Tawa Rafael bagi Ambar sebagai ungkapan kebahagiaan karena telah melewati begitu banyak cobaan. Namun, nyatanya bagi pria tampan ini adalah sebuah penyesalan karena tidak sempat menemui Bu Retno untuk ucapkan rasa terima kasih telah menjaga Ambar dan Brian untuknya."Papa abis ketemu Nenek bareng Kakek? Kok enggak ajak-ajak Brian? Brian kangen sama Nenek. Papa jemput kita, ya?" Rafael yang mendengar pertanyaan Brian, membuat bayang-bayang kedua mayat wanita kembali berkelindan di kepalanya. Kabut berair menutupi mata Rafael. Seketika rasa sesak itu menghujam dada. "Ya, Jagoan. Siap-siap Papa jemput."Rasa sesak mendera dada Rafael. Napas pria itu tercekat dan jantungnya serasa berhenti berdetak. Seketika rasa nyeri di perut semakin terasa membuat Rafael meringis. Hanya satu yang pasti, dirinya harus segera minum obat penenang. Obat yang telah lama ditinggalkan karena kondisi kejiwaannya telah stabil. Kini, rasa trauma yang berdiam kala disekap penculik kembali membuat Rafael sakit.
"Apa dibilang sama Sabrina saat si jagoan tanya kita?""Miss. Sabrina bilang kita sedang jemput Ibu ke bandara."Setelah Ambar mendengar ucapan Rafael barusan, air mata kembali deras mengalir."Gak usah nangis lagi! Kasian Ibu jadi berat dalam perjalanan ke sana.Yuk, kita antar Ibu dengan rasa ikhlas," ucap Rafael yang langsung ditanggapi oleh Ambar dengan senyum tipis.•••~•••~•••Seusai acara pemakaman, Rafael memboyong Ambar ke apartemen. Hal tersebut dilakukannya demi menenangkan hati Ambar dan juga agar Brian tak syok. Secara para pelayat pada berdatangan dan juga karangan bunga sebagai ungkapan belasungkawa tiada pernah berhenti dikirim dari para keluarga, kerabat dan kolega.Secara psikis Ambar masih cukup kuat menghadapi kenyataan bahwa sang ibu meninggal dunia karena ditembak. Yang membuat tak habis pikir oleh Ambar, bagaimana bisa Clarisa bisa setega itu melakukannya? Wanita itu telah membantu keluarga yang terpisah sekian puluh tahun bertemu lagi. Dia pula yang berhasil men
"Pamit sama Mama dan Tante Sabrina dulu.""Mama, Brian jalan-jalan sama Papa dulu, ya," ujar si pria kecil lalu mencium punggung tangan Ambar. Setelah itu, Brian menggandeng tangan papanya dan siap pergi."Pamit ke Tante Sabrina juga, dong!"pinta Ambar."Ogah!"seru Brian yang langsung menarik lengan Rafael. Pria berdarah Latin yang melihat perilaku sang bocah segera meminta maaf terhadap Sabrina dengan menjura. Hal tersebut ditanggapi Sabrina dengan tersenyum lalu menganggukkan kepala.Sepeninggal bapak dan anak, kedua wanita duduk di kursi teras berniat membahas kejadian yang baru saja dialami oleh Brian."Sabri, ada apa dengan anak gue?"tanya Ambar yang tidak sabar untuk mendapat kejelasan. Sabrina tersenyum tipis lalu menutup mulut sebentar. Wajah wanita bermata sipit ini, tampak bingung."Sab, ayo, ngomong aja! Gue gak apa, kok," desak Ambar kepada sahabatnya itu."Gue tuh, bingung. Meski dari mana ceritanya. Yang bikin nyesek, gue ajak Brian, maksudnya biar dia gak syok. Ini mala
