Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang.
Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya. "Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?" Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri. "Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikkan badan mencoba untuk tidak terlihat meneteskan air mata di hadapannya, percuma aku menangis, toh itu tidak akan memunculkan empati apalagi membuat dia meninggalkan Rania. Lelaki itu telah bersamanya, mereka berumah tangga dan memiliki anak. Bagaimana aku akan bertindak dan membuat pernikahan orang lain menjadi hancur, jujur saja, itu bukan gayaku. Hanya saja aku butuh kepastian apakah dia masih mencintaiku ataukah sebaiknya kami berpisah saja. "Aku tidak tahu aku harus memulai dari mana, tapi, kurasa aku benar-benar malu padamu. Aku merasa bersalah telah membohongimu dan ini adalah perasaan terburuk yang kurasakan," ucapnya perlahan. "Syukurlah kalau kau masih memiliki rasa malu tapi bagaimana kau akan mengatasi semua ini?" Tanyaku sambil menahan sensasi rasa sakit yang mulai menjalar di sekitar perutku. Aku lupa minum obat jadi itu membuat sakitnya makin nyeri. "Apa kau sudah minum obat?" Pria itu nampak prihatin padaku dia mendekat sambil mengulurkan tangannya tapi aku segera mengisyaratkan agar dia tidak perlu membantuku. Aku mencegahnya dengan tanganku agar dia terus menjaga jaraknya. "Uhm, Aku hanya ingin membantumu!" "Aku baik-baik saja, mulai sekarang aku baik-baik saja." "Tapi kau sakit, Sayang." "Jika kau tahu bahwa aku sangat menderita dengan penyakitku, Kenapa tak kau gunakan waktu dan tenagamu untuk mencurahkan cinta padaku, agar aku bisa bersemangat untuk sembuh. Kenapa di belakangku kau bahagia dengan wanita lain sementara kau pura-pura perhatian padaku!" "Tidak ada yang pura-pura! Semua ekspresi dan perlakuanku adalah sikap yang jujur! Kau istriku dan aku mencintaimu. Permasalahan hadirnya Rania dan Aisyah itu hanya tambahan dalam hidupku!" "Tambahan? Seperti bonus misalnya?" "Bukan begitu?" "Seperti juga bonus dari kantormu yang tidak kuketahui jumlahnya?" "Jangan mulai lagi, Alya!" "Apalagi yang kau sembunyikan dariku? Jumlah gaji, istri anak, serta keluargamu yang membungkam, semuanya menghianatiku!" ujarku yang tak sanggup lagi menahan air mata. Pecah tangisanku hingga membuatku makin merasa kesakitan. "Dengar tunggu dulu!" Dia mencoba memberi isyarat agar aku tenang. "Bisakah kita bicara tidak saling berteriak lagi!" "Tidak perlu ada pembicaraan, aku baik-baik saja dan aku tidak lagi membutuhkanmu. Bila kau masih peduli maka penuhi saja tanggung jawabmu sementara ini sebagai suami." "Sementara apanya kau adalah istriku dan aku adalah suamimu selamanya! Apa yang sementara?!" "Sementara aku menata hati dan menegaskan keinginanku. Apakah aku masih tetap ingin jadi istrimu atau kita berpisah saja!" Dengan tangan gemetar dan kepala pusing susah payah aku meraih pintu kulkas dan mencari obatku, melihatku terseok-seok pria itu ingin menolong tapi dia sangat segan. Kutumpahkan obat di atas telapak tangan lalu menegaknya dengan cepat, kupejamkan mata seiring dengan air dingin yang menjalari tenggorokan dan lambungku. Air mata ini masih