Pagi telah tiba. Ana sudah siap dengan seragam sekolahnya. Anak itu mendekati meja makan, yang sudah ada ayah dan ibunya.
"Selamat pagi" ucap Ana.
"Juga An." jawab kedua orang tuanya.
"Na," panggil Sarah. Ana sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Sarah.
Ana mendongkak, menatap wajah Sarah. "Kenapa Bu?" tanya Ana.
"Sejak kapan kamu bekerja?" tanya Sarah. Raut wajah sarah nampak datar.
"Ana," Ana menggantung ucapannya. Dia tidak tahu harus menjelaskan seperti apa.
Sarah tidak mengetahui Ana bekerja, walaupun Sarah sempat curiga karena anak gadisnya itu sering kali pulang malam. Tapi dia berfikir kalo Ana mungkin habis kerja kelompok, atau bermain bersama temannya.
Ana menundukkan kepalanya, dia tidak berani menatap wajah Sarah. "Ana! Jawab ibu." Sarah berucap dengan tegas.
"Aku bekerja, udah hampir 3 bulan Bu." Ana semakin menundukan kepalanya.
"Kenapa kamu gak pernah bilang sama ibu?!" Sarah menaikan nada bicaranya, Sarah sudah tersulut emosi.
Damar menatap ke arah Sarah. Dia mengusap tangan istrinya itu, menenangkan. "Udah, mending kita sarapan dulu." lerai Damar.
"Kamu udah tau?" Sarah balik menatap ke arah Damar. Damar gelagapan di buatnya.
"Jawab!" teriak Sarah.
"Iya. Aku udah tau," jawab Damar.
"Oh, astaga!" Sarah memijat pelipisnya, pusing.
Sarah pergi dari sana, meninggalkan Ana dan Damar, yang masih tidak bergeming di tempatnya.
"Ayah, Ana berangkat dulu ya." Ana menyalimi tangan Damar. Dan bergegas pergi dari sana.
Damar menghampiri istrinya yang berada di kamar. "Sar," panggil Damar.
Sarah masih tidak bergeming, dia tetap diam di tempatnya. Matanya menatap lurus ke depan.
"Mungkin Ana gak ngasih tau kamu, itu, karena dia gak mau kamu khawatir."
"Aku juga pertama tau, sama kagetnya dengan kamu. Aku pun, tidak terima. Tapi mau gimana lagi. Kita tidak bisa memenuhi keinginannya, kita makan aja masih bersyukur. Mungkin dengan Ana bekerja dia bisa memenuhi segala keinginannya." jawab Damar.
"Kita tidak bisa mengekang Ana, dia udah dewasa. Dia udah bisa nentuin pilihannya. Dia udah tau mana yang baik, dan mana yang buruk. Dia juga pasti bisa jaga diri. Apalagi sekarang ada Rendra yang selalu ada di dekat Ana." lanjutnya.
Sarah hanya mendengarkan, apa yang suaminya katakan. Sarah mencerna semua ucapan suaminya itu. Ada benarnya juga, Sarah tidak boleh egois. Ana begini juga semua salahnya.
Sarah menangis. Dia merasa gagal menjadi orang tua.
"Maafin ibu, Ana." Sarah menangis tersedu-sedu. Dia khawatir ketika mendengar anaknya itu sudah bekerja. Apalagi tanpa sepengetahuannya, Sarah merasa tidak berguna menjadi orang tua. Dia kecewa sama dirinya sendiri.
Damar mengusap pelan punggung istrinya guna menenangkan, "udah, nanti kamu bicarakan ini baik-baik dengan Ana." Sarah mengangguk, dia menghapus air matanya.
"Yaudah, aku pergi dulu." pamit Damar.
Sarah kembali mengangguk.
~~~~~~~
Seperti biasa, Ana berjalan kaki menuju sekolahnya. Gadis itu berjalan dengan termenung. Tatapannya kosong, Ana tidak seperti biasanya. Tidak seperti Ana yang ceria, dan suka memamerkan senyumnya. Ana yang sekarang sangat berbeda jauh dengan Ana seperti hari-hari biasanya.
Duk.
