Aku tercekat mendengar ucapan ibu mertua, kaget seakan diberi pukulan yang amat menyakitkan.
Aku terdiam sembari memikirkan nilai diriku dan bagaimana mereka telah menganggapku selama ini. Kupikir aku dihargai, ternyata aku hanya seperti remahan roti diantara makanan berharga. Kukira mereka akan mengatakannya dengan jujur dan melibatkanku dalam semua keputusan keluarga, tapi ternyata aku adalah orang yang terakhir tahu fakta sebenarnya. "Apa kau mendengar umi?" Wanita itu mendekat dan mengguncang lututku. Pakaian yang masih sama dengan pakaianku di pagi hari saat berangkat ke klinik tadi. Aku menoleh ke arahnya dan air mataku kembali menetes lagi. Wanita itu tidak menunjukkan penyesalan atau raut kesedihan melainkan hanya senyum tipis dan anggukan kepalanya. "Umi yakin semuanya akan baik-baik saja?" Dia menggenggam tanganku sambil tersenyum, senyumnya seperti tombak yang menghujam hati, sementara suamiku berdiri menyandar di dinding sambil melipat tangannya di dada. Kedua manusia ini, dengan cara apapun mereka tidak akan bisa menyembuhkan hatiku yang terlanjur berdarah-darah. "Jadi wanita itu tinggal di mana?" "Uhm, kami akan ceritakan detailnya nanti." "Wanita itu tinggal di mana Dan kenapa aku tidak pernah tahu! Kenapa gelagat suamiku tidak pernah terlihat mencurigakan!' "Itu karena kami mengaturnya dengan baik agar kau tidak pernah kekurangan waktu dan kasih sayang dari Husain!" Apa? Apa ini adalah bentuk kebaikan atau malah kejahatan terburuk? Aku terhenyak bibirku keluh dan tenggorokanku rasanya makin bengkak saja. Aku ingin berteriak atau menangis kencang tapi aku kehabisan tenaga. Pun, tidak pantas rasanya menunjukkan kelemahan di hadapan orang-orang yang makin melecehkanku. * "Baiklah Kami tidak akan mengganggumu lebih banyak dari ini. Sebaiknya kau tenangkan dirimu, umi harus pulang karena akan menjemput cucu." Wanita paruh baya dengan celak mata yang terlihat cantik itu memberi isyarat pada putrinya agar ikut dengannya, setelah mengambil tas dan berpamitan pada putranya suamiku mengantarkan ibunya ke gerbang rumah sampai wanita itu meluncur bersama adik iparku dengan mobilnya. Mas Husain terlihat menutup gerbang, mendung mulai menutupi cerahnya awan, gemuruh di langit seperti akan menumpahkan hujan yang deras. Perlahan rintik-rintik air jatuh di atas kelopak tanaman lalu mulai deras dan deras saja. "Kamu mandi dan bersihkan diri ya biar aku yang masak makan malam." "Nggak usah repot-repot, aku bisa cari makan sendiri." "Loh Jangan gitu dong Sayang, aku tetap suamimu, apapun yang terjadi kau prioritasku." "Jangan kasihan padaku hanya karena aku sakit aku tahu keadaanku memburuk, tubuhku makin kurus dan situasinya semakin tidak baik mungkin aku akan mati tapi aku tidak akan mati dalam keadaan menderita karena kamu!" "Jangan bilang begitu Alya...." "Entah aku akan sembuh atau aku akan meninggal tapi aku tidak ridho dengan perbuatanmu, jadi aku belum yakin aku bisa memaafkanmu," jawabku sambil berdiri lalu beranjak ke kamarku. Kukunci pintunya karena tak mau lelaki itu menyusul masuk dan melanjutkan bujukannya. Di belakang pintu aku meluncur lemah dan terduduk di lantai dengan hati yang remuk remak. Tangisanku tumpah diantara Rinai hujan yang makin deras, suara guruh di langit sana mengalahkan betapa bergejolaknya luka yang kini semakin menyayat hati. Aku membekap mulutku, mencoba merendahkan suaraku meski sebenarnya aku ingin sekali berteriak. Aku benar-benar hancur. No * Udara malam terasa dingin seperti kabut abadi yang melingkupi sekitarku. Dari kejauhan lampu-lampu kota terlihat redup, sementara aku di sini masih memeluk lutut dan meratapi kelanjutan takdirku. Obat teronggok begitu saja di atas meja, masih dengan resep yang sama seperti pagi hari, diminum tiga kali sehari tapi aku belum meminumnya sekalipun. Rasa sakit yang melilit di bagian rahim dan perutku mengalahkan sakit yang kini menusuk-nusuk di