"Apa dibilang sama Sabrina saat si jagoan tanya kita?""Miss. Sabrina bilang kita sedang jemput Ibu ke bandara."Setelah Ambar mendengar ucapan Rafael barusan, air mata kembali deras mengalir."Gak usah nangis lagi! Kasian Ibu jadi berat dalam perjalanan ke sana.Yuk, kita antar Ibu dengan rasa ikhlas," ucap Rafael yang langsung ditanggapi oleh Ambar dengan senyum tipis.•••~•••~•••Seusai acara pemakaman, Rafael memboyong Ambar ke apartemen. Hal tersebut dilakukannya demi menenangkan hati Ambar dan juga agar Brian tak syok. Secara para pelayat pada berdatangan dan juga karangan bunga sebagai ungkapan belasungkawa tiada pernah berhenti dikirim dari para keluarga, kerabat dan kolega.Secara psikis Ambar masih cukup kuat menghadapi kenyataan bahwa sang ibu meninggal dunia karena ditembak. Yang membuat tak habis pikir oleh Ambar, bagaimana bisa Clarisa bisa setega itu melakukannya? Wanita itu telah membantu keluarga yang terpisah sekian puluh tahun bertemu lagi. Dia pula yang berhasil men
"Pamit sama Mama dan Tante Sabrina dulu.""Mama, Brian jalan-jalan sama Papa dulu, ya," ujar si pria kecil lalu mencium punggung tangan Ambar. Setelah itu, Brian menggandeng tangan papanya dan siap pergi."Pamit ke Tante Sabrina juga, dong!"pinta Ambar."Ogah!"seru Brian yang langsung menarik lengan Rafael. Pria berdarah Latin yang melihat perilaku sang bocah segera meminta maaf terhadap Sabrina dengan menjura. Hal tersebut ditanggapi Sabrina dengan tersenyum lalu menganggukkan kepala.Sepeninggal bapak dan anak, kedua wanita duduk di kursi teras berniat membahas kejadian yang baru saja dialami oleh Brian."Sabri, ada apa dengan anak gue?"tanya Ambar yang tidak sabar untuk mendapat kejelasan. Sabrina tersenyum tipis lalu menutup mulut sebentar. Wajah wanita bermata sipit ini, tampak bingung."Sab, ayo, ngomong aja! Gue gak apa, kok," desak Ambar kepada sahabatnya itu."Gue tuh, bingung. Meski dari mana ceritanya. Yang bikin nyesek, gue ajak Brian, maksudnya biar dia gak syok. Ini mala
"Baik, Bang. Begitu siap kasih keterangan, saya akan segera kasih kabar.""Oke. Selamat sore. Saya hanya bisa memberi doa terbaik untuk kalian. Salam buat Bang Rafael dan peluk cium buat Jagoan. Ingat, ada saya dan Lastri buat kalian!""Nanti saya sampaikan salamnya. Terima kasih banyak atas support dari kalian berdua. Selamat sore juga."Hubungan telepon berakhir. Sabrina menatap Ambar dengan rasa curiga. "Beneran Bang Reno?"Ambar menganggukkan kepala dengan wajah sedih. Sabrina yang paham kondisi si sahabat langsung memeluknya. "Yang sabar, ya. Gue janji akan selalu ada buat lu. Gue yakin, lu, Brian dan Bang Rafael adalah orang-orang pilihan. Kalian pasti bisa lewati segala ujian dengan baik.""Thanks so much, Sabri. Lu selalu ada untuk kami. Gue pamit dulu. Mau sekalian terapi buat Brian.""Ayo, gue anter sampe depan. Gue mau sapa dikit Brian," ucap Sabrina sambil merangkul Ambar.Kedua wanita beranjak menuju beranda. Saat mereka datang, Rafael sedang memunguti beberapa bagaian ru
"Mau diperiksa ...," Brian berlari menangis menghadap tembok.Ambar berjalan mendekati anaknya lalu berkata,"Mama percaya kalo jagoan Mama gak lupa pesan Pak Dokter. Brian habis operasi dan yang boleh periksa hanya Pak Dokter doang.""Iya, Ma. Brian pengen kue cokelat itu.""Kita ke bakery saja. Nanti cari kue cokelat yang sama, pasti ada," ucap Ambar merayu Jagoan."Gak ada yang kayak gitu, Ma," ucap Brian sambil membalikkan badan."Kayak brownies?"tanya Ambar yang semakin penasaran. Wanita berkaki jenjang ini yakin, ada sesuatu yang disembunyikan oleh anaknya."Lain, Ma. Kuenya gak dibungkus plastik bening. Pokoknya Brian mau ketemu Om Toni. Tapi, Om bilang gak boleh orang lain tahu."Begitu mendengar ucapan Brian barusan, Rafael segera telepon Bang Reno. Pria berdarah Latin ini agak menjauh untuk berkomunikasi. Sementara Ambar dan Sabrina sibuk mengorek keterangan dari Brian. Sekitar sepuluh menit kemudian, Rafael telah kembali dengan senyum tipis."Bagaimana, Bang?"tanya Ambar den