terus mengucur sementara pria itu hanya bisa mendecak perlahan sambil menundukkan kepalanya. "Daripada kau hanya berdiri lebih baik bereskan saja belanjaanku, Aku mau ke kamar dan tidur,", ujarku sambil mengemas air mata lalu perlahan melangkah, tertatih sambil memegangi dinding menuju kamarku. Jujur saja tumor yang ada di rahimku sangat menyiksa, bulan depan aku akan menjalani operasi dan mencoba bertahan untuk sembuh. Tapi sekarang alasan satu-satunya yang membuatku ingin tetap hidup telah memberikan luka yang begitu dalam dengan pengkhianatannya, jadi aku seperti kehilangan setengah motivasi hidupku. * Hujan merintikkan tetesan bening ke atas atap, dedaunan bergoyang, tiupan angin sesekali membuat dahan pohon bergoyang ke kanan dan ke kiri kadang terlihat kadang tidak diantara jendela kamarku. Warna dedaunan hijau dan rintik air, seperti simponi yang saling melengkapi sementara aku masih merana di pembaringanku. Kutemukan, segelas jus dan kue di nakas sebelahku, begitu terbangun dari tidur ini. Aku yakin itu adalah bawaan dari Mas Husein. Dia selalu mencoba ingin memberiku perhatian-perhatian kecil yang dulunya membuatku tersenyum bahagia. Tapi sekarang segalanya terasa getir. * "Kamu sudah bangun sayang?" "Hmmm." "Aku siapkan sup ayam dan bakso yang kau sukai di saat dingin-dingin seperti ini!" "Terima kasih Tapi aku sedang tidak mau makan apapun. Aku baik-baik saja dan aku bisa mengurus makananku sendiri,". balasku. "Jangan berpura-pura keras sementara kau selalu membutuhkanku, kau manja dan sangat bergantung pada suamimu ini." "Itu benar sekali tapi itu dulu! Sekarang kau tidak lebih dari anak mertuaku dan suami dari seseorang yang bernama Rania!" "Dan aku tetap juga suami dari wanita cantik bernama Alya." "Aku hanya istri tidak berguna wanita penyakitan yang tidak bisa memberimu harapan dan anak!" "Jangan merendahkan dirimu!" "Perbuatanmu yang telah merendahkanku! Aku berjuang dengan penyakitku yang mengerikan ini, aku terus berdoa pada Tuhan agar aku bisa sembuh secepatnya dan melahirkan setidaknya seorang putra! Tapi diam-diam kau telah memiliki putri dari wanita lain! Aku merasa jadi wanita paling gagal di dunia ini!" Aku berteriak meninggikan suaraku seiring dengan tetesan yang kembali mengaburkan pandangan mata. Aku ingin tidur untuk memperbaiki perasaanku tapi bangun tidur masih saja dipenuhi dengan luka-luka. Meski aku tahu Mas Husein berusaha membujuk dan bersikap baik tetap saja aku terluka, sikapnya seperti sebuah sandiwara yang semakin menancapkan duri-duri di hatiku. Aku sudah tidak sanggup lagi. "Hei tenanglah, Jangan berteriak, itu membuat sakitmu makin parah." "Peduli apa saat aku sedang berada di puncak kemarahanku! Dan ini... Apa semua ini! Aku tidak lagi menghargainya!" Prang! Nampan berisi segelas jus mangga dan croisant itu terlempar ke lantai dan pecah berkeping-keping. Pria itu terkejut tapi aku hanya memandangnya dengan dingin."Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu.""Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. S
Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya
*Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan
Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.
