"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid.
Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya.
"Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang itu. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana.
"Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah lelah. Dia berniat beristirahat sebentar.
"Gak ada." balas Inggrid.
"Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang bayar tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk.
Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangatsangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin.
"Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika dia merasa lelah dan capek, ia akan menyemangati dirinya sendiri.
Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W******p. Tapi tidak ada chat yang penting. Jadi Ana memutuskan untuk mematikan handphonenya.
~~~~~~~
"Hati-hati di jalan." teriak Ana kepada Inggrid dan Anggi. Dia melambaikan tangannya. Rumah Inggrid dan Anggi itu satu arah, jadi mereka pulang bersama.
Sekarang tinggal Ana seorang diri di tepi jalan yang sepi. Waktu sekarang sudah menunjukan pukul setengah delapan malam. Di kawasan tempat Ana kerja memang selalu sepi jika di malam hari.
Ana berjalan menuju jalan yang cukup ramai, dia sebenarnya penakut. Tapi Ana menepis semua pikiran buruk nya.
Titt titt
Suara klakson dari arah belakang memberhentikan langkah Ana. Ana menoleh dan mendapati,
"Gue cariin di tempat kerja lo, eh lo nya gak ada." ucap Rendra seraya turun dari atas motornya.
"Ngapain repot-repot ke sini?" tanya Ana.
"Gak repot. Kalo itu menyangkut lo." jawab Rendra. Dia menyerahkan helmnya kepada Ana.
"Nih, gue anterin Lo pulang."
"Tapi-" belum sempat Ana berbicara, Rendra sudah lebih dulu memotong ucapan Ana.
"Sstt. Tanpa penolakan." tegas Rendra. Dia menarik tangan Ana, membawa gadis itu mendekati motornya. Rendra membantu Anda menaiki jok motornya.
"Udah?" tanya Rendra.
Ana mengangguk. Bodoh, Rendra mana bisa lihat anggukan Ana di belakang.
"An? Udah siap? Gue jalanin sekarang nih." ujar cowok itu. Karena tidak mendapat sahutan dari Ana.
"Udah." balas Ana.
Rendra melajukan kuda besinya dengan kecepatan pelan. Dia ingin berlama-lama di jalan dengan Ana.
Ana menepuk pundak Rendra pelan. "Kok lambat banget sih jalannya? Lo gamungkin lagi irit bensin kan?" tanya Ana.
Rendra berdecak pelan. Tidak peka sekali, pikirnya.
Rendra menaikan laju motornya. Karena serangan yang dadakan, Ana tersentak dan hampir saja kejengkang ke belakang. Untungnya, dia dengan cepat berpegangan pada jaket yang Rendra pakai.
"Pelan-pelan dong!" serongot Ana.
Rendra mendengus. Maunya cewek itu apa sih? Tadi pelan salah. Sekarang sudah cepat juga salah. Hadeuhh
"Tadi lo bilang kalo pelan lama, sekarang udah gue naikin gasnya masih aja salah."
"Ya gak gitu juga! Gue hampir celaka gara-gara lo."
Rendra tidak menjawab. Cowok itu tetap fokus pada jalanan di hadapannya.
Rendra memberhentikan motornya di halaman rumah Ana. Ana turun dan memberikan helm Rendra.
"Makasih," ujar Ana. Dia menatap Rendra, yang dari tadi hanya diam saja menatap ke arahnya.
"Kenapa?" tanya Ana.
"Lo jadi cewek gak peka banget!"
"Ajakin dulu masuk kek, beri minum dulu kek. Apa kek." lanjutnya.
"Tapi kan ini udah malam."
"Emang di rumah lo gak ada siapa-siapa?" Rendra menaikan sebelah alisnya.
"Ada."
"Yaudah, itu gak bakal jadi masalah. Gue juga mau ngobrol sama orang tua lo." Rendra turun dari motornya. Dia berjalan ke arah pintu masuk rumah Ana. Dia meninggalkan Ana sendiri di belakang sana. Ana masih tidak percaya dengan tingkah laku Rendra, ada ya orang seperti itu?
Ana mengikuti langkah Rendra. Sampai keduanya sudah berada tepat di depan pintu masuk. Baru saja Ana akan berteriak, tapi ketukan yang Rendra berikan menghentikan teriakan Ana.
