Ckitt..
Ana tersentak kaget, karena secara tiba-tiba ada sebuah motor yang berhenti tepat di hadapannya. Ana tidak tahu dia siapa. Tapi dia memakai seragam sekolah yang sama dengan Ana.
~~~~~~~
Cowok itu membuka helmnya, dan turun dari atas jok motornya. Ia berjalan mendekat ke arah Ana. Ana tidak tahu harus berbuat apa, jadinya ia hanya mematung di tempat.
"Hai," sapa cowok itu.
Ana mengerjapkan matanya.
"Ahh, hai juga." balas Ana, tersenyum kikuk.
"Mau bareng gak?" tawar si cowok. Ana terkejut, tentu saja. Siapa yang tidak terkejut, ketika ada orang yang tidak dia kenal, mengajaknya berangkat bersama.
"Udah deket." jawab Ana, seraya menunjuk gerbang sekolah.
"Gak mau?" tanyanya lagi.
Ana menggelengkan kepalanya.
"Oh, yaudah. Gue tunggu Lo di gerbang." ucap si cowok. Dengan tampang dinginnya.
Ana yang tidak mengerti hanya menghendikan bahunya acuh. Ana kembali melanjutkan jalannya yang sempat tertunda. Tepat di depan gerbang sekolah, Ana melihat si cowok tadi. Ana kira ucapannya hanya main-main saja, tapi ternyata Ana salah besar.
"Ketemu lagi." si cowok berucap.
"Lo nungguin gue?" tanya Ana.
"Lo budek? Gak denger tadi gue bilang apa?"
"Ya, gak gitu. Gue kira lo bercanda."
"Emang muka gue, keliatan kaya lagi bercanda?"
Ana menghendikan bahunya.
"Lo siapa?" pertanyaan itu lolos begitu saja dari mulut Ana.
"Gue, Rarendra." jawab Rendra.
"Lo kenal gue?" tanya Ana.
"Lebih dari kenal," jawab Rendra, di iringi dengan senyuman miring.
Ana di buat cengo mendengarnya. "Udah ayo. Gue murid baru di sekolah ini, gue mau lo. Yang ngajak gue berkeliling sekolah." Rendra menarik tangan Ana.
"Heh! Apa-apaan. Lepasin gak?!" teriak Ana, namun tidak di hiraukan oleh Rendra. Ana dan Rendra, sudah menjadi pusat perhatian sejak tadi. Banyak murid yang salah fokus dengan kehadiran Rendra di sekolahnya.
"Itu siapa? Cakep banget."
"Itu kok, narik-narik tangan Ana?"
"Dia siapanya Ana?"
"Ganteng banget gila."
Begitulah ocehan-ocehan yang keluar dari mulut murid-murid SMA Lenggara. Ana masih sibuk mencoba melepaskan tangannya dari cekalan tangan Rendra. Gadis itu terus memberontak, minta di lepaskan. Tapi Rendra menulikan pendengarannya.
"Di mana ruang kepsek?" tanya Rendra, tanpa melepaskan cekalan tangannya.
"Lepasin dulu!" Ana mendengus.
"Gak. Nanti lo kabur."
"Yaudah, gak bakal gue kasih tau!" Ana mengancam Rendra.
Rendra menyunggingkan senyumnya. "Lebih bagus kalo lo gak kasih tau. Jadi gue bisa lebih lama berdua-duaan sama lo." ucap Rendra.
Ana membulatkan matanya. "Lepasin ih!" rengek Ana.
Rendra semakin mengembangkan senyumnya. Ia suka melihat Ana merengek seperti itu. Apalagi tadi Ana berucap 'ih' menurut Rendra gadis itu lucu ketika berucap seperti itu.
"Lepasin! Bentar lagi bel masuk." Ana menatap tajam, ke arah Rendra.
"Coba bilang sekali lagi 'ih' gitu." pinta Rendra, masih dengan senyumannya.
Ana semakin tidak percaya dengan orang di hadapannya ini.
"Apaan sih?!"
"Cepet. Nanti gue lepasin."
Ana membulatkan matanya, ini adalah kesempatannya untuk kabur. Pikirnya.
"Lepasin ih!" Ana menuruti perintah Rendra.
Rendra melepaskan cekalannya pada tangan gadis itu. Ana mengusap-usap pergelangan tangannya. Lalu ia menatap Rendra dengan tatapan tajam.
"Dasar orang aneh!" setelah berucap begitu. Ana berlari sekuat tenaga, takut-takut nanti Rendra akan mengejarnya.
Rendra yang melihat itu hanya terkekeh. Menurutnya gadis itu sangat lucu. Rendra mengeluarkan handphone yang berada di dalam saku celana. Dia menelepon seseorang.
"Cepet kesini. Gue di depan perpustakaan." ucap cowok itu.
~~~~~~~
Sementara di sisi lain.
Ana sudah sampai di depan kelas. Ia tengah menetralkan nafasnya yang memburu akibat berlari. Setelah mengatakan itu, Ana langsung berlari sekuat mungkin. Takut-takut kalo Rendra akan mengejarnya. Amanda, Intan dan Hana. Yang melihat itupun mengerutkan dahinya bingung.
"An, lo kenapa?" tanya Amanda, gadis itu memegang pundak Ana.
Ana tidak menjawab pertanyaan yang Amanda lontarkan. Dia masih sibuk mengatur nafas.
"An lo gak pa-pa kan?" tanya Intan.
"Kaya habis di kejar hantu aja lo." Hana ikut menyahut.
"Gueh ..." Ana mencoba berbicara dengan nafas yang masih setengah terkumpul.
"Gue ketemu sama orang aneh." jawab Ana.
Amanda membawa Ana menuju tempat duduknya.
"Aneh gimana?" tanya Amanda. Setelah Ana duduk nyaman di kursinya.
"Jadi gini ...." Ana menceritakan semua kejadiannya kepada ketiga sahabatnya.
"What! Demi apa?" Intan berdecak tidak percaya.
"Sumpah ya! Gue sering baca cerita kaya gini di novel-novel. Dan ujung-ujungnya, si pemeran utama bakalan jadian." balas Amanda.
Ana menggeleng-gelengkan kepalanya, tidak mungkin kisahnya sama seperti di novel-novel.
Kringg
Bel masuk baru saja berbunyi, guru pembimbing datang membawa buku tebal di dekapannya. Dia tidak sendirian, di belakangnya terdapat seorang murid laki-laki yang sangat Ana hindari. Ana membulatkan matanya, ketika mata mereka saling bertemu. Rendra menyunggingkan sedikit bibirnya ketika Ana menatap ke arahnya.
"Selamat pagi." ujar pak Budi.
"Pagi pak." jawab seluruh murid, serentak.
"Hari ini kalian kedatangan murid baru. Silahkan perkenalkan diri kamu."
Rendra mengangguk.
"Kenalin, gue Rarendra Anggara. Gue pindahan dari sekolah Ranjani." ucap Rendra.
"Udah?" tanya Pak Budi.
Rendra mengangguk.
"Yaudah, silahkan cari tempat duduk yang kosong." ujarnya.
Rendra mengedarkan pandangannya, sampai penglihatannya menatap ke arah tempat duduk Ana.
"Saya mau duduk sama dia pak." ucap Rendra.
Ana terkejut. Rendra menunjuk ke arahnya.
"Hana, kamu boleh berpindah tempat duduk?" Pak Budi bertanya.
"Kok saya pak?" Hana menunjuk dirinya sendiri.
Pak Budi berbicara lewat tatapannya kepada Hana. Hana yang mengerti, pun, langsung bergegas membereskan semua barang-barangnya.
"Eh, eh Han. Lo mau kemana?" Ana memegang tangan Hana yang hendak memasukan buku paketnya ke dalam tas.
"Pindah tempat duduk lah." balas Hana dengan tampang lesunya.
"Kok pindah? Udah ih di sini aja!"
"Jangan dengerin Pak Budi." cicit Ana.
"Tenang, gue cuman pindah tempat duduk. Bukan pindah alam." Hana menepuk pundak Ana pelan.
Hana berjalan menuju kursi kosong yang berada di pojok kelas. Suram sekali nasibnya.
Sementara Rendra merasa sangat senang karena mendapatkan apa yang ia mau. Dia berjalan dengan gaya angkuhnya, menuju meja Ana.
"Hai, ketemu lagi kita." ucap Rendra.
Ana mentulikan telinganya. Ia berpura-pura tidak mendengar apa yang Rendra katakan.
"Sstt."
"Hei,"
"Ana." panggil Rendra. Ana sempat terkejut ketika Rendra tau namanya. Tapi Ana tetap tidak peduli.
"Sayang." panggil Rendra lagi.
Sudah cukup! Ana sudah tidak tahan lagi. Ana menggebrak mejanya. Dengan nafas yang memburu gadis itu menatap tajam ke arah Rendra.
Rendra mengerutkan dahinya.
"Lo bisa diem gak sih?!"
"Gue gak bisa fokus, karena lo dari tadi terus ngebacot." Ana murka.
Rendra menatap wajah Ana yang sudah memerah, menahan amarahnya. Rendra terdiam. Apa dia sudah keterlaluan? Apa Rendra sudah salah besar? Tanyanya pada diri sendiri.
Rendra mengerjap. Ketika Ana sudah kembali duduk seperti semula. Ana dan Rendra menjadi pusat perhatian seisi kelas. Ana mendengus malas.
"Kembali lagi ke pelajaran di depan!" teriak Pak Budi.
~~~~~~
Bel istirahat baru saja berbunyi. Anak-anak di kelas Ana berhamburan keluar kelas, kecuali Ana dan ketiga sahabatnya. Jangan lupakan Rendra. "Lo gak ke kantin?" tanya Rendra. Ana masih diam, tidak bergeming. Amanda datang ke meja Ana. "Na, kantin yuk." ajak Amanda. Ana menatap Amanda. Dia menggelengkan kepalanya. Pertanda dia menolak ajakan Amanda. "Oh, yaudah kita duluan ya. Udah laper banget soalnya." balas Amanda. Dia mengusap perut ratanya. Ana mengangguk, dan mengembangkan senyumnya. Rendra yang sedari tadi memperhatikan Ana pun, terpana melihat senyuman gadis itu. "Kenapa lo gak ke kantin?" tanya Ana kepada Rendra. "Gue gak tau kantinnya di mana." jawab Rendra. "Kenapa barusan lo gak bareng aja sama temen-temen gue?!" geram Ana. "Gue maunya sama lo."jawab Rendra menatap manik gadis itu lekat. Ana beranjak dari kursinya. Dia berjalan keluar dari kelas, entah mau kemana. Rendra mengik
"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid. Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya. "Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang itu. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana. "Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah lelah. Dia berniat beristirahat sebentar. "Gak ada." balas Inggrid. "Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang bayar tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk. Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangatsangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin. "Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika dia merasa lelah dan capek, ia akan menyemangati dirinya sendiri. Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W******p. Tapi tidak ada chat yang p
1 Minggu sudah, sejak kejadian Rendra yang meminta izin untuk menembak Ana, kepada Sarah. Keduanya sekarang jadi lebih dekat, Ana juga jadi tidak risih, ketika Rendra berdekatan dengannya."Dra, cepetan dong jalannya!" kesal Ana. Pasalnya sekarang Rendra sudah tertinggal jauh di belakang Ana. Sekarang keduanya tengah berada di minimarket dekat rumah Ana. Sejak kejadian itu juga Rendra jadi sering main kerumahnya. Sarah dan Damar juga tidak mempermasalahkan itu."Lo nyari apa sih?""Perasaan dari tadi muter-muter doang. Kaki gue sakit, mana bosen lagi." Rendra berucap dengan nada lesu."Sebentar, gue gak tau barang yang gue cari ada di mana." ucap Ana."Sebentar, istirahat dulu." Rendra mendudukan dirinya di teras, tidak peduli orang-orang menatapnya aneh."Jangan di situ bego! Malu-maluin." geram Ana."Bahasanya bagus banget." Rendra mencomot bibir Ana dengan tangannya.Ana menggeplak tangan Rendra, hingga cowok itu melep
Pagi telah tiba. Ana sudah siap dengan seragam sekolahnya. Anak itu mendekati meja makan, yang sudah ada ayah dan ibunya."Selamat pagi" ucap Ana."Juga An." jawab kedua orang tuanya."Na," panggil Sarah. Ana sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Sarah.Ana mendongkak, menatap wajah Sarah. "Kenapa Bu?" tanya Ana."Sejak kapan kamu bekerja?" tanya Sarah. Raut wajah sarah nampak datar."Ana," Ana menggantung ucapannya. Dia tidak tahu harus menjelaskan seperti apa.Sarah tidak mengetahui Ana bekerja, walaupun Sarah sempat curiga karena anak gadisnya itu sering kali pulang malam. Tapi dia berfikir kalo Ana mungkin habis kerja kelompok, atau bermain bersama temannya.Ana menundukkan kepalanya, dia tidak berani menatap wajah Sarah. "Ana! Jawab ibu." Sarah berucap dengan tegas."Aku bekerja, udah hampir 3 bulan Bu." Ana semakin menundukan kepalanya."Kenapa kamu gak pernah bilang sama ibu?!" Sarah menai
~~~~~~~ Ana dan Rendra sekarang tengah berada di Cafe milik Rendra. Yang artinya cafe tempat Ana bekerja. Sepulang sekolah tadi, Ana meminta Rendra mengantarkannya ke Cafe. Rendra sempat menolak, tapi karena Ana yang keras kepala jadi Rendra mengalah. "Lo gak usah kerja Na." pinta Rendra Ana menatap jengah ke arah Rendra. Sudah lebih dari satu kali dia berucap begitu. "Mending lo pulang." usir Ana. "Dih, ngusir. Orang ini juga Cafe milik gue, jadi terserah gue dong." "Yaudah, lo diem! Jangan ganggu gue." setelah mengatakan itu, Ana melenggang pergi menuju area Cafe. Pergerakan Ana tidak pernah lepas dari penglihatan Rendra. Cowok itu senantiasa memperhatikan pergerakan gadisnya itu. "Jadi ini bener lo?" tiba-tiba seorang gadis berdiri di hadapan Rendra. Tanpa persetujuan Rendra, gadis itu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Rendra. Rendra menatap ke arah orang itu, "lo ngapain di sini?" tanya Re
"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid. Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya. "Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang tersebut. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana. "Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah merasa lelah. Dia berniat beristirahat sebentar. "Gak ada." balas Inggrid. "Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang mau bayar, tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk. Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin. "Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika ia merasa lelah. Ia akan menyemangati dirinya sendiri. Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W*. Tapi tidak ada chat yang penting
Pagi hari telah tiba, Ana kembali di bangunkan oleh Sarah seperti biasanya. Gadis itu melenguh karena merasa terganggu. "Bu." panggil Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. "Sekarang bangun, mandi, terus turun." perintah Sarah. Setelah mengatakan itu, Sarah melenggang pergi. Ana menatap sedih kepergian Sarah. Mungkin Ibunya itu masih marah kepadanya. Ana bergegas pergi ke kamar mandi. Setelah selesai dengan kegiatannya di kamar mandi, Ana keluar dengan tubuh yang hanya di lilit dengan handuk, gadis itu terlihat lebih segar sekarang. Ana memakai baju seragam dan sedikit memoleskan bedak dan lipblam. Setelah itu Ana turun untuk sarapan. Tidak seperti pagi-pagi biasanya, yang setiap Ana datang selalu di sambut dengan senyum hangat Sarah, atau panggilan sayang dari sang Ayah. Pagi hari sekarang semuanya terlihat sangat canggung. Ana tidak berani menyapa kedua orang tuanya seperti hari-hari sebelumnya. Ana mendudukan dirinya di kursi, di hadapa
Setelah berkendara sekitar 30 menit kini keduanya sudah sampai di tempat yang Rendra tuju. Ana sudah terlelap di kursi sebelah Rendra. "An," Rendra menepuk pelan pundak Ana. "Ana?" Ana melenguh pelan, gadis itu mengerjapkan matanya. "Oh, udah sampe?" tanya Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. Rendra mengangguk kecil. "Udah dari tadi cantik." Rendra mengusak rambut Ana gemas. "Kita di mana?" tanyanya lagi, ketika nyawanya sudah terkumpul. "Mall." balas Rendra. Ana melotot, kan matanya. Apa? Mall katanya? Ana tidak pernah pergi ke Mall. Ini adalah kali pertama gadis itu pergi ke gedung besar itu. "Kenapa?" tanya Rendra. Aneh, melihat gelagat gadis itu. "Lo kenapa gak bilang dulu kalo mau ke Mall!" "Emang kenapa sih?" tanya cowok itu tidak mengerti. "Kita ke Mall pake seragam gitu? Kalo ada yang tau sekolah kita gimana?!" geram Ana. "Oh gitu doang. Nih gue ada
Setelah berkendara sekitar 30 menit kini keduanya sudah sampai di tempat yang Rendra tuju. Ana sudah terlelap di kursi sebelah Rendra. "An," Rendra menepuk pelan pundak Ana. "Ana?" Ana melenguh pelan, gadis itu mengerjapkan matanya. "Oh, udah sampe?" tanya Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. Rendra mengangguk kecil. "Udah dari tadi cantik." Rendra mengusak rambut Ana gemas. "Kita di mana?" tanyanya lagi, ketika nyawanya sudah terkumpul. "Mall." balas Rendra. Ana melotot, kan matanya. Apa? Mall katanya? Ana tidak pernah pergi ke Mall. Ini adalah kali pertama gadis itu pergi ke gedung besar itu. "Kenapa?" tanya Rendra. Aneh, melihat gelagat gadis itu. "Lo kenapa gak bilang dulu kalo mau ke Mall!" "Emang kenapa sih?" tanya cowok itu tidak mengerti. "Kita ke Mall pake seragam gitu? Kalo ada yang tau sekolah kita gimana?!" geram Ana. "Oh gitu doang. Nih gue ada
Pagi hari telah tiba, Ana kembali di bangunkan oleh Sarah seperti biasanya. Gadis itu melenguh karena merasa terganggu. "Bu." panggil Ana, dengan suara serak khas bangun tidur. "Sekarang bangun, mandi, terus turun." perintah Sarah. Setelah mengatakan itu, Sarah melenggang pergi. Ana menatap sedih kepergian Sarah. Mungkin Ibunya itu masih marah kepadanya. Ana bergegas pergi ke kamar mandi. Setelah selesai dengan kegiatannya di kamar mandi, Ana keluar dengan tubuh yang hanya di lilit dengan handuk, gadis itu terlihat lebih segar sekarang. Ana memakai baju seragam dan sedikit memoleskan bedak dan lipblam. Setelah itu Ana turun untuk sarapan. Tidak seperti pagi-pagi biasanya, yang setiap Ana datang selalu di sambut dengan senyum hangat Sarah, atau panggilan sayang dari sang Ayah. Pagi hari sekarang semuanya terlihat sangat canggung. Ana tidak berani menyapa kedua orang tuanya seperti hari-hari sebelumnya. Ana mendudukan dirinya di kursi, di hadapa
"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid. Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya. "Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang tersebut. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana. "Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah merasa lelah. Dia berniat beristirahat sebentar. "Gak ada." balas Inggrid. "Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang mau bayar, tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk. Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin. "Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika ia merasa lelah. Ia akan menyemangati dirinya sendiri. Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W*. Tapi tidak ada chat yang penting
~~~~~~~ Ana dan Rendra sekarang tengah berada di Cafe milik Rendra. Yang artinya cafe tempat Ana bekerja. Sepulang sekolah tadi, Ana meminta Rendra mengantarkannya ke Cafe. Rendra sempat menolak, tapi karena Ana yang keras kepala jadi Rendra mengalah. "Lo gak usah kerja Na." pinta Rendra Ana menatap jengah ke arah Rendra. Sudah lebih dari satu kali dia berucap begitu. "Mending lo pulang." usir Ana. "Dih, ngusir. Orang ini juga Cafe milik gue, jadi terserah gue dong." "Yaudah, lo diem! Jangan ganggu gue." setelah mengatakan itu, Ana melenggang pergi menuju area Cafe. Pergerakan Ana tidak pernah lepas dari penglihatan Rendra. Cowok itu senantiasa memperhatikan pergerakan gadisnya itu. "Jadi ini bener lo?" tiba-tiba seorang gadis berdiri di hadapan Rendra. Tanpa persetujuan Rendra, gadis itu duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Rendra. Rendra menatap ke arah orang itu, "lo ngapain di sini?" tanya Re
Pagi telah tiba. Ana sudah siap dengan seragam sekolahnya. Anak itu mendekati meja makan, yang sudah ada ayah dan ibunya."Selamat pagi" ucap Ana."Juga An." jawab kedua orang tuanya."Na," panggil Sarah. Ana sudah duduk di kursi yang berhadapan dengan Sarah.Ana mendongkak, menatap wajah Sarah. "Kenapa Bu?" tanya Ana."Sejak kapan kamu bekerja?" tanya Sarah. Raut wajah sarah nampak datar."Ana," Ana menggantung ucapannya. Dia tidak tahu harus menjelaskan seperti apa.Sarah tidak mengetahui Ana bekerja, walaupun Sarah sempat curiga karena anak gadisnya itu sering kali pulang malam. Tapi dia berfikir kalo Ana mungkin habis kerja kelompok, atau bermain bersama temannya.Ana menundukkan kepalanya, dia tidak berani menatap wajah Sarah. "Ana! Jawab ibu." Sarah berucap dengan tegas."Aku bekerja, udah hampir 3 bulan Bu." Ana semakin menundukan kepalanya."Kenapa kamu gak pernah bilang sama ibu?!" Sarah menai
