"Jangan berdiri saja di situ, masuk, An!""Bapak sehat, kan?" tanya Angela seraya menarik kursi sedikit menjauh dari meja. Ia kemudian duduk berhadapan dengan Pak Topan. "Iya, Bapak sehat. Cuma kemarin ada kejadian kurang mengenakkan saja.""Kalau boleh tahu, ada kejadian apa, Pak?""Ada dua orang datang dari sebuah perusahaan … Bapak lupa namanya, tapi intinya rumah duka ini masuk ke dalam mega proyek mereka.""Jadi … mereka akan menggusur tempat ini, Pak?" tanya Angela terkejut. "Mereka menawarkan nominal yang fantastis, tapi masih belum mengatakan apa-apa. Mereka memberikan waktu satu bulan untuk Bapak bersiap-siap pindah dari sini.""Loh, bukannya Bapak belum memutuskan?"Pak Topan menghela napas kasar dan pendek. "Mereka sebenarnya tidak perlu persetujuan. Mau atau tidak, kita harus mau.""Tidak bisa begitu dong, Pak. Tanah dan bangunan ini punya Bapak semua. Yang paling berhak memutuskan tentulah Bapak."Pak Topan tersenyum tipis. "Seharusnya memang begitu. Tapi Bapak cuma or
"Langit tidak pernah mengatakan dirinya tinggi, Jo. Biarkan saja dia. Kita tinggalkan saja dia sini. Siapa tahu dia sadar kalau sudah mati."Joana menyeringai. "Bocil tengil! Tadi kau bicara santun, ternyata sekarang seperti ini aslimu." "Jangan ikut campur hantu jelek!"Joana tertawa keras. "Apa kau tidak sadar seperti apa kau itu? Hantu teriak hantu!"Calista terdiam. Tampaknya perkataan Joana seperti sebuah tamparan keras di pipinya. "Mohon maaf Nona Calista yang cantik jelita. Make up saya hapus, ya," kata Angela tenang sembari mengusapkan kapas yang telah dibubuhi cairan pembersih make up ke wajah Calista. "Tidak boleh sembarangan begitu. Aku bilang ke Papa!""Bilang sana sama papamu!" ledek Joana. "Awas kau, ya!" Calista berjalan cepat keluar ruangan. Joana menguntitnya dari belakang. Angela hanya tersenyum tipis. Ia sebenarnya tidak sedang bersungguh-sungguh. Hanya ingin memberikan Calista pelajaran. Ia harus bisa menyadari kesalahan sebelum benar-benar pergi dari dunia in
"An! Cepat!" panggil Joana setelah peti jenazah Calista dibawa ke ruang persemayaman. Angela menutup pintu. "Ada apa?""Ada Nyonya Alena. Dia baru saja datang. Sepertinya langsung ke kantor Pak Topan.""Mau apa dia?"Joana mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Biar aku ke sana duluan," kata Joana tampak antusias. Angela menduga-duga maksud kedatangan perempuan tersebut. Satu yang paling mungkin menurutnya adalah perusahaan milik Alena yang akan menggusur rumah duka ini. Angela memilih menunggu kabar tentang kedatangan Alena di ruang perpustakaan mini. Sedangkan Joana masih menguping pembicaraan perempuan tersebut dengan Pak Topan. Sosok Alena mengingatkannya pada Miranda. Perempuan ambisius yang mati karena ambisi dan dendamnya sendiri. Cara bicara maupun gestur tubuhnya tidak jauh berbeda. Novel yang ada di tangan Angela sejak tadi hanya ia pegang saja. Pikirannya terus tertuju pada pertemuan di kantor Pak Topan. Ingin rasanya ia berteriak memanggil Joana dan mendengar ceritanya.