hatiku. Aku tidak percaya kenyataan bahwa aku adalah istri yang paling dicintai tapi tiba-tiba menjadi orang yang paling dikhianati dalam keluarga ini. Ah, entah kenapa air mataku berderai lagi. * Udara pagi masih begitu dingin, kegelapan masih pekat sementara suara lantunan Alquran masih mengalun di masjid. Aku bangun untuk menyiapkan sarapan kemudian pergi ke ruang kerja mas Husein untuk memeriksa apa yang selama ini kulewatkan. Aku ingin menemukan petunjuk, siapa Rania Di mana tempat tinggal wanita itu dan pasti ada sesuatu yang bisa membawaku kepada kenyataan yang sebenarnya. Sejak kapan mereka menikah, berapa umur anak mereka lahir di mana dan bagaimana semua orang berhasil menyembunyikannya dariku. Aku yakin mereka punya grup W******p pembicaraan di mana aku bukan sebagai anggotanya. Aku yakin ada pertemuan-pertemuan khusus yang selama ini kulewatkan, sementara suamiku menipu diri ini dengan berbagai alasan. Tidak mungkin dia menikah tanpa perencanaan. Lalu membawa wanita itu ke kota ini dan tinggal dengan nyaman, seakan-akan aku sudah meninggal dunia. Bagaimana seorang suami yang tengah berbohong pada istrinya bisa melenggang santai membawa keluarga rahasianya berkeliling kota dengan mobil dan bergembira. Ah, Apakah dia hanya menunda waktu untuk jujur padaku agar aku tidak menderita ataukah sengaja mengulur waktu demi membuatku makin tersakiti dan lemah. Kutemukan beberapa struk belanja di antara berkas-berkas pekerjaannya, pembelian beberapa kaleng susu botol, Popok dan keperluan anak. Nilainya cukup besar dari uang yang selama ini Ia berikan padaku. Belum lagi stroke belanja bulanan dan beberapa tagihan listrik dan internet. Hal yang membuatku makin terbelalak adalah alamat apartemen dari tagihan-tagihan tersebut. Apartemen yang berada di Green Flower city, kawasan elit di mana penghuninya hanya orang-orang yang memiliki gaji dua digit dan gaya hidup yang mewah. Masya Allah, sejak kapan Mas Husin memiliki pendapatan sebanyak itu, dan yang lebih mengejutkan lagi itu, bagaimana pendapatan tersebut bisa cukup dan dibagikan untuk dua keluarga. Aku semakin penasaran dan mulai mengobrak-abrik berkas, mencari bukti slip gaji atau apa saja yang bisa meyakinkan prasangkaku selama ini. Tinggal di green city, menyewa sebuah apartemen dengan harga fantastis, punya mobil yang bagus, serta anak istri yang terjamin kehidupannya. Aku tidak yakin kalau gaji Masih husain hanya 10 juta, sementara sebagian besar uang itu untukku. Aku benar-benar tidak percaya padanya. Dan jantungku semakin berdegup kencang, bergemuruh seiring dengan sebuah lembar slip gaji yang jatuh di antara kertas-kertas struk belanja. Itu slip gaji dan bonus akhir tahun, yang nilainya adalah 3 digit. Aku gemetar melihat angka-angka yang berderet, dadaku sesak sakit antara ingin berteriak dan mencecarnya dengan pertanyaan, tapi, yang paling menyakitkan adalah, aku tidak pernah tahu bahwa selama ini gaji suamiku sangat-sangat banyak, lebih banyak daripada yang kuterima selama ini. Ke mana sisanya, untuk siapa dan dia gunakan sebagai apa? Jika aku hanya menerima 10 juta dari 100 juta ke mana 90 juta. Ya Allah! Aku lemes seketika.Aku bersandar di balik meja kerja mas Husein dengan hati yang tak karuan rasanya. Kepalaku sakit dan telingaku rasanya berdenging putaran bayangan Mas husein bersama istrinya di dalam mobil, celoteh bocah yang memanggilnya ayah, ucapan ibu mertua permintaan maaf suamiku yang terkesan tidak berprasaan serta rangkaian angka-angka dalam slip gaji dan struk belanja. Itu seperti tumpang tindih dan berlomba di dalam kepalaku, rasanya hati ini makin sesak, dan semua itu seakan terdengar di telingaku secara bersamaan. "Tidak, tidak mungkin!" Aku menutup telingaku sendiri dengan kedua tangan sambil membenamkan wajah diantara kedua lutut. "Hahaha, hahaha, kau tidak tahu apa-apa!" Kelebatan bunyi tawa dan kumpulan anggota keluarga Mas Husain seakan terlihat di mataku. Wajah dan senyum mereka seperti bayangan kamera yang di zoom in dan out, mendekat lalu menjauh lalu datang tiba-tiba seperti hantu. Aku melihat ibu mertua yang sedang merangkul wanita itu mereka duduk bahagia sambil menuding ke a
