"Baik, saya tunggu. Kebetulan di depan rumah sakit ada tempat ngopi favorit saya. Kita bisa ngobrol di sana.""Baik, Bang. Nanti saya kasih kabar lagi."Hubungan telepon diakhiri oleh Rafael. Ponsel langsung dimasukkan kantong celana."Ada kabar apa dari Bang Reno, Honey?"tanya Ambar dengan pandangan menyelidik."Titip jagoan ke Bapak dulu. Kita ngobrol dengan Bang Reno,"balas Rafael."Oke, aku bilang Bapak dulu. Aku liat tadi di sini ada beberapa ART dan tukang kebun. Brian pasti senang banyak teman. Habis tuh, kita bikin liburan bersama Bapak," jelas Ambar yang melihat keadaan dalam ruang tamu."Ide bagus. Buruan pamit Bapak."Ambar gegas masuk rumah lalu berbicara sebentar dengan Tuan Gerry dan Brian. Keduanya tidak keberatan ditinggal oleh Ambar. Dalam otak wanita ini hanya fokus ke sesuatu yang telah dilakukan oleh driver dan juga wujud roti cokelat yang dimau oleh Brian.Ambar ke beranda ditemani Brian dan Tuan Gerry. Rafael mendekat lalu agak membungkuk di depan Tuan Gerry."Ka
"Oh, gitu. Tuan Gerry masuk kamar bedah bersamaan dengan Bang Rafael yang keracunan.""Serius, Bang Reno?"tanya Ambar dan Rafael bersamaan."Iya. Setelah Bang Rafael pulang. Tuan Gerry masih menginap semalam di rumah sakit," jelas Bang Reno."Bapak bilang ke aku cuma kecapekan. Kenapa gak terus terang, ya? Berarti Bapak sudah tahu soal Miss. Clarisa hamil?""Tahu, Mbak. Beliau yang mengutus tangan kanannya untuk memberikan surat keterangan dokter ke penyidik.""Bapak tampak tenang banget. Gak ada panik sedikit pun," balas Ambar sambil menoleh ke arah Rafael seakan-akan minta persetujuan atas ucapannya."Saya semula juga menduga Bapak gak tau soal ini. Salah perkiraan rupanya," sahut Rafael untuk mendukung argumen Ambar.Bang Reno tersenyum tipis lalu merenung sejenak. Saat pria berbadan gempal itu akan bersuara, waitress datang membawa pesanan. Akhirnya ucapan terjeda. Ketiga orang sibuk ikut menata makanan dan minuman yang disajikan oleh dua orang waitress."Silakan menikmati hidanga
"Angel!"panggil Rafael yang segera meraih pinggang wanitanya. Ambar tersenyum menggoda sambil berbisik,"Kita lanjut di dalam, Honey."Rafael buru-buru membuka akses masuk. Begitu mengingat dalam ruangan, kedua tangannya segera membopong tubuh Ambar ke arah kamar.Beberapa langkah kakinya berjalan, Rafael masuk kamar dengan dada turun naik. Ia taruh tubuh Ambar ke atas ranjang. Kemudian, ia membuka seluruh pakaian yang menutupi tubuh atletisnya.Pipi Ambar merona memanas menatap tubuh Rafael tanpa sehelai benang pun berdiri tepat di depannya. Wanita ini baru sadar bahwa Rafael memang setampan dan segagah itu. Pria bersorot mata tajam dengan dua biji manik hazel, garis wajah tegas yang mengitimidasi, hidung mancung dan semua bulu halus yang melekat di dagu serta dada bidang. Perpaduan tampak sempurna di mata Ambar saat ini yang tengah mabuk dibuai hasrat. Kini Rafael tepat berada di atas tubuh Ambar dan mengukungnya. Ia melucuti semua pakaian yang menempel di tubuh Ambar satu persatu.
