Kondisi Angela sudah pulih sepenuhnya. Joana yang sudah menunggunya terlihat semringah melihat Angela kembali ke rumah. "Akhirnya kau pulang juga, An. Tidak enak di rumah sendirian," kata Joana mengikuti Angela masuk ke kamar. "Aku pasti pulang walaupun tidur di hotel lebih enak. Kasurnya lebih empuk dan temannya lebih wangi juga tampan rupawan." Angela sengaja meledek Joana. "Iya, deh, yang pacarnya Tuan Antoni Hakim, pengusaha muda nan kaya raya tapi sibuknya dua puluh delapan jam," ujar Joana balas meledek. Angela terkekeh. Apa yang dikatakan Joana benar adanya. Dua puluh delapan jam pun masih kurang untuk seorang Antoni Hakim. "Aku mau ke rumah duka. Pak Topan pagi-pagi buta sudah nelepon. Katanya ada yang mau diomongin. Kau mau ikut, Jo?""Ikutlah! Malas di rumah sendiri. Tidak ada pemandangan bagus," jawab Joana mencium baju yang dikenakan Angela. "Kenapa?""Harumnya beda. Kau tidur dengan Tuan Antoni, ya?""Iya, di hotel yang sama." Angela tersenyum kecil. Ia sengaja meni
Angela menoleh ke samping kirinya dengan cepat. Namun, tidak terlihat siapapun. Ia berpikir sejenak, mengingat-ingat pemilik suara tersebut tetapi, sepertinya baru sekali ini ia mendengarnya. "Aku sudah lama ada di sini. Menjaga tempat ini bahkan sejak kalian belum menginjakkan kaki di sini. Aku melihat semua kebaikan yang kalian lakukan. Tentu aku tidak akan diam saja melihat mereka menyingkirkan kalian," terang sosok yang belum juga terlihat. "Lega saya mendengarnya, Ibu," tutur Angela sopan. Dari suara yang terdengar ia menduga sosok tersebut seusia ibunya. "Tuhan memberkati kalian. Bekerjalah seperti biasa, biarlah tangan-tangan Tuhan yang akan bekerja untuk urusan yang kalian risaukan.""Terima kasih, Ibu," kata Angela dengan manik mata yang bergerak memindai tempat yang bisa dijangkau pandangannya. Namun, tetap tidak ada siapapun yang terlihat. Angela menghela napas pelan. Ia beranjak dengan gerakan lambat. Masih berusaha mencari di mana pemilik suara itu sedang berada. Hasi
Angela memulai pekerjaannya. Tas berisi peralatan make up-nya sudah ia letakkan di kursi yang sengaja diletakkan di samping kanannya. "Coba kau lihat ini sebentar, An!" Joana menunjuk ke atas kepala jenazah. Angela berdiri lalu bergeser ke arah Joana berdiri sebelumnya. Ia membungkuk agar dapat melihat kepala jenazah seperti yang Joana inginkan. Angela meraba bagian ubun-ubun sang jenazah. Jarinya merasakan seperti ada perekat non-woven yang biasa digunakan untuk mengencangkan pembalut penutup luka. "Awang! Bisa kesini sebentar?" "Ada apa, An, sampai harus memanggil Gumawang?" tanya Joana. "Aku hanya ingin memastikan sesuatu."Tidak sampai satu menit, Gumawang sudah berada di samping Angela. Ia meraba puncak kepala jenazah tanpa diminta. Sepertinya ia sudah tahu maksud dan tujuan Angela memintanya datang. "Perempuan air itu, kan, Wang?""Tentu saja iya, An. Ini semacam peringatan untukmu dan Olla. Menjauh atau kalian binasa.""Apa dia tahu kalau Anda ada bersama Angela?" Joana