"Umi, maafkanlah saya belum ingin bertemu siapapun dan membahas apapun. Saya butuh istirahat dan waktu untuk mencerna semua ini.""Umi harap kau bisa menenangkan hatimu, ya Sayang. Toh, Rania dan Husain sudah menikah juga, dan mereka punya anak. Jadi, tidak adil rasanya jika kemarahanmu membuat mereka berdua bercerai. Iya kan, Kak."Aku terdiam, untuk beberapa detik aku terdiam kehilangan kata-kata. Aku tercekat dan ingin sekali memungkiri bahwa sebenarnya aku ingin Rania dan suamiku segera berpisah. Aku ingin keadaan kembali seperti semula, di mana suamiku hanya milikku saja dan dia hanya mencintaiku. Kalau waktu bisa diputar... aku ingin kembali ke beberapa tahun yang lalu, aku ingin menjaga kesehatanku dan melindungi diriku dari penyakit. Aku ingin program kehamilan lebih cepat dan membawakan anak kembar untuk suamiku, kehidupan kami akan harmonis dan bahagia, tentu saja. Tapi, sekali lagi... Itu adalah paradoks waktu yang tidak mungkin diulangi."Umi, dengar!""Kau pasti akan bai
Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang. Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya. "Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?"Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri. "Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikka
"Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu.""Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. S
Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya
*Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan
Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.
"Apa maksudmu mengatakan cinta dan seluruh pemberianku sebagai formalitas! Jika aku tidak mencintaimu, Sudah lama aku meninggalkanmu!"kali ini ucapannya terdengar seperti tantangan dan kesombongan. Aku seperti wanita yang mudah diambil dari keluarganya lalu dikembalikan tanpa perasaan. Seperti benda yang bisa dioper atau dilempar-lempar saja. "Mungkin kau tidak tega, sebab aku juga istri yang sempurna!" Balasku yang tak kalah ingin menyombongkan diri. "Hah?!" Lelaki itu tercengang sambil menelan ludah. "Apa?" Dia seperti tidak percaya."Aku tidak memiliki alasan untuk membuatmu kecewa karena aku selalu berusaha jadi istri yang baik. Coba, cari di mana kekuranganku!! ayo sebutkan pelayanan mana yang tidak kau sukai!" Sekarang kami berhadapan dengan bola mata yang saling berkilat satu sama lain. Bahkan mungkin kalau aku maju sedikit saja kami akan saling bertabrakan. "Aku sedang jujur padamu, aku sedang menabung untuk kesembuhan dan operasimu karena itu sangat mahal, kau tahu kan ka
Gelap di sekitarku sementara malam terus beranjak larut, suasana ruangan temaram dengan lampu dapur yang menyala samar, saat kubuka mata perlahan dan menyadari diriku meringkuk di sofa, jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam.Jarumnya yang berdetak seperti palu memukul jantungku, menggema di telinga dan menciptakan suasana yang suram. Aku menggigil, seakan suhu ruangan turun drastis. Kupeluk diriku sendiri sambil mengusap kedua tanganku perlahan, gigiku beradu menahan hawa yang menusuk hingga ke tulang. "Apa dia belum pulang juga?" bisikku dalam hati. "Kenapa dia tidak kembali?"Kota sudah lengang, begitu juga lingkungan sekitarku yang tertidur, jalanan sepi dengan sesekali kendaraan yang melintas, aku khawatir, kenapa dia belum juga pulang. Lalu aku teringat, bohong mungkin ia telah bergelung dalam selimut yang hangat bersama istri dan anaknya. Tidak mungkin ia akan memilih berkendara menembus cuaca dingin ini demi kembali pada istri mandul yang tidak bisa memberi
