Share

Bersamanya

Author: Ria Abdullah
last update Last Updated: 2025-03-02 20:51:23

Aku bersandar di balik meja kerja mas Husein dengan hati yang tak karuan rasanya. Kepalaku sakit dan telingaku rasanya berdenging putaran bayangan Mas husein bersama istrinya di dalam mobil, celoteh bocah yang memanggilnya ayah, ucapan ibu mertua permintaan maaf suamiku yang terkesan tidak berprasaan serta rangkaian angka-angka dalam slip gaji dan struk belanja. Itu seperti tumpang tindih dan berlomba di dalam kepalaku, rasanya hati ini makin sesak, dan semua itu seakan terdengar di telingaku secara bersamaan.

"Tidak, tidak mungkin!" Aku menutup telingaku sendiri dengan kedua tangan sambil membenamkan wajah diantara kedua lutut.

"Hahaha, hahaha, kau tidak tahu apa-apa!" Kelebatan bunyi tawa dan kumpulan anggota keluarga Mas Husain seakan terlihat di mataku. Wajah dan senyum mereka seperti bayangan kamera yang di zoom in dan out, mendekat lalu menjauh lalu datang tiba-tiba seperti hantu. Aku melihat ibu mertua yang sedang merangkul wanita itu mereka duduk bahagia sambil menuding ke arahku, mereka tertawa bahagia. Arimbi adik iparku juga tertawa, begitu juga suamiku yang hanya tersenyum sinis melihat kebodohanku. Bayangan-bayangan itu membuatku semakin hancur dan depresi, sampai aku tak mampu menahan air mataku.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tiba-tiba Mas Husain datang dan menyentuh bahuku, dia memandangku dengan heran, melihat kertas slip gaji dan struk belanja di tanganku lelaki itu segera mengerti kenapa aku menangis dan terlihat begitu depresi.

"Oh, Aku bisa jelaskan itu Alya."

"Cukup!" Ini bukan lagi penghianatan, penipuan yang kejam. Sejak kapan kau memiliki gaji sebanyak ini!" Aku melempar kertas slip gaji di wajahnya, pria tampan dengan cambang halus dan kacamata persegi itu hanya menarik nafas dalam sambil menggeleng perlahan.

"Ayo ceritakan padaku sejak kapan kau naik ke posisi sebagai manajer operasional, sejak kapan orang-orang mulai menghormatimu dan memanggilmu dengan kata bos, sejak kapan semua itu!"

"Uhm, Sebenarnya aku tidak ingin terlalu membanggakan pekerjaan karena itu hanya sementara!"

"Oh ya?" Aku tertawa sini sambil merobek kertas struk belanja.

"Lalu apa ini, nilai belanjaan yang amat fantastis untuk istri baru dan anakmu. Kenapa kau tidak pernah ceritakan padaku, hah!" Kali ini aku berteriak, aku tidak peduli meski wajahku bersimbah air mata, pashmina yang aku kenakan mulai berantakan dan semuanya kaca.

"Aku rasa aku hanya butuh waktu untuk menceritakan semuanya!"

"Sejak kemarin kau hanya terus bicara butuh waktu dan butuh Waktu. Kapan waktu yang tepat untuk jujur padaku Kenapa kau tega sekali!" Aku menangis sejadi-jadinya sampai bahu ini terguncang dengan kerasnya. Dia mendatangi lalu meraih tubuhku dan membawaku ke dalam pelukannya. Jujur saja aku tidak menerima perlakuan itu tapi tubuhku tidak bisa memungkirinya. Aku menangis lemas dalam pelukan lelaki itu, dalam pelukan lelaki yang sangat kucintai tapi telah menolehkah luka terdalam.

"Aku minta maaf Aku benar-benar minta maaf dan menyesal."

"Buat apa menyesal untuk apa nilai penyesalanmu sekarang?! Di mana wanita itu, Kenapa dia pun tidak beritikad baik untuk bertemu denganku dan mencoba memperbaiki hubungan diantara kami!"

