"Gimana sikap Bapak?""Terang saja, Bapak gak terima, dong. Dia gak merasa punya yayasan itu. Apalagi ikut andil dalam bisnis ilegal. Amit-amit! Aku diminta Bapak buat cari bukti buat membantah fitnah tersebut. Biar terbongkar siapa saja yang jadi dalang kejahatan. Kebaikan Bapak malah jadi bumerang. Mita dan ibunya udah meninggal, masih ada juga yang manfaatin nama Bapak," ucap Ambar dengan nada emosi."Bisa jadi orang-orang sekitar Mita dan ibunya atau yang tahu kehidupan masa lalu Bapak. Abang juga mau minta bantuan teman buat cari info soal ini,"ucap Rafael sambil menatap Ambar dengan penuh kasih. "Abang akan berusaha keras agar kasus ini cepat selesai.""Terima kasih banyak, Honey,"balas Ambar yang segera memeluk Rafael lalu mengecup bibirnya. Cukup beberapa saat saja karena wanita ini sadar diri sedang di ruang publik. "Baiklah! Aku pergi dulu sama Sabrina.""Hati-hati, Sayang."Ambar pun pergi meninggalkan Rafael menuju taman. Sabrina yang sedari tadi telah berdiri menunggu, be
"Mbak Ambar dan Miss. Sabrina, kenalkan Barack. Ia detektif terbaik sampe hari ini,"ucap Bang Reno memperkenalkan pria tampan yang kemungkinan keturunan Eropa."Saya, Barack Elhosrt. Senang mengenal Anda,"kata pria berkulit putih kemerahan sambil mengulurkan tangan."Saya, Ambar dan ini teman saya, Sabrina. Senang juga mengenal Anda, Mr. Barack,"balas Ambar menerima jabat tangan Barack. Sabrina pun ikut menyalami.Keempat orang duduk berhadapan. Mereka membahas hal-hal yang harus segera dilakukan oleh masing-masing. Setelah satu jam berdiskusi, Ambar dan Sabrina berpamitan. Kedua wanita ini masih harus menemui pengacara dan notaris kepercayaan Tuan Gerry.Ambar bertekad mencari salinan hasil tes DNA Mita. Sepanjang perjalanan Ambar berkoodinasi dengan Rafael tentang tempat rehabilitasi untuk Brian. Kini, wanita berkaki jenjang ini menelepon Mbak Lastri untuk segera membaca email yang ia kirim dua jam yang lalu. Ambar telah beberapa kali melakukan panggilan, tetapi tidak diangkat juga.
"Betul juga. Gue udah gemetar, Sabri." Ambar pun segera menghubungi staf tadi. Beberapa menit kemudian, dua polisi dengan diantar staf telah datang menghampiri mereka."Ini darah segar, Bu. Lebih baik kami sterilkan lokasi dulu," ucap seorang polisi saat Ambar memberitahukan yang sedang terjadi."Silakan, Pak. Semoga karyawan saya baik-baik saja,"ucap Ambar dengan menggenggam erat tangan Sabrina. Kedua wanita ini saling menguatkan.Beberapa polisi melakukan tugas masing-masing. Ambar mengajak Sabrina menaiki anak tangga. Kedua wanita ini perlu duduk di sofa menunggu olah TKP selesai dilakukan petugas.Secara kebetulan sebagaian besar karyawan telah pulang. Hanya tertinggal beberapa orang yang masih menyelesaikan tugas tambahan. Seorang staf menghampiri Ambar. "Bu, ditemukan sosok mayat wanita. Ibu dan Miss. Sabrina diminta ke bawah oleh petugas.".Baik Ambar maupun Sabrina syok mendengar ucapan staf barusan. Ambar dengan kedua mata berkaca-kaca menatap staf lalu bertanya,"Mayat siapa
"Loh, bukannya kamu yang minta Bu Nur jadi pengelola katering. Dia datang ke Bapak dan kasih tau itu. Bahkan minta cek ulang pesanan Bapak buat perayaan. Dia pula yang minta stand by di dapur demi kelancaran acara."Penjelasan dari Tuan Gerry membuat Ambar terkejut bukan main. Secara, dirinya tidak pernah mengajak Bu Nur untuk menjadi karyawan. Oleh karena wanita separuh baya tersebut telah memiliki usaha yang mapan.Ia juga tidak mungkin mengangkat Bu Nur sebagai pengelola karena ia masih bisa menangani sendiri. Lagipula ia akan lebih memilih Mbak Lastri jadi pengelola dibanding Bu Nur. Notabene Mbak Lastri adalah karyawannya dan juga telah terbukti loyal serta jujur."Kita telah ceroboh hingga bisa dimasuki penyusup. Bapak cek rekaman CCTV. Apa saja aktivitas yang dilakukan oleh Bu Nur selama berada di rumah. Ambar bisa pastikan, Bu Nur melakukan sebuah misi dari komplotan yang diikuti. Begitu ada bukti, kita lapor polisi," ucap Ambar dengan intonasi tegas."Ide bagus itu. Nanti Bap
