Aku meraup udara sebanyak yang aku bisa. Mengeluarkan sesak sekaligus membulatkan tekad untuk bangkit melawan mereka yang telah berlaku dzalim terhadapku.
Aku bangkit berdiri, lantas keluar kamar menuju kamar mandi di samping kiri kamarku. Bergegas membersihkan diri meski hari masih terlalu pagi. Karena baju atasku basah akibat siraman air oleh Risma tadi, aku memutuskan untuk mandi sekalian.Tak butuh waktu lama, aku segera mengakhiri ritual mandi di pagi buta ini. Berdiri di depan lemari yang menyimpan semua bajuku dan baju nenek.Begitu aku selesai memakai bajuku, pandangan mataku tertuju pada trap paling atas. Dimana, di sana berisi semua dokumen tentang diriku. Gegas aku mengeluarkan semua isinya, berniat melihat dan memastikan siapa diriku melalui surat-surat itu. Yang pertama aku ambil adalah map bening berisi semua raport dan ijazah dari TK hingga SMA, kartu keluarga asli, beberapa piagam dan tentu akte kelahiranku.Mataku dengan awas meneliti setiap nama yang tertera dalam akte kelahiranku. Di sana tertulis nama AZZAHRA ADINDA yang lahir pada hari Senin tanggal 10 Mei 1995 dari seorang ibu bernama NENI HARYATI. Itu artinya aku memanglah anak kandung Ibu meski tak ada nama ayahku tertulis di sana. Menurut nenek, ayah meninggal kala aku masih 2 bulan dalam kandungan Ibu. Karena waktu itu, pernikahan Ibu dan Ayah hanya pernikahan siri dan tidak tercatat di KUA, maka nama Ayahku tidak tertulis dalam akte kelahiranku. Setidaknya itu yang aku percayai sejak aku masih kecil hingga kini.Namun, dalam akte kelahiran itu tertulis nama pemerintah Pekalongan, sebuah kota di Jawa Tengah, sebagai wilayah terbitnya akte kelahiranku. Itu artinya, aku lahir di kota Pekalongan dan mungkin saja nenek membawa kami hijrah ke kota ini, sebab yang aku tahu sejak kecil aku sudah berada di rumah ini.Tanganku terulur meraih sebuah kartu keluarga dimana tertulis nama nenek dan namaku saja di sana. Tidak ada nama lain selain kami. Miris! Itu yang kini aku sadari. Bahkan, sejak masih kecilpun namaku tak Ibu ijinkan untuk bersanding dengan namanya. Seingatku, sedari masih bayi aku selalu bersama nenek. Bahkan, sekolah pun nenek yang mengurus semua administrasinya. Nenek juga yang akan datang ke sekolah jika raport dibagikan dan acara apapun neneklah yang selalu ada untukku. Nenek bukan orang kaya, tetapi juga bukan orang yang susah banget. Nenek memiliki toko kelontong yang lumayan besar, bahkan ketika aku SD saja semua temanku selalu iri karena aku tak harus keluar uang untuk beli jajan. Aku masih ingat, saat itu aku kelas 3 SD. Saat Ibu membawa seorang lelaki ke rumah dan tak lama setelah itu mereka menikah. Lelaki yang akhirnya menjadi ayahku itu bernama Santoso Hadi, kerap dipanggil Hadi oleh Nenek. Sejak saat itu, Ibu diboyong untuk tinggal dengannya di kampung yang berbeda kecamatan. Tak terlalu jauh dari sini, hanya sekitar 40 menit saja berkendara. Ayah Hadi, sosok yang pendiam, bahkan hanya sesekali saja ia bertegur sapa denganku. Meski begitu, beliau sangat baik menurutku. Jika datang berkunjung ke rumah, beliau selalu membawakanku beberapa baju baru dan alat sekolah. Beliau juga sering mengirimkan makanan dan mainan untukku ke rumah. Tak jarang juga memberiku uang jajan yang lumayan banyak untuk ukuran anak SD. Hanya saja, aku tak diijinkan ikut bersama beliau atas larangan Ibu. Entahlah, sejak kecil tak sekalipun Ibu bicara padaku. Bahkan tak menganggapku ada.Hingga pada