"Aku berjanji akan membawanya ke hadapanmu dan membuatnya minta maaf."

"Apa kau ingin merendahkan dia?"

"Lalu aku harus bagaimana? Kalau aku diam saja itu akan salah di matamu, sekarang aku ingin membawanya ke hadapanmu dan itu juga masih salah. Aku harus bagaimana Alya?"

"Tidak ada yang benar, semuanya salah karena sejak awal sudah salah! Aku mungkin berat membiarkanmu menikah lagi, tapi jika kau jujur segalanya tidak akan sesakit ini.

"Kau pasti akan keberatan!"

"Tidak akan, Aku tidak akan keberatan Mas! Justru jika kau utarakan dengan jujur bahwa kau ingin anak dan keluargamu juga mendesak mungkin aku bisa mempertimbangkannya. Sekarang kau menipuku, menipuku di hadapan wajahku, bohongiku mentah mentah!"

"Astagfirullah bukan begitu Alya!"

"Cukup Mas! Ini benar-benar perlakuan yang kejam!" balasku sambil mendorongnya lalu menjauh dari tempat itu.

Cukup sudah mendengar argumen tidak berguna. Aku sudah terlanjur sakit hati dan aku tidak bisa menerima semua alasan-alasan yang semakin diperbanyak semakin terdengar tidak masuk akal.

*

"Aku berangkat kerja dulu sayang?"Mas Husain berpamitan padaku yang sedang mencuci piring.

Aku tidak menjawab malah intensitas suara dari cucian piringku yang semakin kencang saja. Aku membanting panci dan kuali sambil menahan air mataku yang berderai-derai.

"Jika kau sudah siap Aku akan membawa Rania dan Aisyah ke hadapanmu."

Oh jadi anaknya bernama Aisyah? Hmm, nama yang bener-bener bagus.

Aku murkas sekali dan ingin balas dendam tapi...

Astaga kenapa aku tiba-tiba kesal pada bocah berusia 3 tahun??

Ya Tuhan... Jangan buat hatiku jahat, anak itu tidak tahu apa-apa dan tidak pernah memilih untuk dilahirkan dari keluarga yang mana. Jadi aku tidak bisa menyalahkannya. Tidak ada seseorang yang berhak menerima kemarahanku selain Mas Husein, dan bahkan jika aku berhak marah, aku tidak bisa menggugat syariat yang telah ditetapkan agama. Lelaki boleh poligami jika mereka mampu dan mau, menikahi istri kedua, ketiga dan keempat.

Kenapa aku harus menentang, kenapa aku harus berdosa dan mendebat takdir Tuhan? Sekali lagi air mataku meluncur dan membuat bola mata ini semakin perih saja.

"Aku tidak bisa mengobati luka hatimu selain kau sendiri yang mencoba untuk pulih. Aku ingin tetap berdiri di sisimu dan menggenggam tanganmu. Kau harus tahu aku adalah pendukung utama!"

"Pendukung utama yang sekaligus jadi pembunuh utama. Tidaklah tumor yang ada di rahimku lebih menyakitkan dibandingkan berita yang kuterima sehari yang lalu. Ini Titik terburuk dalam hidupku."

Ucapanku membuat Mas Husein hanya menggigit bibirnya lelaki itu menghela nafas panjang lalu berangkat kerja tanpa menyambung pembicaraan lagi.

Dan ya, begitu dia pergi, aku melanjutkan pekerjaanku sambil menangis, terisak, tergugu pilu, berpindah dari dapur ke ruang tamu, kadang menangis di sisi jendela kadang meringkuk di atas sofa, aku merasa gagal dan segala yang sudah kubangun bertahun-tahun seperti rubuh seketika.

Tring!