Tok tok tok
"Assalamualaikum"
Tok tok tok
Rendra mengetuk rumah Ana. "Sabar dong." ucap Ana.
Tak berselang lama, datang ibu Ana, dengan daster andalannya.
"Waalaikumsallam" jawab Ibu Ana.
Sarah menatap ke arah Ana. Dia menaikan alisnya, pertanda bertanya 'siapa?'.
Ana menghendikan bahunya.
"Halo Tante, selamat malam. Kenalin saya Rendra, temannya Ana." Rendra membungkuk dan menjulurkan tangannya.
Sarah membalas uluran tangan Rendra. " Sarah, ibunya Ana." ujar Sarah.
Rendra hanya mengangguk, seraya tersenyum.
"Masuk dulu." ajak Sarah.
Rendra dengan senang hati, memasuki rumah Ana. Rumahnya tidak kecil, dan tidak besar. Rendra terkagum melihat foto-foto pajangan Ana saat masih kecil. Dan masih banyak lagi foto keluarga.
Sarah menyenggol tangan Ana, ibu dan anak itu berjalan beriringan.
"Itu pacar kamu ya?" tanya Sarah. Dengan nada yang menggoda.
"Bukan ma! Aku aja baru kenal sama dia." dengus Ana.
"Kok bisa?"
"Bisa apa ma?" tanya balik Ana.
"Kok bisa, baru kenal udah di ajak main ke rumah. Malem-malem lagi." Sarah menatap lekat manik legam Ana.
"Ana gak ngajakin dia, dia yang mau mampir. Katanya dia mau ngobrol sama Ibu dan Ayah." balasnya lagi.
"Yaudah sana, ganti baju dulu." titah Sarah. Ana menuruti.
"Sebentar ya, Tante ambilin minum dulu." ucap Sarah. Dia melenggang pergi menuju dapur.
Rendra duduk di kursi yang sudah tersedia, dia menyibukkan dirinya dengan ponsel di genggamannya. Rendra tau Ana tengah ke kamar untuk mengganti pakaian. Jadi dia tidak banyak bertanya.
"Ini nak Rendra, di minum ya."
"Tante cuman punya ini" Sarah meletakan minuman, jus jeruk dan cemilan di atas meja.
Rendra menggeleng, "gak papa Tan, seharusnya Tante gak perlu repot-repot." ucap Rendra dengan senyum kikuk.
"Gak repot kok." Sarah ikut mendudukan dirinya di kursi yang berhadapan langsung dengan Rendra.
Rendra gugup. Padahal dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Tak berselang lama, Ana datang. Dia menggunakan celana training dan kaos oblong warna putih, dengan rambut yang di ikat asal.
Ana duduk di samping Sarah. "Apa yang mau lo omongin sama ortu gue?" tanya Ana.
"Tante, Ayah Ana nya kemana ya?" tanya Rendra, sedikit ragu-ragu menanyakan hal itu.
"Ayah Ana sedang bekerja." balas Sarah.
"Em jadi gini, aku mau izin sama Tante. Aku mau nembak Ana." Rendra menutup matanya dalam. Dia takut,
"Apa!"
"Lo gila?!" teriak Ana.
"Nembak?" tanya Sarah.
"Iya tante." Rendra mengangguk lugu.
"Nembak, menjadikan anak saya jadi pacar kamu maksudnya?"
Rendra mengangguk, "iya tante."
"Tidak bisa segampang itu nak, saya belum tahu sifat kamu. Jadi saya tidak bisa langsung memutuskan. Lebih baik kalian saling mengenal lebih dekat dulu."
"Tante bukannya gak setuju, tapi Tante gak mau Ana mendapatkan kekasih yang tidak baik."
"Kamu bisa meyakinkan Tante gak?" tanya Sarah.
"Ma! Apaan sih." Ana menatap ibunya itu dengan tatapan tak suka.
"Iya Tante, saya bisa." ucap Rendra antusias. Dia menatap Ana yang juga tengah menatapnya. Ana memberikan tatapan tak suka ke arah Rendra, dan Rendra semakin melebarkan senyumnya ketika melihat wajah kesal gadis itu.