Setelah berhasil tiba di kamar dan menutup pintu, hujan deras membasahi pipiku, ku usap wajahku dengan tanganku yang dingin dan gemetar. Rasa sakit di perut dan lapar yang bercampur membuatku merasakan kepedihan yang mendalam. Bukan tumor yang membuatku hancur, melainkan kenyataan pahit yang baru saja kutemukan. Bunga mawar yang layu di vas kristal, seperti simbol kehidupanku yang perlahan-lahan memudar tercabik oleh rahasia yang tersimpan rapat di hati suamiku rahasia yang lebih mematikan daripada penyakit yang menggerogoti tubuh ini. Di sebelah mawar itu ada beberapa pigura foto kami saat berlibur, hadiah-hadiah yang diberikan suamiku setiap Valentine, atau ulang tahun pernikahan kami semuanya kupajang di sana sebagai bentuk penghormatan dan kebanggaan tertinggi mendapatkan cintanya. "Ah ya Tuhan, kenapa baru sekarang aku menyadarinya selama 15 tahun."Bisa-bisanya aku hidup dalam kebohongan yang terbungkus jadi manis suamiku, 8 tahun terakhir melawan, aku juga berjuang melawan k
Aku kehilangan kata-kata dan hanya bisa terdiam, air mata yang terus berjatuhan tak mampu mengubah keadaan apalagi membuat suamiku berubah dan meninggalkan istri barunya. *Matahari sore menyelinap di balik cakrawala meninggalkan langit jingga yang memudar oleh mendung. Cahaya redup di luar sana seakan menembus kegelapan dan mencengkram hatiku. Di dapur, Mas Husen terlihat menyiapkan makan malam untuk dirinya sendiri, aroma bawang dan sosis goreng yang tercium samar, tak mampu mengundang seleraku untuk makan, justru hanya ada ketakutan yang menyengat, apa yang perceraian dan menjalani kita hidup sendirian dalam keadaan sakit, aku ngeri, tapi sepertinya itu tak ayal terjadi. Masih kupandangi wajah suamiku yang terlihat acuh tak acuh saja, dia nampak sibuk dan pandangannya hanya tertuju pada kuali dan masakannua. Ya, Husein Ali Bahanan, suamiku. Pria yang biasanya penuh kasih sayang berubah menjadi sosok yang mengerikan. Kata katanya yang kasar beberapa jam yang lalu masih terngiang
"Apa maksudmu mengatakan cinta dan seluruh pemberianku sebagai formalitas! Jika aku tidak mencintaimu, Sudah lama aku meninggalkanmu!"kali ini ucapannya terdengar seperti tantangan dan kesombongan. Aku seperti wanita yang mudah diambil dari keluarganya lalu dikembalikan tanpa perasaan. Seperti benda yang bisa dioper atau dilempar-lempar saja. "Mungkin kau tidak tega, sebab aku juga istri yang sempurna!" Balasku yang tak kalah ingin menyombongkan diri. "Hah?!" Lelaki itu tercengang sambil menelan ludah. "Apa?" Dia seperti tidak percaya."Aku tidak memiliki alasan untuk membuatmu kecewa karena aku selalu berusaha jadi istri yang baik. Coba, cari di mana kekuranganku!! ayo sebutkan pelayanan mana yang tidak kau sukai!" Sekarang kami berhadapan dengan bola mata yang saling berkilat satu sama lain. Bahkan mungkin kalau aku maju sedikit saja kami akan saling bertabrakan. "Aku sedang jujur padamu, aku sedang menabung untuk kesembuhan dan operasimu karena itu sangat mahal, kau tahu kan ka
Temanku Jessica memutuskan untuk pulang setelah kami berbincang dan istirahat makan siang, sebelum pulang dia sempat memesankan padaku bahwa apapun yang terjadi aku harus tetap tegar dan segera meneleponnya bila aku dalam keadaan butuh bantuan dan resah. "Kamu nggak boleh sedih ya, aku akan selalu berusaha ada saat kamu butuh," ucapnya sambil menepuk tangan ini lalu naik ke atas mobilnya. "Makasih Jes, makasih udah datang di sela-sela pekerjaan kamu yang sibuk sebagai dokter.""Aku lagi nggak di jadwal piket jaga, jadi, santai saja," ucapnya sambil menaikkan kaca mobil dan melambaikan tangannya. Kepergian Jessica kembali melubangi perasaanku, kubalikan badan dan memandangi fasad rumah lantai 2 yang dulu adalah tempat impian untuk kami membangun keluarga dan anak-anak kami kelak. Dulu aku begitu menginginkan tinggal di tempat ini, cluster yang tenang di mana aku akan membesarkan anak-anak di lingkungan yang udaranya bersih dan sedikit menepi dari hiruk pikuk kota yang penuh polusi.