"Baik, saya tunggu. Kebetulan di depan rumah sakit ada tempat ngopi favorit saya. Kita bisa ngobrol di sana.""Baik, Bang. Nanti saya kasih kabar lagi."Hubungan telepon diakhiri oleh Rafael. Ponsel langsung dimasukkan kantong celana."Ada kabar apa dari Bang Reno, Honey?"tanya Ambar dengan pandangan menyelidik."Titip jagoan ke Bapak dulu. Kita ngobrol dengan Bang Reno,"balas Rafael."Oke, aku bilang Bapak dulu. Aku liat tadi di sini ada beberapa ART dan tukang kebun. Brian pasti senang banyak teman. Habis tuh, kita bikin liburan bersama Bapak," jelas Ambar yang melihat keadaan dalam ruang tamu."Ide bagus. Buruan pamit Bapak."Ambar gegas masuk rumah lalu berbicara sebentar dengan Tuan Gerry dan Brian. Keduanya tidak keberatan ditinggal oleh Ambar. Dalam otak wanita ini hanya fokus ke sesuatu yang telah dilakukan oleh driver dan juga wujud roti cokelat yang dimau oleh Brian.Ambar ke beranda ditemani Brian dan Tuan Gerry. Rafael mendekat lalu agak membungkuk di depan Tuan Gerry."Ka
"Oh, gitu. Tuan Gerry masuk kamar bedah bersamaan dengan Bang Rafael yang keracunan.""Serius, Bang Reno?"tanya Ambar dan Rafael bersamaan."Iya. Setelah Bang Rafael pulang. Tuan Gerry masih menginap semalam di rumah sakit," jelas Bang Reno."Bapak bilang ke aku cuma kecapekan. Kenapa gak terus terang, ya? Berarti Bapak sudah tahu soal Miss. Clarisa hamil?""Tahu, Mbak. Beliau yang mengutus tangan kanannya untuk memberikan surat keterangan dokter ke penyidik.""Bapak tampak tenang banget. Gak ada panik sedikit pun," balas Ambar sambil menoleh ke arah Rafael seakan-akan minta persetujuan atas ucapannya."Saya semula juga menduga Bapak gak tau soal ini. Salah perkiraan rupanya," sahut Rafael untuk mendukung argumen Ambar.Bang Reno tersenyum tipis lalu merenung sejenak. Saat pria berbadan gempal itu akan bersuara, waitress datang membawa pesanan. Akhirnya ucapan terjeda. Ketiga orang sibuk ikut menata makanan dan minuman yang disajikan oleh dua orang waitress."Silakan menikmati hidanga
"Angel!"panggil Rafael yang segera meraih pinggang wanitanya. Ambar tersenyum menggoda sambil berbisik,"Kita lanjut di dalam, Honey."Rafael buru-buru membuka akses masuk. Begitu mengingat dalam ruangan, kedua tangannya segera membopong tubuh Ambar ke arah kamar.Beberapa langkah kakinya berjalan, Rafael masuk kamar dengan dada turun naik. Ia taruh tubuh Ambar ke atas ranjang. Kemudian, ia membuka seluruh pakaian yang menutupi tubuh atletisnya.Pipi Ambar merona memanas menatap tubuh Rafael tanpa sehelai benang pun berdiri tepat di depannya. Wanita ini baru sadar bahwa Rafael memang setampan dan segagah itu. Pria bersorot mata tajam dengan dua biji manik hazel, garis wajah tegas yang mengitimidasi, hidung mancung dan semua bulu halus yang melekat di dagu serta dada bidang. Perpaduan tampak sempurna di mata Ambar saat ini yang tengah mabuk dibuai hasrat. Kini Rafael tepat berada di atas tubuh Ambar dan mengukungnya. Ia melucuti semua pakaian yang menempel di tubuh Ambar satu persatu.
"Ada sebulan yang lalu. Kebetulan ada teman baru buka klinik kecantikan," jelas Ambar yang berdiri lalu mematutkan diri depan cermin. Rafael yang masih menginginkannya memeluk pinggang Ambar lalu mencium lehernya."Honey, ayo buruan siap-siap," ucap Ambar mengingatkan prianya."Will you marry me, Angel?"tanya Rafael sambil mengeluarkan kotak cincin dari dalam saku celana. Ambar yang terkejut langsung balik badan. Rafael segera jongkok sambil mengulurkan kotak dalam keadaan terbuka. Ambar tersenyum lalu berucap,"Yes, of course, my Hero."Rafael berdiri lalu memakaikan cincin ke jari manis Ambar. Keduanya berpelukan untuk beberapa saat. "Aku akan menjaga kalian seumur hidup,"ucap Rafael lirih lalu mengecup pipi Ambar sekilas."Terima kasih, Honey."Mereka mengurai pelukan dengan senyum lebar menghias bibir. Kemudian mereka keluar ruangan dengan berangkulan. Saat mereka sampai lift, ponsel Ambar berdering. Wanita ini buru-buru mengambil dari dalam tas. Dalam pikiran ada dua kemungkinan,