1 Minggu sudah, sejak kejadian Rendra yang meminta izin untuk menembak Ana, kepada Sarah. Keduanya sekarang jadi lebih dekat, Ana juga jadi tidak risih, ketika Rendra berdekatan dengannya."Dra, cepetan dong jalannya!" kesal Ana. Pasalnya sekarang Rendra sudah tertinggal jauh di belakang Ana. Sekarang keduanya tengah berada di minimarket dekat rumah Ana. Sejak kejadian itu juga Rendra jadi sering main kerumahnya. Sarah dan Damar juga tidak mempermasalahkan itu."Lo nyari apa sih?""Perasaan dari tadi muter-muter doang. Kaki gue sakit, mana bosen lagi." Rendra berucap dengan nada lesu."Sebentar, gue gak tau barang yang gue cari ada di mana." ucap Ana."Sebentar, istirahat dulu." Rendra mendudukan dirinya di teras, tidak peduli orang-orang menatapnya aneh."Jangan di situ bego! Malu-maluin." geram Ana."Bahasanya bagus banget." Rendra mencomot bibir Ana dengan tangannya.Ana menggeplak tangan Rendra, hingga cowok itu melep
Pagi telah tiba. Ana sudah siap dengan seragam sekolahnya. Anak itu mendekati meja makan, yang sudah ada ayah dan ibunya."Selamat pagi" ucap Ana."Juga An." jawab kedua orang tuanya."Na," panggil Sarah. Ana sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Sarah.Ana mendongkak, menatap wajah Sarah. "Kenapa Bu?" tanya Ana."Sejak kapan kamu bekerja?" tanya Sarah. Raut wajah sarah nampak datar."Ana," Ana menggantung ucapannya. Dia tidak tahu harus menjelaskan seperti apa.Sarah tidak mengetahui Ana bekerja, walaupun Sarah sempat curiga karena anak gadisnya itu sering kali pulang malam. Tapi dia berfikir kalo Ana mungkin habis kerja kelompok, atau bermain bersama temannya.Ana menundukkan kepalanya, dia tidak berani menatap wajah Sarah. "Ana! Jawab ibu." Sarah berucap dengan tegas."Aku bekerja, udah hampir 3 bulan Bu." Ana semakin menundukan kepalanya."Kenapa kamu gak pernah bilang sama ibu?!" Sarah menai
~~~~~~~ Ana dan Rendra sekarang tengah berada di Cafe milik Rendra. Yang artinya cafe tempat Ana bekerja. Sepulang sekolah tadi, Ana meminta Rendra mengantarkannya ke Cafe. Rendra sempat menolak, tapi karena Ana yang keras kepala jadi Rendra mengalah. "Lo gak usah kerja Na." pinta Rendra Ana menatap jengah ke arah Rendra. Sudah lebih dari satu kali dia berucap begitu. "Mending lo pulang." usir Ana. "Dih, ngusir. Orang ini juga Cafe milik gue, jadi terserah gue dong." "Yaudah, lo diem! Jangan ganggu gue." setelah mengatakan itu, Ana melenggang pergi menuju area Cafe. Pergerakan Ana tidak pernah lepas dari penglihatan Rendra. Cowok itu senantiasa memperhatikan pergerakan gadisnya itu. "Jadi ini bener lo?" tiba-tiba seorang gadis berdiri di hadapan Rendra. Tanpa persetujuan Rendra, gadis itu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Rendra. Rendra menatap ke arah orang itu, "lo ngapain di sini?" tanya Re
"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid. Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya. "Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang tersebut. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana. "Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah merasa lelah. Dia berniat beristirahat sebentar. "Gak ada." balas Inggrid. "Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang mau bayar, tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk. Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin. "Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika ia merasa lelah. Ia akan menyemangati dirinya sendiri. Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W*. Tapi tidak ada chat yang penting