"An! Mau kabur sendiri saja. Tidak mengajakku lagi," kata Joana tiba-tiba datang dari arah belakang Angela. "Salah sendiri gak muncul-muncul. Ayo cepatlah! Perjalanan kita lumayan jauh," ujar Angela seraya menghidupkan mesin motornya. Joana bergegas mendekat kemudian naik ke boncengan. Angela langsung tancap gas meninggalkan area parkir dengan kecepatan di luar kebiasaannya. Cuaca yang bersahabat menjadikan perjalanan dua jam tidak begitu terasa melelahkan. Ditambah suasana pinggiran kota yang cukup bersahabat dengan jalanan yang tidak begitu padat. Angela sampai di depan rumah besar dengan pagar tinggi berwarna putih. Angela menghubungi nomor yang tadi memintanya datang. Tidak lama seorang lelaki muda membuka pintu pagar dan mempersilakan Angela masuk. Dengan sopan lelaki tersebut meminta izin untuk memarkirkan motor Angela ke samping rumah tersebut. Keadaan rumah tampak sepi. Tidak terlihat orang berkumpul di dalam rumah saat Angela masuk. Bulu kuduknya meremang dan telinganya
"Orang yang tidak mengalami tentu mudah bicara. Tapi tidak untuk kami yang menjadi korbannya," kata Agatha seraya melihat wajah Amanda di dalam peti. "Seandainya aku bisa memilih orang tua sebelum lahir, aku akan memilih orang lain saja."Angela hanya bisa menghela napas. Bukan kali ini saja ia menemui jenazah korban pesugihan. Satu hal yang tidak bisa diterima akalnya adalah bagaimana orang tua yang melahirkan dan membesarkan anaknya tega menukar nyawa mereka demi kesenangan dunia. Di luar sana banyak pasangan yang telah berjuang bertahun-tahun demi seorang buah hati tetapi pasangan yang sudah dikaruniai putra dan putri justru dengan mudahnya memberikan nyawa mereka pada makhluk jahat tak bermoral. Angela tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kedua gadis muda tersebut. Pengalamannya membantu Pauli sudah cukup memberinya peringatan untuk tidak mencampuri perjanjian tumbal pesugihan orang lain. Karena urusannya rumit dan membahayakan. Kurang lebih satu jam Angela selesai me
"Akhirnya pacarmu pulang juga. Aku hanya menjadi pengusir nyamuk saja dari tadi," rutuk Joana dari ambang pintu. "Habis, mau diapakan lagi. Sudah terjadi ini." Angela menahan tawanya. "Sudahlah aku mati, kesepian, tidak punya pacar tapi harus melihat kalian mesra-mesraan begitu. Menyebalkan, tau!"Angela terkekeh. "Kita jalan-jalan saja ke taman di depan sana. Ada warung makan yang buka dua puluh empat jam. Perutku masih lapar ini," ajak Angela. "Boleh juga.""Sebentar kuambil mantelku dulu."Angela melangkah masuk ke kamarnya. Mengambil mantel berbahan lembut di lemari. Mantel itu sangat jarang dipakainya karena kesan ketika memakainya jadi seperti perempuan feminin yang hendak menghadiri pesta thanksgiving di musim dingin. Melewati gang suasananya sangat sepi. Sudah tidak ada lagi orang yang lewat karena waktu hampir menyentuh tengah malam. Namun, begitu mereka sampai di taman, suasana lebih ramai. Terlebih di warung makan yang terdapat di samping taman. Tempat duduk terlihat ma
Angela hanya geleng-geleng seraya tersenyum melihat tingkah Joana. Ia tidak mau melarang perempuan itu bersenang-senang. Biarlah dia menikmati apa yang menjadi keinginannya. Lima menit ternyata hanya perkiraan. Sampai nasi goreng hampir habis Olla belum kelihatan muncul di depan mata. Kebiasaan yang sulit berubah. Pasti alasannya nanti, di jalan macet. Padahal tengah malam begini jalanan lengang. Cuma makhluk tak kasat mata saja yang ramai berlalu-lalang. "Sorry, An, telat. Ada gangguan di pertigaan sana. Terpaksalah aku ngobrol dulu sama dia. Hantu juga butuh didengarkan," kata Olla beralasan. Ia mengatur napasnya yang agak ngos-ngosan. "Kapan aku tidak memaklumi alasanmu, La? Aku selalu maklum," kata Angela dengan mata membulat. "Pokoknya maaf, aku terlambat," jawab Olla lalu tertawa kecil. Wajah Olla sudah terlihat semringah. Jauh berbeda ketika mereka bertemu kemarin itu. Mungkin ia sedang berusaha menerima perjodohan dan berdamai dengan keadaan yang sekarang tidak bisa dihin