*Setelah memastikan lelaki itu pergi, aku keluar dari kamar. Mendapati dia telah menyiapkan ku sarapan roti lapis dengan telur dan keju kesukaan aku hanya bisa meneteskan air mata. Rasanya ingin ku tahan tidak makan apapun tapi sensasi lapar ini membuat tubuhku lemas. Aku beranjak kemeja makan sambil memperhatikan segala susu yang sudah ia tutup, dengan sebutir garam tanpa gula, dia ingat betul, dan selalu hafal bagaimana cara istrinya menyeduh susu. Aku duduk di depan makanan tersebut, mencoba meraihnya dengan tanganku yang gemetar, kalau kusentuh roti itu dan kuarahkan untuk mencicipinya. Rasanya masih sama, seperti buatan suamiku, rasanya seperti tidak ada yang berubah, tapi fakta bahwa kini ia memiliki wanita lain di hatinya dan tentu saja seorang anak yang jadi buah cinta mereka pasti melebihi posisiku di atas segalanya. Mungkin dia mencintaiku tapi dimensi cinta untuk Rania dan anaknya Aisyah, pasti melebihi dari dunia dan segala isinya. Aku kalah, aku kalah telak oleh wan
Meski aku menangis dalam pelukannya tapi tak lagi kutemukan yang bisa memberiku kenyamanan, sebuah tempat yang damai yang akan membuat tangisan terseduku menjadi reda dan tarikan nafas yang tenang. Aku menarik diri dari rengkuhannya, mundur sambil menatapnya dengan gelengan kepala, mas Husein nampak heran, tapi dia ingin terus membujukku dengan tatapan matanya yang terlihat memelas dan turut sedih. Entah pemikiran apa yang sedang terlintas di hatinya, benarkah dia sungguh kasihan padaku atau hanya pura-pura terlihat menyesal dan bersedih agar tidak terlalu nampak tak berperasaan. "Kenapa sayang? Tolong jangan tarik dirimu seperti itu!""Aku sudah sadar mas tidak ada harapan diantara kita,"jawabku parau, air mata ini meluncur dengan cepat, lalu jatuh ke atas hijabku. "Jangan bilang begitu... Apa yang berat bagi sungguh juga berat bagiku.""Oh sungguhkah?" Beraninya Dia terlihat pura-pura prihatin padahal sebenarnya begitu banyak rahasia yang ia sembunyikan dariku. Masalah wanitanya
"Tolong jangan bicarakan Rania dengan konotasi negatif, karena dia adalah wanita yang baik yang tidak pernah meminta waktu dan perhatian untuk dirinya sendiri. Justru dia selalu ingin aku memperhatikanmu dan mencurahkan semua tenagaku untuk fokus pada kesembuhanmu. Rasanya sedih sekali Jika kau salah paham hanya karena kami menikah tanpa sepengetahuanmu.""Apa?" Aku tercekat mendengar ucapan suamiku. Ingin mencoba mengulas dan mencerna satu persatu kalimat yang terlontar itu tapi semuanya terlalu cepat dan masing-masing seperti anak panah yang melesat menuju rongga dadaku. Yang pertama ...dia membanggakan Rania sebagai wanita yang pengertian dan perhatian. Yang kedua dia bilang kalau dia sedih sekali karena aku salah paham pada istri keduanya hanya karena mereka menikah! Ingin sekali berteriak di wajahnya, bahwa, peristiwa yang terjadi sudah masalah yang paling besar di kehidupan rumah tangga kami.Sudah menikah dan ditutupi pula, kini dia memintaku untuk tidak menghujat istrinya. S
Melihat belanjaanku yang masih teronggok di atas meja, aku terpaku. Aku ingin menyusunnya tapi masalah dan pikiran-pikiran yang menumpuk dalam benakku membuatku hanya bisa berdiri sambil menahan air mata. Angka-angka yang terus saling tumpang tindih dalam pikiranku, pertanyaan-pertanyaan yang belum menemukan jawabannya ...aku masih bingung juga sampai sekarang. Jika selama ini aku dan dia memiliki tabungan bersama, berarti suamiku juga punya tabungan pribadi yang jumlahnya sangat banyak, bahkan aku pun menyadari bahwa aku sama sekali tidak tahu jumlah pendapatan dan bonusnya. "Uhm, sebaiknya kita bicara, Aku ingin kau dan aku bicara baik-baik tanpa ada emosi. Bisakah?"Aku melirik ke arahnya, menatap lelaki dengan celana pendek dan kacamata yang membingkai wajah manisnya, bagiku dia pusat dunia dan cinta sejatiku tapi sekarang aku bias tentang pendapatku sendiri. "Aku belum ingin bicara pada siapapun pikiranku masih kacau dan aku khawatir Itu akan menimbulkan emosi!" Aku membalikka