waktu aku kelas 3 SMP, Ibu kembali ke rumah Nenek dengan dua adikku. Raka berusia 9 tahun dan Risma berusia 7 tahun. Mereka bertengkar hebat di rumah. Teriakan Ibu dan segala umpatan nyaring terdengar memenuhi gendang telinga. Aku yang sudah remaja kala itu sudah tahu apa yang mendasari pertengakaran mereka. Rupanya, ayah Hadi telah memiliki istri sebelum memperistri Ibu. Bahkan sudah memiliki seorang anak yang berusia 3 tahun diatasku. Sejak peristiwa itu, ayah Hadi tak pernah datang lagi dan Ibu kembali tinggal bersama kami dengan dua adikku ikut serta.Tanpa terasa mataku menghangat menatap lembaran kertas berisi namaku dan nama nenek saja itu. Ingatanku berkelana pada masa lalu yang teramat menyedihkan. Segera aku menggelengkan kepala demi untuk membuyarkan segala ingatan masa lalu itu. Aku harus fokus mencari apa yang aku cari.Saat kembali meraih tumpukan kertas dari dalam kardus, tanganku tak sengaja menarik kertas yang terbungkus kantong plastik berwarna putih susu. Karena penasaran, aku segera membukanya. Namun lagi-lagi aku kecewa, rupanya hanya sebuah album foto usang yang hanya berisikan fotoku dan nenek saja.Merasa kecewa dan tak menemukan petunjuk berarti, mataku kembali tertuju pada pintu lemari di sisi kanan. Dimana, semua baju dan barang mendiang nenek masih tersimpan rapi di sana. "Kenapa tak mencoba mencari sesuatu di sana. Siapa tahu ada petunjuk tentang semua ini." ucapku dalam hati.Segera aku putar anak kunci dan membuka pintunya. Selama ini tak sekalipun aku membuka lemari berisi pakaian dan barang-barang nenek, terlebih setelah beliau tiada.Mataku menyusur trap demi trap tumpukan baju yang tersusun begitu rapi itu. Tak ada yang aneh menurutku. Lantas, aku sedikit berjinjit menggapai trap paling atas yang berisikan beberapa barang nenek yang sudah beliau kemas dalam kardus.Perlahan demi perlahan aku keluarkan kardus bekas air mineral kemasan itu. Setelah kardus pertama berhasil aku letakkan di lantai, kembali aku mengeluarkan semua isi lemari trap paling atas tersebut hingga benar-benar kosong.Aku duduk bersila menghadap beberapa tumpukan barang milik mendiang nenek. Tanganku dengan cekatan membuka segel berupa solatip bening yang mengitari setiap sisi kardus. Begitu terbuka, rupanya kardus itu berisi tumpukan kertas dan fotocopyan dokumen-dokumen.Helai demi helai aku buka dan aku perhatikan dengan seksama isinya. Lembaran kartu keluarga, ijazah, berbagai surat keterangan yang didominasi oleh dokumen milikku. Aku menghela nafas besar, rupanya tak ku temukan petunjuk di kardus pertama.Tanganku beralih pada kardus kedua, yang aku perkirakan isinya hampir sama. Helai demi helai kertas-kertas itu aku baca dan amati. Hingga hampir habis pun masih tak kutemukan sesuatu yang bisa menolongku. Aku tak menyerah begitu saja. Masih terus mengeluarkan satu persatu isi di dalam kardus itu. Hingga, sebuah kertas dengan isi tulisan hampir memenuhi lembaran kertas itu terlihat oleh mataku. Segera aku ambil dan aku baca isinya.Rupanya berisi tentang surat jual beli tanah, semacam surat perjanjian yang di sah-kan dengan materai 3000. Namun, yang menarik perhatian mataku adalah nama-nama yang tertera di sana.Ristiyah Arum, Beno Daruslan, Wakit Adian dan Nurdin. Dari nama-nama itu hanya Beno Daruslan dan Ristiyah Arum yang aku kenal. Ristiyah Arum adalah nama nenek dan Beno Daruslan adalah nama ayah dari Pak Bandi, ketua RW di komplek tempat tinggalku. Tanggalnya