1 Minggu sudah, sejak kejadian Rendra yang meminta izin untuk menembak Ana, kepada Sarah. Keduanya sekarang jadi lebih dekat, Ana juga jadi tidak risih, ketika Rendra berdekatan dengannya."Dra, cepetan dong jalannya!" kesal Ana. Pasalnya sekarang Rendra sudah tertinggal jauh di belakang Ana. Sekarang keduanya tengah berada di minimarket dekat rumah Ana. Sejak kejadian itu juga Rendra jadi sering main kerumahnya. Sarah dan Damar juga tidak mempermasalahkan itu."Lo nyari apa sih?""Perasaan dari tadi muter-muter doang. Kaki gue sakit, mana bosen lagi." Rendra berucap dengan nada lesu."Sebentar, gue gak tau barang yang gue cari ada di mana." ucap Ana."Sebentar, istirahat dulu." Rendra mendudukan dirinya di teras, tidak peduli orang-orang menatapnya aneh."Jangan di situ bego! Malu-maluin." geram Ana."Bahasanya bagus banget." Rendra mencomot bibir Ana dengan tangannya.Ana menggeplak tangan Rendra, hingga cowok itu melep
"Ana, ini anterin ke meja nomor 18." teriak Inggrid. Ana berlari kecil menghampiri Inggrid. Membawa nampan yang sudah terisi makanan, pesanan pelanggan no 18. Ana berjalan dengan hati-hati menuju meja pelanggannya. "Permisi kak, ini makanannya." Ana meletakan makanan dan minuman di meja orang itu. Setelah selesai Ana bergegas pergi dari sana. "Grid, ada pesanan lagi gak?" tanya Ana. Ana sudah lelah. Dia berniat beristirahat sebentar. "Gak ada." balas Inggrid. "Gue ke belakang dulu ya. Kalo ada yang bayar tolong lo layanin dulu." Inggrid mengangguk. Ana mengistirahatkan dirinya di toilet wanita. Gadis itu membasuh mukanya yang terasa sangatsangat gerah. Ana menatap pantulan dirinya di cermin. "Ayo semangat!" Ana mengepalkan tangannya ke udara. Ana selalu seperti ini, ketika dia merasa lelah dan capek, ia akan menyemangati dirinya sendiri. Ana membuka handphone nya, di bukanya aplikasi W******p. Tapi tidak ada chat yang p
Bel istirahat baru saja berbunyi. Anak-anak di kelas Ana berhamburan keluar kelas, kecuali Ana dan ketiga sahabatnya. Jangan lupakan Rendra. "Lo gak ke kantin?" tanya Rendra. Ana masih diam, tidak bergeming. Amanda datang ke meja Ana. "Na, kantin yuk." ajak Amanda. Ana menatap Amanda. Dia menggelengkan kepalanya. Pertanda dia menolak ajakan Amanda. "Oh, yaudah kita duluan ya. Udah laper banget soalnya." balas Amanda. Dia mengusap perut ratanya. Ana mengangguk, dan mengembangkan senyumnya. Rendra yang sedari tadi memperhatikan Ana pun, terpana melihat senyuman gadis itu. "Kenapa lo gak ke kantin?" tanya Ana kepada Rendra. "Gue gak tau kantinnya di mana." jawab Rendra. "Kenapa barusan lo gak bareng aja sama temen-temen gue?!" geram Ana. "Gue maunya sama lo."jawab Rendra menatap manik gadis itu lekat. Ana beranjak dari kursinya. Dia berjalan keluar dari kelas, entah mau kemana. Rendra mengik
Ckitt..Ana tersentak kaget, karena secara tiba-tiba ada sebuah motor yang berhenti tepat di hadapannya. Ana tidak tahu dia siapa. Tapi dia memakai seragam sekolah yang sama dengan Ana.~~~~~~~Cowok itu membuka helmnya, dan turun dari atas jok motornya. Ia berjalan mendekat ke arah Ana. Ana tidak tahu harus berbuat apa, jadinya ia hanya mematung di tempat."Hai," sapa cowok itu.Ana mengerjapkan matanya."Ahh, hai juga." balas Ana, tersenyum kikuk."Mau bareng gak?" tawar si cowok. Ana terkejut, tentu saja. Siapa yang tidak terkejut, ketika ada orang yang tidak dia kenal, mengajaknya berangkat bersama."Udah deket." jawab Ana, seraya menunjuk gerbang sekolah."Gak mau?" tanyanya lagi.Ana menggelengkan kepalanya."Oh, yaudah. Gue tunggu Lo di gerbang." ucap si cowok. Dengan tampang dinginnya.Ana yang tidak mengerti hanya menghendikan bahunya acuh. Ana kembali melanjutkan jalannya yang sempat tertun