"Dan jawaban untuk pertanyaanmu tadi adalah Ibu. . ."Aku mendongak menatap matanya yang masih basah, terdiam menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibir beliau."Ibu. .tak mungkin lagi bersama Ayahmu, Nak!""Kenapa, Bu?" lirihku sedikit kecewa."Ayah masih cinta Ibu, bahkan sampai hari ini Ayah masih menyimpan semua kenangan tentang Ibu!" ucapku berusaha menyakinkan Ibu. Ibu menoleh, menatap mataku dalam dan aku lihat sedikit senyum di bibirnya."Ayah ada di luar sekarang! Ingin bertemu juga dengan Ibu!" lanjutku."Tapi, Ibu merasa tak pantas untuknya! Ibu sudah sangat melukainya, bahkan Ibu punya anak dari lelaki lain. Tak mungkin rasanya Ayahmu masih cinta Ibu!" sanggahnya menunduk."Aku masih sangat mencintaimu, Neni!"Kami menoleh berbarengan dan kulihat Ayah telah berdiri di ambang pintu menatap kami sendu. Segaris senyum terbit setelah mata kami saling bertemu."Mas. . ." lirih Ibu pelan dan matanya tak lepas menatap Ayah.Ayah berjalan mendekat ke arah kami dengan kedua ja
"Risma! Makan dulu, Nak!" Teriakan wanita berusia 54 tahun itu menggema di rumah kecil ini hingga siapapun pasti dapat mendengarnya.Ya, beliau adalah Ibuku. Teriakannya tadi apakah memanggilku? Tentu saja bukan, melainkan memanggil anak perempuan kesayangannya, Kharisma Wijayanti, adik bungsuku yang kini berusia 19 tahun.Aku menghela nafas besar, melepaskan sesak yang kian menghimpit dada ini. Sudah jam 9 lebih tetapi anak manja itu tak kunjung meninggalkan alam mimpinya. Sedangkan aku? Sudah bermandikan keringat sejak usai subuh."Sayang! Bangun dong! Makan dulu, nanti asam lambung kamu naik loh!" Lagi, suara wanita yang telah melahirkanku 27 tahun yang lalu itu kembali menggema, kini dibarengi dengan ketukan pintu cukup keras. Namun, sang putri tak kunjung merespon."Sayang, habis makan kita ke salon yuk?" Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, bukan hal baru bagiku mendengar dan melihat Ibuku merayu anak kesayangannya itu dengan berbagai hal yang menarik. Aku berusaha menutup teli
Hari yang melelahkan dengan segala pekerjaan yang membuat seluruh tulangku seakan rontok dari pengaitnya. Meski melelahkan tapi aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini.Hampir 2 bulan tubuhku dirajam dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Lelah? Tentu, tapi tak se-lelah hati ini mendapat perlakuan yang begitu buruk dari Ibu dan adik-adikku.Dulu ketika nenek masih hidup, mereka tak begini padaku meski sama tak menganggapku ada tetapi mereka tak berani membebaniku dengan semua pekerjaan rumah yang tak ada habisnya ini. Pun dengan Ibu, ketika nenek masih hidup, perlakuan Ibu tak seburuk sekarang. Entah apa salah dan dosaku padanya.Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam saat aku masuk ke kamar yang selama ini aku tempati bersama nenek. Sekarang, kamar ini sangat multifungsi. Disamping sebagai tempatku melepas penat, juga merangkap sebagai tempat setrika dan tempat menumpuk baju-baju yang belum di setrika, bahkan ada beberapa kardus tempat pakaian yang sudah tidak terpak
Aku meraup udara sebanyak yang aku bisa. Mengeluarkan sesak sekaligus membulatkan tekad untuk bangkit melawan mereka yang telah berlaku dzalim terhadapku. Aku bangkit berdiri, lantas keluar kamar menuju kamar mandi di samping kiri kamarku. Bergegas membersihkan diri meski hari masih terlalu pagi. Karena baju atasku basah akibat siraman air oleh Risma tadi, aku memutuskan untuk mandi sekalian.Tak butuh waktu lama, aku segera mengakhiri ritual mandi di pagi buta ini. Berdiri di depan lemari yang menyimpan semua bajuku dan baju nenek.Begitu aku selesai memakai bajuku, pandangan mataku tertuju pada trap paling atas. Dimana, di sana berisi semua dokumen tentang diriku. Gegas aku mengeluarkan semua isinya, berniat melihat dan memastikan siapa diriku melalui surat-surat itu. Yang pertama aku ambil adalah map bening berisi semua raport dan ijazah dari TK hingga SMA, kartu keluarga asli, beberapa piagam dan tentu akte kelahiranku.Mataku dengan awas meneliti setiap nama yang tertera dalam a