pun sudah sangat lama sekali yaitu 24 Januari 1997, itu artinya aku pun baru berusia 2 tahun. Segera aku singkirkan kertas itu, mana tahu itu merupakan salah satu petunjuk untukku mengetahui atas nama siapa kepemilikan rumah ini.Tanganku terus bergerak membongkar apa saja yang berada di dalam kardus itu hingga tumpukkan paling bawah terdapat sebuah map coklat mirip map untuk melamar pekerjaan yang dikunci dengan lilitan talinya. Setelah aku buka, aku menemukan dua buah buku tabungan lengkap dengan kartu ATMnya. Juga beberapa foto. Aku keluarkan semua dari dalam map itu dan betapa terkejutnya aku, dua buku tabungan atas nama Nenek dan selembar kertas tulisan tangan nenek. "Untuk Zahra, cucuku tersayang. Tabungan ini berisi sejumlah uang yang nenek kumpulkan dari hasil jualan, semua ini untuk Zahra. Dan satu lagi buku tabungan yang berwarna biru itu adalah kiriman uang dari ayah kandungmu." Gemetar tanganku membaca tulisan nenek. Bukan! Bukan tulisannya yang membuatku gemetar, melainkan kalimat tetakhirnya, ayah kandungku? Jadi selama ini ayah kandungku masih hidup? Siapa dia? Dimana dia? Apa yang sebenarnya terjadi? Bukankah nenek selalu mengatakan jika ayahku telah tiada?Tuhan, begitu banyak rahasia yang tak aku ketahui. Nek, kenapa nenek merahasiakan semua ini dari Zahra? Tabungan ini untukku? Ya Tuhan, bahkan ketika nenek membutuhkan biaya berobat tak sekalipun nenek memberitahuku akan tabungan ini. Selama nenek sakit, hanya mengandalkan sisa gajiku yang tak seberapa untuk berobat. Tak sekalipun Ibu mengeluarkan uang barang se-rupiah pun untuk membantu biaya berobat nenek, padahal toko kelontong yang kini kian besar dengan cabang dimana-mana itu Ibu yang kelola. Air mata luruh seketika membasahi kedua pipiku. Sesak dan sakit ketika ingat hari terakhir nenek di rumah sakit waktu itu. Aku yang sudah tak ada pegangan uang hanya mampu menangis di sudut kamar mandi karena tak mampu menebus obat nenek yang hanya 200 ribu saja. Hingga, jam 7 malam nenek menghembuskan nafas terakhirnya. "Kenapa, Nek? Kenapa Nenek gak kasih tahu Zahra kalau ada tabungan ini? Harusnya sekarang Nenek masih temani Zahra di sini, Nek!" isakku menahan sesak yang kian menghimpit dada.Cukup lama terisak hingga sesenggukan, mataku kembali tertuju pada beberapa lembar foto tadi. Aku mengamati satu per satu foto-foto diriku dan nenek waktu aku masih kecil. Ada juga diriku saat kelulusan SD, SMP dan SMA. Dan satu lagi foto seorang pria dengan menggendong seorang anak perempuan yang mungkin berusia sekitar 3 tahun. Tunggu! Anak perempuan itu?Aku?Iya, anak itu aku! Aku hafal dengan baju itu, aku juga memiliki fotoku dengan baju itu waktu kecil.Dan laki-laki ini, apakah ayahku? Wajahnya tak asing bagiku, tapi siapa? Sepertinya aku pernah bertemu dengannya, tapi dimana?Aku berusaha mengingat-ingat, namun hasilnya, nihil! Tak ku temukan ingatan tentang lelaki itu sedikit pun.Lagi aku mencari petunjuk lain, namun hasilnya tak ada lagi. Hanya selembar surat jual beli, buku tabungan serta foto ini saja. Harus kemana aku dengan petunjuk ini? Otakku berpikir keras, dan sebuah nama terlintas di kepalaku. Senyumku kembali terbit, harapan baru akan segera aku dapatkan, semoga aku segera mengetahui semua rahasia yang selama ini tak aku ketahui. Termasuk, kenapa Ibu kandungku tak menganggapku ada. Apakah ada salah dan dosaku yang membuatnya tak mau mengakuiku? Entahlah! Yang jelas aku harus cari tahu. Apapun hasilnya aku akan terima dengan lapang dada.🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻Tok tok tok!"Assalamualaikum!" Tak lama terdengar putaran anak kunci dibarengi jawaban salamku tadi."Walaikumsalam. .eh, Zahra!" Seorang wanita cantik menyambut kedatanganku dengan senyum manisnya, namanya Mbak Ika. "Iya, Mbak." ucapku membalas senyumnya."Masuk, yuk!" ajaknya.Aku mengekor sang empunya rumah masuk ke dalam. Mbak Ika mempersilahkanku duduk di sofa ruang tamu, sedangkan beliau berlalu ke dalam untuk membuatkan minum.Tak lama beliau kembali dengan 2 gelas berisi minuman berwarna hijau."Diminum, Ra! Udah lama loh kamu gak main ke sini. Sibuk ya?" ucapnya sembari menjatuhkan bobot di sebelahku."Masuk sore, Mbak! Kalau pagi, biasalah. .banyak tugas negara!" jawabku membuat pemilik lesung di kedua pipinya itu tertawa. Entah apa yang beliau tertawakan, nasibkukah? "Kamu ini! Dahlah, kalau gak sanggup tinggalin aja ke sini!" ucapnya di akhir tawa.Ya, beliau adalah salah satu orang yang paling tahu kehidupanku setelah nenek tiada. Mbak Ika adalah menantu Pak Bandi, r
Usai berbasa-basi sekedarnya, kami di jamu untuk makan siang lebih dulu sebelum Kakek Beno berbicara padaku 4 mata saja. Sesungguhnya rasa hati sudah tak sabar lagi, tapi mau bagaimana lagi. Aku tetap harus sabar demi mendapat informasi tentang diriku sendiri. Aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Aku harus mengorek informasi tentang diriku dari orang lain.Kami menikmati makan siang dengan hikmat, sesekali gelak tawa dari kami memenuhi ruang makan yang menyatu dengan dapur mewah ini. Kehangatan dan rasa kekeluargaan sangat terasa sekali, ada yang menghangat di hati ini. Ini untuk pertama kalinya aku merasakan layaknya memiliki keluarga yang utuh dan harmonis. Tante Maya dan Kakek Beno tak menganggapku orang lain, meski baru pertama kali aku datang kemari. Bahkan, anak kedua Tante Maya juga cepat sekali akrab meski baru beberapa menit yang lalu kami bertemu saat dia pulang sekolah.Usai makan dan sholat zuhur, di sinilah aku. Di teras belakang kamar Kakek Beno, duduk di kursi panjan
"Sertifikat rumah itu atas nama Arum. Tapi, dia sudah membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa setelah dirinya meninggal, sertifikat rumah itu harus dibalik menjadi namamu." ucap Kakek Beno membuat perasaanku seketika plong, itu artinya rumah itu benar menjadi hak milikku."Lalu dimana suratnya, Kek?" "Selama ini surat rumah itu ada pada Kakek. Makanya, setelah 7 hari Arum meninggal, Kakek segera urus balik nama surat rumah itu. Sekarang masih di kantor pengacara Kakek, kamu tenang saja, semua sudah berjalan seperti keinginan Arum." Aku tersenyum lega mendengar jawaban beliau."Senin besok biar sekalian dibawa sama Aksa, atau kamu mau ambil sendiri kemari?" "Gak usah, Kek. Sementara biarlah surat itu ada sama Kakek. Kakek tahu sendiri bagaimana tabiat Ibu dan Adik-adik Zahra. Kalau surat itu ada sama Zahra, Zahra takut tak bisa amanah, Kek." jawabku yakin, aku hanya takut Ibu dan kedua adikku akan merampas hak milikku. Biarlah sementara waktu ini mereka menikmati berada di ru