Pagi hari telah tiba, Ana kembali di bangunkan oleh Sarah seperti biasanya. Gadis itu melenguh karena merasa terganggu. "Bu." panggil Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. "Sekarang bangun, mandi, terus turun." perintah Sarah. Setelah mengatakan itu, Sarah melenggang pergi. Ana menatap sedih kepergian Sarah. Mungkin Ibunya itu masih marah kepadanya. Ana bergegas pergi ke kamar mandi. Setelah selesai dengan kegiatannya di kamar mandi, Ana keluar dengan tubuh yang hanya di lilit dengan handuk, gadis itu terlihat lebih segar sekarang. Ana memakai baju seragam dan sedikit memoleskan bedak dan lipblam. Setelah itu Ana turun untuk sarapan. Tidak seperti pagi-pagi biasanya, yang setiap Ana datang selalu di sambut dengan senyum hangat Sarah, atau panggilan sayang dari sang Ayah. Pagi hari sekarang semuanya terlihat sangat canggung. Ana tidak berani menyapa kedua orang tuanya seperti hari-hari sebelumnya. Ana mendudukan dirinya di kursi, di hadapa
Setelah berkendara sekitar 30 menit kini keduanya sudah sampai di tempat yang Rendra tuju. Ana sudah terlelap di kursi sebelah Rendra. "An," Rendra menepuk pelan pundak Ana. "Ana?" Ana melenguh pelan, gadis itu mengerjapkan matanya. "Oh, udah sampe?" tanya Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. Rendra mengangguk kecil. "Udah dari tadi cantik." Rendra mengusak rambut Ana gemas. "Kita di mana?" tanyanya lagi, ketika nyawanya sudah terkumpul. "Mall." balas Rendra. Ana melotot, kan matanya. Apa? Mall katanya? Ana tidak pernah pergi ke Mall. Ini adalah kali pertama gadis itu pergi ke gedung besar itu. "Kenapa?" tanya Rendra. Aneh, melihat gelagat gadis itu. "Lo kenapa gak bilang dulu kalo mau ke Mall!" "Emang kenapa sih?" tanya cowok itu tidak mengerti. "Kita ke Mall pake seragam gitu? Kalo ada yang tau sekolah kita gimana?!" geram Ana. "Oh gitu doang. Nih gue ada
"Ana, bangun sayang.""Ana," panggilnya lagi. Gadis itu tidak ada pergerakan sama sekali."Ana." ibu Ana mengguncangkan tubuh Ana, tapi hasilnya nihil."Ana kamu kebo banget sih!" Sarah–ibu Ana menaikan nada bicaranya.Karena suara ibunya dan guncangan di tubuhnya, membuat Ana terbangun."Eunghh," lenguh Ana.Sepertinya nyawa gadis itu belum terkumpul sepenuhnya, terbukti dari matanya yang masih merem melek."Apa, bu?" tanya Ana, dengan suara serak, khas bangun tidur.Mata Ana masih terpejam, tidak ada niatan buat dia bangun."Cepat bangun!""Hari ini kamu sekolah, jangan sampai telat." ujar Sarah.Oh iya Ana baru ingat. Ana langsung bangkit dari kasur kesayangannya, dan beranjak menuju kamar mandi.Sarah yang melihat itu, pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak butuh waktu lama untuk Ana menyelesaikan ritualnya di kamar mandi. Sekarang gadis itu sudah siap dengan baju seragam
Ana bekerja seperti biasa. Ana cukup lelah karena pekerjaannya, sedari siang tadi banyak sekali pelanggan. Terlihat sekarang pukul tujuh malam. Sedangkan Ana bekerja mulai pukul satu siang.Badan Ana rasanya mati rasa, semua badannya terasa sangat letih.Setelah sekian lama bekerja, Ana sudah di perbolehkan pulang. Ana berdiri di trotoar, matanya melihat kendaraan yang berlalu lalang. Ana sedang menunggu ojek online yang tadi ia pesan."Apakah ini dengan mba Ana?" tanya seorang laki-laki dari balik helmnya.Ana mengangguk. "Iya, bapak ojek online ya?" tanya Ana."Iya, mba. ini helmnya." ucap bapak ojol."Makasih pak." Ana mulai menaiki motor bapak ojol, motor yang di tumpanginya berjalan dengan kecepatan sedang.Karena udara malam, rasa letih Ana seketika lenyap begitu saja. Meskipun kata orang, udara malam itu tidak baik untuk kesehatan, tapi Ana tidak memperdulikan itu. Ana sangat menyukai sejuknya angin di malam hari. Itu menyejukk