"Langit tidak pernah mengatakan dirinya tinggi, Jo. Biarkan saja dia. Kita tinggalkan saja dia sini. Siapa tahu dia sadar kalau sudah mati."Joana menyeringai. "Bocil tengil! Tadi kau bicara santun, ternyata sekarang seperti ini aslimu." "Jangan ikut campur hantu jelek!"Joana tertawa keras. "Apa kau tidak sadar seperti apa kau itu? Hantu teriak hantu!"Calista terdiam. Tampaknya perkataan Joana seperti sebuah tamparan keras di pipinya. "Mohon maaf Nona Calista yang cantik jelita. Make up saya hapus, ya," kata Angela tenang sembari mengusapkan kapas yang telah dibubuhi cairan pembersih make up ke wajah Calista. "Tidak boleh sembarangan begitu. Aku bilang ke Papa!""Bilang sana sama papamu!" ledek Joana. "Awas kau, ya!" Calista berjalan cepat keluar ruangan. Joana menguntitnya dari belakang. Angela hanya tersenyum tipis. Ia sebenarnya tidak sedang bersungguh-sungguh. Hanya ingin memberikan Calista pelajaran. Ia harus bisa menyadari kesalahan sebelum benar-benar pergi dari dunia in
"An! Cepat!" panggil Joana setelah peti jenazah Calista dibawa ke ruang persemayaman. Angela menutup pintu. "Ada apa?""Ada Nyonya Alena. Dia baru saja datang. Sepertinya langsung ke kantor Pak Topan.""Mau apa dia?"Joana mengangkat kedua bahunya bersamaan. "Biar aku ke sana duluan," kata Joana tampak antusias. Angela menduga-duga maksud kedatangan perempuan tersebut. Satu yang paling mungkin menurutnya adalah perusahaan milik Alena yang akan menggusur rumah duka ini. Angela memilih menunggu kabar tentang kedatangan Alena di ruang perpustakaan mini. Sedangkan Joana masih menguping pembicaraan perempuan tersebut dengan Pak Topan. Sosok Alena mengingatkannya pada Miranda. Perempuan ambisius yang mati karena ambisi dan dendamnya sendiri. Cara bicara maupun gestur tubuhnya tidak jauh berbeda. Novel yang ada di tangan Angela sejak tadi hanya ia pegang saja. Pikirannya terus tertuju pada pertemuan di kantor Pak Topan. Ingin rasanya ia berteriak memanggil Joana dan mendengar ceritanya.
"An! Mau kabur sendiri saja. Tidak mengajakku lagi," kata Joana tiba-tiba datang dari arah belakang Angela. "Salah sendiri gak muncul-muncul. Ayo cepatlah! Perjalanan kita lumayan jauh," ujar Angela seraya menghidupkan mesin motornya. Joana bergegas mendekat kemudian naik ke boncengan. Angela langsung tancap gas meninggalkan area parkir dengan kecepatan di luar kebiasaannya. Cuaca yang bersahabat menjadikan perjalanan dua jam tidak begitu terasa melelahkan. Ditambah suasana pinggiran kota yang cukup bersahabat dengan jalanan yang tidak begitu padat. Angela sampai di depan rumah besar dengan pagar tinggi berwarna putih. Angela menghubungi nomor yang tadi memintanya datang. Tidak lama seorang lelaki muda membuka pintu pagar dan mempersilakan Angela masuk. Dengan sopan lelaki tersebut meminta izin untuk memarkirkan motor Angela ke samping rumah tersebut. Keadaan rumah tampak sepi. Tidak terlihat orang berkumpul di dalam rumah saat Angela masuk. Bulu kuduknya meremang dan telinganya
"Orang yang tidak mengalami tentu mudah bicara. Tapi tidak untuk kami yang menjadi korbannya," kata Agatha seraya melihat wajah Amanda di dalam peti. "Seandainya aku bisa memilih orang tua sebelum lahir, aku akan memilih orang lain saja."Angela hanya bisa menghela napas. Bukan kali ini saja ia menemui jenazah korban pesugihan. Satu hal yang tidak bisa diterima akalnya adalah bagaimana orang tua yang melahirkan dan membesarkan anaknya tega menukar nyawa mereka demi kesenangan dunia. Di luar sana banyak pasangan yang telah berjuang bertahun-tahun demi seorang buah hati tetapi pasangan yang sudah dikaruniai putra dan putri justru dengan mudahnya memberikan nyawa mereka pada makhluk jahat tak bermoral. Angela tidak bisa berbuat apa-apa untuk menyelamatkan kedua gadis muda tersebut. Pengalamannya membantu Pauli sudah cukup memberinya peringatan untuk tidak mencampuri perjanjian tumbal pesugihan orang lain. Karena urusannya rumit dan membahayakan. Kurang lebih satu jam Angela selesai me
"Akhirnya pacarmu pulang juga. Aku hanya menjadi pengusir nyamuk saja dari tadi," rutuk Joana dari ambang pintu. "Habis, mau diapakan lagi. Sudah terjadi ini." Angela menahan tawanya. "Sudahlah aku mati, kesepian, tidak punya pacar tapi harus melihat kalian mesra-mesraan begitu. Menyebalkan, tau!"Angela terkekeh. "Kita jalan-jalan saja ke taman di depan sana. Ada warung makan yang buka dua puluh empat jam. Perutku masih lapar ini," ajak Angela. "Boleh juga.""Sebentar kuambil mantelku dulu."Angela melangkah masuk ke kamarnya. Mengambil mantel berbahan lembut di lemari. Mantel itu sangat jarang dipakainya karena kesan ketika memakainya jadi seperti perempuan feminin yang hendak menghadiri pesta thanksgiving di musim dingin. Melewati gang suasananya sangat sepi. Sudah tidak ada lagi orang yang lewat karena waktu hampir menyentuh tengah malam. Namun, begitu mereka sampai di taman, suasana lebih ramai. Terlebih di warung makan yang terdapat di samping taman. Tempat duduk terlihat ma
Angela hanya geleng-geleng seraya tersenyum melihat tingkah Joana. Ia tidak mau melarang perempuan itu bersenang-senang. Biarlah dia menikmati apa yang menjadi keinginannya. Lima menit ternyata hanya perkiraan. Sampai nasi goreng hampir habis Olla belum kelihatan muncul di depan mata. Kebiasaan yang sulit berubah. Pasti alasannya nanti, di jalan macet. Padahal tengah malam begini jalanan lengang. Cuma makhluk tak kasat mata saja yang ramai berlalu-lalang. "Sorry, An, telat. Ada gangguan di pertigaan sana. Terpaksalah aku ngobrol dulu sama dia. Hantu juga butuh didengarkan," kata Olla beralasan. Ia mengatur napasnya yang agak ngos-ngosan. "Kapan aku tidak memaklumi alasanmu, La? Aku selalu maklum," kata Angela dengan mata membulat. "Pokoknya maaf, aku terlambat," jawab Olla lalu tertawa kecil. Wajah Olla sudah terlihat semringah. Jauh berbeda ketika mereka bertemu kemarin itu. Mungkin ia sedang berusaha menerima perjodohan dan berdamai dengan keadaan yang sekarang tidak bisa dihin
Angela hampir tidak bisa tidur semalam. Pikirannya terus tertuju pada Alena. Rasanya ia belum ingin bertemu muka dengan perempuan misterius itu. Masih banyak hal yang belum ia ketahui tentang bagaimana kepribadian seorang Avanti Bellona. Bertanya pada Joana pun percuma. Dia hanya sekilas mengenal perempuan tersebut. Belum pernah bicara face to face dalam durasi waktu yang lama. Alena mengirimi Angela pesan lagi. Menanyakan waktu pertemuan mereka. Sebagai perias jenazah yang tidak punya waktu kerja jelas, tentu menjadi satu keberuntungan untuk membuat alasan. Ia tidak tahu kapan orang-orang yang memerlukan bantuannya akan menghubungi. "Ngapain bengong?" Suara Gumawang mengejutkan Angela. "Biasanya kau bisa baca pikiranku," jawab Angela dengan mata sedikit membulat, lalu menyangga dagunya dengan tangan. "Memang mudah membaca pikiranmu. Tapi sekali waktu jangan begitu terus. Tidak asik," kata Gumawang sembari melongok ke luar jendela. "Mana Joana?""Tumben nanyain Joana. Dia tidak p
Seorang perempuan memintanya untuk datang ke sebuah rumah di kawasan padat penduduk yang ada di dekat rusun. Suaranya terbata-bata. Ia menyebut bahwa anaknya ditemukan meninggal semalam di dalam bathtub karena meminum racun. "Baik, Bu. Saya akan segera ke sana. Ibu kirimkan saja alamatnya. Kalau bisa share location kalau tidak bisa ditulis saja tidak apa, Bu," tutur Angela. Setelah menutup telepon, perempuan tersebut mengirimkan alamat lengkap. Lokasinya belum pernah Angela lewati sebelumnya. Ia mengajak Joana untuk menemani. Lima belas menit bersiap-siap mereka langsung pergi."Kita gak nyasar kan, An?" tanya Joana ketika melewati pemukiman kumuh yang sempit. "Tidak. Tenang saja. Kalau ada orang jahat, kau yang bertindak," jawab Angela terus memacu motornya. "Giliran yang susah, aku yang kau suruh.""Ini yang disebut kita sedang bekerja. Jadi, ya, ada pembagian tugasnya.""Tapi duitnya gak dibagi dua.""Begitulah nasib jadi hantu. Terima saja, Jo." Angela pun terkekeh. Begitu s