Saking gemetarnya aku sampai lupa menanyakan pin dari kartu tipis ini. Ah, tapi aku percaya jika pin kartu ini bukan kombinasi angka yang sulit sebab nenek adalah tipe orang yang tak mau ribet dengan angka-angka.Di sinilah aku sekarang. Di depan mesin canggih yang hanya dengan menekan angka maka dia akan mempermudah kita dalam bertransaksi.Meski sudah tahu jumlahnya di buku tabungan yang telah diperbaharui, tapi tetap saja aku harus memastikan lagi.Menarik nafas dalam-dalam dan segera memasukkan kartu itu pada tempatnya. Menekan beberapa digit angka yang merupakan kombinasi tanggal kelahiranku. Dan, berhasil hanya dalam satu kali tekan saja.Memilih menu informasi saldo dan terpampang dengan jelas 7 digit angka dengan diikuti 3 nol di belakangnya membuat keringat dingin merembes dari dahiku.Senang? Tentu saja, tapi rasa itu berbaur menjadi satu dengan perasaan heran dan penasaran akan sosok ayah kandungku. Aku memutuskan keluar tanpa transaksi lagi. Ataupun sekedar menarik bebera
Sejauh apapun kakimu melangkah pergi, tetap keluargalah tempatmu pulang.-Adinda Azzahra-Dering ponsel yang aku beli kemarin terdengar nyaring di gendang telingaku. Dengan berat aku mengulurkan tangan meraba di sela bantal. Begitu menyentuhnya, segera aku jawab panggilan itu tanpa melihat nomor siapa yang menghubungi."Hallo!" jawabku dengan suara berat."Hallo, Ra! Ini, Mbak Ika!" mataku membeliak mendengar suara Mbak Ika di seberang sana. "Kata Bang Aksa nanti jam 9 kamu ditunggu Bang Aksa di Bank. Suruh bawa buku tabungan sama KTP kamu yang asli." lanjutnya tanpa menungguku bersuara lebih dulu."Beneran, Mbak?" tanyaku memastikan."Iya, bener! Deposito Nenek kamu bisa langsung cair!" jawabnya meyakinkanku. Seketika kantuk yang mendera sirna sudah, tergantikan semangat yang luar biasa. Aku segera bangkit dan terduduk masih dengan ponsel yang menempel di telingaku."Alhamdulillah. ." gumamku bersyukur karena diberi kemudahan mengurus semuanya."Nanti Mbak Ika temanin ya?" pintaku.
Tepat pukul sembilan motor Var*o putih kesayanganku sudah terparkir cantik di halaman Bank BNI. Gegas aku menghampiri Bang Aksa yang sudah menunggu kedatanganku."Gimana, Bang?" tanyaku setelah berdiri di hadapan Bang Aksa."Beres! Yuk ikut Abang ke dalam!" jawabnya, aku mengangguk pasti kemudian mengekor Bang Aksa masuk ke dalam.Aku pikir, Bang Aksa akan mengambil nomor antrian lebih dulu. Tapi, rupanya Bang Aksa langsung masuk ke dalam sebuah ruangan berdinding kaca gelap tapi masih terlihat jelas seluruh isi ruangannya. Setelah berbicara pada security sebentar, Bang Aksa menoleh padaku."Ayo, Ra!" ucapnya lagi. Setelahnya, mengetuk pintu kaca itu. Mendengar ketukan di pintu, seorang lelaki mungkin seusia Bang Aksa dengan penampilan rapi khas pegawai Bank menoleh dan melambaikan tangannya isyarat mempersilahkan kami masuk."Hay, Bro!" sapa Bang Aksa pada lelaki itu yang aku tebak adalah teman Bang Aksa dari sapaannya yang begitu akrab."Dateng juga, Lu! Gimana kabar?" jawab lelaki
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Hasan, ada sesuatu yang terasa aneh dalam hatiku. Entah perasaan apa ini, aku pun tak dapat mendiskripsikannya dengan jelas.Hasan, pria yang mengaku mencintaiku dan bersedia menungguku. Nyatanya, hanya dalam hitungan kurang dari 4 bulan dari pernyataan cintanya, telah menambatkan hatinya pada wanita lain dalam ikatan sah secara agama dan negara. Ya, mereka telah resmi menikah satu minggu yang lalu. Parahnya, tanpa penjelasan apapun dari Hasan padaku. Ah, aku lupa jika aku bukan siapa-siapa untuknya. Jadi, untuk apa dia menjelaskan padaku, memangnya aku ini siapa? Ah, Zahra! Ingatlah siapa dirimu!Perasaan apa yang bergelayut di hati ini? Apakah cemburu? Tapi, aku rasa tidak. Lalu, marah? Entahlah, aku hanya merasa tidak dihargai oleh keputusannya. Tapi, ya sudahlah! Toh, memang aku sendiri yang meminta waktu 1 tahun kala itu. Mungkin memang dia bukan jodohku. Doa dan harapanku, semoga mereka bahagia dan berjodoh dunia akhirat. Juga aku berdoa
