Bel istirahat baru saja berbunyi. Anak-anak di kelas Ana berhamburan keluar kelas, kecuali Ana dan ketiga sahabatnya. Jangan lupakan Rendra.
"Lo gak ke kantin?" tanya Rendra.
Ana masih diam, tidak bergeming. Amanda datang ke meja Ana.
"Na, kantin yuk." ajak Amanda.
Ana menatap Amanda. Dia menggelengkan kepalanya. Pertanda dia menolak ajakan Amanda.
"Oh, yaudah kita duluan ya. Udah laper banget soalnya." balas Amanda. Dia mengusap perut ratanya.
Ana mengangguk, dan mengembangkan senyumnya.
Rendra yang sedari tadi memperhatikan Ana pun, terpana melihat senyuman gadis itu.
"Kenapa lo gak ke kantin?" tanya Ana kepada Rendra.
"Gue gak tau kantinnya di mana." jawab Rendra.
"Kenapa barusan lo gak bareng aja sama temen-temen gue?!" geram Ana.
"Gue maunya sama lo."jawab Rendra menatap manik gadis itu lekat.
Ana beranjak dari kursinya. Dia berjalan keluar dari kelas, entah mau kemana. Rendra mengikuti langkah Ana, seperti anak ayam yang mengekori induknya.
"Lo ngapain ngikutin gue?" Ana memberhentikan langkahnya. Dan menatap ke arah Rendra.
"Lo mau ke kantin kan?" tanya Rendra.
"Siapa bilang?" Ana menaikan sebelah alisnya, dan bersedekap dada.
"Terus Lo mau kemana?" tanya cowok itu.
"Gue mau ke WC! Mau ikut lo?" balas Ana.
"Ayo, kalo boleh." Rendra balas menaikan sebelah alisnya, dengan tangan yang di masukan ke dalam saku celananya. Dan cowok itu sedikit menyunggingkan senyumnya.
"Gila lo!" serongot Ana.
"Loh, kan tadi lo yang nawarin?"
"Tau ah! Nyebelin lo." Ana melenggang pergi dari sana.
Rendra menatap heran ke arah Ana. Cowok itu terkekeh kecil melihat tingkah laku lucu Ana. Rendra beranjak pergi dari sana. Rendra mau mengisi perutnya yang sudah sangat perih karena lapar.
Sebenarnya Rendra tau letak kantin ada di sebelah mana. Cuman dia mau bareng dengan Ana ke kantin, tapi cewek itu malah menolak.
"Woi bro!" seseorang merangkul pundak Rendra, dari arah belakang.
Rendra menoleh, dan mendapati Reza, yang sedang menatapnya dengan senyuman manisnya.
Reza Alhadi sahabat Rendra dari jaman TK. Reza satu-satunya sahabat Rendra yang bersekolah di SMA LENGGARA. Sahabat Rendra kebanyakan bersekolah di SMA RANJANI. Sekolah lama Rendra.
Reza dan Rendra berbeda kelas, Rendra ada di kelas 11 MIPA 1, dan Reza 11 MIPA 3.
Rendra tidak menghiraukan kehadiran Reza. Dia terus melangkahkan kakinya menuju kantin. Sesampainya di kantin, kantin sudah penuh dengan siswa/siswi SMA Lenggara, yang tengah mengisi perutnya.
"Pesan aja dulu, makannya di kelas aja." ajak Reza, yang mengetahui isi pikiran sahabatnya ini.
Rendra hanya mengangguk. Dia memesan makanan dan minuman, tidak lupa dia juga memesankan makanan untuk Ana. Setelah makanan pesanannya selesai. Rendra dan Reza berjalan menuju kelas Rendra. Jaraknya tidak terlalu jauh.
Tak berselang lama, Rendra dan Reza sudah sampai di kelas. Rendra mendaratkan bokongnya di kursi sebelah Ana. Gadis itu tengah sibuk menggambar, dengan telinga yang di pasangkan headset.
Ana tidak menyadari kedatangan Rendra, Rendra mencabut headset yang bertengger di telinga Ana. Gadis itu tersentak. Dia menatap Rendra dengan tatapan yang sulit di artikan.
"Lo belum makan." Rendra menyerahkan, kantong plastik kepada Ana. Ana menatap makanan itu.
"Lo gak perlu repot-repot." balas Ana. Dia melanjutkan gambarnya yang sempat tertunda.
"Makan." suara dengan nada dingin itu masuk ke pendengaran Ana. Ana menatap kembali ke arah Rendra. Cowok itu juga tengah menatap ke arahnya.
"Makan." ujarnya sekali lagi, dengan suara datarnya.
"Makasih." Ana membuka kantong plastik itu, dan mengeluarkan semua makanan yang Rendra berikan. Banyak sekali makanan, minuman dan cemilan di situ.
"Kenapa banyak banget?" tanya Ana.
"Gue gatau lo sukanya apa, jadi gue beliin aja semuanya." ucap Rendra tanpa mengalihkan tatapannya dari makanan di hadapannya.
"Nanti gue ganti." ucap Ana. Ana merasa tidak enak dengan Rendra.
"Gak perlu, gue ikhlas."
"Ekhem." Reza berdeham. Reza sedari tadi hanya menyimak obrolan keduanya.
Rendra dan Ana refleks menatap ke arah Reza bersamaan.
"Kenapa Za?" tanya Rendra.
"Loh, Reza. Ngapain?" tanya Ana.
"Gue balik ke kelas dulu." pamit Reza. Rendra hanya menganggukan kepalanya. Ana menatap heran ke arah keduanya.
Setelah kepergian Reza. Ana menatap ke arah Rendra.
"Lo kenal sama Reza?" tanya Ana.
"Kepo." jawab Rendra.
~~~~~~~
Bel pulang baru saja berbunyi. Seluruh siswa/siswi SMA Lenggara, berbondong-bondong keluar kelas berniat pulang. Tidak terkecuali Ana dan ketiga sahabatnya.
Ana berjalan santai di koridor, bersama ketiga sahabatnya. Dan Rendra mengekori dari belakang. Sekarang mereka sudah sampai di depan gerbang. Ketiga sahabat Ana sudah berpamitan untuk pulang. Mereka di jemput sama supirnya.
Ana menghembuskan nafasnya, sekarang Ana harus semangat buat bekerja. Ana tidak boleh menyerah. Menyerah hanya akan membuat hidupnya menjadi lebih susah. Pikirnya.
"Pulang bareng gue." Rendra menarik tangan Ana, tanpa persetujuan Ana terlebih dulu.
Ana terseret, karena cowok itu menariknya tanpa perasaan.
"Bisa pelan-pelan gak sih?!" Ana memberengut kesal.
Rendra tidak menjawab, dia menyerahkan helmnya kepada Ana.
"Pake." Ana menerima helm yang Rendra berikan.
Rendra sudah siap di atas motornya. Ana hanya melihat ke arah Rendra. Tidak ada niatan gadis itu untuk naik.
"Ngapain? Cepet naik." perintah cowok itu.
"Ini tinggi banget." Ana menatap ke arah motor yang di tumpangi Rendra.
Rendra terkekeh. "Mau gue bantuin?" tawar Rendra.
Ana menimang-nimang, boleh deh dari pada kelamaan. Nanti bos marah. Monolog Ana dalam hati.
Ana mengangguk.
Rendra kembali turun dari atas jok motornya. Dia membantu Ana menaiki jok belakang sepedah motornya. Rendra membuka tas yang dia bawa. Cowok itu mengeluarkan jaket yang ia bawa, dan menyerahkannya kepada Ana.
"Pake. Tutupin paha lo, itu cuman milik gue. Gak boleh ada orang lain yang liat." ucapnya.
Ana tidak mengerti. Tapi ia tetap menurut. Setelah siap Rendra melajukan motornya dengan kecepatan sedang. Rendra memberhentikan motornya di lokasi tempat kerja Ana. Ana turun dari motor, dan mengembalikan helm Rendra.
"Kok, lo tau, gue mau ke sini?" tanya Ana. Padahal sejak tadi di perjalanan mereka tidak ada yang bersuara. Tapi bagaimana bisa Rendra tau tempat kerja Ana?
"Ini tempat kerja lo kan?" Rendra balik bertanya.
Ana hanya mengangguk, mengiyakan.
"Jawab dulu pertanyaan gue." titah Ana.
"Apa sih, yang gak gue tau tentang lo." balas cowok itu.
Ana semakin tidak mengerti dengan laki-laki di hadapannya ini. Dia siapa sebenarnya?
"Lo siapa sih?" tanya Ana. Dia menatap lekat mata Rendra.
"Jodoh lo." balasnya. Rendra memakai helmnya, dan pergi dari sana.
Ana menatap kepergian Rendra dengan tatapan yang masih tidak mengerti, apa maksud dari semua ini?
Ana masuk ke dalam kafe. Seperti biasa, Ana terlebih dahulu mengganti bajunya. Setelah selesai, Ana bergegas segera mengerjakan pekerjaannya.
~~~~~~~
"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid. Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya. "Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang itu. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana. "Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah lelah. Dia berniat beristirahat sebentar. "Gak ada." balas Inggrid. "Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang bayar tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk. Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangatsangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin. "Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika dia merasa lelah dan capek, ia akan menyemangati dirinya sendiri. Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W******p. Tapi tidak ada chat yang p
1 Minggu sudah, sejak kejadian Rendra yang meminta izin untuk menembak Ana, kepada Sarah. Keduanya sekarang jadi lebih dekat, Ana juga jadi tidak risih, ketika Rendra berdekatan dengannya."Dra, cepetan dong jalannya!" kesal Ana. Pasalnya sekarang Rendra sudah tertinggal jauh di belakang Ana. Sekarang keduanya tengah berada di minimarket dekat rumah Ana. Sejak kejadian itu juga Rendra jadi sering main kerumahnya. Sarah dan Damar juga tidak mempermasalahkan itu."Lo nyari apa sih?""Perasaan dari tadi muter-muter doang. Kaki gue sakit, mana bosen lagi." Rendra berucap dengan nada lesu."Sebentar, gue gak tau barang yang gue cari ada di mana." ucap Ana."Sebentar, istirahat dulu." Rendra mendudukan dirinya di teras, tidak peduli orang-orang menatapnya aneh."Jangan di situ bego! Malu-maluin." geram Ana."Bahasanya bagus banget." Rendra mencomot bibir Ana dengan tangannya.Ana menggeplak tangan Rendra, hingga cowok itu melep
Pagi telah tiba. Ana sudah siap dengan seragam sekolahnya. Anak itu mendekati meja makan, yang sudah ada ayah dan ibunya."Selamat pagi" ucap Ana."Juga An." jawab kedua orang tuanya."Na," panggil Sarah. Ana sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Sarah.Ana mendongkak, menatap wajah Sarah. "Kenapa Bu?" tanya Ana."Sejak kapan kamu bekerja?" tanya Sarah. Raut wajah sarah nampak datar."Ana," Ana menggantung ucapannya. Dia tidak tahu harus menjelaskan seperti apa.Sarah tidak mengetahui Ana bekerja, walaupun Sarah sempat curiga karena anak gadisnya itu sering kali pulang malam. Tapi dia berfikir kalo Ana mungkin habis kerja kelompok, atau bermain bersama temannya.Ana menundukkan kepalanya, dia tidak berani menatap wajah Sarah. "Ana! Jawab ibu." Sarah berucap dengan tegas."Aku bekerja, udah hampir 3 bulan Bu." Ana semakin menundukan kepalanya."Kenapa kamu gak pernah bilang sama ibu?!" Sarah menai
~~~~~~~ Ana dan Rendra sekarang tengah berada di Cafe milik Rendra. Yang artinya cafe tempat Ana bekerja. Sepulang sekolah tadi, Ana meminta Rendra mengantarkannya ke Cafe. Rendra sempat menolak, tapi karena Ana yang keras kepala jadi Rendra mengalah. "Lo gak usah kerja Na." pinta Rendra Ana menatap jengah ke arah Rendra. Sudah lebih dari satu kali dia berucap begitu. "Mending lo pulang." usir Ana. "Dih, ngusir. Orang ini juga Cafe milik gue, jadi terserah gue dong." "Yaudah, lo diem! Jangan ganggu gue." setelah mengatakan itu, Ana melenggang pergi menuju area Cafe. Pergerakan Ana tidak pernah lepas dari penglihatan Rendra. Cowok itu senantiasa memperhatikan pergerakan gadisnya itu. "Jadi ini bener lo?" tiba-tiba seorang gadis berdiri di hadapan Rendra. Tanpa persetujuan Rendra, gadis itu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Rendra. Rendra menatap ke arah orang itu, "lo ngapain di sini?" tanya Re
"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid. Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya. "Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang tersebut. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana. "Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah merasa lelah. Dia berniat beristirahat sebentar. "Gak ada." balas Inggrid. "Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang mau bayar, tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk. Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin. "Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika ia merasa lelah. Ia akan menyemangati dirinya sendiri. Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W*. Tapi tidak ada chat yang penting
Pagi hari telah tiba, Ana kembali di bangunkan oleh Sarah seperti biasanya. Gadis itu melenguh karena merasa terganggu. "Bu." panggil Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. "Sekarang bangun, mandi, terus turun." perintah Sarah. Setelah mengatakan itu, Sarah melenggang pergi. Ana menatap sedih kepergian Sarah. Mungkin Ibunya itu masih marah kepadanya. Ana bergegas pergi ke kamar mandi. Setelah selesai dengan kegiatannya di kamar mandi, Ana keluar dengan tubuh yang hanya di lilit dengan handuk, gadis itu terlihat lebih segar sekarang. Ana memakai baju seragam dan sedikit memoleskan bedak dan lipblam. Setelah itu Ana turun untuk sarapan. Tidak seperti pagi-pagi biasanya, yang setiap Ana datang selalu di sambut dengan senyum hangat Sarah, atau panggilan sayang dari sang Ayah. Pagi hari sekarang semuanya terlihat sangat canggung. Ana tidak berani menyapa kedua orang tuanya seperti hari-hari sebelumnya. Ana mendudukan dirinya di kursi, di hadapa
Setelah berkendara sekitar 30 menit kini keduanya sudah sampai di tempat yang Rendra tuju. Ana sudah terlelap di kursi sebelah Rendra. "An," Rendra menepuk pelan pundak Ana. "Ana?" Ana melenguh pelan, gadis itu mengerjapkan matanya. "Oh, udah sampe?" tanya Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. Rendra mengangguk kecil. "Udah dari tadi cantik." Rendra mengusak rambut Ana gemas. "Kita di mana?" tanyanya lagi, ketika nyawanya sudah terkumpul. "Mall." balas Rendra. Ana melotot, kan matanya. Apa? Mall katanya? Ana tidak pernah pergi ke Mall. Ini adalah kali pertama gadis itu pergi ke gedung besar itu. "Kenapa?" tanya Rendra. Aneh, melihat gelagat gadis itu. "Lo kenapa gak bilang dulu kalo mau ke Mall!" "Emang kenapa sih?" tanya cowok itu tidak mengerti. "Kita ke Mall pake seragam gitu? Kalo ada yang tau sekolah kita gimana?!" geram Ana. "Oh gitu doang. Nih gue ada
"Ana, bangun sayang.""Ana," panggilnya lagi. Gadis itu tidak ada pergerakan sama sekali."Ana." ibu Ana mengguncangkan tubuh Ana, tapi hasilnya nihil."Ana kamu kebo banget sih!" Sarah–ibu Ana menaikan nada bicaranya.Karena suara ibunya dan guncangan di tubuhnya, membuat Ana terbangun."Eunghh," lenguh Ana.Sepertinya nyawa gadis itu belum terkumpul sepenuhnya, terbukti dari matanya yang masih merem melek."Apa, bu?" tanya Ana, dengan suara serak, khas bangun tidur.Mata Ana masih terpejam, tidak ada niatan buat dia bangun."Cepat bangun!""Hari ini kamu sekolah, jangan sampai telat." ujar Sarah.Oh iya Ana baru ingat. Ana langsung bangkit dari kasur kesayangannya, dan beranjak menuju kamar mandi.Sarah yang melihat itu, pun hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Tak butuh waktu lama untuk Ana menyelesaikan ritualnya di kamar mandi. Sekarang gadis itu sudah siap dengan baju seragam