Angela hampir tidak bisa tidur semalam. Pikirannya terus tertuju pada Alena. Rasanya ia belum ingin bertemu muka dengan perempuan misterius itu. Masih banyak hal yang belum ia ketahui tentang bagaimana kepribadian seorang Avanti Bellona. Bertanya pada Joana pun percuma. Dia hanya sekilas mengenal perempuan tersebut. Belum pernah bicara face to face dalam durasi waktu yang lama. Alena mengirimi Angela pesan lagi. Menanyakan waktu pertemuan mereka. Sebagai perias jenazah yang tidak punya waktu kerja jelas, tentu menjadi satu keberuntungan untuk membuat alasan. Ia tidak tahu kapan orang-orang yang memerlukan bantuannya akan menghubungi. "Ngapain bengong?" Suara Gumawang mengejutkan Angela. "Biasanya kau bisa baca pikiranku," jawab Angela dengan mata sedikit membulat, lalu menyangga dagunya dengan tangan. "Memang mudah membaca pikiranmu. Tapi sekali waktu jangan begitu terus. Tidak asik," kata Gumawang sembari melongok ke luar jendela. "Mana Joana?""Tumben nanyain Joana. Dia tidak p
"Kau di sini saja menemani Angela. Aku akan menelepon Pak Andreas. Semoga ada kabar baik juga dari Gumawang dan Dahlia," kata Olla seraya meninggalkan kamar tidurnya. Olla mondar-mandir di balkon. Matanya sesekali mengarah pada langit yang kelam. Bintang tidak satu pim terlihat menggantung di atap dunia yang gelap itu. Andreas belum juga meneleponnya setelah beberapa kali missed call. Hampir saja ia ketiduran di kursi ketika akhirnya Andreas menelepon. Kabar baik yang diharapkan benar-benar terdengar dari seberang telepon. "Nanti saja cerita panjangnya, Pak. Yang penting sudah pasti bahwa Tuan Antoni selamat. Kalau Angela sudah bangun saya akan membawanya ke rumah sakit," kata Olla. Ia menghela napas lega. Rasanya tidak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini pada Angela dan Joana. "Jo, Tuan Antoni selamat. Ia ditemukan di pinggir sumur dengan keadaan lemas. Ajaibnya tidak banyak air masuk ke paru-parunya. Sekarang sudah berada di rumah sakit," ucap Olla pada Joana yang masih tergu
Angela memegangi lehernya sambil mengatur napas. Ia tidak memperhatikan makhluk itu maupun Antoni. Begitu ia mengangkat kepalanya mereka sudah tidak ada. "Kim! Kim!" Angela berteriak sekuat tenaga. Ia menyusul ke bibir sumur. Melihat ke dalam tetapi tanda-tanda keberadaan mereka tidak terlihat. Di sana masih mengambang mayat yang sama seperti yang dilihatnya bersama Antoni. Perasaan Angela hancur, ledakan tangisnya tidak bisa membawa Antoni kembali ke sisinya. Logikanya lenyap seketika. Tanpa berpikir panjang, ia menceburkan dirinya mengikuti Antoni ke dalam sumur. "Angela jangan gila!" Dahlia memegangi kedua pundak Angela lalu menariknya hingga terlempar membentur dinding. "Diam kau di situ! Kau kira kami tidak membantumu. Apa kau tahu, tidak mudah menembus ke ruangan ini." Dahlia berjongkok di depan Angela. "Jadi tolong jangan bertindak bodoh!"Angela menunduk. Air matanya luruh, menetes ke atas jerami yang berserakan. "Maafkan, aku. Aku tidak siap untuk keadaan ini, apalagi haru