"Hei. .Siapa kamu?"Aku menelan salivaku susah payah. Gemetar seluruh tubuhku, jantungku berpacu cepat. Ya Tuhan, jangan sampai orang itu melihatku tadi keluar dari samping rumah."Hei, budeg ya? Kamu siapa?" ulangnya dengan menepuk bahuku.Mau tak mau aku menoleh ke arahnya, lelaki itu menatapku dengan intens. Lelaki jangkung di hadapanku ini adalah satu dari empat orang yang keluar dari mobil sedan yang terparkir di luar gerbang. "E- maaf, Bang! Saya cari Bu Rukayah, benar ini rumahnya, kan?" jawabku sedikit gemetar."Bu Rukayah? Bentar, gue tanyain dulu!" lantas pria itu masuk kembali tanpa curiga. Aku bernafas lega, itu artinya dia tadi tak melihatku keluar dari samping rumah. Tak lama pria itu kembali."Rumah Bu Rukayah di samping, bukan di sini!" jelasnya menunjuk rumah di samping kiri."Oh maaf, Bang! Kata orang tadi rumah ujung ini!" jawabku pura-pura kikuk."Hem!" dia mengangguk tanpa menyahut.Tak mau membuang waktu, aku segera keluar dari gerbang, berjalan dengan langkah l
"Dan jawaban untuk pertanyaanmu tadi adalah Ibu. . ."Aku mendongak menatap matanya yang masih basah, terdiam menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibir beliau."Ibu. .tak mungkin lagi bersama Ayahmu, Nak!""Kenapa, Bu?" lirihku sedikit kecewa."Ayah masih cinta Ibu, bahkan sampai hari ini Ayah masih menyimpan semua kenangan tentang Ibu!" ucapku berusaha menyakinkan Ibu. Ibu menoleh, menatap mataku dalam dan aku lihat sedikit senyum di bibirnya."Ayah ada di luar sekarang! Ingin bertemu juga dengan Ibu!" lanjutku."Tapi, Ibu merasa tak pantas untuknya! Ibu sudah sangat melukainya, bahkan Ibu punya anak dari lelaki lain. Tak mungkin rasanya Ayahmu masih cinta Ibu!" sanggahnya menunduk."Aku masih sangat mencintaimu, Neni!"Kami menoleh berbarengan dan kulihat Ayah telah berdiri di ambang pintu menatap kami sendu. Segaris senyum terbit setelah mata kami saling bertemu."Mas. . ." lirih Ibu pelan dan matanya tak lepas menatap Ayah.Ayah berjalan mendekat ke arah kami dengan kedua ja
Di sinilah kami sekarang, di depan bangunan toko yang nyaris tak pernah aku kunjungi selama ini karena sudah dikelola oleh Ibu.Kondisi toko lumayan ramai, meski tak sebesar toko yang di kelola Mbak Idah. Nampak beberapa pengunjung datang silih berganti, memang lokasi toko ini cukup strategis karena berada di tepi jalan kota yang ramai."Gimana, Yang, Yah?" tanya El sebelum kami memutuskan turun."Ayah, gugup!" jawab Ayah menatap lurus pintu kaca toko yang tertutup itu."Zahra juga, Yah! Tapi, kita tetap harus masuk ke dalam!" yakinku lagi.Setelah beberapa saat, kami akhirnya turun dan segera masuk ke dalam. Tak ku jumpai Raka di sana, hanya ada seorang kasir yang waktu itu sempat di pekerjakan Ibu di toko pusat. Aku memutuskan untuk bertanya saja padanya dan meninggalkan El serta Ayah di dekat pintu."Kamu-" ucapnya seperti tengah mengingat-ingat."Raka dimana?" tanyaku langsung dan mengabaikan tebakannya."Ada di atas ada perlu apa?" tanyanya sedikit ketus dan menatapku tak suka.A