"Baik, Bang. Begitu siap kasih keterangan, saya akan segera kasih kabar.""Oke. Selamat sore. Saya hanya bisa memberi doa terbaik untuk kalian. Salam buat Bang Rafael dan peluk cium buat Jagoan. Ingat, ada saya dan Lastri buat kalian!""Nanti saya sampaikan salamnya. Terima kasih banyak atas support dari kalian berdua. Selamat sore juga."Hubungan telepon berakhir. Sabrina menatap Ambar dengan rasa curiga. "Beneran Bang Reno?"Ambar menganggukkan kepala dengan wajah sedih. Sabrina yang paham kondisi si sahabat langsung memeluknya. "Yang sabar, ya. Gue janji akan selalu ada buat lu. Gue yakin, lu, Brian dan Bang Rafael adalah orang-orang pilihan. Kalian pasti bisa lewati segala ujian dengan baik.""Thanks so much, Sabri. Lu selalu ada untuk kami. Gue pamit dulu. Mau sekalian terapi buat Brian.""Ayo, gue anter sampe depan. Gue mau sapa dikit Brian," ucap Sabrina sambil merangkul Ambar.Kedua wanita beranjak menuju beranda. Saat mereka datang, Rafael sedang memunguti beberapa bagaian ru
"Mau diperiksa ...," Brian berlari menangis menghadap tembok.Ambar berjalan mendekati anaknya lalu berkata,"Mama percaya kalo jagoan Mama gak lupa pesan Pak Dokter. Brian habis operasi dan yang boleh periksa hanya Pak Dokter doang.""Iya, Ma. Brian pengen kue cokelat itu.""Kita ke bakery saja. Nanti cari kue cokelat yang sama, pasti ada," ucap Ambar merayu Jagoan."Gak ada yang kayak gitu, Ma," ucap Brian sambil membalikkan badan."Kayak brownies?"tanya Ambar yang semakin penasaran. Wanita berkaki jenjang ini yakin, ada sesuatu yang disembunyikan oleh anaknya."Lain, Ma. Kuenya gak dibungkus plastik bening. Pokoknya Brian mau ketemu Om Toni. Tapi, Om bilang gak boleh orang lain tahu."Begitu mendengar ucapan Brian barusan, Rafael segera telepon Bang Reno. Pria berdarah Latin ini agak menjauh untuk berkomunikasi. Sementara Ambar dan Sabrina sibuk mengorek keterangan dari Brian. Sekitar sepuluh menit kemudian, Rafael telah kembali dengan senyum tipis."Bagaimana, Bang?"tanya Ambar den
"Baik, saya tunggu. Kebetulan di depan rumah sakit ada tempat ngopi favorit saya. Kita bisa ngobrol di sana.""Baik, Bang. Nanti saya kasih kabar lagi."Hubungan telepon diakhiri oleh Rafael. Ponsel langsung dimasukkan kantong celana."Ada kabar apa dari Bang Reno, Honey?"tanya Ambar dengan pandangan menyelidik."Titip jagoan ke Bapak dulu. Kita ngobrol dengan Bang Reno,"balas Rafael."Oke, aku bilang Bapak dulu. Aku liat tadi di sini ada beberapa ART dan tukang kebun. Brian pasti senang banyak teman. Habis tuh, kita bikin liburan bersama Bapak," jelas Ambar yang melihat keadaan dalam ruang tamu."Ide bagus. Buruan pamit Bapak."Ambar gegas masuk rumah lalu berbicara sebentar dengan Tuan Gerry dan Brian. Keduanya tidak keberatan ditinggal oleh Ambar. Dalam otak wanita ini hanya fokus ke sesuatu yang telah dilakukan oleh driver dan juga wujud roti cokelat yang dimau oleh Brian.Ambar ke beranda ditemani Brian dan Tuan Gerry. Rafael mendekat lalu agak membungkuk di depan Tuan Gerry."Ka
"Oh, gitu. Tuan Gerry masuk kamar bedah bersamaan dengan Bang Rafael yang keracunan.""Serius, Bang Reno?"tanya Ambar dan Rafael bersamaan."Iya. Setelah Bang Rafael pulang. Tuan Gerry masih menginap semalam di rumah sakit," jelas Bang Reno."Bapak bilang ke aku cuma kecapekan. Kenapa gak terus terang, ya? Berarti Bapak sudah tahu soal Miss. Clarisa hamil?""Tahu, Mbak. Beliau yang mengutus tangan kanannya untuk memberikan surat keterangan dokter ke penyidik.""Bapak tampak tenang banget. Gak ada panik sedikit pun," balas Ambar sambil menoleh ke arah Rafael seakan-akan minta persetujuan atas ucapannya."Saya semula juga menduga Bapak gak tau soal ini. Salah perkiraan rupanya," sahut Rafael untuk mendukung argumen Ambar.Bang Reno tersenyum tipis lalu merenung sejenak. Saat pria berbadan gempal itu akan bersuara, waitress datang membawa pesanan. Akhirnya ucapan terjeda. Ketiga orang sibuk ikut menata makanan dan minuman yang disajikan oleh dua orang waitress."Silakan menikmati hidanga