"Ada sebulan yang lalu. Kebetulan ada teman baru buka klinik kecantikan," jelas Ambar yang berdiri lalu mematutkan diri depan cermin. Rafael yang masih menginginkannya memeluk pinggang Ambar lalu mencium lehernya."Honey, ayo buruan siap-siap," ucap Ambar mengingatkan prianya."Will you marry me, Angel?"tanya Rafael sambil mengeluarkan kotak cincin dari dalam saku celana. Ambar yang terkejut langsung balik badan. Rafael segera jongkok sambil mengulurkan kotak dalam keadaan terbuka. Ambar tersenyum lalu berucap,"Yes, of course, my Hero."Rafael berdiri lalu memakaikan cincin ke jari manis Ambar. Keduanya berpelukan untuk beberapa saat. "Aku akan menjaga kalian seumur hidup,"ucap Rafael lirih lalu mengecup pipi Ambar sekilas."Terima kasih, Honey."Mereka mengurai pelukan dengan senyum lebar menghias bibir. Kemudian mereka keluar ruangan dengan berangkulan. Saat mereka sampai lift, ponsel Ambar berdering. Wanita ini buru-buru mengambil dari dalam tas. Dalam pikiran ada dua kemungkinan,
"Anak pintar. Bentar, ya!" Kurir pun menghubungi nomor telepon si pemesan paket makanan. Tiba-tiba terdengar bunyi dering telepon dari saku celana Geo.Brian segera menoleh ke arah Geo dengan kedua alis bertaut. "Om Geo yang pesan?"Pria itu pun tersenyum lebar sambil menyodorkan rubik yang dipegang. "Akhirnya, Om bisa menang!""Om, curang!" Brian berlari ke arah Geo dan langsung memeluknya erat, hingga pria kekar ini susah bergerak."Gak curang, dong. Orang kasih makanan dibilang curang.""Sengaja, kan, biar Brian berhenti. Om Geo curang!""Om gak nyuruh berhenti. Gimana dong paketnya? Kasian Om Kurir capek pegang," ucap Geo sambil tertawa terbahak-bahak karena digelitik Brian."Dek Brian! Gimana ini? Om mau antar yang lain," ucap kurir sambil tersenyum melihat interaksi keduanya.Brian segera melepaskan Geo dan langsung mengambil kotak paket dari kurir. "Terima kasih, Om.""Terima kasih kembali. Selamat sore. Permisi," ucap kurir yang langsung balik ke motor. Sementara Brian sudah l
"Wah, aku harus tanya langsung Bapak ini. Misterius banget, sih. Ya, udah. Mbak Lastri buruan balik ke katering.""Baik, Mbak. Saya permisi.""Hati-hati di jalan, Mbak." Wanita itu pun mengangguk lalu beranjak pergi. Kini, tinggal Ambar memandangi Brian yang sedang asyik menikmati brownies. Terdengar suara dering dari ponsel Ambar. Ia segera mengambilnya. Ada pesan masuk dari Rafael.[Kayaknya kita akan segera tahu, siapa Sanjaya itu.][Siapa, Honey?][Kata Bang Geo, orangnya akan berbicara langsung di hadapan media massa.]Ambar hanya bisa bengong memikirkan chat dari Rafael. Ia tak akan ambil pusing jika Clarisa tidak ada hubungan dengan bapaknya. Namun kehamilan orang kepercayaan Tuan Gerry diketahui setelah menembak mati Bu Retno dan dirinya sendiri.Otomatis penyelidikan polisi tertuju kepada bapaknya. Seluruh mata dunia melihat bahwa kasus pembunuhan didasari oleh cinta segitiga. Wanita berkaki jenjang ini berharap klarifikasi dari Sanjaya bisa meredakan bola liar berita yang be
"Aku pernah dikasih tahu Ibu. Tapi gak ketemu saat kucari di laci lemari pakaian Ibu. Ke mana surat itu?""Kok bisa? Ibu kamu bilang ada surat itu?""Ya, Ibu bilang ada saat kamu jagain Brian di rumah sakit. Saat sudah mulai santai, aku cari. Tapi gak ada. Ibu ingat betul kalo hanya taruh di laci bareng kotak perhiasan saat aku kecil.""Perhiasan kamu ada, gak?""Masih ada dalam kotak. Apa ada yang ambil, ya?"tanya Ambar sambil memikirkan sesuatu. Tiba-tiba dirinya ingat sesuatu ...."Ada apa, Nak?"tanya Tuan Gerry."Aku ingat sekarang. Dulu saat kami masih akrab, Mita sering main ke rumah Ibu. Bisa jadi amplopnya itu telah diambilnya. Aku mau cek di rekaman CCTV. Udah beberapa bulan, sih. Apa masih bisa dicari?" Ambar bertanya sambil melihat ke bapaknya."Gak perlu dicari. Kan, ada Bapak," balas Tuan Gerry sambil mengelus pundak putrinya."Hasilnya, gimana, Pak? Apa Ibu tahu soal itu?""Mita bukan anak Bapak. Ibu kamu sudah tahu soal ini. Namun, sudah terlanjur sakit hati, saat Bapak
"Bicarakan dengan hati yang dingin. Ingat juga, Bapak baru saja operasi jantung. Kecewa boleh, tapi harus tahu situasi. Jangan bikin penyesalan di belakang hari." Rafael mencoba menasihati wanita di sampingnya. Seketika air mata Ambar mengalir deras dan ia pun buru-buru menyekanya karena khawatir Brian mengetahui itu."Iya, maafin aku. Tadi emosi bener, Bang,"balas Ambar lemah. Tangannya pun segera mengambil ponsel dari dalam tas. Ia menelepon Tuan Gerry. Ia harus segera meminta maaf atas sikapnya yang kasar. Namun, panggilan telepon darinya tidak diangkat oleh bapaknya. Ambar pun langsung panik.Ambar pun langsung teringat seseorang. Ia pun segera menghubunginya. Beberapa saat menunggu panggilan diterima, akhirnya ada suara di ujung telepon."Halo, Mbak Ambar." Suara Bu Nur terdengar tidak panik. Ambar sedikit lega karenanya. Namun, ia harus kroscek fakta yang terjadi di TKP. Selama ia mengenal Bu Nur adalah sosok yang jujur. "Maaf, Bu. Acara dimulai jam berapa? Bapak undang siapa s