"Misalnya?" Angela menggeser duduknya ke depan Antoni. "Hei," bisiknya, menyentuh pundak Angela dan sedikit menggeser tubuhnya semakin dekat. "Apa kau tahu, kau sama sekali tidak lemah. Ketika kau meludahi Steve, aku merasa sangat bangga padamu." Senyumnya merekah ketika ia menangkup pundak Angela. Mereka begitu dekat. Antoni menghirup wangi Angela dan rasanya seperti menenggak afrodisiak. la menggenggam Angela semakin erat. "Dan percayalah pendapatku sebagai laki-laki, kau selalu cantik dalam segala hal," tambahnya.Angela terbuai oleh ketulusan suara Antoni dan tatapannya yang bergairah. Beberapa detik lalu ia tidak berpikir untuk mencium Antoni, tetapi sekarang, mencium pria itu kelihatannya hal paling tepat. Ia ingin menghilangkan perasaan takut yang mengikatnya. Angela mengangkat tangan, menungkup wajah Antoni, tunggul janggutnya menggelenyarkan telapak tangan. Tatapan lelaki itu menjadi berhasrat. Angela berdebar-debar, memejam, dan merasakan bibir Antoni mendarat dengan panas
Mereka digiring masuk ke salah satu kandang kuda. Di dinding bagian belakang kandang tersebut terdapat pintu rahasia yang tersamarkan.Steve dan Alena tersenyum sinis ketika Angela dan Antoni dibawa masuk. Alena bahkan bertepuk tangan sambil mendekati keduanya. "Kau masuk ke dalam jebakanku Antoni Hakim. Aku tidak tahu kau ini terlalu polos atau terlalu bodoh," ejek Alena, dia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Antoni. Antoni tidak mengatakan apa pun, ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alena yang dirasanya tidak penting. "Seharusnya kau cukup duduk manis menikmati semua uangmu tanpa repot-repot ikut campur urusanku," kata Alena menyentuh pipi Antoni dengan ujung jarinya. Steve Menda beranjak dari kursinya. Mendekati istrinya. "Mereka maunya seperti itu, biarkan saja. Berikan kesempatan untuk mereka berduaan sebelum napasnya hilang." "Rencanaku pun begitu. Tapi, apa kau tidak menginginkan perempuan ini?" Alena sedikit menunduk untuk mengintimidasi Angela dengan tatapanny
"Tidak ada apa-apa, kan, Win. Sepertinya kau ini berhalusinasi," kata Erik. Cahaya ponselnya bergerak ke kandang di mana Angela dan Antoni berada. Nasib baik lagi-lagi berpihak pada mereka. Erik hanya menyorot sekilas di bagian dinding saja. "Di sini juga tidak ada apa-apa. Mungkin benar aku hanya berhalusinasi efek tidak jadi minum-minum di bar." Edwin terkekeh. "Nah! Betul itu."Mereka kembali ke tempat semula. Berdiri mengawasi di belakang mobil Alena. "Hampir saja, An." Antoni menyingkirkan jerami yang menutupi tubuhnya."Tuhan menyelamatkan kita lagi dan semoga terus seperti itu," bisik Angela. Ia sangat berhati-hati agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Antoni melihat ke layar ponselnya. "Jaringan masih ada walaupun hilang timbul. Aku harus mengirim pesan pada Andreas. Kalau misal terjadi hal buruk pada kita, dia tahu kemana harus mencari.""Kim pernah bilang sendiri, ucapkan yang baik-baik saja.""Berjaga-jaga untuk situasi terburuk juga perlu, An. Kalau kita benar-benar