Angela mencari Joana di ruang persemayaman. Spot yang paling disukai Joana untuk menyendiri. Perkiraan Angela tidak salah, perempuan tersebut tengah melihat-lihat foto yang menghiasi dinding. "Jo … kesini sebentar. Ada yang ingin aku tanyakan. Soal Steve Menda," panggil Angela. Joana menoleh dengan cepat. Matanya melebar. Ekspresinya mencerminkan sebuah pertanyaan dan ketidakpercayaan dengan apa yang baru saja didengarnya. "What?! Apa aku tidak salah dengar?" tanya Joana untuk meyakinkan dirinya. "Tidak, Jo. Tuan Steve Menda yang tampan rupawan itu akan datang menemuiku secara khusus.""Untuk apa?" Joana mendekat."Belum tahu aku. Katanya kalau aku menolak bertemu maka aku akan menyesal. Sejujurnya aku malas bertemu pria itu tapi aku mempertimbangkan dirimu," sebut Angela. "Mempertimbangkan aku?""Ya. Kau ingin melihat dia bukan? Jujur!"Joana mengalihkan pandangannya. Sepertinya ia sedang mempertimbangkan jawabannya. "Tidak perlu pura-pura kalau memang kau ingin bertemu dia. In
Steve Menda memandangi Angela seolah sedang mengorek-ngorek isi hati yang tidak dapat terbaca. Intensitas tatapan Steve mengingatkan Angela pada saat-saat pertemuan mereka di acara malam itu. "Kau terlihat sangat cantik dan menawan," kata Steve dengan aksen yang menimbulkan getaran di hati perempuan yang mendengarnya. Wajar saja bila pria beristri ini banyak digilai. Angela bisa melihat lingkaran hitam di bawah kedua mata Steve. Ekspresi tersiksa di wajahnya dan sinar sendu di mata pria itu. Tekanan hidup sepertinya sudah menjadi teman sejati. "Ada apa sebenarnya Anda ingin bicara dengan saya, Tuan Steve?""Pertama-tama, saya ingin tahu satu hal." Steve melangkah menuju meja, menyandarkan pinggulnya di situ, lalu menjauhi meja untuk menghampiri Angela. "Apakah aku melakukan sesuatu yang salah di acara malam itu?" Suara Steve hanya berupa gumaman serak. "Ketika kita berada di meja yang sama dan saya ... bicara dengan Anda, Apakah saya menyakiti Anda atau membuat Anda ketakutan ata
"Tidak lama lagi makhluk itu menjadi satu dengan induk semangnya. Setelah itu terjadi, maka Steve akan sepenuhnya berpikir dan bertindak sesuai perintah darinya." Dahlia menjelaskan."Alena kah yang melakukan itu?" tanya Angela. "Tentu saja dengan perantara Wuri. Setiap tangan-tangannya yang serupa akar kayu bila dilepaskan dan ditancapkan pada manusia, akan menjadi makhluk baru sesuai tempat serta pribadi orang tersebut.""Tapi pada tubuh Alena aku tidak melihatnya," ucap Joana. Wajahnya masih terlihat muram. "Mereka sudah menyatu sepenuhnya. Alena tidak akan mati bila makhluk di dalam dirinya masih hidup," kata Dahlia lebih lanjut. "Pantas saja dia selalu terlihat percaya diri dan tidak takut pada siapapun," ujar Angela seraya berjalan ke arah pintu yang menuju ke dalam rumah duka. Ia menoleh ke kanan kiri mencari Antoni. Namun, pria itu sedang tidak ada di sana. "Antoni-mu tadi ke arah toilet. Apa mau kau susul dia?" tanya Dahlia. "Ide yang bagus," jawab Angela tertawa kecil. "
"Maaf sebelumnya, Pak. Ini tempat praktik bidan apakah milik ibunya Bella?" tanya Angela dengan suara rendah. "Iya. Dari cerita yang saya dengar, kedua orang tua Bella berpisah sekitar sepuluh tahun lalu. Perpisahan mereka terjadi secara tidak baik. Ayah Bella tidak diizinkan untuk membiayai ataupun bertemu putrinya. Sepenuhnya Bella dalam pengasuhan ibunya, Nyonya Jemima. Klinik ini menjadi sumber penghidupan bagi keduanya." Pak Tri menjelaskan. "Sudah berapa lama Bapak bekerja dengan ibunya Bella?" Angela ingin tahu lebih jauh. "Sekitar satu tahun belakangan ini.""Belum terlalu lama berarti." Angela menghela napas. "Apa Bapak percaya pada hal-hal di luar nalar?""Maksud Mbak Angela?" Pak Tri menautkan kedua alisnya. "Saya sudah lebih dari sepuluh tahun merias jenazah. Banyak dari jenazah yang saya rias arwahnya berkomunikasi dengan saya. Mengungkap hal-hal yang semasa hidup belum sempat terkatakan.""Apa Nona Bella termasuk salah satunya?" potong Pak Tri cepat. Angela mengangg
