Joana manggut-manggut. Sesaat kemudian Pak Topan masuk menghampiri Angela. Ia tidak sendiri. Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan ikut serta berjalan di belakangnya. Pak Topan memperkenalkan perempuan tersebut. Namanya Amy, asisten pribadi Nyonya Saraswati. Perempuan inilah yang mengurus sejak dari rumah sakit hingga ke rumah duka. Menurut keterangannya, suami dan anak semata wayang Nyonya Saraswati sedang berada di Singapura untuk mendaftar kuliah. Rencananya hari ini perempuan tersebut akan menyusul. "Nyonya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Tuan dan Giska dua hari yang lalu berangkat lebih dulu. Saya tidak menyangka akan seperti ini," ujar Amy lalu menunduk. Ia terlihat meremas tangan. Namun, tidak terlihat air mata turun ke pipinya. "Dia meminta izin Bapak untuk menemani Nyonya Saraswati di sini.""Silakan saja, Pak," kata Angela. Matanya memperhatikan gerak-gerik Amy yang entah kenapa seperti tidak menunjukkan kedukaan. Pak Topan mempersilakan Amy duduk d
Air muka Amy terlihat semakin keruh. Ponsel di tangannya tampak bergetar. Ia tidak bisa menyembunyikan tangannya yang gemetar. Buru-buru ia menyimpan ponselnya di saku blazer yang dikenakannya. "Harusnya Anda cepat-cepat menghapus pesan mesra Anda itu. Supaya nanti kalau diperiksa polisi tidak ada bukti perselingkuhan Anda dengan Tuan Sudibyo Sayang," ledek Angela menahan senyum."Tidak ada saya berselingkuh dengan Tuan Sudibyo. Saya perempuan yang tahu diri. Tidak mungkin saya mengkhianati Nyonya Saraswati yang sudah sangat baik dengan saya." Suara Amy melemah. Tidak seperti sebelumnya yang terkesan melawan. "Oh, ya. Tapi dengan mudahnya Anda mendorong istri Tuan Sudibyo hingga beliau jatuh melewati banyak anak tangga di rumahnya.""Nyonya terjatuh. Saya tidak mendorongnya. Anda silakan cek CCTV di rumah Nyonya. Pasti tidak ditemukan bukti bahwa saya melakukan apa yang Anda tuduhkan." Mulai terdengar ada keberanian di nada bicara Amy. "Saya tidak menuduh Anda. Hanya menyampaikan a
"Nyonya dan saya adalah sama, manusia biasa yang takdirnya sudah dituliskan. Sekeras apa pun peringatan yang Nyonya berikan pada saya, kalau takdirnya bukan seperti itu tetap tidak akan berlaku. Skenario Tuhan yang akan terjadi."Sekali lagi Alena mendengus. "Kau lihat saja!" Alena beranjak meninggalkan lobby dengan langkah cepat. Sepertinya ia sangat kesal dengan penolakan Angela. "Ini baru Angela," kata Gumawang yang selalu terdengar tiba-tiba dan mengejutkan. "Kalau sudah menyangkut harga diri, keberanianku bisa bertambah berkali lipat. Dia pikir semua urusan akan beres kalau ada uang," kata Angela seraya memutar kepala mencari asal suara. "Kekuatan terbesar memang datang dari diri sendiri. Kau harus mempertahankan itu. Sampai jumpa, An."Belum lagi Angela menemukan Gumawang, sosok itu malah pamit pergi. "Mbak Angela! Orangnya sudah datang." Kali ini suara Agus memanggilnya dari ambang pintu dalam. "Iya, Gus. Terima kasih, ya."Agus mengangkat jempolnya lalu tergesa meninggalka
"Baik, Bu. Ira akan melakukan seperti apa yang Ibu katakan. Doakan Ira, ya, Bu," pinta Haira lirih. "Doa Ibu selalu menyertaimu, Nak. Sudah waktunya Ibu pergi. Jaga dirimu baik-baik." Sekelebat cahaya putih kemudian membawa Nyonya Saraswati hanya dalam sepersekian detik. "Ibumu telah pergi. Hanya itu yang bisa beliau sampaikan. Lakukanlah pesan ibumu dengan baik. Kalau kau butuh teman bicara bisa hubungi, Kakak. Kau simpan nomor Kakak, ya."Haira mengangguk. Ia membuka resleting tas selempang kecilnya. Dikeluarkan ponsel miliknya lalu mengetik nomor yang Angela sebutkan. Setelah itu, Haira kembali ke ayahnya dan Angela pamit mohon diri. Kasus kematian Nyonya Saraswati akan ia konsultasikan dengan Andreas. Besar harapannya pembunuh ibunya Haira bisa ditangkap dan diadili. Angela langsung pulang begitu selesai pekerjaannya di rumah duka. Joana yang sejak tadi tidak terlihat ternyata ada di warung kopi di seberang jalan. Sepertinya ia sengaja melarikan diri karena Alena datang ke rum
