Angela hampir tidak bisa tidur semalam. Pikirannya terus tertuju pada Alena. Rasanya ia belum ingin bertemu muka dengan perempuan misterius itu. Masih banyak hal yang belum ia ketahui tentang bagaimana kepribadian seorang Avanti Bellona. Bertanya pada Joana pun percuma. Dia hanya sekilas mengenal perempuan tersebut. Belum pernah bicara face to face dalam durasi waktu yang lama. Alena mengirimi Angela pesan lagi. Menanyakan waktu pertemuan mereka. Sebagai perias jenazah yang tidak punya waktu kerja jelas, tentu menjadi satu keberuntungan untuk membuat alasan. Ia tidak tahu kapan orang-orang yang memerlukan bantuannya akan menghubungi. "Ngapain bengong?" Suara Gumawang mengejutkan Angela. "Biasanya kau bisa baca pikiranku," jawab Angela dengan mata sedikit membulat, lalu menyangga dagunya dengan tangan. "Memang mudah membaca pikiranmu. Tapi sekali waktu jangan begitu terus. Tidak asik," kata Gumawang sembari melongok ke luar jendela. "Mana Joana?""Tumben nanyain Joana. Dia tidak p
Seorang perempuan memintanya untuk datang ke sebuah rumah di kawasan padat penduduk yang ada di dekat rusun. Suaranya terbata-bata. Ia menyebut bahwa anaknya ditemukan meninggal semalam di dalam bathtub karena meminum racun. "Baik, Bu. Saya akan segera ke sana. Ibu kirimkan saja alamatnya. Kalau bisa share location kalau tidak bisa ditulis saja tidak apa, Bu," tutur Angela. Setelah menutup telepon, perempuan tersebut mengirimkan alamat lengkap. Lokasinya belum pernah Angela lewati sebelumnya. Ia mengajak Joana untuk menemani. Lima belas menit bersiap-siap mereka langsung pergi."Kita gak nyasar kan, An?" tanya Joana ketika melewati pemukiman kumuh yang sempit. "Tidak. Tenang saja. Kalau ada orang jahat, kau yang bertindak," jawab Angela terus memacu motornya. "Giliran yang susah, aku yang kau suruh.""Ini yang disebut kita sedang bekerja. Jadi, ya, ada pembagian tugasnya.""Tapi duitnya gak dibagi dua.""Begitulah nasib jadi hantu. Terima saja, Jo." Angela pun terkekeh. Begitu s
"Sepertinya dia memang sudah berencana menghabisi aku. Sebelum ke kamar mandi aku sempat melihat dia membawa tas ransel yang diambilnya dari gudang. Waktu mengajakku ke kamar mandi, dia memakai sarung tangan karet. Suamiku bilang, dia sedang berperan sebagai polisi. Berfantasi untuk menaikkan gairahnya.""Apa kau tidak curiga?" Joana kali ini yang bertanya. "Aku tidak berani menanyakan apa pun. Pertama dia memberiku minuman berwarna merah, rasanya seperti sirup merk terkenal. Tidak lama dari itu kepalaku pusing, perutku mual seperti orang yang mabuk kendaraan." Rara menghela napas pendek. Tampaknya dia sedang menata perasaannya. "Pelan-pelan saja ceritanya. Tidak apa," kata Joana melangkah pelan mendekati Rara. "Lalu dia memasukkan aku ke dalam bathtub yang sudah berisi air separuh. Badanku terasa semakin lemas dan tidak berdaya. Di saat itulah dia mencekoki aku dengan cairan yang sangat menyengat. Seketika tenggorokan terasa terbakar, menjalar ke dada dan perut. Sakitnya luar bias
Angela menghubungi Andreas. Ia meminta lelaki tersebut untuk bertemu setelah makan siang. Beruntung, Andreas punya waktu. Angela diminta datang ke sebuah kafe yang tidak jauh dari kantor polisi. "Ada angin apa yang membawa Mbak Angela sampai ke sini?" tanya Andreas seraya menyalami Angela. "Angin sepoi-sepoi, Pak," jawab Angela tertawa kecil. "Pasti ada yang menarik ini.""Saya mau minta tolong, Pak. Tadi saya merias jenazah perempuan bernama Sahara. Arwahnya mengatakan pada saya bahwa dia tidak mati bunuh diri melainkan dibunuh oleh suaminya.""Yang jenazahnya ditemukan semalam di kamar mandi rumah mereka. Itu apa bukan?""Iya, betul. Bapak sudah jadi cenayang juga sekarang, langsung bisa menebak." Angela senyum-senyum.Pak Andreas tertawa. "Tenang saja, Mbak. Tetap Mbak Angela yang paling pas jadi cenayang." "Apa Bapak bisa membantu menangkap lelaki itu?""Kalau sudah Mbak Angela yang memberi informasi, nilai akurasinya sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan, harus
Joana manggut-manggut. Sesaat kemudian Pak Topan masuk menghampiri Angela. Ia tidak sendiri. Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan ikut serta berjalan di belakangnya. Pak Topan memperkenalkan perempuan tersebut. Namanya Amy, asisten pribadi Nyonya Saraswati. Perempuan inilah yang mengurus sejak dari rumah sakit hingga ke rumah duka. Menurut keterangannya, suami dan anak semata wayang Nyonya Saraswati sedang berada di Singapura untuk mendaftar kuliah. Rencananya hari ini perempuan tersebut akan menyusul. "Nyonya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Tuan dan Giska dua hari yang lalu berangkat lebih dulu. Saya tidak menyangka akan seperti ini," ujar Amy lalu menunduk. Ia terlihat meremas tangan. Namun, tidak terlihat air mata turun ke pipinya. "Dia meminta izin Bapak untuk menemani Nyonya Saraswati di sini.""Silakan saja, Pak," kata Angela. Matanya memperhatikan gerak-gerik Amy yang entah kenapa seperti tidak menunjukkan kedukaan. Pak Topan mempersilakan Amy duduk d
Air muka Amy terlihat semakin keruh. Ponsel di tangannya tampak bergetar. Ia tidak bisa menyembunyikan tangannya yang gemetar. Buru-buru ia menyimpan ponselnya di saku blazer yang dikenakannya. "Harusnya Anda cepat-cepat menghapus pesan mesra Anda itu. Supaya nanti kalau diperiksa polisi tidak ada bukti perselingkuhan Anda dengan Tuan Sudibyo Sayang," ledek Angela menahan senyum."Tidak ada saya berselingkuh dengan Tuan Sudibyo. Saya perempuan yang tahu diri. Tidak mungkin saya mengkhianati Nyonya Saraswati yang sudah sangat baik dengan saya." Suara Amy melemah. Tidak seperti sebelumnya yang terkesan melawan. "Oh, ya. Tapi dengan mudahnya Anda mendorong istri Tuan Sudibyo hingga beliau jatuh melewati banyak anak tangga di rumahnya.""Nyonya terjatuh. Saya tidak mendorongnya. Anda silakan cek CCTV di rumah Nyonya. Pasti tidak ditemukan bukti bahwa saya melakukan apa yang Anda tuduhkan." Mulai terdengar ada keberanian di nada bicara Amy. "Saya tidak menuduh Anda. Hanya menyampaikan a
"Nyonya dan saya adalah sama, manusia biasa yang takdirnya sudah dituliskan. Sekeras apa pun peringatan yang Nyonya berikan pada saya, kalau takdirnya bukan seperti itu tetap tidak akan berlaku. Skenario Tuhan yang akan terjadi."Sekali lagi Alena mendengus. "Kau lihat saja!" Alena beranjak meninggalkan lobby dengan langkah cepat. Sepertinya ia sangat kesal dengan penolakan Angela. "Ini baru Angela," kata Gumawang yang selalu terdengar tiba-tiba dan mengejutkan. "Kalau sudah menyangkut harga diri, keberanianku bisa bertambah berkali lipat. Dia pikir semua urusan akan beres kalau ada uang," kata Angela seraya memutar kepala mencari asal suara. "Kekuatan terbesar memang datang dari diri sendiri. Kau harus mempertahankan itu. Sampai jumpa, An."Belum lagi Angela menemukan Gumawang, sosok itu malah pamit pergi. "Mbak Angela! Orangnya sudah datang." Kali ini suara Agus memanggilnya dari ambang pintu dalam. "Iya, Gus. Terima kasih, ya."Agus mengangkat jempolnya lalu tergesa meninggalka
"Baik, Bu. Ira akan melakukan seperti apa yang Ibu katakan. Doakan Ira, ya, Bu," pinta Haira lirih. "Doa Ibu selalu menyertaimu, Nak. Sudah waktunya Ibu pergi. Jaga dirimu baik-baik." Sekelebat cahaya putih kemudian membawa Nyonya Saraswati hanya dalam sepersekian detik. "Ibumu telah pergi. Hanya itu yang bisa beliau sampaikan. Lakukanlah pesan ibumu dengan baik. Kalau kau butuh teman bicara bisa hubungi, Kakak. Kau simpan nomor Kakak, ya."Haira mengangguk. Ia membuka resleting tas selempang kecilnya. Dikeluarkan ponsel miliknya lalu mengetik nomor yang Angela sebutkan. Setelah itu, Haira kembali ke ayahnya dan Angela pamit mohon diri. Kasus kematian Nyonya Saraswati akan ia konsultasikan dengan Andreas. Besar harapannya pembunuh ibunya Haira bisa ditangkap dan diadili. Angela langsung pulang begitu selesai pekerjaannya di rumah duka. Joana yang sejak tadi tidak terlihat ternyata ada di warung kopi di seberang jalan. Sepertinya ia sengaja melarikan diri karena Alena datang ke rum
"Kau di sini saja menemani Angela. Aku akan menelepon Pak Andreas. Semoga ada kabar baik juga dari Gumawang dan Dahlia," kata Olla seraya meninggalkan kamar tidurnya. Olla mondar-mandir di balkon. Matanya sesekali mengarah pada langit yang kelam. Bintang tidak satu pim terlihat menggantung di atap dunia yang gelap itu. Andreas belum juga meneleponnya setelah beberapa kali missed call. Hampir saja ia ketiduran di kursi ketika akhirnya Andreas menelepon. Kabar baik yang diharapkan benar-benar terdengar dari seberang telepon. "Nanti saja cerita panjangnya, Pak. Yang penting sudah pasti bahwa Tuan Antoni selamat. Kalau Angela sudah bangun saya akan membawanya ke rumah sakit," kata Olla. Ia menghela napas lega. Rasanya tidak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini pada Angela dan Joana. "Jo, Tuan Antoni selamat. Ia ditemukan di pinggir sumur dengan keadaan lemas. Ajaibnya tidak banyak air masuk ke paru-parunya. Sekarang sudah berada di rumah sakit," ucap Olla pada Joana yang masih tergu
Angela memegangi lehernya sambil mengatur napas. Ia tidak memperhatikan makhluk itu maupun Antoni. Begitu ia mengangkat kepalanya mereka sudah tidak ada. "Kim! Kim!" Angela berteriak sekuat tenaga. Ia menyusul ke bibir sumur. Melihat ke dalam tetapi tanda-tanda keberadaan mereka tidak terlihat. Di sana masih mengambang mayat yang sama seperti yang dilihatnya bersama Antoni. Perasaan Angela hancur, ledakan tangisnya tidak bisa membawa Antoni kembali ke sisinya. Logikanya lenyap seketika. Tanpa berpikir panjang, ia menceburkan dirinya mengikuti Antoni ke dalam sumur. "Angela jangan gila!" Dahlia memegangi kedua pundak Angela lalu menariknya hingga terlempar membentur dinding. "Diam kau di situ! Kau kira kami tidak membantumu. Apa kau tahu, tidak mudah menembus ke ruangan ini." Dahlia berjongkok di depan Angela. "Jadi tolong jangan bertindak bodoh!"Angela menunduk. Air matanya luruh, menetes ke atas jerami yang berserakan. "Maafkan, aku. Aku tidak siap untuk keadaan ini, apalagi haru