"Kali ini aku lagi malas berpikir. Tanya saja langsung ke ahlinya lebih praktis dan ekonomis.""Kalau sudah terkena urusan hati. Otak jadi hilang fungsi.""Antoni menyembunyikan sesuatu dariku dan itu sangat mengganggu. Bagiku lebih baik tahu yang sebenarnya walaupun pahit daripada tidak tahu apa-apa seolah semuanya baik-baik saja. Aku tidak bisa begitu, Wang.""Kau tenang sajalah. Antoni bukan laki-laki yang gampang berpaling hati. Biarkan dia melakukan sesuatu yang dianggapnya keputusan paling baik. Kau harus menghargai usahanya untuk melindungimu, An."Angela menghela napas panjang. "Apakah harus merahasiakannya dariku?""Itu cara dia menjaga perasaanmu. Dia tidak ingin kau berpikiran seperti sekarang ini kalau dia katakan semuanya. Baru dengar Antoni bicara di telepon saja pikiranmu sudah aneh-aneh. Apalagi misalnya mereka bertemu? Bisa perang dunia kalian.""Kadang aku tidak mengerti cara berpikir kalian kaum lelaki.""Lebih rumit lagi kalian kaum perempuan. Maunya terus dimenger
"Kau di sini saja menemani Angela. Aku akan menelepon Pak Andreas. Semoga ada kabar baik juga dari Gumawang dan Dahlia," kata Olla seraya meninggalkan kamar tidurnya. Olla mondar-mandir di balkon. Matanya sesekali mengarah pada langit yang kelam. Bintang tidak satu pim terlihat menggantung di atap dunia yang gelap itu. Andreas belum juga meneleponnya setelah beberapa kali missed call. Hampir saja ia ketiduran di kursi ketika akhirnya Andreas menelepon. Kabar baik yang diharapkan benar-benar terdengar dari seberang telepon. "Nanti saja cerita panjangnya, Pak. Yang penting sudah pasti bahwa Tuan Antoni selamat. Kalau Angela sudah bangun saya akan membawanya ke rumah sakit," kata Olla. Ia menghela napas lega. Rasanya tidak sabar untuk menyampaikan kabar baik ini pada Angela dan Joana. "Jo, Tuan Antoni selamat. Ia ditemukan di pinggir sumur dengan keadaan lemas. Ajaibnya tidak banyak air masuk ke paru-parunya. Sekarang sudah berada di rumah sakit," ucap Olla pada Joana yang masih tergu
Angela memegangi lehernya sambil mengatur napas. Ia tidak memperhatikan makhluk itu maupun Antoni. Begitu ia mengangkat kepalanya mereka sudah tidak ada. "Kim! Kim!" Angela berteriak sekuat tenaga. Ia menyusul ke bibir sumur. Melihat ke dalam tetapi tanda-tanda keberadaan mereka tidak terlihat. Di sana masih mengambang mayat yang sama seperti yang dilihatnya bersama Antoni. Perasaan Angela hancur, ledakan tangisnya tidak bisa membawa Antoni kembali ke sisinya. Logikanya lenyap seketika. Tanpa berpikir panjang, ia menceburkan dirinya mengikuti Antoni ke dalam sumur. "Angela jangan gila!" Dahlia memegangi kedua pundak Angela lalu menariknya hingga terlempar membentur dinding. "Diam kau di situ! Kau kira kami tidak membantumu. Apa kau tahu, tidak mudah menembus ke ruangan ini." Dahlia berjongkok di depan Angela. "Jadi tolong jangan bertindak bodoh!"Angela menunduk. Air matanya luruh, menetes ke atas jerami yang berserakan. "Maafkan, aku. Aku tidak siap untuk keadaan ini, apalagi haru