"Belum ada, Mbak. Saya juga harap-harap cemas ini. Minta doanya, Mbak.""Pasti aku doakan yang terbaik, Bang. Semoga rekaman CCTV bisa membantu pengungkapan kasus. Sayangnya, kamera bagian samping sengaja dirusak pelaku. Cuma ada rekaman bagian beranda, dalam dan lantai atas.""Kami sudah ada rekaman CCTV dari sekitar TKP, Mbak.""Soal Bu Nur sudah diselidiki?""Bu Nur terindikasi jadi bagian komplotan kejahatan tersebut.""Oh my God! Pantas saja dia berani nyusup ke rumah Bapak,"ucap Ambar dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka jika wanita separuh baya yang terlihat polos itu punya niat jahat."Saya mau cari sendiri keberadaan Dek Lastri, Mbak. Lama nungguin polisi," balas Bang Reno. Raut kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Ambar tidak ingin membahas hal itu lagi. Ia datang ke kantor polisi guna memberi tambahan informasi serta menyerahkan rekaman CCTV.Ambar memberikan rekaman CCTV dari tempat usahanya dan juga kediaman Tuan Gerry. Dari rekaman CCTV pula, akhirnya Ambar tahu
"Brian pengen sembuh,"ucap si bocah dengan kedua mata berkaca-kaca. Seketika ada rasa nyeri menikam hati Ambar. Ucapan Brian membuatnya ingin menangis, tetapi ditahan sekuat tenaga."Maka dari itu makan dan minum yang banyak terus teratur minum obat. Pasti sembuh. Semangat!""Tapi, Ma. Badan Brian lemes banget,"ucap si kecil lirih. Tiba-tiba tubuh Brian kejang. Ambar pun panik."Sayang, Brian!"teriak Ambar histeris. Dirinya telah mengalami masa sulit dua tahun belakangan. Bagi dia saat ini yang terpenting dalam hidupnya adalah putra semata wayangnya Brian. Ambar melihat putranya seperti orang sekarat. Tangan buru-buru menekan tombol darurat.Sabrina yang berada di depan ruangan segera masuk karena mendengar jerit histeris Ambar. Tak berapa lama, dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Brian. Ambar dan Sabrina menunggu di luar ruangan.Seorang dokter datang lalu menyapa kedua wanita. Kemudian pria berjas putih tersebut masuk ruangan. Rafael seakan-akan tahu keadaan Brian. Pr
Sabrina memasukkan ponsel ke saku celana. Ia menatap depan, pada saat pintu terbuka dan Ambar telah tersenyum di depan Sabrina."Buruan keluar! Gue mau ngajak lu ngobrol." Sabrina menarik tangan Ambar.Wanita berkaki jenjang ini merasa, ada yang aneh dengan perilaku sahabatnya. Kemudian, dirinya keluar dari ruang dokter."Ada apa, sih?"tanya Ambar sambil menatap Sabrina dengan kesal."Kita ngobrol di taman,"ucap Sabrina sambil menyeret tangan soulmate-nya.Kedua wanita berjalan terburu-buru menuju taman. Di salah satu bangku taman yang agak tersembunyi dan teduh, mereka mengambil tempat."Lu dicariin Om Gerry. Sebentar." Sabrina segera melakukan panggilan ke nomor bapaknya Ambar."Oh my God! Gue kaga liat hape dari tadi," sahut Ambar yang seketika mengambil ponsel dari dalam tas. Betapa kaget Ambar. Begitu membuka ponsel, tampak di layar tertera notifikasi panggilan telepon dan pesan dari beberapa nomor kontak, termasuk dari Tuan Gerry. Bapaknya telah menelepon sebanyak sepuluh puluh
"Terima kasih kembali, Nak. Anggap ini sebagai penebus dosa-dosa Bapak."Begitu mendengar ucapan Tuan Gerry, Ambar tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata membasahi sudut mata lalu ke arah pipi. Ada rasa sesak karena harus merelakan nasib Rafael ke tangan pihak interpol. Ia harus kehilangan Rafael untuk kedua kalinya dan ini benar-benar menyakitkan.Pria yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup untuk rangkaian perjalan hidup dia dan Brian. Ternyata telah menjadi seorang penjahat internasional. Ambar menangis sesenggukan."Ambar, relakan semua,"ucap Sabrina sambil menggenggam jemari sang sahabat. Sementara air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Ambar. Sabrina membiarkan saja agar rasa sesak di dada Ambar segera lenyap.Mobil telah memasuki area bandara udara dan Ambar masih sesenggukan. Tiba-tiba Sabrina menyadari sesuatu. "Ambar, kita kaga bawa baju ganti.""Gak perlu khawatir soal baju dan lain-lain. Di sana banyak pilihan,"sahut Geo dari balik kemudi. Pria ini mengar