Dua minggu berlalu dari acara resepsi super mewah itu. Siang ini, kami berencana pulang ke Semarang. Awalnya Kakek meminta kami untuk tinggal saja di sini tetapi dengan sungkan aku menolak karena masih ada Ibu yang menanti kedatanganku.Kakek, Tante Mayang, Damar dan Anggi melepas kami di bandara Hang Nadim untuk kembali ke Semarang.Tepat pukul 2 siang, pesawat lepas landas dan semakin meninggi meninggalkan kota kecil yang mengenalkanku kepada teh obeng ini.Batam, kota kecil dengan segala keindahannya. Sungguh aku jatuh cinta padanya dan suatu hari nanti aku akan putuskan untuk menetap di sini tapi tentu setelah tugasku selesai. Itu sudah aku bicarakan dengan suamiku dan tentu saja dia sangat mendukung.Selama di pesawat sudah tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan Ibu dan memeluk tubuhnya. Pun dengan Ayah, yang wajahnya kian berseri sejak pagi tadi. Beliau pun tak sabar untuk bertemu dengan sang ratu yang menghuni hatinya.Teringat kembali percakapan kami beberapa waktu lalu
Seluruh rangkaian acara resepsi pernikahan kami digelar begitu mewahnya, aku terkagum sekaligus masih tak menyangka akan jadi sebegitu mewah dan meriahnya acara ini.Awalnya aku pikir, resepsi ini hanya sekedar resepsi biasa layaknya resepsi yang pernah aku datangi kala di kampung. Namun rupanya, jauh dari bayanganku. Pesta ini tak kalah mewah dengan pesta resepsi artis dan youtuber ternama yang beberapa waktu lalu aku lihat di televisi.Sekali lagi aku lupa, siapa suamiku dan keluarga besarnya. Dan itu membuatku semakin tidak percaya diri, aku merasa asing di sini. Hanya ada Ayah, Mbak Ika, dan Bang Aksa, dari pihak keluargaku.Ribuan undangan berasal dari kalangan orang ternama, mulai dari pengusaha, artis ibu kota, petinggi Bank swasta, politisi bahkan nampak hadir pula putra bungsu orang nomor satu di negeri ini. Aku bagai mimpi berdiri di sini."Woy, Bro! Selamat, akhirnya berani juga melepas masa lajang!" ucap lelaki bertubuh kekar ini sembari memeluk tubuh suamiku. Aku yang ber
Bias cahaya yang pernah hilang perlahan kembali meski masih samar, suara berdenging memekakkan membuatku menutup telinga dengan kedua tangan.Sesak di dalam dada kian menghimpit jiwa, entah apa yang terjadi denganku, aku pun asing dengan jiwaku. Tak kutemukan siapapun di tempatku berdiri, tak ada apapun untuk dapat ku gapai, tak ada bias lain selain pendar cahaya yang berkilau.Suara tangis bayi kian jelas terdengar, membawaku menyeret langkah mendekat, meski membawa beban berat di pundakku. Bayi, ya, bayi! Jauh di sudut pandang kulihat bayi merah tergeletak dan menangis. Namun, semakin cepat langkah ku bawa, semakin jauh pula untuk ku gapai dia.Apa ini? Ada apa dengan semua ini? Batin bertanya dan terus bertanya, kaki telah lelah melangkah namun tak jua sampai padanya. Siapa dia? Kenapa dia di sini, namun tak bisa ku gapai?Terduduk lesu bertumpu kedua kakiku, aku ada dimana?Kulihat bayi merah itu kian tumbuh layaknya anak-anak lainnya. Mulai dari dia tengkurap, merangkak, duduk, j
Mataku mengerjap beberapa kali, tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku menggeliat dan tak ku temukan suamiku di sebelahku, ingatanku kembali ke beberapa saat yang lalu dimana kami pulang dari kafe dan aku mendadak muntah-muntah.Aku kembali tersenyum kala ingat tebakan suamiku bahwa aku tengah hamil, tetapi setelah dilakukan tes hasilnya masih negatif.Cklek,Bunyi handle pintu kamar mandi menarik perhatianku, rupanya suamiku baru saja dari dalam sana. Wajahnya sudah basah dan terlihat semakin tampan saja."Sayang udah bangun?" tanyanya sembari melangkah mendekat. Lalu duduk di sampingku."Masih pusing?" tanyanya lagi nampak khawatir dengan menempelkan punggung tangannya di keningku."Udah mendingan tapi masih lemes." jawabku pelan. Menaikkan kepalaku ke pangkuannya."Kamu kenapa sih? Cerita dong sama aku, Yang!" ucapnya sembari mengusap kepalaku."Gak papa, Yang! Maaf ya, udah bikin kamu khawatir. Aku hanya-" jawabku tertahan di tenggorokan. Ah, rasanya tak sampai hati aku mengucap
