Pagi hari telah tiba, Ana kembali di bangunkan oleh Sarah seperti biasanya. Gadis itu melenguh karena merasa terganggu.
"Bu." panggil Ana, dengan suara serak khas bangun tidur.
"Sekarang bangun, mandi, terus turun." perintah Sarah. Setelah mengatakan itu, Sarah melenggang pergi. Ana menatap sedih kepergian Sarah. Mungkin Ibunya itu masih marah kepadanya.
Ana bergegas pergi ke kamar mandi. Setelah selesai dengan kegiatannya di kamar mandi, Ana keluar dengan tubuh yang hanya di lilit dengan handuk, gadis itu terlihat lebih segar sekarang. Ana memakai baju seragam dan sedikit memoleskan bedak dan lipblam. Setelah itu Ana turun untuk sarapan.
Tidak seperti pagi-pagi biasanya, yang setiap Ana datang selalu di sambut dengan senyum hangat Sarah, atau panggilan sayang dari sang Ayah. Pagi hari sekarang semuanya terlihat sangat canggung. Ana tidak berani menyapa kedua orang tuanya seperti hari-hari sebelumnya.
Ana mendudukan dirinya di kursi, di hadapa
Setelah berkendara sekitar 30 menit kini keduanya sudah sampai di tempat yang Rendra tuju. Ana sudah terlelap di kursi sebelah Rendra. "An," Rendra menepuk pelan pundak Ana. "Ana?" Ana melenguh pelan, gadis itu mengerjapkan matanya. "Oh, udah sampe?" tanya Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. Rendra mengangguk kecil. "Udah dari tadi cantik." Rendra mengusak rambut Ana gemas. "Kita di mana?" tanyanya lagi, ketika nyawanya sudah terkumpul. "Mall." balas Rendra. Ana melotot, kan matanya. Apa? Mall katanya? Ana tidak pernah pergi ke Mall. Ini adalah kali pertama gadis itu pergi ke gedung besar itu. "Kenapa?" tanya Rendra. Aneh, melihat gelagat gadis itu. "Lo kenapa gak bilang dulu kalo mau ke Mall!" "Emang kenapa sih?" tanya cowok itu tidak mengerti. "Kita ke Mall pake seragam gitu? Kalo ada yang tau sekolah kita gimana?!" geram Ana. "Oh gitu doang. Nih gue ada
"Ana, bangun sayang.""Ana," panggilnya lagi. Gadis itu tidak ada pergerakan sama sekali."Ana." ibu Ana mengguncangkan tubuh Ana, tapi hasilnya nihil."Ana kamu kebo banget sih!" Sarah–ibu Ana menaikan nada bicaranya.Karena suara ibunya dan guncangan di tubuhnya, membuat Ana terbangun."Eunghh," lenguh Ana.Sepertinya nyawa gadis itu belum terkumpul sepenuhnya, terbukti dari matanya yang masih merem melek."Apa, bu?" tanya Ana, dengan suara serak, khas bangun tidur.Mata Ana masih terpejam, tidak ada niatan buat dia bangun."Cepat bangun!""Hari ini kamu sekolah, jangan sampai telat." ujar Sarah.Oh iya Ana baru ingat. Ana langsung bangkit dari kasur kesayangannya, dan beranjak menuju kamar mandi.Sarah yang melihat itu, pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak butuh waktu lama untuk Ana menyelesaikan ritualnya di kamar mandi. Sekarang gadis itu sudah siap dengan baju seragam
Ana bekerja seperti biasa. Ana cukup lelah karena pekerjaannya, sedari siang tadi banyak sekali pelanggan. Terlihat sekarang pukul tujuh malam. Sedangkan Ana bekerja mulai pukul satu siang.Badan Ana rasanya mati rasa, semua badannya terasa sangat letih.Setelah sekian lama bekerja, Ana sudah di perbolehkan pulang. Ana berdiri di trotoar, matanya melihat kendaraan yang berlalu lalang. Ana sedang menunggu ojek online yang tadi ia pesan."Apakah ini dengan mba Ana?" tanya seorang laki-laki dari balik helmnya.Ana mengangguk. "Iya, bapak ojek online ya?" tanya Ana."Iya, mba. ini helmnya." ucap bapak ojol."Makasih pak." Ana mulai menaiki motor bapak ojol, motor yang di tumpanginya berjalan dengan kecepatan sedang.Karena udara malam, rasa letih Ana seketika lenyap begitu saja. Meskipun kata orang, udara malam itu tidak baik untuk kesehatan, tapi Ana tidak memperdulikan itu. Ana sangat menyukai sejuknya angin di malam hari. Itu menyejukk