"Misalnya?" Angela menggeser duduknya ke depan Antoni. "Hei," bisiknya, menyentuh pundak Angela dan sedikit menggeser tubuhnya semakin dekat. "Apa kau tahu, kau sama sekali tidak lemah. Ketika kau meludahi Steve, aku merasa sangat bangga padamu." Senyumnya merekah ketika ia menangkup pundak Angela. Mereka begitu dekat. Antoni menghirup wangi Angela dan rasanya seperti menenggak afrodisiak. la menggenggam Angela semakin erat. "Dan percayalah pendapatku sebagai laki-laki, kau selalu cantik dalam segala hal," tambahnya.Angela terbuai oleh ketulusan suara Antoni dan tatapannya yang bergairah. Beberapa detik lalu ia tidak berpikir untuk mencium Antoni, tetapi sekarang, mencium pria itu kelihatannya hal paling tepat. Ia ingin menghilangkan perasaan takut yang mengikatnya. Angela mengangkat tangan, menungkup wajah Antoni, tunggul janggutnya menggelenyarkan telapak tangan. Tatapan lelaki itu menjadi berhasrat. Angela berdebar-debar, memejam, dan merasakan bibir Antoni mendarat dengan panas
Mereka digiring masuk ke salah satu kandang kuda. Di dinding bagian belakang kandang tersebut terdapat pintu rahasia yang tersamarkan.Steve dan Alena tersenyum sinis ketika Angela dan Antoni dibawa masuk. Alena bahkan bertepuk tangan sambil mendekati keduanya. "Kau masuk ke dalam jebakanku Antoni Hakim. Aku tidak tahu kau ini terlalu polos atau terlalu bodoh," ejek Alena, dia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Antoni. Antoni tidak mengatakan apa pun, ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alena yang dirasanya tidak penting. "Seharusnya kau cukup duduk manis menikmati semua uangmu tanpa repot-repot ikut campur urusanku," kata Alena menyentuh pipi Antoni dengan ujung jarinya. Steve Menda beranjak dari kursinya. Mendekati istrinya. "Mereka maunya seperti itu, biarkan saja. Berikan kesempatan untuk mereka berduaan sebelum napasnya hilang." "Rencanaku pun begitu. Tapi, apa kau tidak menginginkan perempuan ini?" Alena sedikit menunduk untuk mengintimidasi Angela dengan tatapanny
"Tidak ada apa-apa, kan, Win. Sepertinya kau ini berhalusinasi," kata Erik. Cahaya ponselnya bergerak ke kandang di mana Angela dan Antoni berada. Nasib baik lagi-lagi berpihak pada mereka. Erik hanya menyorot sekilas di bagian dinding saja. "Di sini juga tidak ada apa-apa. Mungkin benar aku hanya berhalusinasi efek tidak jadi minum-minum di bar." Edwin terkekeh. "Nah! Betul itu."Mereka kembali ke tempat semula. Berdiri mengawasi di belakang mobil Alena. "Hampir saja, An." Antoni menyingkirkan jerami yang menutupi tubuhnya."Tuhan menyelamatkan kita lagi dan semoga terus seperti itu," bisik Angela. Ia sangat berhati-hati agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Antoni melihat ke layar ponselnya. "Jaringan masih ada walaupun hilang timbul. Aku harus mengirim pesan pada Andreas. Kalau misal terjadi hal buruk pada kita, dia tahu kemana harus mencari.""Kim pernah bilang sendiri, ucapkan yang baik-baik saja.""Berjaga-jaga untuk situasi terburuk juga perlu, An. Kalau kita benar-benar
"Sial! Tuan Steve kenapa mendadak begini mengabari kita. Tidak biasanya dia kesini di jam-jam segini.""Mungkin karena sedang hujan, cakung, Win. Cuaca mendukung." Mereka berdua tertawa. "Setidaknya kita masih bisa menghabiskan rokok di sini sampai hajat Tuan Steve selesai."Dari pembicaraan keduanya, sangat tidak mungkin menyalakan senter untuk penunjuk jalan. Sedikit saja cahaya bergerak dan terlihat oleh mereka sama saja dengan bunuh diri. "Kita harus berjalan dalam gelap, Kim.""Terpaksa harus begitu. Kita pelan-pelan saja. Walaupun tidak bisa melihat dalam gelap, setidaknya kita tahu arahnya.""Sebelum Gumawang pergi tadi, ia sempat memperlihatkan dalam terang keadaan di dalam istal ini. Ia memintaku untuk menghafalkannya.""Kau masih bisa mengingatnya dengan jelas, An?""Tentu. Sekarang giliranku menggandeng tangan, Kim," kata Angela dengan suara pelan. Sejak tadi mereka sangat menjaga volume suara agar tidak terdengar oleh kedua pria yang sedang merokok agak jauh dari posisi m
"Air berhubungan dengan Wuri. Membuang begitu saja di dalam sumur juga mudah. Tidak perlu menggali tanah.""Wuri?" Dahi Antoni berkerut. "Aku belum pernah mendengar namanya. Dia siapa?""Aku pikir kau sudah tahu semuanya tentang Alena dan Delta Kencana, ternyata belum. Wuri adalah makhluk siluman yang menjadi penjaga keberlangsungan perusahaan. Karena itulah mereka selalu mendapatkan mega proyek dengan posisi terkuat. Perkembangan mereka pun pesat. Tapi, di balik itu semua, banyak korban berjatuhan.""Diberikan kepada si Wuri itu?"Angela memejam sesaat. "Tentu iya. Bukan hanya perempuan-perempuan yang bekerja di Delta Kencana saja, bayi hasil aborsi juga sangat disukai makhluk siluman itu. Alena sampai harus membeli secara khusus dari sebuah klinik aborsi yang berkedok klinik bersalin.""Mereka sudah kehilangan akal sehat, An," sebut Antoni sambil menutup pintu lemari. "Diam di situ, Kim." Angela membuat gerakan mendadak, menutup semua akses ke dalam kamar. "Kenapa kau tutup semua?
"Ini bukan jalan menuju ruang rahasia, Kim. Tapi tempat pembuangan mayat," kata Angela melangkah mundur ke tempatnya semula. "Atau mungkin inilah ruang rahasia itu," ujar Antoni seraya memberikan ponsel kepada Angela. "Kau terlihat tidak terganggu dengan bau dari dalam sumur. Padahal aromanya luar biasa busuk.""Gumawang menghilangkan dengung dan kemampuanku membaui untuk sementara waktu. Ponsel ini untuk apa?""Fotokan sumur itu. Usahakan mayat di dalamnya terlihat jelas. Bila perlu buat video biar buktinya semakin kuat." Angela mengangguk lalu berjongkok di bibir sumur yang tidak berpenghalang. Sedikit saja keseimbangannya hilang, bisa dipastikan ia masuk juga ke dalam sana. Beberapa foto dan video sudah Angela buat. Hasilnya ia kirimkan juga melalui surel ke alamat emailnya. Baik yang sudah biasa digunakan maupun yang rahasia. Berjaga-jaga dari kemungkinan buruk agar apa yang sudah dilakukan malam ini tidak sia-sia. Antoni menutup kembali sumur yang berdiameter sekitar satu met
Angela menarik napas kaget ketika ia merasakan sesuatu seperti udara menerpa keras wajahnya hingga perut tiba-tiba terasa tegang. Langkahnya pun terhenti. "Ada apa, An?" Antoni menyorot wajah Angela dengan senter. "Entahlah. Aku tidak bisa melihatnya. Hanya keras seperti tamparan. Sakitnya masih terasa. Tempat ini pasti sangat angker, Kim. Kita saja yang tidak bisa melihat keberadaan makhluk tak kasat mata yang berkeliaran. "Tenanglah! Kita hanya perlu menemukan tempat itu, saja. Mendapatkan bukti lalu pergi." Antoni mencoba memberi semangat dan penguatan. Angela menghela napas berulang sebelum ia melanjutkan langkah bersama Antoni. Cahaya senter Antoni terus bergerak seiring pergerakan keduanya. Di ujung lorong mereka menemukan pintu yang tertutup rapat. Posisinya tepat di belakang deretan kandang kuda. "Kim! Rasanya kepalaku mau pecah!" Angela berteriak sambil meremas kuat tangan Antoni. "Artinya memang di sinilah tempatnya. Please! Bertahanlah, Sayang," Antoni membawa Angela