Aku melihat dengan seksama video kiriman Raka, masih tak percaya hingga aku ulangi sekali lagi. Video berdurasi 20 detik itu mampu meruntuhkan duniaku. Mataku melebar sempurna, dengan mulut menganga. Air mata mengalir begitu saja, bahkan tanganku mulai bergetar.Masih belum yakin kembali aku putar bahkan dengan volume full, takutnya aku salah dengar."Ibu Neni ingat Mbak Zahra?" tanya suster Asih seolah kembali menegaskan. Entah percakapan seperti apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dari ekspresi suster Asih pun nampak terkejut dan bahagia di saat yang bersamaan.Nampak Ibu mengangguk lemah, matanya menatap lurus ke depan. Dan aku yakin, di depan Ibu adalah Raka karena mata Ibu tepat mengarah ke kamera."Siapa Zahra, Bu Neni?" suara suster Asih lagi."Zah-ra. . ." ucapan itu terdengar lirih dan itu keluar dari mulut Ibu.Ibu yang selama ini tak menganggapku ada, akhirnya setelah 27 tahun penantian beliau mau memanggil namaku. Air mata bahagia tak dapat ku bendung lagi, mengalir begitu
Satu bulan kemudianAku masih termenung menatap wajahnya, kerutan kian jelas terlihat di sekitar matanya. Ibu, terlelap begitu damai setelah minum obat yang ku berikan tadi. Selama hampir satu bulan, aku merawatnya. Mulai dari menyuapi makan, memandikan, mengajaknya bercerita dan kadang jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Selama itu pula sorot matanya mulai ada bias kehidupan.Meski, sesekali masih menyebut nama Risma, tetapi sudah tidak ada lagi tindakan brutal yang mengancam orang-orang di sekelilingnya.Hari ini, hari terakhir sebelum esok pagi aku bertolak ke Batam untuk menggelar acara resepsi yang akan berlangsung 4 hari lagi. Sedari pagi, aku menghabiskan waktu bersama Ibu. Entah, rasanya hati ini semakin tak tega meninggalkannya.Usapan lembut di bahuku membuatku menoleh."Tenang aja, Kak! Biar aku yang jaga dan rawat Ibu di sini!" ucap Raka sembari tersenyum.Ya, Raka, adik lelakiku. Dia sudah menyesali perbuatannya dan sudah dibebaskan oleh pihak kepolisian karena Desi
Gundukan tanah merah dengan taburan aneka bunga segar menghiasi, di ujungnya tertancap nisan kokoh bertuliskan nama adik bungsuku, KHARISMA WIJAYANTI.Tangis Raka kian terdengar pilu, bersimpuh di samping nisan dan memeluknya erat. Sekelebat penyesalan dan rasa bersalah kembali hadir di sudut lain hati ini, hingga air mata kembali tumpah dengan derasnya.Andai aku tak melaporkan Risma, andai aku diam saja mengetahui kelakuan Risma, andai, andai dan andai. Aku benci rasa ini, aku benci keadaan ini.El mengeratkan pelukannya padaku, menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Membiarkan tangisku kembali tumpah membasahi bajunya.Setelah tangisnya reda, ia bangkit berdiri. Memandangi tinta hitam yang mengukir nama adiknya di papan kayu jati. Diam, tanpa beralih untuk beberapa saat lamanya.Setelahnya, ia beranjak. Berbalik badan dan menatapku yang berdiri tak jauh darinya. Matanya menyiratkan kepedihan luar biasa, jejak-jejak lelehan air mata masih nampak jelas di kedua pipinya. Lalu, mele