“Bu Ambar! Maafkan saya terlambat menyeret Eksanti,” ucap Sapto yang tiba-tiba muncul di sebelah Ambar.“Udah terlanjur terjadi, Pak,” balas Ambar sembari mengusap air mata dengan tisu.“Saya enggak nyangka kalo keputusan Pak Hadi untuk tobat, membuat adik saya gila. Mohon maaf, Bu.”Ambar menetralkan emosi sesaat lalu mengusap sisa buliran bening dari kedua mata dan pipi. Beberapa detik menarik napas panjang dan mengatur posisi duduk agar bisa berhadapan dengan Sapto. Wanita ini menatap tajam ke arah pria yang kini tepat di depannya.“Maaf, Pak Sapto masih punya empati pada saya terutama Brian, kan? Berapa lama tau hubungan mereka? Dia adalah adik Bapak, kenapa gak bilang dari awal? Kenapa Bapak menutupi ini semua? Tega!” ucap Ambar dengan berapi-api.Dia marah dengan pria yang selama ini dianggap lebih bijak daripada Hadi dengan penampilan yang kalem dan kebapakan. Ambar merasa salah menilai dan tertipu dengan penampilan serta tutur kata santun pria tersebut.Sapto menjadi salah tin
“Pak, bisa keduanya ditempatkan ke ruang lain dulu?” tanya Ambar ke arah petugas di depannya, yang dengan segera direspon oleh petugas lain.Dua petugas segera menggelandang Hadi dan Mita ke ruang yang berbeda. Pada awalnya, keduanya berontak dan bersikukuh ingin meminta maaf kepada Ambar. Namun, petugas-petugas tersebut memaksa keduanya untuk segera keluar ruangan demi kelancaran proses pemeriksaan.Ambar menyelesaikan sesi tanya jawab dalam waktu tiga puluh menit. Setelah itu, dia dipersilakan oleh petugas untuk pulang dan setiap saat bersedia datang jika diperlukan.Akhirnya, Ambar bisa melenggang dengan sedikit lega dengan diiringi langkah kaki Sapto. Keduanya berjalan dalam diam sampai pelataran parkir.Mereka asik dengan pikiran masing-masing. Dua orang manusia dewasa yang sama-sama harus merelakan orang tercinta karena perselingkuhan dan sebuah intriks keji.Ambar terluka sangat dalam dibanding dengan Sapto, tapi rasa bersalah dan penyesalan sang pria lebih perih lagi. Hingga S
“Enggak perlu senaif itu, Pak. Bapak perlu kerja dan aktivitas saya beda jauh dengan Bapak. Jangan korbankan pekerjaan, demi saya. Selama ini, saya udah biasa mandiri, meski punya suami sekali pun. Bapak tenang aja. Enggak perlu berlebihan mengkhawatirkan saya,” jelas Ambar perlahan agar bisa dimengerti oleh Sapto.Pria yang selalu berdandan rapi tersebut tersenyum tipis. Ada rasa khawatir mendera, dalam hatinya. Dia tetap tak bisa mengabaikan rasa tersebut. Imbas penyesalan semakin menghimpit rongga dada.“Harus bagaimana saya menebus dosa ini, Bu? Apalagi Ik sedang berada di luar. Kabari saya, jika perlu bantuan. Hanya itu yang mampu saya janjikan,” ucap Sapto bersungguh-sungguh.“Terima kasih, Pak. Saya gak tau meski ngomong apalagi atas kebaikan Bapak ini. Saya merasa kuat lagi, setelah tumbang sesaat. Teman karib, selalu bersama, bahkan di tangannya, saya percayakan anak. Berkhianat. Berasa dunia tak berpihak pada kami.” Setelah berucap, Ambar beberapa saat, menarik napas.Tak la
”Kurang puas kamu hancurin anak saya? Apa maksud kamu? Kami gak ada urusan dengan kamu dan Hadi. Jauhi anak saya!” Ambar berlari mendekat lalu melepas sepatu dan seketika menggetok kepala Eksanti dengan ujungnya. Sementara itu, Sapto segera menarik dan menggendong Brian.Bu Retno dengan tangkas memegang tangan Eksanti lalu mengikat kedua tangan transpuan ini sekuat tenaga dengan kain syal yang dipakai. Eksanti dengan tangan terikat berlari keluar ruangan dan tak terkejar oleh Ambar. “Brengsek bener! Dasar siluman!”teriak Ambar kesal sambil memakai sepatunya kembali.Wanita ini segera menelepon polisi memberitahukan kejadian yang baru saja mereka alami. Sapto yang menggendong Brian tampak kecapekan. Peluh membanjiri raut muka dan leher pria jangkung tegap ini. “Pak, boleh Brian tiduran lagi?” tanya sang bocah yang seketika menyadarkan Sapto.“Oh, ya, ya. Maaf, ayo,” jawab Sapto segera melangkahkan kaki masuk ruangan lalu membaringkan tubuh Brian di ranjang.Bu Retno tersenyum ke ara
