"Dobrak aja, Pak!” teriak salah satu penghuni kos yang ikut mendekati kamar Hadi.Ambar menitikkan air mata kesekian kali dan percaya bahwa dirinya semakin kuat dalam menjalani hidup setelah ini. Tak lama kemudian pintu terbuka dan Hadi muncul memakai pakaian rapi, tampak akan pergi keluar.“Selamat sore, Bapak-bapak. Maaf, saya tadi sedang di kamar mandi. Ada apa?” tanya pria tersebut dengan santun. Kedua matanya menatap ke arah Ambar yang terlihat emosi. Hadi melempar senyum tipis ke istrinya.“Maaf, Pak Hadi. Boleh kami masuk. Pak Rt, Bapak polisi dan Bu Ambar ingin ngobrol dengan Anda,” ucap pemilik indekos segera menguasai keadaan.“Sebenarnya, saya ada jadwal memberi les. Baiklah, silakan masuk!” balas Hadi sembari memberi jalan kepada lima orang tamu tak diundangnya.Ambar hanya duduk di ruang tamu, sedangkan yang lain sibuk memeriksa bagian kamar hingga ruang belakang serta jendela yang menghadap ke arah lahan kosong di belakang.Pemilik indekos tersenyum melihat ada sesuatu d
“Bu Ambar! Maafkan saya terlambat menyeret Eksanti,” ucap Sapto yang tiba-tiba muncul di sebelah Ambar.“Udah terlanjur terjadi, Pak,” balas Ambar sembari mengusap air mata dengan tisu.“Saya enggak nyangka kalo keputusan Pak Hadi untuk tobat, membuat adik saya gila. Mohon maaf, Bu.”Ambar menetralkan emosi sesaat lalu mengusap sisa buliran bening dari kedua mata dan pipi. Beberapa detik menarik napas panjang dan mengatur posisi duduk agar bisa berhadapan dengan Sapto. Wanita ini menatap tajam ke arah pria yang kini tepat di depannya.“Maaf, Pak Sapto masih punya empati pada saya terutama Brian, kan? Berapa lama tau hubungan mereka? Dia adalah adik Bapak, kenapa gak bilang dari awal? Kenapa Bapak menutupi ini semua? Tega!” ucap Ambar dengan berapi-api.Dia marah dengan pria yang selama ini dianggap lebih bijak daripada Hadi dengan penampilan yang kalem dan kebapakan. Ambar merasa salah menilai dan tertipu dengan penampilan serta tutur kata santun pria tersebut.Sapto menjadi salah tin
“Pak, bisa keduanya ditempatkan ke ruang lain dulu?” tanya Ambar ke arah petugas di depannya, yang dengan segera direspon oleh petugas lain.Dua petugas segera menggelandang Hadi dan Mita ke ruang yang berbeda. Pada awalnya, keduanya berontak dan bersikukuh ingin meminta maaf kepada Ambar. Namun, petugas-petugas tersebut memaksa keduanya untuk segera keluar ruangan demi kelancaran proses pemeriksaan.Ambar menyelesaikan sesi tanya jawab dalam waktu tiga puluh menit. Setelah itu, dia dipersilakan oleh petugas untuk pulang dan setiap saat bersedia datang jika diperlukan.Akhirnya, Ambar bisa melenggang dengan sedikit lega dengan diiringi langkah kaki Sapto. Keduanya berjalan dalam diam sampai pelataran parkir.Mereka asik dengan pikiran masing-masing. Dua orang manusia dewasa yang sama-sama harus merelakan orang tercinta karena perselingkuhan dan sebuah intriks keji.Ambar terluka sangat dalam dibanding dengan Sapto, tapi rasa bersalah dan penyesalan sang pria lebih perih lagi. Hingga S
“Enggak perlu senaif itu, Pak. Bapak perlu kerja dan aktivitas saya beda jauh dengan Bapak. Jangan korbankan pekerjaan, demi saya. Selama ini, saya udah biasa mandiri, meski punya suami sekali pun. Bapak tenang aja. Enggak perlu berlebihan mengkhawatirkan saya,” jelas Ambar perlahan agar bisa dimengerti oleh Sapto.Pria yang selalu berdandan rapi tersebut tersenyum tipis. Ada rasa khawatir mendera, dalam hatinya. Dia tetap tak bisa mengabaikan rasa tersebut. Imbas penyesalan semakin menghimpit rongga dada.“Harus bagaimana saya menebus dosa ini, Bu? Apalagi Ik sedang berada di luar. Kabari saya, jika perlu bantuan. Hanya itu yang mampu saya janjikan,” ucap Sapto bersungguh-sungguh.“Terima kasih, Pak. Saya gak tau meski ngomong apalagi atas kebaikan Bapak ini. Saya merasa kuat lagi, setelah tumbang sesaat. Teman karib, selalu bersama, bahkan di tangannya, saya percayakan anak. Berkhianat. Berasa dunia tak berpihak pada kami.” Setelah berucap, Ambar beberapa saat, menarik napas.Tak la
”Kurang puas kamu hancurin anak saya? Apa maksud kamu? Kami gak ada urusan dengan kamu dan Hadi. Jauhi anak saya!” Ambar berlari mendekat lalu melepas sepatu dan seketika menggetok kepala Eksanti dengan ujungnya. Sementara itu, Sapto segera menarik dan menggendong Brian.Bu Retno dengan tangkas memegang tangan Eksanti lalu mengikat kedua tangan transpuan ini sekuat tenaga dengan kain syal yang dipakai. Eksanti dengan tangan terikat berlari keluar ruangan dan tak terkejar oleh Ambar. “Brengsek bener! Dasar siluman!”teriak Ambar kesal sambil memakai sepatunya kembali.Wanita ini segera menelepon polisi memberitahukan kejadian yang baru saja mereka alami. Sapto yang menggendong Brian tampak kecapekan. Peluh membanjiri raut muka dan leher pria jangkung tegap ini. “Pak, boleh Brian tiduran lagi?” tanya sang bocah yang seketika menyadarkan Sapto.“Oh, ya, ya. Maaf, ayo,” jawab Sapto segera melangkahkan kaki masuk ruangan lalu membaringkan tubuh Brian di ranjang.Bu Retno tersenyum ke ara
Tak lama kemudian, terdengar bel depan berbunyi, Brian segera berlari untuk membukakan pintu. Ambar mengikuti sang anak dengan geleng-geleng kepala.“Selamat sore, Brian,” sapa Sapto ketika pintu telah terbuka.“Selamat sore, Teacher,” balas Brian seraya menggandeng lengan Sapto untuk diajak masuk.Ambar yang melihat sikap sang anak yang ceria dan lebih berani dengan pria, merasa bahagia tak terhingga. Dia berharap, perubahan tersebut membawa perubahan psikis bocah sebelas tahun tersebut semakin membaik.“Silakan masuk, Pak. Tolong dimaafin. Maklum udah lama gak sekolah,” ucap Ambar yang berjalan di belakang Brian.Sapto seketika mengelus kepala Brian sambil tersenyum lebar. “Gak papa, Bu. Keren, kok. Brian punya rasa rindu untuk belajar. Bakal jadi diplomat ini kayaknya,” ucap Sapto yang kemudian mengambil sesuatu dari dalam tas.“Teacher punya hadiah buat Brian. Pejamkan mata dulu!” pinta Sapto dengan sebelah tangan masih di dalam tas.“Mama yang tutupin,”sahut Ambar yang segera men
“Brian ikut.” Bocah ini berlari masuk kamar lalu keluar dengan memakai hoddy.Ketiga orang dewasa terkejut dengan perilaku Brian. Mereka heran, karena sejak awal kasus bergulir bocah ini trauma. Jangankan ikut ke kantor polisi seperti yang akan dilakukan sekarang, bahkan bertemu dengan polisi atau lebih tepatnya pria, dia histeris. Namun, kini ... lain dan ganjil. Mencengangkan!“Brian di rumah sama Nenek. Belum boleh bepergiaan jauh sama dokter. Besok kalo udah sembuh, boleh ke mana aja,” jelas Bu Retno sembari merangkul bocah berkulit bersih ini.Namun tampaknya, Brian tak mau ditinggal oleh Sapto. Tangan kanan bocah ini memegang erat lengan Sapto. Hal tersebut membuat Ambar tak enak hati dengan pria jangkung tersebut. Bu Retno mencoba membujuk dengan jus mangga kesukaannya pun, tak digubris.“Teacher gak mau Brian bertambah sakit. Di luar ada Om Iksan, yang kemarin mau jahat sama Brian. Ingat?” tanya Sapto sembari jongkok menghadap sang bocah.Ambar dan Bu Retno mengamati interaksi
Ambar mengurai pelukan dengan masih terisak-isak lalu tangan mengusap air mata dengan tisu. Kepala wanita ini mendongak, seketika tangan Sapto merapikan anak rambut yang menutupi wajah wanita berhidung pesek, tetapi berparas manis ini.“Saya merasa sangat beruntung, di saat yang lain pergi karena berkhianat, Bapak ada untuk kami. Terima kasih,” ucap Ambar terbata-bata dengan sisa buliran bening yang merembes dari kedua pelupuk mata.“Terima kasih kembali, Bu. Saya memang harus bertanggung jawab soal ini,” ucap Sapto dengan nada tetap sopan. Oleh karena wajah dan perilaku antara Sapto dengan Eksanti yang berbeda jauh, Ambar tak menyangka bahwa mereka merupakan saudara kandung. Sapto yang sopan dalam berperilaku dan berucap bukan saudara yang tepat bagi Eksanti yang serampangan, itu menurut pandangan Ambar.Wanita yang kini dengan rambut tergerai di bawah pundak, sempat Sapto tertegun sesaat memandang paras cantiknya, sesaat merenung. Ambar memikirkan semua, tentang segala kemungkinan
"Bar, buruan!"seru Sabrina yang telah ambil alih kursi roda. Ia telah berjalan mengikuti Tuan Farel dan Ambar masih berdiri melamun.Ambar seketika tersadar dari lamunan. "Oh, ya, ya. Yuk."Kedua wanita berjalan buru-buru menuju ruang perawatan. Gerak-gerik keempat orang di taman tadi telah diawasi oleh salah seorang bodyguard Tuan Gerry. Pria ini segera mengambil ponsel dari dalam saku celana lalu menelepon seseorang. Beberapa saat, ia mendengarkan ucapan dari ujung telepon."Mereka berencana shopping," ucap pria kekar tersebut kepada lawan bicaranya. Sementara itu, Tuan Farel yang sedang merebahkan tubuh Brian di pembaringan mendengar ponselnya berdering. Ia mengusap rambut Brian lembut sambil berbisik ke telinga si bocah. "Om akan jaga kamu, Superboy. Harus semangat untuk sehat."Pria ini lalu mengecup kening Brian. Saat ia menyelimuti tubuh si bocah, kedua wanita baru saja masuk ruangan. Pemandangan di depan mata, membuat kedua wanita semakin terharu. Tuan Farel segera menyadari k
"Coba kamu tanya ke Tuan Farel," saran Ambar kepada si bocah."Tuan Farel owner-nya?"tanya Sabrina dengan antusias."Bukan. Ia yang dipercaya oleh owner untuk mengelola tempat ini. Dan, kita telah diizinkan untuk tinggal di sini sampai Brian sembuh," jelas Ambar sengaja berbohong demi kebaikan bersama."Wah, sangat menyenangkan sekali. Liat, tuh, anak lu kerasan di sini," balas Sabrina. Ambar tersenyum lebar melihat Brian yang kembali ceria. Padahal sebelumnya, si bocah dalam keadaan kacau. Bahkan ia sempat berpikir untuk bunuh diri ke Hutan Aokigahara segala."Bagus, dong. Kalo Jagoan kerasan di sini. Mama tadi sudah bilang ke Tuan Farel dan lebih keren lagi, kamu bilang langsung,"ucap Ambar kepada Brian."Ya, Brian mau,"kata si bocah bersemangat. Ambar bahagia sekali mendapati anaknya yang penuh semangat. Ia bangkit lalu memeluk jagoan lalu mencium kedua pipinya. Tidak ada kebahagiaan yang ingin dirasakan selain kesembuhan bagi Brian."Cepat sembuh, Jagoan!" Ambar bertambah besar ha
"Kamu suka, Sayang?"tanya Tuan Farel sambil membuka blus Ambar. Kini tampak dua gundukan berbalut bra berenda. Ambar yang mulai mengikuti permainam sang pria.Jemari lentiknya mengusap lembut milik Tuan Farel yang telah membuat penasaran. Pasangan ini bergantian memberi usapan, jilatan bahkan remasan di beberapa bagian sensitif."Farel, Sayang!"panggil Ambar di antara desah dan jerit tertahan."Iya, Sayang. Nikmati, ya,"ucap Tuan Farel sambil mengusap lembut bibir Ambar.Mereka yang telah memanas akhirnya berpacu saling memuaskan. Keduanya bersamaan telah lunglai di atas pembaringan. Ambar pun baru sadar bahwa dirinya belum belanja pakaian."Oh my God!"jerit Ambar sambil membebat tubuhnya dengan selimut."Ada apa, Sayang?"tanya Farel yang buru-buru memakai hanfu. Kemudian ia duduk di pembaringan lalu membenahi anak rambut di wajah Ambar."Honey, aku belum belanja baju. Kamu tahu sendiri, kan. Kami berangkat tanpa persiapan. Gimana, dong?" Ambar menatap Farel dengan wajah sedih.Farel t
Benar saja, dugaannya memang tepat. Petugas informasi memberikan sebuah denah untuk menuju ruang staf khusus. Ambar sedikit curiga dengan dua petugas tersebut yang saling berbisik lalu tertawa kecil.Ambar tidak ambil pusing tentang hal tersebut. Ia langsung mencari keberadaan tempat Tuan Farel dengan berbekal selembar denah. Wanita berkaki jenjang ini kembali menyusuri koridor lalu mengikuti arah pada denah.Tak butuh waktu lama untuk mencari tempat Tuan Farel. Letak ruangannya terdapat di lantai dua dan lebih mengherankan, di sini tidak ada lift. Seluruh bangunan dan fasilitas yang terdapat di dalamnya bernuansa klasik.Kini, kedua kaki Ambar telah berdiri tepat depan sebuah ruangan yang ditunjuk oleh petugas informasi sebagai tempat Tuan Farel. Sebuah plang bertuliskan aksara Hanzi. Ambar mengetuk daun pintu kayu berukir. Ia mengetuk sampai ketiga kali pun tidak ada yang membuka pintu.Ambar pun merasa konyol setelah melihat ada sebuah lonceng kecil di sisi kanan pintu. Wanita ini
Tempat rehabilitasi ini dibangun di atas bukit. Sebagian besar bangunan disusun dari papan kayu dan beratap rumbia. Beberapa pohon cemara berdiri mengelilingi bangunan ini. Samar-samar terdengar gemericik air terjun dan suara aliran sungai."Pasti sedang jatuh cinta dengan tempat ini,"ucap Tuan Farel mengagetkan Ambar yang sedang fokus melihat sekeliling.Ambar seketika menoleh dan langsung terpana dengan penampilan pria di sebelahnya. Ambar pun jadi salah tingkah. "Tuan Farel. Iya."Pria gagah dengan rambut cepak layaknya anggota militer tersenyum manis. Dua ceruk menghias pipi. Ambar baru sekarang benar-benar mengagumi sosok pria. Pesona pria di depannya berhasil memporak-porandakan otak dan hatinya."Pusat rehabilitasi ini sengaja dibangun di daerah sini karena faktor lingkungan yang masih alami. Hal tersebut dipercaya bisa menunjang kesembuhan para pasien." Tuan Farel menjelaskan dengan pandangan lepas ke bukit. Ambar hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari pria di sampi
"Terima kasih kembali, Nak. Anggap ini sebagai penebus dosa-dosa Bapak."Begitu mendengar ucapan Tuan Gerry, Ambar tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata membasahi sudut mata lalu ke arah pipi. Ada rasa sesak karena harus merelakan nasib Rafael ke tangan pihak interpol. Ia harus kehilangan Rafael untuk kedua kalinya dan ini benar-benar menyakitkan.Pria yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup untuk rangkaian perjalan hidup dia dan Brian. Ternyata telah menjadi seorang penjahat internasional. Ambar menangis sesenggukan."Ambar, relakan semua,"ucap Sabrina sambil menggenggam jemari sang sahabat. Sementara air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Ambar. Sabrina membiarkan saja agar rasa sesak di dada Ambar segera lenyap.Mobil telah memasuki area bandara udara dan Ambar masih sesenggukan. Tiba-tiba Sabrina menyadari sesuatu. "Ambar, kita kaga bawa baju ganti.""Gak perlu khawatir soal baju dan lain-lain. Di sana banyak pilihan,"sahut Geo dari balik kemudi. Pria ini mengar
Sabrina memasukkan ponsel ke saku celana. Ia menatap depan, pada saat pintu terbuka dan Ambar telah tersenyum di depan Sabrina."Buruan keluar! Gue mau ngajak lu ngobrol." Sabrina menarik tangan Ambar.Wanita berkaki jenjang ini merasa, ada yang aneh dengan perilaku sahabatnya. Kemudian, dirinya keluar dari ruang dokter."Ada apa, sih?"tanya Ambar sambil menatap Sabrina dengan kesal."Kita ngobrol di taman,"ucap Sabrina sambil menyeret tangan soulmate-nya.Kedua wanita berjalan terburu-buru menuju taman. Di salah satu bangku taman yang agak tersembunyi dan teduh, mereka mengambil tempat."Lu dicariin Om Gerry. Sebentar." Sabrina segera melakukan panggilan ke nomor bapaknya Ambar."Oh my God! Gue kaga liat hape dari tadi," sahut Ambar yang seketika mengambil ponsel dari dalam tas. Betapa kaget Ambar. Begitu membuka ponsel, tampak di layar tertera notifikasi panggilan telepon dan pesan dari beberapa nomor kontak, termasuk dari Tuan Gerry. Bapaknya telah menelepon sebanyak sepuluh puluh
"Brian pengen sembuh,"ucap si bocah dengan kedua mata berkaca-kaca. Seketika ada rasa nyeri menikam hati Ambar. Ucapan Brian membuatnya ingin menangis, tetapi ditahan sekuat tenaga."Maka dari itu makan dan minum yang banyak terus teratur minum obat. Pasti sembuh. Semangat!""Tapi, Ma. Badan Brian lemes banget,"ucap si kecil lirih. Tiba-tiba tubuh Brian kejang. Ambar pun panik."Sayang, Brian!"teriak Ambar histeris. Dirinya telah mengalami masa sulit dua tahun belakangan. Bagi dia saat ini yang terpenting dalam hidupnya adalah putra semata wayangnya Brian. Ambar melihat putranya seperti orang sekarat. Tangan buru-buru menekan tombol darurat.Sabrina yang berada di depan ruangan segera masuk karena mendengar jerit histeris Ambar. Tak berapa lama, dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Brian. Ambar dan Sabrina menunggu di luar ruangan.Seorang dokter datang lalu menyapa kedua wanita. Kemudian pria berjas putih tersebut masuk ruangan. Rafael seakan-akan tahu keadaan Brian. Pr
"Belum ada, Mbak. Saya juga harap-harap cemas ini. Minta doanya, Mbak.""Pasti aku doakan yang terbaik, Bang. Semoga rekaman CCTV bisa membantu pengungkapan kasus. Sayangnya, kamera bagian samping sengaja dirusak pelaku. Cuma ada rekaman bagian beranda, dalam dan lantai atas.""Kami sudah ada rekaman CCTV dari sekitar TKP, Mbak.""Soal Bu Nur sudah diselidiki?""Bu Nur terindikasi jadi bagian komplotan kejahatan tersebut.""Oh my God! Pantas saja dia berani nyusup ke rumah Bapak,"ucap Ambar dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka jika wanita separuh baya yang terlihat polos itu punya niat jahat."Saya mau cari sendiri keberadaan Dek Lastri, Mbak. Lama nungguin polisi," balas Bang Reno. Raut kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Ambar tidak ingin membahas hal itu lagi. Ia datang ke kantor polisi guna memberi tambahan informasi serta menyerahkan rekaman CCTV.Ambar memberikan rekaman CCTV dari tempat usahanya dan juga kediaman Tuan Gerry. Dari rekaman CCTV pula, akhirnya Ambar tahu