Antoni sepertinya mengerti apa yang sedang dialami Angela. Pria tersebut melingkarkan tangannya ke bahu Angela. "Kalau begini kita pulang saja. Percuma juga melihat dari dekat. Masih banyak orang dan petugas pemadam kebakaran di sana," sebut Antoni mencoba membujuk Angela. "Kita sudah terlanjur sampai di sini, Kim," kata Angela sambil menutup kedua telinganya dengan tangan. "Aku tidak bisa membiarkanmu menahan dengung seperti ini. Setidaknya kita tahu di sini banyak jiwa yang tertahan. Aku tidak mau melihatmu seperti ini, An.""Tapi, Kim …." Angela masih bersikeras. "Tidak ada tapi-tapian. Kita keluar dari sini sekarang!"Antoni berputar balik. Mesin mobilnya sejak tiba memang belum dimatikan. Ia mengendarai dengan kecepatan rendah. Suara sirine mobil pemadam kebakaran terdengar silih berganti walaupun kobaran api sudah tidak begitu besar. "Tidur di hotel saja, An. Besok kalau masih tidak enak badan, aku telepon Olla. Tidak baik menahan sakit lama-lama. Harus istirahat! Aku sendi
"Tenanglah, Sayang," kata Antoni lirih di telinga Angela, tangan pria itu mengelus-elus pinggang Angela. "Jangan berpikiran seperti itu.""Kim seperti candu. Ada ketergantungan yang tidak bisa kuatasi.""Apa kau tidak bisa merasakan itu? Jantungku berdebar begitu kencang. Aku tidak mungkin menginginkanmu lebih besar daripada hasratku saat ini.""Kalau begitu, tunjukkan padaku," ujar Angela lembut. "Aku ingin tahu apa yang kau rasakan. Aku ingin tahu apa yang kau hindari selama ini."Wajah Antoni memerah dan pria itu mengumpat pelan. "Baiklah. Akan kulakukan apa yang kauinginkan. Tapi aku tidak akan mencemarimu. Mengerti?"Angela mengangguk dengan senyum kecil di wajahnya yang terlihat merona. Antoni membawa Angela ke kursi panjang tanpa sandaran di balkon, duduk di atasnya, lalu menarik Angela ke pangkuannya. "Aku akan memberimu kenikmatan, Sayang. Setelah aku selesai, kau akan tetap suci." Antoni tersenyum muram pada Angela.Ucapan Antoni melegakan Angela. Ia tidak pernah menduga ba
"Semua gedung milik Delta Kencana dilumuri darah. Jadi, ke gedung manapun milik mereka, telingamu akan berdengung. Hanya kadarnya saja yang berbeda. Semakin besar dan penting gedung tersebut, semakin banyak darah yang tercurah." Dahlia menjelaskan. "Setelah kuteliti, merunut waktu pembangunan dan lokasi bangunan mereka, membentuk angka enam. Untuk menutup lengkungan agar membentuk bulatan angka itu dengan sempurna, rumah duka milik Pak Topan terletak tepat di lekukan itu. Karena itu Alena akan berusaha keras untuk membeli rumah duka tersebut, walaupun dengan harga yang tidak masuk akal," ujar Olla menjabarkan alasan Alena. "Luar biasa kau ini, La. Sampai sejauh itu memperhatikan detail." Angela terkagum-kagum. "Aku tidak sengaja menemukan polanya waktu sedang browsing tentang Delta Kencana. Ada beberapa kerjasama juga dengan perusahaan papa. Jadi aku banyak mencari tahu. Gak kebayang kalau aku harus berhadapan dengan perempuan seperti dia untuk berbisnis. Aku rasa Wuri memberitahun
Kondisi Angela sudah pulih sepenuhnya. Joana yang sudah menunggunya terlihat semringah melihat Angela kembali ke rumah. "Akhirnya kau pulang juga, An. Tidak enak di rumah sendirian," kata Joana mengikuti Angela masuk ke kamar. "Aku pasti pulang walaupun tidur di hotel lebih enak. Kasurnya lebih empuk dan temannya lebih wangi juga tampan rupawan." Angela sengaja meledek Joana. "Iya, deh, yang pacarnya Tuan Antoni Hakim, pengusaha muda nan kaya raya tapi sibuknya dua puluh delapan jam," ujar Joana balas meledek. Angela terkekeh. Apa yang dikatakan Joana benar adanya. Dua puluh delapan jam pun masih kurang untuk seorang Antoni Hakim. "Aku mau ke rumah duka. Pak Topan pagi-pagi buta sudah nelepon. Katanya ada yang mau diomongin. Kau mau ikut, Jo?""Ikutlah! Malas di rumah sendiri. Tidak ada pemandangan bagus," jawab Joana mencium baju yang dikenakan Angela. "Kenapa?""Harumnya beda. Kau tidur dengan Tuan Antoni, ya?""Iya, di hotel yang sama." Angela tersenyum kecil. Ia sengaja meni