"Apa maksudmu mengatakan cinta dan seluruh pemberianku sebagai formalitas! Jika aku tidak mencintaimu, Sudah lama aku meninggalkanmu!"kali ini ucapannya terdengar seperti tantangan dan kesombongan. Aku seperti wanita yang mudah diambil dari keluarganya lalu dikembalikan tanpa perasaan. Seperti benda yang bisa dioper atau dilempar-lempar saja. "Mungkin kau tidak tega, sebab aku juga istri yang sempurna!" Balasku yang tak kalah ingin menyombongkan diri. "Hah?!" Lelaki itu tercengang sambil menelan ludah. "Apa?" Dia seperti tidak percaya."Aku tidak memiliki alasan untuk membuatmu kecewa karena aku selalu berusaha jadi istri yang baik. Coba, cari di mana kekuranganku!! ayo sebutkan pelayanan mana yang tidak kau sukai!" Sekarang kami berhadapan dengan bola mata yang saling berkilat satu sama lain. Bahkan mungkin kalau aku maju sedikit saja kami akan saling bertabrakan. "Aku sedang jujur padamu, aku sedang menabung untuk kesembuhan dan operasimu karena itu sangat mahal, kau tahu kan ka
Aku kehilangan kata-kata dan hanya bisa terdiam, air mata yang terus berjatuhan tak mampu mengubah keadaan apalagi membuat suamiku berubah dan meninggalkan istri barunya. *Matahari sore menyelinap di balik cakrawala meninggalkan langit jingga yang memudar oleh mendung. Cahaya redup di luar sana seakan menembus kegelapan dan mencengkram hatiku. Di dapur, Mas Husen terlihat menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, aroma bawang dan sosis goreng yang tercium samar, tak mampu mengundang seleraku untuk makan, justru hanya ada ketakutan yang menyengat, apa yang perceraian dan menjalani kita hidup sendirian dalam keadaan sakit, aku ngeri, tapi sepertinya itu tak ayal terjadi. Masih kupandangi wajah suamiku yang terlihat acuh tak acuh saja, dia nampak sibuk dan pandangannya hanya tertuju pada kuali dan masakannua. Ya, Husein Ali Bahanan, suamiku. Pria yang biasanya penuh kasih sayang berubah menjadi sosok yang mengerikan. Kata katanya yang kasar beberapa jam yang lalu masih terngiang
Setelah berhasil tiba di kamar dan menutup pintu, hujan deras membasahi pipiku, ku usap wajahku dengan tanganku yang dingin dan gemetar. Rasa sakit di perut dan lapar yang bercampur membuatku merasakan kepedihan yang mendalam. Bukan tumor yang membuatku hancur, melainkan kenyataan pahit yang baru saja kutemukan. Bunga mawar yang layu di vas kristal, seperti simbol kehidupanku yang perlahan-lahan memudar tercabik oleh rahasia yang tersimpan rapat di hati suamiku rahasia yang lebih mematikan daripada penyakit yang menggerogoti tubuh ini. Di sebelah mawar itu ada beberapa pigura foto kami saat berlibur, hadiah-hadiah yang diberikan suamiku setiap Valentine, atau ulang tahun pernikahan kami semuanya kupajang di sana sebagai bentuk penghormatan dan kebanggaan tertinggi mendapatkan cintanya. "Ah ya Tuhan, kenapa baru sekarang aku menyadarinya selama 15 tahun."Bisa-bisanya aku hidup dalam kebohongan yang terbungkus jadi manis suamiku, 8 tahun terakhir melawan, aku juga berjuang melawan k
Gelap di sekitarku sementara malam terus beranjak larut, suasana ruangan temaram dengan lampu dapur yang menyala samar, saat kubuka mata perlahan dan menyadari diriku meringkuk di sofa, jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam.Jarumnya yang berdetak seperti palu memukul jantungku, menggema di telinga dan menciptakan suasana yang suram. Aku menggigil, seakan suhu ruangan turun drastis. Kupeluk diriku sendiri sambil mengusap kedua tanganku perlahan, gigiku beradu menahan hawa yang menusuk hingga ke tulang. "Apa dia belum pulang juga?" bisikku dalam hati. "Kenapa dia tidak kembali?"Kota sudah lengang, begitu juga lingkungan sekitarku yang tertidur, jalanan sepi dengan sesekali kendaraan yang melintas, aku khawatir, kenapa dia belum juga pulang. Lalu aku teringat, bohong mungkin ia telah bergelung dalam selimut yang hangat bersama istri dan anaknya. Tidak mungkin ia akan memilih berkendara menembus cuaca dingin ini demi kembali pada istri mandul yang tidak bisa memberi