"Angel!"panggil Rafael yang segera meraih pinggang wanitanya. Ambar tersenyum menggoda sambil berbisik,"Kita lanjut di dalam, Honey."Rafael buru-buru membuka akses masuk. Begitu mengingat dalam ruangan, kedua tangannya segera membopong tubuh Ambar ke arah kamar.Beberapa langkah kakinya berjalan, Rafael masuk kamar dengan dada turun naik. Ia taruh tubuh Ambar ke atas ranjang. Kemudian, ia membuka seluruh pakaian yang menutupi tubuh atletisnya.Pipi Ambar merona memanas menatap tubuh Rafael tanpa sehelai benang pun berdiri tepat di depannya. Wanita ini baru sadar bahwa Rafael memang setampan dan segagah itu. Pria bersorot mata tajam dengan dua biji manik hazel, garis wajah tegas yang mengitimidasi, hidung mancung dan semua bulu halus yang melekat di dagu serta dada bidang. Perpaduan tampak sempurna di mata Ambar saat ini yang tengah mabuk dibuai hasrat. Kini Rafael tepat berada di atas tubuh Ambar dan mengukungnya. Ia melucuti semua pakaian yang menempel di tubuh Ambar satu persatu.
"Bar, buruan!"seru Sabrina yang telah ambil alih kursi roda. Ia telah berjalan mengikuti Tuan Farel dan Ambar masih berdiri melamun.Ambar seketika tersadar dari lamunan. "Oh, ya, ya. Yuk."Kedua wanita berjalan buru-buru menuju ruang perawatan. Gerak-gerik keempat orang di taman tadi telah diawasi oleh salah seorang bodyguard Tuan Gerry. Pria ini segera mengambil ponsel dari dalam saku celana lalu menelepon seseorang. Beberapa saat, ia mendengarkan ucapan dari ujung telepon."Mereka berencana shopping," ucap pria kekar tersebut kepada lawan bicaranya. Sementara itu, Tuan Farel yang sedang merebahkan tubuh Brian di pembaringan mendengar ponselnya berdering. Ia mengusap rambut Brian lembut sambil berbisik ke telinga si bocah. "Om akan jaga kamu, Superboy. Harus semangat untuk sehat."Pria ini lalu mengecup kening Brian. Saat ia menyelimuti tubuh si bocah, kedua wanita baru saja masuk ruangan. Pemandangan di depan mata, membuat kedua wanita semakin terharu. Tuan Farel segera menyadari k
"Coba kamu tanya ke Tuan Farel," saran Ambar kepada si bocah."Tuan Farel owner-nya?"tanya Sabrina dengan antusias."Bukan. Ia yang dipercaya oleh owner untuk mengelola tempat ini. Dan, kita telah diizinkan untuk tinggal di sini sampai Brian sembuh," jelas Ambar sengaja berbohong demi kebaikan bersama."Wah, sangat menyenangkan sekali. Liat, tuh, anak lu kerasan di sini," balas Sabrina. Ambar tersenyum lebar melihat Brian yang kembali ceria. Padahal sebelumnya, si bocah dalam keadaan kacau. Bahkan ia sempat berpikir untuk bunuh diri ke Hutan Aokigahara segala."Bagus, dong. Kalo Jagoan kerasan di sini. Mama tadi sudah bilang ke Tuan Farel dan lebih keren lagi, kamu bilang langsung,"ucap Ambar kepada Brian."Ya, Brian mau,"kata si bocah bersemangat. Ambar bahagia sekali mendapati anaknya yang penuh semangat. Ia bangkit lalu memeluk jagoan lalu mencium kedua pipinya. Tidak ada kebahagiaan yang ingin dirasakan selain kesembuhan bagi Brian."Cepat sembuh, Jagoan!" Ambar bertambah besar ha
