"Aku pernah dikasih tahu Ibu. Tapi gak ketemu saat kucari di laci lemari pakaian Ibu. Ke mana surat itu?""Kok bisa? Ibu kamu bilang ada surat itu?""Ya, Ibu bilang ada saat kamu jagain Brian di rumah sakit. Saat sudah mulai santai, aku cari. Tapi gak ada. Ibu ingat betul kalo hanya taruh di laci bareng kotak perhiasan saat aku kecil.""Perhiasan kamu ada, gak?""Masih ada dalam kotak. Apa ada yang ambil, ya?"tanya Ambar sambil memikirkan sesuatu. Tiba-tiba dirinya ingat sesuatu ...."Ada apa, Nak?"tanya Tuan Gerry."Aku ingat sekarang. Dulu saat kami masih akrab, Mita sering main ke rumah Ibu. Bisa jadi amplopnya itu telah diambilnya. Aku mau cek di rekaman CCTV. Udah beberapa bulan, sih. Apa masih bisa dicari?" Ambar bertanya sambil melihat ke bapaknya."Gak perlu dicari. Kan, ada Bapak," balas Tuan Gerry sambil mengelus pundak putrinya."Hasilnya, gimana, Pak? Apa Ibu tahu soal itu?""Mita bukan anak Bapak. Ibu kamu sudah tahu soal ini. Namun, sudah terlanjur sakit hati, saat Bapak
"Bicarakan dengan hati yang dingin. Ingat juga, Bapak baru saja operasi jantung. Kecewa boleh, tapi harus tahu situasi. Jangan bikin penyesalan di belakang hari." Rafael mencoba menasihati wanita di sampingnya. Seketika air mata Ambar mengalir deras dan ia pun buru-buru menyekanya karena khawatir Brian mengetahui itu."Iya, maafin aku. Tadi emosi bener, Bang,"balas Ambar lemah. Tangannya pun segera mengambil ponsel dari dalam tas. Ia menelepon Tuan Gerry. Ia harus segera meminta maaf atas sikapnya yang kasar. Namun, panggilan telepon darinya tidak diangkat oleh bapaknya. Ambar pun langsung panik.Ambar pun langsung teringat seseorang. Ia pun segera menghubunginya. Beberapa saat menunggu panggilan diterima, akhirnya ada suara di ujung telepon."Halo, Mbak Ambar." Suara Bu Nur terdengar tidak panik. Ambar sedikit lega karenanya. Namun, ia harus kroscek fakta yang terjadi di TKP. Selama ia mengenal Bu Nur adalah sosok yang jujur. "Maaf, Bu. Acara dimulai jam berapa? Bapak undang siapa s
Wanita ini memijat pelan-pelan punggung putra semata wayangnya sambil berurai air mata. "Tahan, Sayang! Kita ke rumah sakit.""Mamaa, sakiiit!"jerit Brian menyayat hati."Sayang, sabar!" Ambar memijat pelan pinggang dan punggung Brian. Rafael mengemudikan mobil dengan kecepatan tinggi. Raut wajah pria ini pun sama halnya dengan Ambar, pucat pasi karena cemas. Dalam waktu lima belas menit, mobil telah sampai pelataran rumah sakit. Rafael gegas mencari tenaga kesehatan untuk membawa Brian ke unit gawat darurat. Akhirnya, Rafael didampingi tiga tenaga kesehatan yang membawa brankar mendatangi mobil. Ketiga tenaga kesehatan dibantu Rafael mengangkat tubuh Brian ke brankar dengan hati-hati. Sementara tubuh bocah 11 tahun ini menggigil hebat.Begitu sampai ruang periksa, Brian langsung diperiksa oleh dokter. Beberapa saat setelah pemeriksaan, dokter memberitahu Ambar dan Rafael akan dilakukan tindakan bedah terhadap Brian. Baik Ambar maupun Rafael terlihat syok berat.Saat Brian di ruang
Rafael balik arah dan langsung diikuti oleh Geo. Kepergian kedua pria diamati oleh Ambar dan Tuan Gerry. Kedua pria berjalan agak jauh dari kamar perawatan. Akhirnya Rafael mengajak Geo duduk di kursi taman."Kita perlu bicara sedikit, Bang. Aku ingin tahu, tadi saat main sama Abang. Brian cerita banyak soal Hutan Aokigahara atau dia yang putus asa?"tanya Rafael sambil memandang Geo."Dia bicara itu tiba-tiba, Bang Rafael. Sebelum itu, kan, asyik sama rubik," balas Geo sambil mengingat-ingat sesuatu. "Oh, ya. Brian bilang rubiknya pemberian Miss. Sabrina. Dia cerita soal suami Miss. Sabrina. Terus pinjam hape saya untuk mencari tahu suatu tempat.""Suami Miss. Sabrina? Kenapa dengannya?"tanya Rafael heran."Gak tau, Bang. Brian gak jelasin itu. Dia pinjam hape saya buat cari tempat.""Tolong Bang Geo lihat riwayat pencarian Brian." Geo segera mengambil ponsel dan segera mengecek daftar pencarian yang dilakukan oleh Brian. Rafael ikut mengecek juga. Ternyata tidak ada satu pun tentang