Gelap di sekitarku sementara malam terus beranjak larut, suasana ruangan temaram dengan lampu dapur yang menyala samar, saat kubuka mata perlahan dan menyadari diriku meringkuk di sofa, jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam.Jarumnya yang berdetak seperti palu memukul jantungku, menggema di telinga dan menciptakan suasana yang suram. Aku menggigil, seakan suhu ruangan turun drastis. Kupeluk diriku sendiri sambil mengusap kedua tanganku perlahan, gigiku beradu menahan hawa yang menusuk hingga ke tulang. "Apa dia belum pulang juga?" bisikku dalam hati. "Kenapa dia tidak kembali?"Kota sudah lengang, begitu juga lingkungan sekitarku yang tertidur, jalanan sepi dengan sesekali kendaraan yang melintas, aku khawatir, kenapa dia belum juga pulang. Lalu aku teringat, bohong mungkin ia telah bergelung dalam selimut yang hangat bersama istri dan anaknya. Tidak mungkin ia akan memilih berkendara menembus cuaca dingin ini demi kembali pada istri mandul yang tidak bisa memberi
Setelah berhasil tiba di kamar dan menutup pintu, hujan deras membasahi pipiku, ku usap wajahku dengan tanganku yang dingin dan gemetar. Rasa sakit di perut dan lapar yang bercampur membuatku merasakan kepedihan yang mendalam. Bukan tumor yang membuatku hancur, melainkan kenyataan pahit yang baru saja kutemukan. Bunga mawar yang layu di vas kristal, seperti simbol kehidupanku yang perlahan-lahan memudar tercabik oleh rahasia yang tersimpan rapat di hati suamiku rahasia yang lebih mematikan daripada penyakit yang menggerogoti tubuh ini. Di sebelah mawar itu ada beberapa pigura foto kami saat berlibur, hadiah-hadiah yang diberikan suamiku setiap Valentine, atau ulang tahun pernikahan kami semuanya kupajang di sana sebagai bentuk penghormatan dan kebanggaan tertinggi mendapatkan cintanya. "Ah ya Tuhan, kenapa baru sekarang aku menyadarinya selama 15 tahun."Bisa-bisanya aku hidup dalam kebohongan yang terbungkus jadi manis suamiku, 8 tahun terakhir melawan, aku juga berjuang melawan k
Aku kehilangan kata-kata dan hanya bisa terdiam, air mata yang terus berjatuhan tak mampu mengubah keadaan apalagi membuat suamiku berubah dan meninggalkan istri barunya. *Matahari sore menyelinap di balik cakrawala meninggalkan langit jingga yang memudar oleh mendung. Cahaya redup di luar sana seakan menembus kegelapan dan mencengkram hatiku. Di dapur, Mas Husen terlihat menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, aroma bawang dan sosis goreng yang tercium samar, tak mampu mengundang seleraku untuk makan, justru hanya ada ketakutan yang menyengat, apa yang perceraian dan menjalani kita hidup sendirian dalam keadaan sakit, aku ngeri, tapi sepertinya itu tak ayal terjadi. Masih kupandangi wajah suamiku yang terlihat acuh tak acuh saja, dia nampak sibuk dan pandangannya hanya tertuju pada kuali dan masakannua. Ya, Husein Ali Bahanan, suamiku. Pria yang biasanya penuh kasih sayang berubah menjadi sosok yang mengerikan. Kata katanya yang kasar beberapa jam yang lalu masih terngiang
"Apa maksudmu mengatakan cinta dan seluruh pemberianku sebagai formalitas! Jika aku tidak mencintaimu, Sudah lama aku meninggalkanmu!"kali ini ucapannya terdengar seperti tantangan dan kesombongan. Aku seperti wanita yang mudah diambil dari keluarganya lalu dikembalikan tanpa perasaan. Seperti benda yang bisa dioper atau dilempar-lempar saja. "Mungkin kau tidak tega, sebab aku juga istri yang sempurna!" Balasku yang tak kalah ingin menyombongkan diri. "Hah?!" Lelaki itu tercengang sambil menelan ludah. "Apa?" Dia seperti tidak percaya."Aku tidak memiliki alasan untuk membuatmu kecewa karena aku selalu berusaha jadi istri yang baik. Coba, cari di mana kekuranganku!! ayo sebutkan pelayanan mana yang tidak kau sukai!" Sekarang kami berhadapan dengan bola mata yang saling berkilat satu sama lain. Bahkan mungkin kalau aku maju sedikit saja kami akan saling bertabrakan. "Aku sedang jujur padamu, aku sedang menabung untuk kesembuhan dan operasimu karena itu sangat mahal, kau tahu kan ka
Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.
*Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan
Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya
"Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu.""Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. S
Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang. Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya. "Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?"Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri. "Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikka