”Kurang puas kamu hancurin anak saya? Apa maksud kamu? Kami gak ada urusan dengan kamu dan Hadi. Jauhi anak saya!” Ambar berlari mendekat lalu melepas sepatu dan seketika menggetok kepala Eksanti dengan ujungnya. Sementara itu, Sapto segera menarik dan menggendong Brian.Bu Retno dengan tangkas memegang tangan Eksanti lalu mengikat kedua tangan transpuan ini sekuat tenaga dengan kain syal yang dipakai. Eksanti dengan tangan terikat berlari keluar ruangan dan tak terkejar oleh Ambar. “Brengsek bener! Dasar siluman!”teriak Ambar kesal sambil memakai sepatunya kembali.Wanita ini segera menelepon polisi memberitahukan kejadian yang baru saja mereka alami. Sapto yang menggendong Brian tampak kecapekan. Peluh membanjiri raut muka dan leher pria jangkung tegap ini. “Pak, boleh Brian tiduran lagi?” tanya sang bocah yang seketika menyadarkan Sapto.“Oh, ya, ya. Maaf, ayo,” jawab Sapto segera melangkahkan kaki masuk ruangan lalu membaringkan tubuh Brian di ranjang.Bu Retno tersenyum ke ara
Tak lama kemudian, terdengar bel depan berbunyi, Brian segera berlari untuk membukakan pintu. Ambar mengikuti sang anak dengan geleng-geleng kepala.“Selamat sore, Brian,” sapa Sapto ketika pintu telah terbuka.“Selamat sore, Teacher,” balas Brian seraya menggandeng lengan Sapto untuk diajak masuk.Ambar yang melihat sikap sang anak yang ceria dan lebih berani dengan pria, merasa bahagia tak terhingga. Dia berharap, perubahan tersebut membawa perubahan psikis bocah sebelas tahun tersebut semakin membaik.“Silakan masuk, Pak. Tolong dimaafin. Maklum udah lama gak sekolah,” ucap Ambar yang berjalan di belakang Brian.Sapto seketika mengelus kepala Brian sambil tersenyum lebar. “Gak papa, Bu. Keren, kok. Brian punya rasa rindu untuk belajar. Bakal jadi diplomat ini kayaknya,” ucap Sapto yang kemudian mengambil sesuatu dari dalam tas.“Teacher punya hadiah buat Brian. Pejamkan mata dulu!” pinta Sapto dengan sebelah tangan masih di dalam tas.“Mama yang tutupin,”sahut Ambar yang segera men
“Brian ikut.” Bocah ini berlari masuk kamar lalu keluar dengan memakai hoddy.Ketiga orang dewasa terkejut dengan perilaku Brian. Mereka heran, karena sejak awal kasus bergulir bocah ini trauma. Jangankan ikut ke kantor polisi seperti yang akan dilakukan sekarang, bahkan bertemu dengan polisi atau lebih tepatnya pria, dia histeris. Namun, kini ... lain dan ganjil. Mencengangkan!“Brian di rumah sama Nenek. Belum boleh bepergiaan jauh sama dokter. Besok kalo udah sembuh, boleh ke mana aja,” jelas Bu Retno sembari merangkul bocah berkulit bersih ini.Namun tampaknya, Brian tak mau ditinggal oleh Sapto. Tangan kanan bocah ini memegang erat lengan Sapto. Hal tersebut membuat Ambar tak enak hati dengan pria jangkung tersebut. Bu Retno mencoba membujuk dengan jus mangga kesukaannya pun, tak digubris.“Teacher gak mau Brian bertambah sakit. Di luar ada Om Iksan, yang kemarin mau jahat sama Brian. Ingat?” tanya Sapto sembari jongkok menghadap sang bocah.Ambar dan Bu Retno mengamati interaksi
Ambar mengurai pelukan dengan masih terisak-isak lalu tangan mengusap air mata dengan tisu. Kepala wanita ini mendongak, seketika tangan Sapto merapikan anak rambut yang menutupi wajah wanita berhidung pesek, tetapi berparas manis ini.“Saya merasa sangat beruntung, di saat yang lain pergi karena berkhianat, Bapak ada untuk kami. Terima kasih,” ucap Ambar terbata-bata dengan sisa buliran bening yang merembes dari kedua pelupuk mata.“Terima kasih kembali, Bu. Saya memang harus bertanggung jawab soal ini,” ucap Sapto dengan nada tetap sopan. Oleh karena wajah dan perilaku antara Sapto dengan Eksanti yang berbeda jauh, Ambar tak menyangka bahwa mereka merupakan saudara kandung. Sapto yang sopan dalam berperilaku dan berucap bukan saudara yang tepat bagi Eksanti yang serampangan, itu menurut pandangan Ambar.Wanita yang kini dengan rambut tergerai di bawah pundak, sempat Sapto tertegun sesaat memandang paras cantiknya, sesaat merenung. Ambar memikirkan semua, tentang segala kemungkinan
“Benar-benar laknat! Dia suruh temannya buat teror kamu sekeluarga. Gak ada nurani mereka. Makhluk tak berakal. Simpan buat bukti laporan,” kata Sapto sambil mengelus rambut Ambar.Mereka berjalan ke tempat parkir lalu masuk mobil dan segera pergi menuju pulang. Sepanjang jalan, Ambar tak berkata apa pun. Wanita ini jadi syok kembali dengan pesan yang diterimanya. Hanya helaan napas yang didengar oleh Sapto.“Tenangin diri! Gak usah mikir terlampau jauh. Kita hadapi bersama. Mereka yang jahat, harus bertanggung jawab,” ucap Sapto sambil mata awas melihat spion karena mobil akan belok.“Ada berapa orang mereka semua? Otak mereka pada miring. Dipikir udah bener kelakuan biadab kayak gini,” ungkap Ambar dengan nada kesal.Sapto hanya tersenyum mendengar perkataan Ambar. Kini mobil tinggal beberapa meter lagi mengarah ke rumah Ambar dan Sapto menghentikan mobil di pinggir jalan. Wanita yang berada di sampingnya jadi merasa heran.“Dek, katakan padaku! Hukuman macam apa yang pantas untuk I
Kaca jendela pecah dan hancur. Serpihan-serpihannya berantakan seketika jatuh memenuhi halaman. Baik Ambar maupun Sapto tercengang melihat hal dramatis barusan.“Briaaaan!” Terdengar teriakan Bu Retno dari lantai atas.Sapto yang tak sabaran segera membopong tubuh Ambar lalu bergegas masuk rumah. Mereka panik dan sedih melihat perilaku Brian yang temperamen. Sapto menaruh tubuh Ambar di sofa ruang tamu, sementara dirinya langsung berlari menaiki tangga.Begitu sampai lantai atas, Sapto melihat Bu Retno sedang menenangkan Brian yang tantrum. Bu Retno kewalahan dengan perlawanan bocah bongsor ini. Beberapa kali wanita ini hampir jatuh, beruntung bisa berpegangan pada kursi.“Brian! Tenang, Nak.” Sapto berusaha membujuk dengan mendekat pelan-pelan.Seketika Bu Retno menoleh lalu tersenyum. Sedang Brian masih tak menyadari kehadiran guru kesayangannya. Namun, bocah ini sudah mulai melemah tenaganya. Dia lalu duduk di lantai sambil memegang kedua lutut. Bu Retno ikut berjongkok karenanya.
Begitu mendengar perkataan Sapto, sang bocah berdiri lalu segera berlari menuju tangga dan menuruninya. Sapto berjalan santai mengikuti. Tak disangka sesampai di bawah, Brian mendapati Ambar dan Bu Teti sedang diikat di bawah ancaman senjata tajam oleh empat orang wanita.Sang bocah berbalik arah lalu memberi kode ke arah Sapto dengan telapak tangan melintang depan leher, seperti gerakan menggorok. Sapto segera mengajak Brian menuju kamar paling terluar. Dari jendela kamar mereka bisa melihat teras dan halaman rumah. Ada sebuah mobil terparkir dekat mobil Sapto. Pria ini segera memotretnya lalu mengirimkan kepada polisi.“Teacher, ada tangga menuju samping rumah,” ucap Brian sembari melangkah ke arah toilet.Sapto mengikuti langkah Brian ke arah pintu di sebelah toilet. Rupanya, di balik pintu terdapat tangga. Brian dengan langkah buru-buru menuruninya dan diikuti oleh Sapto. Bocah usia 11 tahun ini dengan setengah berlari menuju sebuah panel yang berada di samping teras. Brian meneka
“Abang kenapa tak cegah Brian? Kenapaaaa??” Ambar berteriak histeris sambil memukul dada Sapto.“Tenang, dalam pengejaran polisi! Abang tadi sedang ikat para pelaku, dia keburu lari. Abang minta maaf,” jelas Sapto sambil memegang tangan Ambar. Buliran bening menetes dari pelupuk mata wanita berkuncir kuda ini. Hatinya bingung. Tak tahu harus bagaimana lagi menyikapi semua.Akhirnya, Ambar bisa segera mengatasi emosi. Beberapa kali, wanita ini menarik napas untuk melegakan rasa sesak di dada. Sapto merangkulnya serta memberi semangat. Perilaku keduanya tak luput dari pandangan Bu Retno. Wanita tua ini tampak keheranan melihat keduanya.Sementara itu, mereka kini telah siap di dalam mobil untuk mengejar penculik Brian. Tiba-tiba ponsel Ambar berdering, dia pun segera mengambil dari dalam tas. Tampak nomor kontak tak dikenal. Wanita ini menyodorkan layar ponsel ke arah Sapto dan pria ini menyuruhnya untuk menjawab panggilan telepon. “Selamat sore.” Suara Ambar terdengar ragu-ragu lalu m