"Misalnya?" Angela menggeser duduknya ke depan Antoni. "Hei," bisiknya, menyentuh pundak Angela dan sedikit menggeser tubuhnya semakin dekat. "Apa kau tahu, kau sama sekali tidak lemah. Ketika kau meludahi Steve, aku merasa sangat bangga padamu." Senyumnya merekah ketika ia menangkup pundak Angela. Mereka begitu dekat. Antoni menghirup wangi Angela dan rasanya seperti menenggak afrodisiak. la menggenggam Angela semakin erat. "Dan percayalah pendapatku sebagai laki-laki, kau selalu cantik dalam segala hal," tambahnya.Angela terbuai oleh ketulusan suara Antoni dan tatapannya yang bergairah. Beberapa detik lalu ia tidak berpikir untuk mencium Antoni, tetapi sekarang, mencium pria itu kelihatannya hal paling tepat. Ia ingin menghilangkan perasaan takut yang mengikatnya. Angela mengangkat tangan, menungkup wajah Antoni, tunggul janggutnya menggelenyarkan telapak tangan. Tatapan lelaki itu menjadi berhasrat. Angela berdebar-debar, memejam, dan merasakan bibir Antoni mendarat dengan panas
Mereka digiring masuk ke salah satu kandang kuda. Di dinding bagian belakang kandang tersebut terdapat pintu rahasia yang tersamarkan.Steve dan Alena tersenyum sinis ketika Angela dan Antoni dibawa masuk. Alena bahkan bertepuk tangan sambil mendekati keduanya. "Kau masuk ke dalam jebakanku Antoni Hakim. Aku tidak tahu kau ini terlalu polos atau terlalu bodoh," ejek Alena, dia mendekatkan wajahnya ke depan wajah Antoni. Antoni tidak mengatakan apa pun, ia memalingkan wajahnya menghindari tatapan Alena yang dirasanya tidak penting. "Seharusnya kau cukup duduk manis menikmati semua uangmu tanpa repot-repot ikut campur urusanku," kata Alena menyentuh pipi Antoni dengan ujung jarinya. Steve Menda beranjak dari kursinya. Mendekati istrinya. "Mereka maunya seperti itu, biarkan saja. Berikan kesempatan untuk mereka berduaan sebelum napasnya hilang." "Rencanaku pun begitu. Tapi, apa kau tidak menginginkan perempuan ini?" Alena sedikit menunduk untuk mengintimidasi Angela dengan tatapanny
"Tidak ada apa-apa, kan, Win. Sepertinya kau ini berhalusinasi," kata Erik. Cahaya ponselnya bergerak ke kandang di mana Angela dan Antoni berada. Nasib baik lagi-lagi berpihak pada mereka. Erik hanya menyorot sekilas di bagian dinding saja. "Di sini juga tidak ada apa-apa. Mungkin benar aku hanya berhalusinasi efek tidak jadi minum-minum di bar." Edwin terkekeh. "Nah! Betul itu."Mereka kembali ke tempat semula. Berdiri mengawasi di belakang mobil Alena. "Hampir saja, An." Antoni menyingkirkan jerami yang menutupi tubuhnya."Tuhan menyelamatkan kita lagi dan semoga terus seperti itu," bisik Angela. Ia sangat berhati-hati agar kejadian tadi tidak terulang lagi. Antoni melihat ke layar ponselnya. "Jaringan masih ada walaupun hilang timbul. Aku harus mengirim pesan pada Andreas. Kalau misal terjadi hal buruk pada kita, dia tahu kemana harus mencari.""Kim pernah bilang sendiri, ucapkan yang baik-baik saja.""Berjaga-jaga untuk situasi terburuk juga perlu, An. Kalau kita benar-benar
"Sial! Tuan Steve kenapa mendadak begini mengabari kita. Tidak biasanya dia kesini di jam-jam segini.""Mungkin karena sedang hujan, cakung, Win. Cuaca mendukung." Mereka berdua tertawa. "Setidaknya kita masih bisa menghabiskan rokok di sini sampai hajat Tuan Steve selesai."Dari pembicaraan keduanya, sangat tidak mungkin menyalakan senter untuk penunjuk jalan. Sedikit saja cahaya bergerak dan terlihat oleh mereka sama saja dengan bunuh diri. "Kita harus berjalan dalam gelap, Kim.""Terpaksa harus begitu. Kita pelan-pelan saja. Walaupun tidak bisa melihat dalam gelap, setidaknya kita tahu arahnya.""Sebelum Gumawang pergi tadi, ia sempat memperlihatkan dalam terang keadaan di dalam istal ini. Ia memintaku untuk menghafalkannya.""Kau masih bisa mengingatnya dengan jelas, An?""Tentu. Sekarang giliranku menggandeng tangan, Kim," kata Angela dengan suara pelan. Sejak tadi mereka sangat menjaga volume suara agar tidak terdengar oleh kedua pria yang sedang merokok agak jauh dari posisi m
"Air berhubungan dengan Wuri. Membuang begitu saja di dalam sumur juga mudah. Tidak perlu menggali tanah.""Wuri?" Dahi Antoni berkerut. "Aku belum pernah mendengar namanya. Dia siapa?""Aku pikir kau sudah tahu semuanya tentang Alena dan Delta Kencana, ternyata belum. Wuri adalah makhluk siluman yang menjadi penjaga keberlangsungan perusahaan. Karena itulah mereka selalu mendapatkan mega proyek dengan posisi terkuat. Perkembangan mereka pun pesat. Tapi, di balik itu semua, banyak korban berjatuhan.""Diberikan kepada si Wuri itu?"Angela memejam sesaat. "Tentu iya. Bukan hanya perempuan-perempuan yang bekerja di Delta Kencana saja, bayi hasil aborsi juga sangat disukai makhluk siluman itu. Alena sampai harus membeli secara khusus dari sebuah klinik aborsi yang berkedok klinik bersalin.""Mereka sudah kehilangan akal sehat, An," sebut Antoni sambil menutup pintu lemari. "Diam di situ, Kim." Angela membuat gerakan mendadak, menutup semua akses ke dalam kamar. "Kenapa kau tutup semua?
"Ini bukan jalan menuju ruang rahasia, Kim. Tapi tempat pembuangan mayat," kata Angela melangkah mundur ke tempatnya semula. "Atau mungkin inilah ruang rahasia itu," ujar Antoni seraya memberikan ponsel kepada Angela. "Kau terlihat tidak terganggu dengan bau dari dalam sumur. Padahal aromanya luar biasa busuk.""Gumawang menghilangkan dengung dan kemampuanku membaui untuk sementara waktu. Ponsel ini untuk apa?""Fotokan sumur itu. Usahakan mayat di dalamnya terlihat jelas. Bila perlu buat video biar buktinya semakin kuat." Angela mengangguk lalu berjongkok di bibir sumur yang tidak berpenghalang. Sedikit saja keseimbangannya hilang, bisa dipastikan ia masuk juga ke dalam sana. Beberapa foto dan video sudah Angela buat. Hasilnya ia kirimkan juga melalui surel ke alamat emailnya. Baik yang sudah biasa digunakan maupun yang rahasia. Berjaga-jaga dari kemungkinan buruk agar apa yang sudah dilakukan malam ini tidak sia-sia. Antoni menutup kembali sumur yang berdiameter sekitar satu met
Angela menarik napas kaget ketika ia merasakan sesuatu seperti udara menerpa keras wajahnya hingga perut tiba-tiba terasa tegang. Langkahnya pun terhenti. "Ada apa, An?" Antoni menyorot wajah Angela dengan senter. "Entahlah. Aku tidak bisa melihatnya. Hanya keras seperti tamparan. Sakitnya masih terasa. Tempat ini pasti sangat angker, Kim. Kita saja yang tidak bisa melihat keberadaan makhluk tak kasat mata yang berkeliaran. "Tenanglah! Kita hanya perlu menemukan tempat itu, saja. Mendapatkan bukti lalu pergi." Antoni mencoba memberi semangat dan penguatan. Angela menghela napas berulang sebelum ia melanjutkan langkah bersama Antoni. Cahaya senter Antoni terus bergerak seiring pergerakan keduanya. Di ujung lorong mereka menemukan pintu yang tertutup rapat. Posisinya tepat di belakang deretan kandang kuda. "Kim! Rasanya kepalaku mau pecah!" Angela berteriak sambil meremas kuat tangan Antoni. "Artinya memang di sinilah tempatnya. Please! Bertahanlah, Sayang," Antoni membawa Angela