Ckitt..Ana tersentak kaget, karena secara tiba-tiba ada sebuah motor yang berhenti tepat di hadapannya. Ana tidak tahu dia siapa. Tapi dia memakai seragam sekolah yang sama dengan Ana.~~~~~~~Cowok itu membuka helmnya, dan turun dari atas jok motornya. Ia berjalan mendekat ke arah Ana. Ana tidak tahu harus berbuat apa, jadinya ia hanya mematung di tempat."Hai," sapa cowok itu.Ana mengerjapkan matanya."Ahh, hai juga." balas Ana, tersenyum kikuk."Mau bareng gak?" tawar si cowok. Ana terkejut, tentu saja. Siapa yang tidak terkejut, ketika ada orang yang tidak dia kenal, mengajaknya berangkat bersama."Udah deket." jawab Ana, seraya menunjuk gerbang sekolah."Gak mau?" tanyanya lagi.Ana menggelengkan kepalanya."Oh, yaudah. Gue tunggu Lo di gerbang." ucap si cowok. Dengan tampang dinginnya.Ana yang tidak mengerti hanya menghendikan bahunya acuh. Ana kembali melanjutkan jalannya yang sempat tertun
Bel istirahat baru saja berbunyi. Anak-anak di kelas Ana berhamburan keluar kelas, kecuali Ana dan ketiga sahabatnya. Jangan lupakan Rendra. "Lo gak ke kantin?" tanya Rendra. Ana masih diam, tidak bergeming. Amanda datang ke meja Ana. "Na, kantin yuk." ajak Amanda. Ana menatap Amanda. Dia menggelengkan kepalanya. Pertanda dia menolak ajakan Amanda. "Oh, yaudah kita duluan ya. Udah laper banget soalnya." balas Amanda. Dia mengusap perut ratanya. Ana mengangguk, dan mengembangkan senyumnya. Rendra yang sedari tadi memperhatikan Ana pun, terpana melihat senyuman gadis itu. "Kenapa lo gak ke kantin?" tanya Ana kepada Rendra. "Gue gak tau kantinnya di mana." jawab Rendra. "Kenapa barusan lo gak bareng aja sama temen-temen gue?!" geram Ana. "Gue maunya sama lo."jawab Rendra menatap manik gadis itu lekat. Ana beranjak dari kursinya. Dia berjalan keluar dari kelas, entah mau kemana. Rendra mengik
"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid. Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya. "Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang itu. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana. "Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah lelah. Dia berniat beristirahat sebentar. "Gak ada." balas Inggrid. "Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang bayar tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk. Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangatsangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin. "Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika dia merasa lelah dan capek, ia akan menyemangati dirinya sendiri. Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W******p. Tapi tidak ada chat yang p
1 Minggu sudah, sejak kejadian Rendra yang meminta izin untuk menembak Ana, kepada Sarah. Keduanya sekarang jadi lebih dekat, Ana juga jadi tidak risih, ketika Rendra berdekatan dengannya."Dra, cepetan dong jalannya!" kesal Ana. Pasalnya sekarang Rendra sudah tertinggal jauh di belakang Ana. Sekarang keduanya tengah berada di minimarket dekat rumah Ana. Sejak kejadian itu juga Rendra jadi sering main kerumahnya. Sarah dan Damar juga tidak mempermasalahkan itu."Lo nyari apa sih?""Perasaan dari tadi muter-muter doang. Kaki gue sakit, mana bosen lagi." Rendra berucap dengan nada lesu."Sebentar, gue gak tau barang yang gue cari ada di mana." ucap Ana."Sebentar, istirahat dulu." Rendra mendudukan dirinya di teras, tidak peduli orang-orang menatapnya aneh."Jangan di situ bego! Malu-maluin." geram Ana."Bahasanya bagus banget." Rendra mencomot bibir Ana dengan tangannya.Ana menggeplak tangan Rendra, hingga cowok itu melep
Pagi telah tiba. Ana sudah siap dengan seragam sekolahnya. Anak itu mendekati meja makan, yang sudah ada ayah dan ibunya."Selamat pagi" ucap Ana."Juga An." jawab kedua orang tuanya."Na," panggil Sarah. Ana sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Sarah.Ana mendongkak, menatap wajah Sarah. "Kenapa Bu?" tanya Ana."Sejak kapan kamu bekerja?" tanya Sarah. Raut wajah sarah nampak datar."Ana," Ana menggantung ucapannya. Dia tidak tahu harus menjelaskan seperti apa.Sarah tidak mengetahui Ana bekerja, walaupun Sarah sempat curiga karena anak gadisnya itu sering kali pulang malam. Tapi dia berfikir kalo Ana mungkin habis kerja kelompok, atau bermain bersama temannya.Ana menundukkan kepalanya, dia tidak berani menatap wajah Sarah. "Ana! Jawab ibu." Sarah berucap dengan tegas."Aku bekerja, udah hampir 3 bulan Bu." Ana semakin menundukan kepalanya."Kenapa kamu gak pernah bilang sama ibu?!" Sarah menai