Handuk masih membungkus rambutku yang basah saat telepon dari ibu mertua berdering berkali-kali di atas meja riasku. Sebenarnya aku tidak ingin menjawab panggilan apapun, membahas sesuatu yang sudah tidak pantas dibahas atau membalas pesan dari siapapun.

Hatiku lelah dan energiku terkuras. Pikiranku yang penat, perdebatan yang menyakitkan dengan suami, serta ucapan ibu mertua dan yang enteng menambah beban di hatiku. Aku ingin berhenti menangis tapi suasana hatiku tidak kunjung membaik juga. Detik demi detik berlalu, kenyataan dan segala bayangan yang bisa saja terjadi di masa depan membuat kacau perasaanku.

"Halo, assalamualaikum umi!"

"Kak, umi mau makan siang bersama dengan kalian semua!"

Ibu mertua memanggil aku dengan lembut, seperti itulah beliau memanggilku, karena aku adalah istri anak sulungnya jadi semua orang memanggilku dengan ucapan kakak.

"M-ma-maaf umi saya sedang kurang sehat," balasku terbata.

"Bagaimana kalau umi dan adik-adikmu yang ke situ?"

"Tidak umi, Maaf kalau saya terdengar tidak sopan tapi saya benar-benar ingin istirahat."

"Sejak pembicaraan kita kemarin apa kau baik-baik saja?"

"Aku sedang berusaha untuk baik-baik saja," jawabku lirih.

"Ini memang berat tapi seiring hari-hari berlalu kau sendiri akan ikhlas dan menerima segalanya. Adik madumu adalah wanita yang baik dan santun jadi umi tidak akan meragukan kalau kalian akan jadi saudara madu yang akrab."

Astagfirullah Aku baru saja ingin berhenti menangis tiba-tiba dia mengatakan sesuatu yang membuat hatiku semakin berat saja. Jangankan untuk berakrab pria dengan maduku menatap wajahnya atau mendengar namanya saja aku sudah murka. Aku benci padanya meski aku tidak mengenalnya dan sebaik apapun wanita itu di mata semua orang tetap saja dia perebut suamiku, dia hanya pencuri di mataku!

Related chapters

  • ANTARA AKU DAN RANIA    umi

    "Umi, maafkanlah saya belum ingin bertemu siapapun dan membahas apapun. Saya butuh istirahat dan waktu untuk mencerna semua ini.""Umi harap kau bisa menenangkan hatimu, ya Sayang. Toh, Rania dan Husain sudah menikah juga, dan mereka punya anak. Jadi, tidak adil rasanya jika kemarahanmu membuat mereka berdua bercerai. Iya kan, Kak."Aku terdiam, untuk beberapa detik aku terdiam kehilangan kata-kata. Aku tercekat dan ingin sekali memungkiri bahwa sebenarnya aku ingin Rania dan suamiku segera berpisah. Aku ingin keadaan kembali seperti semula, di mana suamiku hanya milikku saja dan dia hanya mencintaiku. Kalau waktu bisa diputar... aku ingin kembali ke beberapa tahun yang lalu, aku ingin menjaga kesehatanku dan melindungi diriku dari penyakit. Aku ingin program kehamilan lebih cepat dan membawakan anak kembar untuk suamiku, kehidupan kami akan harmonis dan bahagia, tentu saja. Tapi, sekali lagi... Itu adalah paradoks waktu yang tidak mungkin diulangi."Umi, dengar!""Kau pasti akan bai

    Last Updated : 2025-03-02
  • ANTARA AKU DAN RANIA    6

    Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang. Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya. "Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?"Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri. "Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikka

    Last Updated : 2025-03-07
  • ANTARA AKU DAN RANIA    7

    "Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu.""Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. S

    Last Updated : 2025-03-08
  • ANTARA AKU DAN RANIA    8

    Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya

    Last Updated : 2025-03-08
  • ANTARA AKU DAN RANIA    9

    *Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan

    Last Updated : 2025-03-09
  • ANTARA AKU DAN RANIA    10

    Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.

