Angela hanya geleng-geleng seraya tersenyum melihat tingkah Joana. Ia tidak mau melarang perempuan itu bersenang-senang. Biarlah dia menikmati apa yang menjadi keinginannya. Lima menit ternyata hanya perkiraan. Sampai nasi goreng hampir habis Olla belum kelihatan muncul di depan mata. Kebiasaan yang sulit berubah. Pasti alasannya nanti, di jalan macet. Padahal tengah malam begini jalanan lengang. Cuma makhluk tak kasat mata saja yang ramai berlalu-lalang. "Sorry, An, telat. Ada gangguan di pertigaan sana. Terpaksalah aku ngobrol dulu sama dia. Hantu juga butuh didengarkan," kata Olla beralasan. Ia mengatur napasnya yang agak ngos-ngosan. "Kapan aku tidak memaklumi alasanmu, La? Aku selalu maklum," kata Angela dengan mata membulat. "Pokoknya maaf, aku terlambat," jawab Olla lalu tertawa kecil. Wajah Olla sudah terlihat semringah. Jauh berbeda ketika mereka bertemu kemarin itu. Mungkin ia sedang berusaha menerima perjodohan dan berdamai dengan keadaan yang sekarang tidak bisa dihin
Angela hampir tidak bisa tidur semalam. Pikirannya terus tertuju pada Alena. Rasanya ia belum ingin bertemu muka dengan perempuan misterius itu. Masih banyak hal yang belum ia ketahui tentang bagaimana kepribadian seorang Avanti Bellona. Bertanya pada Joana pun percuma. Dia hanya sekilas mengenal perempuan tersebut. Belum pernah bicara face to face dalam durasi waktu yang lama. Alena mengirimi Angela pesan lagi. Menanyakan waktu pertemuan mereka. Sebagai perias jenazah yang tidak punya waktu kerja jelas, tentu menjadi satu keberuntungan untuk membuat alasan. Ia tidak tahu kapan orang-orang yang memerlukan bantuannya akan menghubungi. "Ngapain bengong?" Suara Gumawang mengejutkan Angela. "Biasanya kau bisa baca pikiranku," jawab Angela dengan mata sedikit membulat, lalu menyangga dagunya dengan tangan. "Memang mudah membaca pikiranmu. Tapi sekali waktu jangan begitu terus. Tidak asik," kata Gumawang sembari melongok ke luar jendela. "Mana Joana?""Tumben nanyain Joana. Dia tidak p
Seorang perempuan memintanya untuk datang ke sebuah rumah di kawasan padat penduduk yang ada di dekat rusun. Suaranya terbata-bata. Ia menyebut bahwa anaknya ditemukan meninggal semalam di dalam bathtub karena meminum racun. "Baik, Bu. Saya akan segera ke sana. Ibu kirimkan saja alamatnya. Kalau bisa share location kalau tidak bisa ditulis saja tidak apa, Bu," tutur Angela. Setelah menutup telepon, perempuan tersebut mengirimkan alamat lengkap. Lokasinya belum pernah Angela lewati sebelumnya. Ia mengajak Joana untuk menemani. Lima belas menit bersiap-siap mereka langsung pergi."Kita gak nyasar kan, An?" tanya Joana ketika melewati pemukiman kumuh yang sempit. "Tidak. Tenang saja. Kalau ada orang jahat, kau yang bertindak," jawab Angela terus memacu motornya. "Giliran yang susah, aku yang kau suruh.""Ini yang disebut kita sedang bekerja. Jadi, ya, ada pembagian tugasnya.""Tapi duitnya gak dibagi dua.""Begitulah nasib jadi hantu. Terima saja, Jo." Angela pun terkekeh. Begitu s
"Sepertinya dia memang sudah berencana menghabisi aku. Sebelum ke kamar mandi aku sempat melihat dia membawa tas ransel yang diambilnya dari gudang. Waktu mengajakku ke kamar mandi, dia memakai sarung tangan karet. Suamiku bilang, dia sedang berperan sebagai polisi. Berfantasi untuk menaikkan gairahnya.""Apa kau tidak curiga?" Joana kali ini yang bertanya. "Aku tidak berani menanyakan apa pun. Pertama dia memberiku minuman berwarna merah, rasanya seperti sirup merk terkenal. Tidak lama dari itu kepalaku pusing, perutku mual seperti orang yang mabuk kendaraan." Rara menghela napas pendek. Tampaknya dia sedang menata perasaannya. "Pelan-pelan saja ceritanya. Tidak apa," kata Joana melangkah pelan mendekati Rara. "Lalu dia memasukkan aku ke dalam bathtub yang sudah berisi air separuh. Badanku terasa semakin lemas dan tidak berdaya. Di saat itulah dia mencekoki aku dengan cairan yang sangat menyengat. Seketika tenggorokan terasa terbakar, menjalar ke dada dan perut. Sakitnya luar bias