Setelah berkendara sekitar 30 menit kini keduanya sudah sampai di tempat yang Rendra tuju. Ana sudah terlelap di kursi sebelah Rendra. "An," Rendra menepuk pelan pundak Ana. "Ana?" Ana melenguh pelan, gadis itu mengerjapkan matanya. "Oh, udah sampe?" tanya Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. Rendra mengangguk kecil. "Udah dari tadi cantik." Rendra mengusak rambut Ana gemas. "Kita di mana?" tanyanya lagi, ketika nyawanya sudah terkumpul. "Mall." balas Rendra. Ana melotot, kan matanya. Apa? Mall katanya? Ana tidak pernah pergi ke Mall. Ini adalah kali pertama gadis itu pergi ke gedung besar itu. "Kenapa?" tanya Rendra. Aneh, melihat gelagat gadis itu. "Lo kenapa gak bilang dulu kalo mau ke Mall!" "Emang kenapa sih?" tanya cowok itu tidak mengerti. "Kita ke Mall pake seragam gitu? Kalo ada yang tau sekolah kita gimana?!" geram Ana. "Oh gitu doang. Nih gue ada
Pagi hari telah tiba, Ana kembali di bangunkan oleh Sarah seperti biasanya. Gadis itu melenguh karena merasa terganggu. "Bu." panggil Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. "Sekarang bangun, mandi, terus turun." perintah Sarah. Setelah mengatakan itu, Sarah melenggang pergi. Ana menatap sedih kepergian Sarah. Mungkin Ibunya itu masih marah kepadanya. Ana bergegas pergi ke kamar mandi. Setelah selesai dengan kegiatannya di kamar mandi, Ana keluar dengan tubuh yang hanya di lilit dengan handuk, gadis itu terlihat lebih segar sekarang. Ana memakai baju seragam dan sedikit memoleskan bedak dan lipblam. Setelah itu Ana turun untuk sarapan. Tidak seperti pagi-pagi biasanya, yang setiap Ana datang selalu di sambut dengan senyum hangat Sarah, atau panggilan sayang dari sang Ayah. Pagi hari sekarang semuanya terlihat sangat canggung. Ana tidak berani menyapa kedua orang tuanya seperti hari-hari sebelumnya. Ana mendudukan dirinya di kursi, di hadapa
"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid. Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya. "Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang tersebut. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana. "Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah merasa lelah. Dia berniat beristirahat sebentar. "Gak ada." balas Inggrid. "Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang mau bayar, tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk. Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin. "Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika ia merasa lelah. Ia akan menyemangati dirinya sendiri. Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W*. Tapi tidak ada chat yang penting
~~~~~~~ Ana dan Rendra sekarang tengah berada di Cafe milik Rendra. Yang artinya cafe tempat Ana bekerja. Sepulang sekolah tadi, Ana meminta Rendra mengantarkannya ke Cafe. Rendra sempat menolak, tapi karena Ana yang keras kepala jadi Rendra mengalah. "Lo gak usah kerja Na." pinta Rendra Ana menatap jengah ke arah Rendra. Sudah lebih dari satu kali dia berucap begitu. "Mending lo pulang." usir Ana. "Dih, ngusir. Orang ini juga Cafe milik gue, jadi terserah gue dong." "Yaudah, lo diem! Jangan ganggu gue." setelah mengatakan itu, Ana melenggang pergi menuju area Cafe. Pergerakan Ana tidak pernah lepas dari penglihatan Rendra. Cowok itu senantiasa memperhatikan pergerakan gadisnya itu. "Jadi ini bener lo?" tiba-tiba seorang gadis berdiri di hadapan Rendra. Tanpa persetujuan Rendra, gadis itu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Rendra. Rendra menatap ke arah orang itu, "lo ngapain di sini?" tanya Re