    Last Updated : 2025-03-09
  • ANTARA AKU DAN RANIA    11

    "Apa maksudmu mengatakan cinta dan seluruh pemberianku sebagai formalitas! Jika aku tidak mencintaimu, Sudah lama aku meninggalkanmu!"kali ini ucapannya terdengar seperti tantangan dan kesombongan. Aku seperti wanita yang mudah diambil dari keluarganya lalu dikembalikan tanpa perasaan. Seperti benda yang bisa dioper atau dilempar-lempar saja. "Mungkin kau tidak tega, sebab aku juga istri yang sempurna!" Balasku yang tak kalah ingin menyombongkan diri. "Hah?!" Lelaki itu tercengang sambil menelan ludah. "Apa?" Dia seperti tidak percaya."Aku tidak memiliki alasan untuk membuatmu kecewa karena aku selalu berusaha jadi istri yang baik. Coba, cari di mana kekuranganku!! ayo sebutkan pelayanan mana yang tidak kau sukai!" Sekarang kami berhadapan dengan bola mata yang saling berkilat satu sama lain. Bahkan mungkin kalau aku maju sedikit saja kami akan saling bertabrakan. "Aku sedang jujur padamu, aku sedang menabung untuk kesembuhan dan operasimu karena itu sangat mahal, kau tahu kan ka

    Last Updated : 2025-03-11
  • ANTARA AKU DAN RANIA    12

    Aku kehilangan kata-kata dan hanya bisa terdiam, air mata yang terus berjatuhan tak mampu mengubah keadaan apalagi membuat suamiku berubah dan meninggalkan istri barunya. *Matahari sore menyelinap di balik cakrawala meninggalkan langit jingga yang memudar oleh mendung. Cahaya redup di luar sana seakan menembus kegelapan dan mencengkram hatiku. Di dapur, Mas Husen terlihat menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, aroma bawang dan sosis goreng yang tercium samar, tak mampu mengundang seleraku untuk makan, justru hanya ada ketakutan yang menyengat, apa yang perceraian dan menjalani kita hidup sendirian dalam keadaan sakit, aku ngeri, tapi sepertinya itu tak ayal terjadi. Masih kupandangi wajah suamiku yang terlihat acuh tak acuh saja, dia nampak sibuk dan pandangannya hanya tertuju pada kuali dan masakannua. Ya, Husein Ali Bahanan, suamiku. Pria yang biasanya penuh kasih sayang berubah menjadi sosok yang mengerikan. Kata katanya yang kasar beberapa jam yang lalu masih terngiang

    Last Updated : 2025-03-11

Latest chapter

  • ANTARA AKU DAN RANIA    14

    Gelap di sekitarku sementara malam terus beranjak larut, suasana ruangan temaram dengan lampu dapur yang menyala samar, saat kubuka mata perlahan dan menyadari diriku meringkuk di sofa, jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam.Jarumnya yang berdetak seperti palu memukul jantungku, menggema di telinga dan menciptakan suasana yang suram. Aku menggigil, seakan suhu ruangan turun drastis. Kupeluk diriku sendiri sambil mengusap kedua tanganku perlahan, gigiku beradu menahan hawa yang menusuk hingga ke tulang. "Apa dia belum pulang juga?" bisikku dalam hati. "Kenapa dia tidak kembali?"Kota sudah lengang, begitu juga lingkungan sekitarku yang tertidur, jalanan sepi dengan sesekali kendaraan yang melintas, aku khawatir, kenapa dia belum juga pulang. Lalu aku teringat, bohong mungkin ia telah bergelung dalam selimut yang hangat bersama istri dan anaknya. Tidak mungkin ia akan memilih berkendara menembus cuaca dingin ini demi kembali pada istri mandul yang tidak bisa memberi