Ana tersadar dari lamunannya, dia menegakkan tatapannya, di depannya sudah ada Rendra yang menatapnya dengan tatapan tajam.
"Kalo jalan itu fokus! Jangan sambil melamun. Bahaya!" ucap Rendra dengan suara yang tegas.
Ana tidak menggubris, dia berjalan begitu saja melewati Rendra.
"Lo kenapa?"
"Gue gak papa." jawab Ana. Gadis itu melenggang pergi begitu saja.
Rendra membiarkan Ana pergi, dia menatap Ana dengan tatapan yang sulit di artikan. Akhirnya Rendra-pun memilih pergi dari sana, menuju tempat tongkrongannya dengan Reza dan teman-teman barunya.
Sementara Ana, gadis itu tetap memasang wajah datar, dan tidak memperhatikan sekitar. Bahkan ketika sampai di kelas pun gadis itu tanpa banyak bicara, langsung mendudukan dirinya di kursinya.
Ketiga sahabatnya belum datang, jadi Ana menyibukkan dirinya dengan menggambar. Ana sangat menyukai menggambar, dalam keadaan apapun jika ada waktu pasti Ana akan menggambar. Bahkan menurut Ana menggambar itu bisa membuatnya melupakan sejenak masalahnya, dan bisa merilekskannya.
Tak berselang lama dari itu, ketiga sahabat Ana datang bersamaan. Ketiganya langsung menyapa Ana dengan senyuman khasnya.
"Ana!" Ana menoleh, dan mendapati Amanda, Intan dan Hana yang tengah berlari kecil ke arahnya.
"Tumben lo dateng pagi banget." tanya Amanda, gadis itu mendudukan dirinya di kursinya. Begitupun dengan Intan dan Hana.
"Iya tadi bangunnya kepagian. Jadi datangnya juga kepagian." jawab Ana dengan kekehan garing.
Mereka hanya menganggukkan kepalanya.
Tak terasa, waktu berjalan begitu cepat. Jam istirahat sudah berbunyi sejak 3 menit yang lalu. Tapi Ana masih tidak beranjak dari tempat duduknya. Ketiga sahabatnya sudah pergi sejak tadi. Di kelas hanya tersisa Ana seorang diri. Kemana Rendra? Ana tidak tahu. Dia tidak masuk, entah kemana.
Sudah jadi kebiasaan Ana, jika ia tidak mempunyai uang buat makan di kantin. Maka dia akan menggambar, karena dengan menggambar, waktu berjalan begitu cepat. Jadi Ana tidak akan merasakan lapar.
Gambar Ana itu Jangan di ragukan lagi. Bahkan Ana punya I*******m khusus untuk menjual gambar-gambarnya. Dari gambar itu Ana juga mendapatkan sedikit tambahan keuangan. Lumayan kan.
Saat Ana tengah fokus pada gambar di hadapannya, sebuah plastik hitam mendarat di bangku Ana. Ana mendongkak, menatap sang empunya. Dan ternyata itu adalah Rendra.
"Kenapa?" tanya Ana. Menatap Rendra dengan tatapan datar.
"Kenapa lo gak ke kantin?" tanya Rendra, balik. Cowok itu mendudukan dirinya di kursi sebelah Ana.
"Gak ada uang." jawab Ana, to the point. Ana tidak merasa malu dengan Rendra, karena emang itu kenyataannya.
"Nih, makan." Rendra menyodorkan makanan di plastik hitam itu. Ana mengangguk, dan mengucapkan terima kasih.
"Lo udah makan?" tanya Ana.
Rendra menggeleng, "Belum, lo aja yang makan." Rendra tersenyum ke arah Ana. Senyuman cowok itu sangat manis. Ana bahkan sampai terpesona ketika melihat senyuman cowok itu.
"Sini, makan bareng aja." ajak Ana. Dia merasa tidak tega dengan Rendra.
Mata Rendra berbinar, dia mengangguk dan tidak melunturkan senyumnya. Untungnya tadi dia membeli makanan yang cukup banyak.
"Aaa" Rendra membuka mulutnya. Ana menatap tidak mengerti ke arah Rendra.
"Apa?" tanya Ana.
"Ck. Gak peka banget. Suapin lah." Rendra berdecak, cowok itu memalingkan wajahnya.
"Ya lagian, lo gak bilang."
"Makan sendiri. Udah besar juga."
"Kan biar romantis."
"Gak ada romantis romantisan!"
"Buru makan!" titah Ana.
Rendra menuruti.
~~~~~~~
Bel masuk sudah berbunyi. Ana dan Rendra sudah duduk rapi di bangkunya. Rendra sesekali melirik ke arah Ana, Ana yang sedang menggambar, pun merasa risih.
"Jangan ngeliatin mulu." dengus Ana.
"Terserah gue dong, mata-mata gue." Rendra menjulurkan lidahnya, meledek.
"Risih tau." kesal Ana.
"Salah siapa lo cantik. Jadinya gue liatin" ujar Rendra, cowok itu tidak mau kalah.
Ana menghembuskan nafasnya pasrah. Tak berselang lama dari itu, buk Indah datang dengan buku tebal di dekapannya.
"Selamat siang." ucap Bu Indah.
"Siang Bu" teriak murid kelas Ana, serempak.
"Kita lanjutkan pelajaran Minggu kemarin, buka halaman 40."
Ana membuka buku paketnya. Di bukanya halaman 40.
"Kalian bekerja kelompok, mau ibu yang pilihkan atau Kalian yang pilih sendiri teman kelompoknya?" ujar Bu Indah.
"Pilih sendiri buk!" teriak Rendra. Ana tersentak kaget, karena teriakannya.
"Baik kalo begitu. Kalian pilih 5 teman yang akan menjadi kelompok kalian. Kalo sudah, langsung kerjakan. Kalian boleh melihatnya dari buku. Ibu izinkan kalian ke perpustakaan. Dan satu lagi, jangan nyontek dari handphone. Paham?" jelas Bu Indah.
"Paham bu!" balas para murid.
"Yes, kita satu kelompok." girang Rendra.
Ana menatap ke arah Rendra. "Siapa bilang? Gue mau sekelompok sama sahabat gue kok, bukan sama lo." Ana balik menjulurkan lidahnya, meledek.
"Kalian berempat, di tambah gue satu. Jadi berlima. Pas lah." ucap Rendra.
Ana menatap ke arah teman-temannya. Memberi tatapan jangan setuju.
"Iya udahlah ayo aja. Lagian kita juga kalo kerkom suka berempat. Sekali-kali, lah berlima." ucap Intan.
Ana menghembuskan nafasnya pasrah, mau tidak mau ana mengangguk.
"Yes! Yaudah ayo." Rendra merangkul pundak Ana keluar dari dalam kelas.
"Loh, mau kemana? Lepasin gak!" Ana mencoba melepaskan rangkulan Rendra.
"Ke perpus, lah."
"Loh, woi tolongin gue!" teriak Ana, kepada ketiga sahabatnya.
Rendra terkekeh melihat kelakuan Ana.
"Harusnya lo gak ngijinin si Rendra gabung sama kita! Jadi kita gak bakal ngeliat keuwuan." kesal Amanda.
"Gak papa lah, itung-itung cuci mata, liat cogan." ucap Hana.
"Iya njir! Sekali-kali lah liat cogan. Masa yang di liat ini-ini mulu. Basi tau gak." ujar Intan, gadis itu menunjuk Hana dan Amanda, seraya tertawa.
"Lo yang basi!" teriak Hana, Hana dan Amanda langsung pergi begitu saja meninggalkan Intan.
"Woilah, tungguin!" Intan berlari mengejar teman-temannya.
Sesampainya di perpustakaan, Rendra mendudukan tubuh Ana di kursi yang tersedia di dalam sana.
"Lo duduk aja. Biar gue yang nyari buku." ujar Rendra.
"Gak usah lebay deh lo." Ana berdiri dari duduknya. Gadis itu berjalan mengelilingi perpustakaan.
"Na, lo gak boleh capek-capek." ujar Rendra. Cowok itu mengikuti langkah Ana, kemanapun gadis itu melangkah.
"Apaan sih, random banget." Ana terkekeh garing.
"Eh, dra. Ambilin buku itu." Ana menunjuk buku di rak yang agak tinggi.
"Mangkanya, tumbuh itu ke atas. Jangan ke samping." ucap Rendra, cowok itu mengusap pelan rambut Ana.
"Ini bukan?" tanya Rendra.
"Bukan, itu yang sebelahnya."
"Yang ini?"
"Bukan ih! Itu yang warna coklat." jelas Ana.
"Kenapa gak bilang dari tadi!" kesal Rendra.
"Nih." Rendra menyodorkan buku yang Ana pinta.
"Makasih." ucap Ana. Gadis itu melenggang pergi, menuju tempat duduk tadi.
"Buru woi, bagi-bagi tugas." ucap Intan. Yang lain mengangguk menyetujui.
Mereka sudah duduk berkeliling, menunggu instruksi yang Ana kasih.
"Gini deh, biar gue sama Hana yang nyari isinya. Kalian bertiga nyari bukunya. Gue udah dapet satu buku." Ana mengangkat buku yang tadi ia bawa.
"Gue pengen sama lo." ujar Rendra dengan muka memelas.
"Gak. Yang ada lo nanti malah leha-leha."
"Lo sama mereka aja nyari buku. Lo kan tinggi, takutnya nanti mereka kesusahan pas mau ambil buku yang ada di rak tinggi." jelas Ana. Rendra mengangguk pasrah.
Rendra, Amanda dan Intan mulai mencari-cari buku yang sekiranya mereka butuhkan. Sesekali Amanda meminta Rendra membawakan buku yang tidak bisa ia jangkau.
Sedangkan Ana dan Hana, kedua gadis itu tengah sibuk dengan buku yang Ana bawa tadi. Mereka tengah sibuk mencari jawaban dari soal yang Bu indah kasih.
Tak berselang lama, Rendra, Amanda dan Intan. Datang membawa setumpuk buku tebal. Rendra mendudukan dirinya di kursi sebelah Ana. Begitupun dengan Amanda dan Intan. Mereka mendudukan dirinya di kursinya masing-masing.
Perpustakaan sekarang bisa di bilang cukup ramai, karena tugas yang di berikan Bu Indah. Jadi kebanyakan orang di perpus sekarang adalah anak kelas IPA 1.
Anak-anak gadis di kelompok Ana tengah sibuk dengan buku-buku tebal di hadapannya. Berbeda dengan Rendra yang tengah sibuk memperhatikan Ana. Cowok itu menidurkan kepalanya di meja perpus.
"Bantuin. Bukan malah enak-enakan tiduran." dengus Ana.
"Enakan juga gini, liatin lo." ucap Rendra
Ketiga sahabat Ana saling berpandangan. Dalam hati mereka berkata, "keuwuan apalagi ini ya Allah."
Ana hanya mendengus mendengar jawaban Rendra, gadis itu kembali memfokuskan dirinya pada buku-buku di hadapannya. Tidak memperdulikan Rendra yang senantiasa menatapnya.
15 menit sudah, kelompok Ana mencari jawaban. Sekarang Ana akan menyerahkan tugasnya kepada Bu Indah. Bu indah tidak ada di kelasnya, jadi dia harus pergi ke ruang guru.
Tok tok tok
"Assalamualaikum" Ana membuka pintu ruangan itu, terlihat di sana ada banyak guru yang sedang mengobrol. Karena jam pelajaran yang sebentar lagi selesai, seperti biasanya, kebanyakan guru yang datang hanya memberi tugas. Setelah itu mereka pergi lagi ke ruangannya.
"Waalaikumsallam" jawab guru-guru yang berada di dalam ruangan.
"Ini buk, tugas kelompok saya." Ana menyerahkan tugasnya kepada Bu Indah. Dan di terima olehnya.
"Makasih ya Ana. Karena sebentar lagi pulang. Tolong bilangin sama teman-teman kamu, jangan ada yang keluar kelas." ujar Bu indah. Ana mengangguk.
"Baik Bu, saya permisi. Assalamualaikum" pamit Ana.
"Waalaikumsallam."
~~~~~~~
~~~~~~~ Ana dan Rendra sekarang tengah berada di Cafe milik Rendra. Yang artinya cafe tempat Ana bekerja. Sepulang sekolah tadi, Ana meminta Rendra mengantarkannya ke Cafe. Rendra sempat menolak, tapi karena Ana yang keras kepala jadi Rendra mengalah. "Lo gak usah kerja Na." pinta Rendra Ana menatap jengah ke arah Rendra. Sudah lebih dari satu kali dia berucap begitu. "Mending lo pulang." usir Ana. "Dih, ngusir. Orang ini juga Cafe milik gue, jadi terserah gue dong." "Yaudah, lo diem! Jangan ganggu gue." setelah mengatakan itu, Ana melenggang pergi menuju area Cafe. Pergerakan Ana tidak pernah lepas dari penglihatan Rendra. Cowok itu senantiasa memperhatikan pergerakan gadisnya itu. "Jadi ini bener lo?" tiba-tiba seorang gadis berdiri di hadapan Rendra. Tanpa persetujuan Rendra, gadis itu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Rendra. Rendra menatap ke arah orang itu, "lo ngapain di sini?" tanya Re
"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid. Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya. "Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang tersebut. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana. "Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah merasa lelah. Dia berniat beristirahat sebentar. "Gak ada." balas Inggrid. "Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang mau bayar, tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk. Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin. "Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika ia merasa lelah. Ia akan menyemangati dirinya sendiri. Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W*. Tapi tidak ada chat yang penting
Pagi hari telah tiba, Ana kembali di bangunkan oleh Sarah seperti biasanya. Gadis itu melenguh karena merasa terganggu. "Bu." panggil Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. "Sekarang bangun, mandi, terus turun." perintah Sarah. Setelah mengatakan itu, Sarah melenggang pergi. Ana menatap sedih kepergian Sarah. Mungkin Ibunya itu masih marah kepadanya. Ana bergegas pergi ke kamar mandi. Setelah selesai dengan kegiatannya di kamar mandi, Ana keluar dengan tubuh yang hanya di lilit dengan handuk, gadis itu terlihat lebih segar sekarang. Ana memakai baju seragam dan sedikit memoleskan bedak dan lipblam. Setelah itu Ana turun untuk sarapan. Tidak seperti pagi-pagi biasanya, yang setiap Ana datang selalu di sambut dengan senyum hangat Sarah, atau panggilan sayang dari sang Ayah. Pagi hari sekarang semuanya terlihat sangat canggung. Ana tidak berani menyapa kedua orang tuanya seperti hari-hari sebelumnya. Ana mendudukan dirinya di kursi, di hadapa
Setelah berkendara sekitar 30 menit kini keduanya sudah sampai di tempat yang Rendra tuju. Ana sudah terlelap di kursi sebelah Rendra. "An," Rendra menepuk pelan pundak Ana. "Ana?" Ana melenguh pelan, gadis itu mengerjapkan matanya. "Oh, udah sampe?" tanya Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. Rendra mengangguk kecil. "Udah dari tadi cantik." Rendra mengusak rambut Ana gemas. "Kita di mana?" tanyanya lagi, ketika nyawanya sudah terkumpul. "Mall." balas Rendra. Ana melotot, kan matanya. Apa? Mall katanya? Ana tidak pernah pergi ke Mall. Ini adalah kali pertama gadis itu pergi ke gedung besar itu. "Kenapa?" tanya Rendra. Aneh, melihat gelagat gadis itu. "Lo kenapa gak bilang dulu kalo mau ke Mall!" "Emang kenapa sih?" tanya cowok itu tidak mengerti. "Kita ke Mall pake seragam gitu? Kalo ada yang tau sekolah kita gimana?!" geram Ana. "Oh gitu doang. Nih gue ada