"Kamu suka, Sayang?"tanya Tuan Farel sambil membuka blus Ambar. Kini tampak dua gundukan berbalut bra berenda. Ambar yang mulai mengikuti permainam sang pria.Jemari lentiknya mengusap lembut milik Tuan Farel yang telah membuat penasaran. Pasangan ini bergantian memberi usapan, jilatan bahkan remasan di beberapa bagian sensitif."Farel, Sayang!"panggil Ambar di antara desah dan jerit tertahan."Iya, Sayang. Nikmati, ya,"ucap Tuan Farel sambil mengusap lembut bibir Ambar.Mereka yang telah memanas akhirnya berpacu saling memuaskan. Keduanya bersamaan telah lunglai di atas pembaringan. Ambar pun baru sadar bahwa dirinya belum belanja pakaian."Oh my God!"jerit Ambar sambil membebat tubuhnya dengan selimut."Ada apa, Sayang?"tanya Farel yang buru-buru memakai hanfu. Kemudian ia duduk di pembaringan lalu membenahi anak rambut di wajah Ambar."Honey, aku belum belanja baju. Kamu tahu sendiri, kan. Kami berangkat tanpa persiapan. Gimana, dong?" Ambar menatap Farel dengan wajah sedih.Farel t
Benar saja, dugaannya memang tepat. Petugas informasi memberikan sebuah denah untuk menuju ruang staf khusus. Ambar sedikit curiga dengan dua petugas tersebut yang saling berbisik lalu tertawa kecil.Ambar tidak ambil pusing tentang hal tersebut. Ia langsung mencari keberadaan tempat Tuan Farel dengan berbekal selembar denah. Wanita berkaki jenjang ini kembali menyusuri koridor lalu mengikuti arah pada denah.Tak butuh waktu lama untuk mencari tempat Tuan Farel. Letak ruangannya terdapat di lantai dua dan lebih mengherankan, di sini tidak ada lift. Seluruh bangunan dan fasilitas yang terdapat di dalamnya bernuansa klasik.Kini, kedua kaki Ambar telah berdiri tepat depan sebuah ruangan yang ditunjuk oleh petugas informasi sebagai tempat Tuan Farel. Sebuah plang bertuliskan aksara Hanzi. Ambar mengetuk daun pintu kayu berukir. Ia mengetuk sampai ketiga kali pun tidak ada yang membuka pintu.Ambar pun merasa konyol setelah melihat ada sebuah lonceng kecil di sisi kanan pintu. Wanita ini
Tempat rehabilitasi ini dibangun di atas bukit. Sebagian besar bangunan disusun dari papan kayu dan beratap rumbia. Beberapa pohon cemara berdiri mengelilingi bangunan ini. Samar-samar terdengar gemericik air terjun dan suara aliran sungai."Pasti sedang jatuh cinta dengan tempat ini,"ucap Tuan Farel mengagetkan Ambar yang sedang fokus melihat sekeliling.Ambar seketika menoleh dan langsung terpana dengan penampilan pria di sebelahnya. Ambar pun jadi salah tingkah. "Tuan Farel. Iya."Pria gagah dengan rambut cepak layaknya anggota militer tersenyum manis. Dua ceruk menghias pipi. Ambar baru sekarang benar-benar mengagumi sosok pria. Pesona pria di depannya berhasil memporak-porandakan otak dan hatinya."Pusat rehabilitasi ini sengaja dibangun di daerah sini karena faktor lingkungan yang masih alami. Hal tersebut dipercaya bisa menunjang kesembuhan para pasien." Tuan Farel menjelaskan dengan pandangan lepas ke bukit. Ambar hanya mengangguk-angguk mendengar penjelasan dari pria di sampi
"Terima kasih kembali, Nak. Anggap ini sebagai penebus dosa-dosa Bapak."Begitu mendengar ucapan Tuan Gerry, Ambar tidak bisa berkata-kata lagi. Air mata membasahi sudut mata lalu ke arah pipi. Ada rasa sesak karena harus merelakan nasib Rafael ke tangan pihak interpol. Ia harus kehilangan Rafael untuk kedua kalinya dan ini benar-benar menyakitkan.Pria yang diharapkan akan menjadi pendamping hidup untuk rangkaian perjalan hidup dia dan Brian. Ternyata telah menjadi seorang penjahat internasional. Ambar menangis sesenggukan."Ambar, relakan semua,"ucap Sabrina sambil menggenggam jemari sang sahabat. Sementara air mata tidak berhenti mengalir dari pelupuk mata Ambar. Sabrina membiarkan saja agar rasa sesak di dada Ambar segera lenyap.Mobil telah memasuki area bandara udara dan Ambar masih sesenggukan. Tiba-tiba Sabrina menyadari sesuatu. "Ambar, kita kaga bawa baju ganti.""Gak perlu khawatir soal baju dan lain-lain. Di sana banyak pilihan,"sahut Geo dari balik kemudi. Pria ini mengar