Angela menghubungi Andreas. Ia meminta lelaki tersebut untuk bertemu setelah makan siang. Beruntung, Andreas punya waktu. Angela diminta datang ke sebuah kafe yang tidak jauh dari kantor polisi. "Ada angin apa yang membawa Mbak Angela sampai ke sini?" tanya Andreas seraya menyalami Angela. "Angin sepoi-sepoi, Pak," jawab Angela tertawa kecil. "Pasti ada yang menarik ini.""Saya mau minta tolong, Pak. Tadi saya merias jenazah perempuan bernama Sahara. Arwahnya mengatakan pada saya bahwa dia tidak mati bunuh diri melainkan dibunuh oleh suaminya.""Yang jenazahnya ditemukan semalam di kamar mandi rumah mereka. Itu apa bukan?""Iya, betul. Bapak sudah jadi cenayang juga sekarang, langsung bisa menebak." Angela senyum-senyum.Pak Andreas tertawa. "Tenang saja, Mbak. Tetap Mbak Angela yang paling pas jadi cenayang." "Apa Bapak bisa membantu menangkap lelaki itu?""Kalau sudah Mbak Angela yang memberi informasi, nilai akurasinya sembilan puluh sembilan koma sembilan puluh sembilan, harus
Joana manggut-manggut. Sesaat kemudian Pak Topan masuk menghampiri Angela. Ia tidak sendiri. Seorang perempuan berusia sekitar tiga puluhan ikut serta berjalan di belakangnya. Pak Topan memperkenalkan perempuan tersebut. Namanya Amy, asisten pribadi Nyonya Saraswati. Perempuan inilah yang mengurus sejak dari rumah sakit hingga ke rumah duka. Menurut keterangannya, suami dan anak semata wayang Nyonya Saraswati sedang berada di Singapura untuk mendaftar kuliah. Rencananya hari ini perempuan tersebut akan menyusul. "Nyonya masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Tuan dan Giska dua hari yang lalu berangkat lebih dulu. Saya tidak menyangka akan seperti ini," ujar Amy lalu menunduk. Ia terlihat meremas tangan. Namun, tidak terlihat air mata turun ke pipinya. "Dia meminta izin Bapak untuk menemani Nyonya Saraswati di sini.""Silakan saja, Pak," kata Angela. Matanya memperhatikan gerak-gerik Amy yang entah kenapa seperti tidak menunjukkan kedukaan. Pak Topan mempersilakan Amy duduk d
Air muka Amy terlihat semakin keruh. Ponsel di tangannya tampak bergetar. Ia tidak bisa menyembunyikan tangannya yang gemetar. Buru-buru ia menyimpan ponselnya di saku blazer yang dikenakannya. "Harusnya Anda cepat-cepat menghapus pesan mesra Anda itu. Supaya nanti kalau diperiksa polisi tidak ada bukti perselingkuhan Anda dengan Tuan Sudibyo Sayang," ledek Angela menahan senyum."Tidak ada saya berselingkuh dengan Tuan Sudibyo. Saya perempuan yang tahu diri. Tidak mungkin saya mengkhianati Nyonya Saraswati yang sudah sangat baik dengan saya." Suara Amy melemah. Tidak seperti sebelumnya yang terkesan melawan. "Oh, ya. Tapi dengan mudahnya Anda mendorong istri Tuan Sudibyo hingga beliau jatuh melewati banyak anak tangga di rumahnya.""Nyonya terjatuh. Saya tidak mendorongnya. Anda silakan cek CCTV di rumah Nyonya. Pasti tidak ditemukan bukti bahwa saya melakukan apa yang Anda tuduhkan." Mulai terdengar ada keberanian di nada bicara Amy. "Saya tidak menuduh Anda. Hanya menyampaikan a
"Nyonya dan saya adalah sama, manusia biasa yang takdirnya sudah dituliskan. Sekeras apa pun peringatan yang Nyonya berikan pada saya, kalau takdirnya bukan seperti itu tetap tidak akan berlaku. Skenario Tuhan yang akan terjadi."Sekali lagi Alena mendengus. "Kau lihat saja!" Alena beranjak meninggalkan lobby dengan langkah cepat. Sepertinya ia sangat kesal dengan penolakan Angela. "Ini baru Angela," kata Gumawang yang selalu terdengar tiba-tiba dan mengejutkan. "Kalau sudah menyangkut harga diri, keberanianku bisa bertambah berkali lipat. Dia pikir semua urusan akan beres kalau ada uang," kata Angela seraya memutar kepala mencari asal suara. "Kekuatan terbesar memang datang dari diri sendiri. Kau harus mempertahankan itu. Sampai jumpa, An."Belum lagi Angela menemukan Gumawang, sosok itu malah pamit pergi. "Mbak Angela! Orangnya sudah datang." Kali ini suara Agus memanggilnya dari ambang pintu dalam. "Iya, Gus. Terima kasih, ya."Agus mengangkat jempolnya lalu tergesa meninggalka