangatmu selama ini, kini jadi pelajaran paling berharga, bahwa kau seharusnya tidak mengandalkan siapapun dalam hidup. Memandangi wajahku di pantulan cermin, kusadari aku semakin buruk rupa. Kesehatan dan kecantikanku berubah jadi mengerikan. Aku yang dulunya energik sehat jiwa raga, menarik sejarah penampilan dan karir, harus terhenti karena permintaan suami yang ingin aku fokus di rumah. Kupikir aku akan jadi istri yang menikmati hidup tapi tumor yang menggerogoti rahimku membuatku tak bisa berbuat banyak."Aku menyesal tidak menyadari keadaan ini sejak awal, harusnya aku segera memeriksakan diri saat menstruasiku tidak normal cenderung pendarahan, aku sering pula air kecil dan gangguan pencernaan. Kupikir aku hamil saat perutku terasa membesar dan penuh, juga nyeri saat berhubungan denganmu, serta nyeri panggulku yang kian hari kia
Makan malam berlangsung dengan nyaman, duduk di resto dari lantai lima sebuah gedung mewah, dengan pemandangan lampu-lampu kota yang cantik dia tambah berhadapan dengan pria tampan yang kata-katanya selalu terdengar lembut dan menyenangkan, menciptakan suasana berbeda yang tidak terbeli harganya. Terlebih ia terus membuat jantungku bergetar. Aku tidak ingin menyebut ini sebagai ketergantungan emosional atau pelampiasan sebab aku baru saja berpisah dari suamiku. Aku menyebut ini keberuntungan dan rezeki karena sangat jarang seorang berasal dari kalangan menengah mengenal seorang pengusaha terkenal lalu menjadi begitu dekat. Kadang aku berpikir ini hanya euforia, hanya keberuntungan sesaat atau aku terlalu terbawa perasaan sebab mengenal orang sesempurna Tuan Fadli adalah hal yang jarang bisa dirasakan oleh semua orang. Aku harus mencubit tanganku berkali-kali untuk memastikan bahwa ini bukan mimpi. Ini kenyataan yang sedang kualami. Aku sedang memakai pakaian terbaikku, duduk menikm
Saat dia menyebut namaku ada ledakan flare warna warni di hati ini, ribuan bunga seakan jatuh dari langit membuatku tak bisa mengendalikan senyum. Tanganku seketika panas dingin dan berkeringat membuat jantung ini berdegup kencang.Lalu, aku hanya bisa tersipu malu dan menundukkan kepalaku."Aku menyukaimu, tapi tenang saja, kau jangan takut, aku tidak buru buru untuk segera melamar dan membuatmu tidak nyaman, aku tahu kau masih dalam proses menata hatimu, jadi aku akan menunggu dengan sabar."Hmm, dia pintar sekali membaca suasana hatiku, tapi buru buru pun tak masalah, aku menyukainya. "Ini mengejutkan sekali, tapi, saya menghargainya.""Apa kau bisa memberi sinyal bahwa kau akan menerima perasaanku?" tanyanya sambil menatap mataku, di lokasi parkir itu, aku rasanya ingin lari keluar dari mobil dan menghindarinya tapi aku tahu bahwa ia menunggu jawabanku. Aku ingin menjawab iya, namun aku tak mau terlihat buru buru menerima dan kesannya menjadikan dia pelarianku, mungkin saja kan,