Sabrina memasukkan ponsel ke saku celana. Ia menatap depan, pada saat pintu terbuka dan Ambar telah tersenyum di depan Sabrina."Buruan keluar! Gue mau ngajak lu ngobrol." Sabrina menarik tangan Ambar.Wanita berkaki jenjang ini merasa, ada yang aneh dengan perilaku sahabatnya. Kemudian, dirinya keluar dari ruang dokter."Ada apa, sih?"tanya Ambar sambil menatap Sabrina dengan kesal."Kita ngobrol di taman,"ucap Sabrina sambil menyeret tangan soulmate-nya.Kedua wanita berjalan terburu-buru menuju taman. Di salah satu bangku taman yang agak tersembunyi dan teduh, mereka mengambil tempat."Lu dicariin Om Gerry. Sebentar." Sabrina segera melakukan panggilan ke nomor bapaknya Ambar."Oh my God! Gue kaga liat hape dari tadi," sahut Ambar yang seketika mengambil ponsel dari dalam tas. Betapa kaget Ambar. Begitu membuka ponsel, tampak di layar tertera notifikasi panggilan telepon dan pesan dari beberapa nomor kontak, termasuk dari Tuan Gerry. Bapaknya telah menelepon sebanyak sepuluh puluh
"Brian pengen sembuh,"ucap si bocah dengan kedua mata berkaca-kaca. Seketika ada rasa nyeri menikam hati Ambar. Ucapan Brian membuatnya ingin menangis, tetapi ditahan sekuat tenaga."Maka dari itu makan dan minum yang banyak terus teratur minum obat. Pasti sembuh. Semangat!""Tapi, Ma. Badan Brian lemes banget,"ucap si kecil lirih. Tiba-tiba tubuh Brian kejang. Ambar pun panik."Sayang, Brian!"teriak Ambar histeris. Dirinya telah mengalami masa sulit dua tahun belakangan. Bagi dia saat ini yang terpenting dalam hidupnya adalah putra semata wayangnya Brian. Ambar melihat putranya seperti orang sekarat. Tangan buru-buru menekan tombol darurat.Sabrina yang berada di depan ruangan segera masuk karena mendengar jerit histeris Ambar. Tak berapa lama, dua orang perawat datang untuk memeriksa keadaan Brian. Ambar dan Sabrina menunggu di luar ruangan.Seorang dokter datang lalu menyapa kedua wanita. Kemudian pria berjas putih tersebut masuk ruangan. Rafael seakan-akan tahu keadaan Brian. Pr
"Belum ada, Mbak. Saya juga harap-harap cemas ini. Minta doanya, Mbak.""Pasti aku doakan yang terbaik, Bang. Semoga rekaman CCTV bisa membantu pengungkapan kasus. Sayangnya, kamera bagian samping sengaja dirusak pelaku. Cuma ada rekaman bagian beranda, dalam dan lantai atas.""Kami sudah ada rekaman CCTV dari sekitar TKP, Mbak.""Soal Bu Nur sudah diselidiki?""Bu Nur terindikasi jadi bagian komplotan kejahatan tersebut.""Oh my God! Pantas saja dia berani nyusup ke rumah Bapak,"ucap Ambar dengan raut wajah kaget. Dia tidak menyangka jika wanita separuh baya yang terlihat polos itu punya niat jahat."Saya mau cari sendiri keberadaan Dek Lastri, Mbak. Lama nungguin polisi," balas Bang Reno. Raut kesedihan terlihat jelas di wajahnya. Ambar tidak ingin membahas hal itu lagi. Ia datang ke kantor polisi guna memberi tambahan informasi serta menyerahkan rekaman CCTV.Ambar memberikan rekaman CCTV dari tempat usahanya dan juga kediaman Tuan Gerry. Dari rekaman CCTV pula, akhirnya Ambar tahu