"Anak lu itu cerdas, Ambar. Apa mungkin dia pikir bisa cari ketenangan di hutan itu? Macam tempat terapi atau apa gitu. Itu yang ada di otak gue. Eh, kenapa gak lu tanya langsung si bocah?""Kaga bisa sekarang. Brian habis operasi. Mental dia juga lagi down banget. Dokter masih observasi penyebab pecah pembuluh darah lagi.""Si driver sempat ngerjain Brian?"tanya Sabrina lirih. "Itu yang gue takutkan. Kenapa pula anak gue kepikiran mau ke hutan itu. Sabri, kenapa anak gue yang dihancurin? Driver itu anak buah Mita? Mereka pada kenapa, sih!" Ambar yang kalut terisak-isak dan Sabrina sibuk menenangkannya. "Ambar, lu harus kuat! Masih banyak yang sayang sama lu dan Brian. Itu ujian." Sabrina ikut berurai air mata melihat teman karibnya yang terpuruk lagi.Tanpa disangka-sangka oleh kedua wanita, Tuan Gerry sudah berada di belakang mereka. "Jangan hancur, Nak! Kamu harus kuat demi Brian. Biar Bapak yang urus ini semua."Kedua wanita kaget dan langsung menoleh ke belakang. Tuan Gerry yan
"Kami membawa surat panggilan untuk Ananda Brian untuk memberikan keterangan terkait tersangka pengedar narkoba," jelas polisi tersebut. "Silakan."Rafael segera mengambil amplop putih berlogo korp polisi. Sesaat kemudian, Rafael mengeluarkan surat dari amplop dan mulai membaca isinya. Ambar pun ikut membaca. Pasangan ini membaca dengan saksama."Maaf, pake dasar apa, polisi ingin meminta keterangan dari anak kami?"tanya Rafael sambil melipat kertas dan memasukkan ke amplop kembali."Tersangka adalah driver langganan Ananda. Ada beberapa korban yang telah memberi keterangan kepada kami.""Oh, my God!"jerit Ambar dan Sabrina.Baik Ambar maupun Rafael masih tergagap dengan pernyataan polisi tersebut. Mereka tidak pernah menyangka bahwa si bocah berhubungan dengan orang kriminal seperti itu. "Silakan masuk."Rafael mendekat ke arah pintu sambil membuka telapak tangan. Dua polisi tersebut mengangguk lalu berjalan masuk didampingi oleh Rafael. Beberapa saat, Ambar berdiskusi dengan Sabrin
"Gimana sikap Bapak?""Terang saja, Bapak gak terima, dong. Dia gak merasa punya yayasan itu. Apalagi ikut andil dalam bisnis ilegal. Amit-amit! Aku diminta Bapak buat cari bukti buat membantah fitnah tersebut. Biar terbongkar siapa saja yang jadi dalang kejahatan. Kebaikan Bapak malah jadi bumerang. Mita dan ibunya udah meninggal, masih ada juga yang manfaatin nama Bapak," ucap Ambar dengan nada emosi."Bisa jadi orang-orang sekitar Mita dan ibunya atau yang tahu kehidupan masa lalu Bapak. Abang juga mau minta bantuan teman buat cari info soal ini,"ucap Rafael sambil menatap Ambar dengan penuh kasih. "Abang akan berusaha keras agar kasus ini cepat selesai.""Terima kasih banyak, Honey,"balas Ambar yang segera memeluk Rafael lalu mengecup bibirnya. Cukup beberapa saat saja karena wanita ini sadar diri sedang di ruang publik. "Baiklah! Aku pergi dulu sama Sabrina.""Hati-hati, Sayang."Ambar pun pergi meninggalkan Rafael menuju taman. Sabrina yang sedari tadi telah berdiri menunggu, be
"Mbak Ambar dan Miss. Sabrina, kenalkan Barack. Ia detektif terbaik sampe hari ini,"ucap Bang Reno memperkenalkan pria tampan yang kemungkinan keturunan Eropa."Saya, Barack Elhosrt. Senang mengenal Anda,"kata pria berkulit putih kemerahan sambil mengulurkan tangan."Saya, Ambar dan ini teman saya, Sabrina. Senang juga mengenal Anda, Mr. Barack,"balas Ambar menerima jabat tangan Barack. Sabrina pun ikut menyalami.Keempat orang duduk berhadapan. Mereka membahas hal-hal yang harus segera dilakukan oleh masing-masing. Setelah satu jam berdiskusi, Ambar dan Sabrina berpamitan. Kedua wanita ini masih harus menemui pengacara dan notaris kepercayaan Tuan Gerry.Ambar bertekad mencari salinan hasil tes DNA Mita. Sepanjang perjalanan Ambar berkoodinasi dengan Rafael tentang tempat rehabilitasi untuk Brian. Kini, wanita berkaki jenjang ini menelepon Mbak Lastri untuk segera membaca email yang ia kirim dua jam yang lalu. Ambar telah beberapa kali melakukan panggilan, tetapi tidak diangkat juga.