  • ANTARA AKU DAN RANIA    13

    Setelah berhasil tiba di kamar dan menutup pintu, hujan deras membasahi pipiku, ku usap wajahku dengan tanganku yang dingin dan gemetar. Rasa sakit di perut dan lapar yang bercampur membuatku merasakan kepedihan yang mendalam. Bukan tumor yang membuatku hancur, melainkan kenyataan pahit yang baru saja kutemukan. Bunga mawar yang layu di vas kristal, seperti simbol kehidupanku yang perlahan-lahan memudar tercabik oleh rahasia yang tersimpan rapat di hati suamiku rahasia yang lebih mematikan daripada penyakit yang menggerogoti tubuh ini. Di sebelah mawar itu ada beberapa pigura foto kami saat berlibur, hadiah-hadiah yang diberikan suamiku setiap Valentine, atau ulang tahun pernikahan kami semuanya kupajang di sana sebagai bentuk penghormatan dan kebanggaan tertinggi mendapatkan cintanya. "Ah ya Tuhan, kenapa baru sekarang aku menyadarinya selama 15 tahun."Bisa-bisanya aku hidup dalam kebohongan yang terbungkus jadi manis suamiku, 8 tahun terakhir melawan, aku juga berjuang melawan k

  • ANTARA AKU DAN RANIA    12

    Aku kehilangan kata-kata dan hanya bisa terdiam, air mata yang terus berjatuhan tak mampu mengubah keadaan apalagi membuat suamiku berubah dan meninggalkan istri barunya. *Matahari sore menyelinap di balik cakrawala meninggalkan langit jingga yang memudar oleh mendung. Cahaya redup di luar sana seakan menembus kegelapan dan mencengkram hatiku. Di dapur, Mas Husen terlihat menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, aroma bawang dan sosis goreng yang tercium samar, tak mampu mengundang seleraku untuk makan, justru hanya ada ketakutan yang menyengat, apa yang perceraian dan menjalani kita hidup sendirian dalam keadaan sakit, aku ngeri, tapi sepertinya itu tak ayal terjadi. Masih kupandangi wajah suamiku yang terlihat acuh tak acuh saja, dia nampak sibuk dan pandangannya hanya tertuju pada kuali dan masakannua. Ya, Husein Ali Bahanan, suamiku. Pria yang biasanya penuh kasih sayang berubah menjadi sosok yang mengerikan. Kata katanya yang kasar beberapa jam yang lalu masih terngiang

  • ANTARA AKU DAN RANIA    11

    "Apa maksudmu mengatakan cinta dan seluruh pemberianku sebagai formalitas! Jika aku tidak mencintaimu, Sudah lama aku meninggalkanmu!"kali ini ucapannya terdengar seperti tantangan dan kesombongan. Aku seperti wanita yang mudah diambil dari keluarganya lalu dikembalikan tanpa perasaan. Seperti benda yang bisa dioper atau dilempar-lempar saja. "Mungkin kau tidak tega, sebab aku juga istri yang sempurna!" Balasku yang tak kalah ingin menyombongkan diri. "Hah?!" Lelaki itu tercengang sambil menelan ludah. "Apa?" Dia seperti tidak percaya."Aku tidak memiliki alasan untuk membuatmu kecewa karena aku selalu berusaha jadi istri yang baik. Coba, cari di mana kekuranganku!! ayo sebutkan pelayanan mana yang tidak kau sukai!" Sekarang kami berhadapan dengan bola mata yang saling berkilat satu sama lain. Bahkan mungkin kalau aku maju sedikit saja kami akan saling bertabrakan. "Aku sedang jujur padamu, aku sedang menabung untuk kesembuhan dan operasimu karena itu sangat mahal, kau tahu kan ka

  • ANTARA AKU DAN RANIA    10

    Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.

  • ANTARA AKU DAN RANIA    9

    *Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan

  • ANTARA AKU DAN RANIA    8

    Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya

  • ANTARA AKU DAN RANIA    7

    "Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu.""Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. S

  • ANTARA AKU DAN RANIA    6

    Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang. Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya. "Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?"Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri. "Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikka

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status