Pagi telah tiba. Ana sudah siap dengan seragam sekolahnya. Anak itu mendekati meja makan, yang sudah ada ayah dan ibunya."Selamat pagi" ucap Ana."Juga An." jawab kedua orang tuanya."Na," panggil Sarah. Ana sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Sarah.Ana mendongkak, menatap wajah Sarah. "Kenapa Bu?" tanya Ana."Sejak kapan kamu bekerja?" tanya Sarah. Raut wajah sarah nampak datar."Ana," Ana menggantung ucapannya. Dia tidak tahu harus menjelaskan seperti apa.Sarah tidak mengetahui Ana bekerja, walaupun Sarah sempat curiga karena anak gadisnya itu sering kali pulang malam. Tapi dia berfikir kalo Ana mungkin habis kerja kelompok, atau bermain bersama temannya.Ana menundukkan kepalanya, dia tidak berani menatap wajah Sarah. "Ana! Jawab ibu." Sarah berucap dengan tegas."Aku bekerja, udah hampir 3 bulan Bu." Ana semakin menundukan kepalanya."Kenapa kamu gak pernah bilang sama ibu?!" Sarah menai
1 Minggu sudah, sejak kejadian Rendra yang meminta izin untuk menembak Ana, kepada Sarah. Keduanya sekarang jadi lebih dekat, Ana juga jadi tidak risih, ketika Rendra berdekatan dengannya."Dra, cepetan dong jalannya!" kesal Ana. Pasalnya sekarang Rendra sudah tertinggal jauh di belakang Ana. Sekarang keduanya tengah berada di minimarket dekat rumah Ana. Sejak kejadian itu juga Rendra jadi sering main kerumahnya. Sarah dan Damar juga tidak mempermasalahkan itu."Lo nyari apa sih?""Perasaan dari tadi muter-muter doang. Kaki gue sakit, mana bosen lagi." Rendra berucap dengan nada lesu."Sebentar, gue gak tau barang yang gue cari ada di mana." ucap Ana."Sebentar, istirahat dulu." Rendra mendudukan dirinya di teras, tidak peduli orang-orang menatapnya aneh."Jangan di situ bego! Malu-maluin." geram Ana."Bahasanya bagus banget." Rendra mencomot bibir Ana dengan tangannya.Ana menggeplak tangan Rendra, hingga cowok itu melep
"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid. Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya. "Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang itu. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana. "Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah lelah. Dia berniat beristirahat sebentar. "Gak ada." balas Inggrid. "Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang bayar tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk. Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangatsangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin. "Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika dia merasa lelah dan capek, ia akan menyemangati dirinya sendiri. Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W******p. Tapi tidak ada chat yang p
Bel istirahat baru saja berbunyi. Anak-anak di kelas Ana berhamburan keluar kelas, kecuali Ana dan ketiga sahabatnya. Jangan lupakan Rendra. "Lo gak ke kantin?" tanya Rendra. Ana masih diam, tidak bergeming. Amanda datang ke meja Ana. "Na, kantin yuk." ajak Amanda. Ana menatap Amanda. Dia menggelengkan kepalanya. Pertanda dia menolak ajakan Amanda. "Oh, yaudah kita duluan ya. Udah laper banget soalnya." balas Amanda. Dia mengusap perut ratanya. Ana mengangguk, dan mengembangkan senyumnya. Rendra yang sedari tadi memperhatikan Ana pun, terpana melihat senyuman gadis itu. "Kenapa lo gak ke kantin?" tanya Ana kepada Rendra. "Gue gak tau kantinnya di mana." jawab Rendra. "Kenapa barusan lo gak bareng aja sama temen-temen gue?!" geram Ana. "Gue maunya sama lo."jawab Rendra menatap manik gadis itu lekat. Ana beranjak dari kursinya. Dia berjalan keluar dari kelas, entah mau kemana. Rendra mengik
Ckitt..Ana tersentak kaget, karena secara tiba-tiba ada sebuah motor yang berhenti tepat di hadapannya. Ana tidak tahu dia siapa. Tapi dia memakai seragam sekolah yang sama dengan Ana.~~~~~~~Cowok itu membuka helmnya, dan turun dari atas jok motornya. Ia berjalan mendekat ke arah Ana. Ana tidak tahu harus berbuat apa, jadinya ia hanya mematung di tempat."Hai," sapa cowok itu.Ana mengerjapkan matanya."Ahh, hai juga." balas Ana, tersenyum kikuk."Mau bareng gak?" tawar si cowok. Ana terkejut, tentu saja. Siapa yang tidak terkejut, ketika ada orang yang tidak dia kenal, mengajaknya berangkat bersama."Udah deket." jawab Ana, seraya menunjuk gerbang sekolah."Gak mau?" tanyanya lagi.Ana menggelengkan kepalanya."Oh, yaudah. Gue tunggu Lo di gerbang." ucap si cowok. Dengan tampang dinginnya.Ana yang tidak mengerti hanya menghendikan bahunya acuh. Ana kembali melanjutkan jalannya yang sempat tertun