Tak lama kemudian, terdengar bel depan berbunyi, Brian segera berlari untuk membukakan pintu. Ambar mengikuti sang anak dengan geleng-geleng kepala.“Selamat sore, Brian,” sapa Sapto ketika pintu telah terbuka.“Selamat sore, Teacher,” balas Brian seraya menggandeng lengan Sapto untuk diajak masuk.Ambar yang melihat sikap sang anak yang ceria dan lebih berani dengan pria, merasa bahagia tak terhingga. Dia berharap, perubahan tersebut membawa perubahan psikis bocah sebelas tahun tersebut semakin membaik.“Silakan masuk, Pak. Tolong dimaafin. Maklum udah lama gak sekolah,” ucap Ambar yang berjalan di belakang Brian.Sapto seketika mengelus kepala Brian sambil tersenyum lebar. “Gak papa, Bu. Keren, kok. Brian punya rasa rindu untuk belajar. Bakal jadi diplomat ini kayaknya,” ucap Sapto yang kemudian mengambil sesuatu dari dalam tas.“Teacher punya hadiah buat Brian. Pejamkan mata dulu!” pinta Sapto dengan sebelah tangan masih di dalam tas.“Mama yang tutupin,”sahut Ambar yang segera men
“Brian ikut.” Bocah ini berlari masuk kamar lalu keluar dengan memakai hoddy.Ketiga orang dewasa terkejut dengan perilaku Brian. Mereka heran, karena sejak awal kasus bergulir bocah ini trauma. Jangankan ikut ke kantor polisi seperti yang akan dilakukan sekarang, bahkan bertemu dengan polisi atau lebih tepatnya pria, dia histeris. Namun, kini ... lain dan ganjil. Mencengangkan!“Brian di rumah sama Nenek. Belum boleh bepergiaan jauh sama dokter. Besok kalo udah sembuh, boleh ke mana aja,” jelas Bu Retno sembari merangkul bocah berkulit bersih ini.Namun tampaknya, Brian tak mau ditinggal oleh Sapto. Tangan kanan bocah ini memegang erat lengan Sapto. Hal tersebut membuat Ambar tak enak hati dengan pria jangkung tersebut. Bu Retno mencoba membujuk dengan jus mangga kesukaannya pun, tak digubris.“Teacher gak mau Brian bertambah sakit. Di luar ada Om Iksan, yang kemarin mau jahat sama Brian. Ingat?” tanya Sapto sembari jongkok menghadap sang bocah.Ambar dan Bu Retno mengamati interaksi
Ambar mengurai pelukan dengan masih terisak-isak lalu tangan mengusap air mata dengan tisu. Kepala wanita ini mendongak, seketika tangan Sapto merapikan anak rambut yang menutupi wajah wanita berhidung pesek, tetapi berparas manis ini.“Saya merasa sangat beruntung, di saat yang lain pergi karena berkhianat, Bapak ada untuk kami. Terima kasih,” ucap Ambar terbata-bata dengan sisa buliran bening yang merembes dari kedua pelupuk mata.“Terima kasih kembali, Bu. Saya memang harus bertanggung jawab soal ini,” ucap Sapto dengan nada tetap sopan. Oleh karena wajah dan perilaku antara Sapto dengan Eksanti yang berbeda jauh, Ambar tak menyangka bahwa mereka merupakan saudara kandung. Sapto yang sopan dalam berperilaku dan berucap bukan saudara yang tepat bagi Eksanti yang serampangan, itu menurut pandangan Ambar.Wanita yang kini dengan rambut tergerai di bawah pundak, sempat Sapto tertegun sesaat memandang paras cantiknya, sesaat merenung. Ambar memikirkan semua, tentang segala kemungkinan
“Benar-benar laknat! Dia suruh temannya buat teror kamu sekeluarga. Gak ada nurani mereka. Makhluk tak berakal. Simpan buat bukti laporan,” kata Sapto sambil mengelus rambut Ambar.Mereka berjalan ke tempat parkir lalu masuk mobil dan segera pergi menuju pulang. Sepanjang jalan, Ambar tak berkata apa pun. Wanita ini jadi syok kembali dengan pesan yang diterimanya. Hanya helaan napas yang didengar oleh Sapto.“Tenangin diri! Gak usah mikir terlampau jauh. Kita hadapi bersama. Mereka yang jahat, harus bertanggung jawab,” ucap Sapto sambil mata awas melihat spion karena mobil akan belok.“Ada berapa orang mereka semua? Otak mereka pada miring. Dipikir udah bener kelakuan biadab kayak gini,” ungkap Ambar dengan nada kesal.Sapto hanya tersenyum mendengar perkataan Ambar. Kini mobil tinggal beberapa meter lagi mengarah ke rumah Ambar dan Sapto menghentikan mobil di pinggir jalan. Wanita yang berada di sampingnya jadi merasa heran.“Dek, katakan padaku! Hukuman macam apa yang pantas untuk I