"Sial! Tuan Steve kenapa mendadak begini mengabari kita. Tidak biasanya dia kesini di jam-jam segini.""Mungkin karena sedang hujan, cakung, Win. Cuaca mendukung." Mereka berdua tertawa. "Setidaknya kita masih bisa menghabiskan rokok di sini sampai hajat Tuan Steve selesai."Dari pembicaraan keduanya, sangat tidak mungkin menyalakan senter untuk penunjuk jalan. Sedikit saja cahaya bergerak dan terlihat oleh mereka sama saja dengan bunuh diri. "Kita harus berjalan dalam gelap, Kim.""Terpaksa harus begitu. Kita pelan-pelan saja. Walaupun tidak bisa melihat dalam gelap, setidaknya kita tahu arahnya.""Sebelum Gumawang pergi tadi, ia sempat memperlihatkan dalam terang keadaan di dalam istal ini. Ia memintaku untuk menghafalkannya.""Kau masih bisa mengingatnya dengan jelas, An?""Tentu. Sekarang giliranku menggandeng tangan, Kim," kata Angela dengan suara pelan. Sejak tadi mereka sangat menjaga volume suara agar tidak terdengar oleh kedua pria yang sedang merokok agak jauh dari posisi m
"Air berhubungan dengan Wuri. Membuang begitu saja di dalam sumur juga mudah. Tidak perlu menggali tanah.""Wuri?" Dahi Antoni berkerut. "Aku belum pernah mendengar namanya. Dia siapa?""Aku pikir kau sudah tahu semuanya tentang Alena dan Delta Kencana, ternyata belum. Wuri adalah makhluk siluman yang menjadi penjaga keberlangsungan perusahaan. Karena itulah mereka selalu mendapatkan mega proyek dengan posisi terkuat. Perkembangan mereka pun pesat. Tapi, di balik itu semua, banyak korban berjatuhan.""Diberikan kepada si Wuri itu?"Angela memejam sesaat. "Tentu iya. Bukan hanya perempuan-perempuan yang bekerja di Delta Kencana saja, bayi hasil aborsi juga sangat disukai makhluk siluman itu. Alena sampai harus membeli secara khusus dari sebuah klinik aborsi yang berkedok klinik bersalin.""Mereka sudah kehilangan akal sehat, An," sebut Antoni sambil menutup pintu lemari. "Diam di situ, Kim." Angela membuat gerakan mendadak, menutup semua akses ke dalam kamar. "Kenapa kau tutup semua?
"Ini bukan jalan menuju ruang rahasia, Kim. Tapi tempat pembuangan mayat," kata Angela melangkah mundur ke tempatnya semula. "Atau mungkin inilah ruang rahasia itu," ujar Antoni seraya memberikan ponsel kepada Angela. "Kau terlihat tidak terganggu dengan bau dari dalam sumur. Padahal aromanya luar biasa busuk.""Gumawang menghilangkan dengung dan kemampuanku membaui untuk sementara waktu. Ponsel ini untuk apa?""Fotokan sumur itu. Usahakan mayat di dalamnya terlihat jelas. Bila perlu buat video biar buktinya semakin kuat." Angela mengangguk lalu berjongkok di bibir sumur yang tidak berpenghalang. Sedikit saja keseimbangannya hilang, bisa dipastikan ia masuk juga ke dalam sana. Beberapa foto dan video sudah Angela buat. Hasilnya ia kirimkan juga melalui surel ke alamat emailnya. Baik yang sudah biasa digunakan maupun yang rahasia. Berjaga-jaga dari kemungkinan buruk agar apa yang sudah dilakukan malam ini tidak sia-sia. Antoni menutup kembali sumur yang berdiameter sekitar satu met
Angela menarik napas kaget ketika ia merasakan sesuatu seperti udara menerpa keras wajahnya hingga perut tiba-tiba terasa tegang. Langkahnya pun terhenti. "Ada apa, An?" Antoni menyorot wajah Angela dengan senter. "Entahlah. Aku tidak bisa melihatnya. Hanya keras seperti tamparan. Sakitnya masih terasa. Tempat ini pasti sangat angker, Kim. Kita saja yang tidak bisa melihat keberadaan makhluk tak kasat mata yang berkeliaran. "Tenanglah! Kita hanya perlu menemukan tempat itu, saja. Mendapatkan bukti lalu pergi." Antoni mencoba memberi semangat dan penguatan. Angela menghela napas berulang sebelum ia melanjutkan langkah bersama Antoni. Cahaya senter Antoni terus bergerak seiring pergerakan keduanya. Di ujung lorong mereka menemukan pintu yang tertutup rapat. Posisinya tepat di belakang deretan kandang kuda. "Kim! Rasanya kepalaku mau pecah!" Angela berteriak sambil meremas kuat tangan Antoni. "Artinya memang di sinilah tempatnya. Please! Bertahanlah, Sayang," Antoni membawa Angela