"Ana, bangun sayang.""Ana," panggilnya lagi. Gadis itu tidak ada pergerakan sama sekali."Ana." ibu Ana mengguncangkan tubuh Ana, tapi hasilnya nihil."Ana kamu kebo banget sih!" Sarah–ibu Ana menaikan nada bicaranya.Karena suara ibunya dan guncangan di tubuhnya, membuat Ana terbangun."Eunghh," lenguh Ana.Sepertinya nyawa gadis itu belum terkumpul sepenuhnya, terbukti dari matanya yang masih merem melek."Apa, bu?" tanya Ana, dengan suara serak, khas bangun tidur.Mata Ana masih terpejam, tidak ada niatan buat dia bangun."Cepat bangun!""Hari ini kamu sekolah, jangan sampai telat." ujar Sarah.Oh iya Ana baru ingat. Ana langsung bangkit dari kasur kesayangannya, dan beranjak menuju kamar mandi.Sarah yang melihat itu, pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak butuh waktu lama untuk Ana menyelesaikan ritualnya di kamar mandi. Sekarang gadis itu sudah siap dengan baju seragam
Ana bekerja seperti biasa. Ana cukup lelah karena pekerjaannya, sedari siang tadi banyak sekali pelanggan. Terlihat sekarang pukul tujuh malam. Sedangkan Ana bekerja mulai pukul satu siang.Badan Ana rasanya mati rasa, semua badannya terasa sangat letih.Setelah sekian lama bekerja, Ana sudah di perbolehkan pulang. Ana berdiri di trotoar, matanya melihat kendaraan yang berlalu lalang. Ana sedang menunggu ojek online yang tadi ia pesan."Apakah ini dengan mba Ana?" tanya seorang laki-laki dari balik helmnya.Ana mengangguk. "Iya, bapak ojek online ya?" tanya Ana."Iya, mba. ini helmnya." ucap bapak ojol."Makasih pak." Ana mulai menaiki motor bapak ojol, motor yang di tumpanginya berjalan dengan kecepatan sedang.Karena udara malam, rasa letih Ana seketika lenyap begitu saja. Meskipun kata orang, udara malam itu tidak baik untuk kesehatan, tapi Ana tidak memperdulikan itu. Ana sangat menyukai sejuknya angin di malam hari. Itu menyejukk
Ckitt..Ana tersentak kaget, karena secara tiba-tiba ada sebuah motor yang berhenti tepat di hadapannya. Ana tidak tahu dia siapa. Tapi dia memakai seragam sekolah yang sama dengan Ana.~~~~~~~Cowok itu membuka helmnya, dan turun dari atas jok motornya. Ia berjalan mendekat ke arah Ana. Ana tidak tahu harus berbuat apa, jadinya ia hanya mematung di tempat."Hai," sapa cowok itu.Ana mengerjapkan matanya."Ahh, hai juga." balas Ana, tersenyum kikuk."Mau bareng gak?" tawar si cowok. Ana terkejut, tentu saja. Siapa yang tidak terkejut, ketika ada orang yang tidak dia kenal, mengajaknya berangkat bersama."Udah deket." jawab Ana, seraya menunjuk gerbang sekolah."Gak mau?" tanyanya lagi.Ana menggelengkan kepalanya."Oh, yaudah. Gue tunggu Lo di gerbang." ucap si cowok. Dengan tampang dinginnya.Ana yang tidak mengerti hanya menghendikan bahunya acuh. Ana kembali melanjutkan jalannya yang sempat tertun
Bel istirahat baru saja berbunyi. Anak-anak di kelas Ana berhamburan keluar kelas, kecuali Ana dan ketiga sahabatnya. Jangan lupakan Rendra. "Lo gak ke kantin?" tanya Rendra. Ana masih diam, tidak bergeming. Amanda datang ke meja Ana. "Na, kantin yuk." ajak Amanda. Ana menatap Amanda. Dia menggelengkan kepalanya. Pertanda dia menolak ajakan Amanda. "Oh, yaudah kita duluan ya. Udah laper banget soalnya." balas Amanda. Dia mengusap perut ratanya. Ana mengangguk, dan mengembangkan senyumnya. Rendra yang sedari tadi memperhatikan Ana pun, terpana melihat senyuman gadis itu. "Kenapa lo gak ke kantin?" tanya Ana kepada Rendra. "Gue gak tau kantinnya di mana." jawab Rendra. "Kenapa barusan lo gak bareng aja sama temen-temen gue?!" geram Ana. "Gue maunya sama lo."jawab Rendra menatap manik gadis itu lekat. Ana beranjak dari kursinya. Dia berjalan keluar dari kelas, entah mau kemana. Rendra mengik