Kupandangi diriku di depan cermin, kupandangi gamis putih yang kukenakan, juga jilbab senada, jam tangan dan bros cantik yang menampilkan presentasi diriku yang sempurna. Ya, tidaknya ini adalah penampilan terbaik yang bisa kuberikan malam ini untuk diriku sendiri. Kuraih ponselku dan kutunggu kabar dari tuan Fadli, kapan dia merapat ke rumahku dan kapan dia berdiri di depan pintu gerbang untuk membawa diri ini pada situasi makan malam yang menyenangkan."Oh dia belum memberiku kabar, kapan dia akan mulai jalan." Jujur saja aku antusias, aku belum bilang aku jatuh cinta meski jatuh cinta adalah hal manusiawi. Aku tidak akan secepat itu menilai ini sebagai hal yang membuat diriku terbang melayang. Menurut penelitian terbaru Cinta itu bukan seperti emosi yang Mudah dihilangkan, dia seperti kebutuhan fisiologis tubuh yang sama halnya dengan lapar dan haus. Ketika seseorang lapar atau haus mereka akan mencari makan dan minuman.Maka, seperti itulah cinta mendeteksi kebutuhan manusia ak
Kupandang wajahnya kupandangi dia dengan seksama hingga aku mampu meneliti betapa apa yang ia ucapkan itu adalah benar bermakna dari hati atau mungkin hanya lampiasan perasaan emosi dan kecewa. "Iya benar masalahnya ada padaku. Aku tidak bisa diduakan dan itu adalah kesepakatan Kita sejak awal. Jika kau menduakanku maka aku akan pergi.""Tapi itu pembicaraan 15 tahun yang lalu saat aku dan kamu masih menggebu dan saling mencintai. Saat kau sakit dan tidak bisa memberiku anak maka keputusanmu itu opsional bisa berubah. Apakah aku salah dan harus bertahan setia padamu sementara aku tidak bisa melanjutkan keturunanku?""Kita sudah bicara banyak," jawabku sambil menutup koper, dan tersenyum manis padanya. "Kenapa kau menghindari ucapanku?""Maaf aku sudah 30 menit di sini, aku harus pulang sebelum timbul fitnah dan asumsi negatif dari para tetangga terlebih jika ini sampai ke telinga istrimu.""Tapi kau masih istriku masih status kita sedang menggantung di pengadilan.""Oh ya?""Sampai
Lalu kami pun mengurus perceraianku, seminggu berlalu setelah pertemuan dengan keluarga Mas Husein Ayah membantuku untuk memasukkan berkas ke pengadilan agama. Mendampingiku mencatatkan gugatan serta membantuku membayar biayanya. Setiap kali dia menatapku dengan sedih meski aku sendiri berusaha tersenyum di hadapannya, Ayah selalu menguatkanku, menggenggam tanganku dan mengatakan bahwa semuanya akan berubah dan hari esok akan jadi baik-baik saja meski statusku sendiri."Kak, ayah akan selalu mendukungmu. Fokuslah pada impian dan kehidupanmu, bila kau sembuh kau harus bahagiakan dirimu sendiri. Berkarir dengan baik dan jadilah sukses.""Iya, ayah.""Ayah mau kau jadi lebih kuat.""Insya Allah."Sepulangnya dari pengadilan agama, aku dan ayah mampir di restoran seafood kesukaan kami, aku dan dia makan bersama dan menikmati hidangan favorit keluarga yang selalu kami beli sejak aku remaja. Kami berbincang sambil makan berdua, memikirkan rencana masa depan, apa yang akan aku lakukan den
(jika kau tidak keberatan tolong hentikan mengirim pesan ke ponsel aku sebab aku bukan lagi istrimu!)(Kalau begitu, sejak kapan kita bercerai? Aku tidak berasa menandatangani persetujuan di pengadilan!)(Cukup, aku sedang berbincang dengan bosku dan aku tidak mau terlihat sibuk dan membuatnya tersinggung!) Aku sengaja mengirimkan pesan seperti itu untuk memberinya pelajaran, ketika dia terus menyiksa perasaanku dengan kecemburuan, kebahagiaannya bersama Rania, maka aku pun bisa memberikan pukulan yang lebih telak. (Dasar jalang!) Ungkapnya dengan emoji wajah merah padam.Pukul 04.00 sore aku kembali ke rumah, aku dorong pintu gerbang dan mendapati kedua orang tuaku sedang duduk di teras dan berbincang. Bunda terlihat khawatir dan segera menyongsongku sementara aku terheran-heran dengan ekspresinya yang cermat. "Kau Baik-baik saja kan Nak?""Iya aku baik-baik saja! Ada apa Bunda?""Beberapa saat yang lalu suamimu datang ke rumah dan memberitahu betapa kau benar-benar berselingkuh d
Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Mas Husein, pria itu terintimidasi, di antara semua orang yang bergelar dan punya posisi hanya dia satu-satunya yang kini terlihat pucat dan ketakutan. Riuh pesta, lagu-lagu yang diputar dan suara tawa-tawa para karyawan tak serta merta membuatnya cukup membaur. Lelaki duduk di pojok acara sambil menatap nanar pada semua orang. Sepertinya dia mendapat pukulan syok yang sangat besar, sepertinya dia sudah menyadari sedang berurusan dengan orang yang salah, berani memukul, memprovokasi dan menghadang Mas Fadli. Tapi herannya, Mas Fadli sama sekali tidak menunjukkan Siapa dirinya yang sebenarnya saat dia menghadapi sikap jahat Mas Husein, kalau mau, dia bisa menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya dan menghukum Mas Husein dengan cara memecatnya, tapi Mas Fadli memilih bersikap elegan, memilih untuk tetap tenang dan biarkan waktu yang membuktikan segalanya. Aku masih duduk bersama Viora, dua orang rekan lain nya juga duduk bersamaku. Tiba-tiba Mas H
"Bukannya tidak nyaman, saya sedikit canggung karena bos besar malah memilih duduk di meja karyawan biasa." di tengah alunan lagu dan keriuhan karyawan yang mengobrol dengan sesamanya. Suara kami timbul tenggelam tapi aku bisa mendengar dengan jelas ucapan Mas Fadli serta melihat bagaimana ia menatapku dengan binar mata yang sedikit berbeda. "Aku biasa membaur dengan semua orang jadi tenang saja," jawabnya sambil mengedipkan mata. Fiora melirik kami dan ia terlihat menahan tawa. Sepertinya gadis itu menyadari bahwa ada yang berbeda dengan sikap bosnya, pun aku pun memahami kalau dia memiliki kepedulian yang berbeda padaku tapi aku tidak segera menyimpulkannya sebagai perasaan cinta atau ketertarikan yang berlebihan.Anggap itu kebaikan dan kepedulian seorang bos pada bawahannya. "Sepertinya kau tidak betah di situasi yang ramai seperti ini!""Sebenarnya iya tapi Saya menghargai acara pestanya. Jadi saya akan baik-baik saja.""Mau ikut bicara di balkon denganku, kebetulan aku juga i
"keputusan Apa yang kau ambil tanpa berdiskusi lebih dahulu pada suamimu?" Seketika tangisan suamiku terhenti, matanya mendongak dan melihat padaku dengan lekat. "Aku tetap ingin berpisah. Ini jalan terbaik untuk kita.""Namun aku tetap ingin berusaha...""Tidak Mas sudah cukup! Mari kita selesaikan semua ini baik-baik dan kita bagi Apa yang harus kita bagi.""Tapi semuanya milikmu Alya, semua yang kuberikan adalah milikmu dan aku tidak akan mengambilnya kembali.""Kalau begitu aku bebas mempergunakan sesuka hatiku?""Iya.""Aku tetap memutuskan berpisah denganmu. Tentang rumah itu aku tidak tertarik lagi... Kau bisa menyimpannya untuk kau dan keluargamu, juga uang tabungan dan perhiasanku. Aku cuma minta agar kau mengembalikan surat-menyurat dan berkas-berkasku agar aku bisa menyelesaikan urusan kita.""Kenapa kau begitu keras hati Aliyah?""Dikhianati itu sakit, Mas. Daripada menyimpan luka itu terus-menerus lebih baik kita selesaikan saja."Aku bangun dari tempat duduk agar perdeb