Tok tok tok!"Assalamualaikum!" Tak lama terdengar putaran anak kunci dibarengi jawaban salamku tadi."Walaikumsalam. .eh, Zahra!" Seorang wanita cantik menyambut kedatanganku dengan senyum manisnya, namanya Mbak Ika. "Iya, Mbak." ucapku membalas senyumnya."Masuk, yuk!" ajaknya.Aku mengekor sang empunya rumah masuk ke dalam. Mbak Ika mempersilahkanku duduk di sofa ruang tamu, sedangkan beliau berlalu ke dalam untuk membuatkan minum.Tak lama beliau kembali dengan 2 gelas berisi minuman berwarna hijau."Diminum, Ra! Udah lama loh kamu gak main ke sini. Sibuk ya?" ucapnya sembari menjatuhkan bobot di sebelahku."Masuk sore, Mbak! Kalau pagi, biasalah. .banyak tugas negara!" jawabku membuat pemilik lesung di kedua pipinya itu tertawa. Entah apa yang beliau tertawakan, nasibkukah? "Kamu ini! Dahlah, kalau gak sanggup tinggalin aja ke sini!" ucapnya di akhir tawa.Ya, beliau adalah salah satu orang yang paling tahu kehidupanku setelah nenek tiada. Mbak Ika adalah menantu Pak Bandi, r
Usai berbasa-basi sekedarnya, kami di jamu untuk makan siang lebih dulu sebelum Kakek Beno berbicara padaku 4 mata saja. Sesungguhnya rasa hati sudah tak sabar lagi, tapi mau bagaimana lagi. Aku tetap harus sabar demi mendapat informasi tentang diriku sendiri. Aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Aku harus mengorek informasi tentang diriku dari orang lain.Kami menikmati makan siang dengan hikmat, sesekali gelak tawa dari kami memenuhi ruang makan yang menyatu dengan dapur mewah ini. Kehangatan dan rasa kekeluargaan sangat terasa sekali, ada yang menghangat di hati ini. Ini untuk pertama kalinya aku merasakan layaknya memiliki keluarga yang utuh dan harmonis. Tante Maya dan Kakek Beno tak menganggapku orang lain, meski baru pertama kali aku datang kemari. Bahkan, anak kedua Tante Maya juga cepat sekali akrab meski baru beberapa menit yang lalu kami bertemu saat dia pulang sekolah.Usai makan dan sholat zuhur, di sinilah aku. Di teras belakang kamar Kakek Beno, duduk di kursi panjan
"Sertifikat rumah itu atas nama Arum. Tapi, dia sudah membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa setelah dirinya meninggal, sertifikat rumah itu harus dibalik menjadi namamu." ucap Kakek Beno membuat perasaanku seketika plong, itu artinya rumah itu benar menjadi hak milikku."Lalu dimana suratnya, Kek?" "Selama ini surat rumah itu ada pada Kakek. Makanya, setelah 7 hari Arum meninggal, Kakek segera urus balik nama surat rumah itu. Sekarang masih di kantor pengacara Kakek, kamu tenang saja, semua sudah berjalan seperti keinginan Arum." Aku tersenyum lega mendengar jawaban beliau."Senin besok biar sekalian dibawa sama Aksa, atau kamu mau ambil sendiri kemari?" "Gak usah, Kek. Sementara biarlah surat itu ada sama Kakek. Kakek tahu sendiri bagaimana tabiat Ibu dan Adik-adik Zahra. Kalau surat itu ada sama Zahra, Zahra takut tak bisa amanah, Kek." jawabku yakin, aku hanya takut Ibu dan kedua adikku akan merampas hak milikku. Biarlah sementara waktu ini mereka menikmati berada di ru
Saking gemetarnya aku sampai lupa menanyakan pin dari kartu tipis ini. Ah, tapi aku percaya jika pin kartu ini bukan kombinasi angka yang sulit sebab nenek adalah tipe orang yang tak mau ribet dengan angka-angka.Di sinilah aku sekarang. Di depan mesin canggih yang hanya dengan menekan angka maka dia akan mempermudah kita dalam bertransaksi.Meski sudah tahu jumlahnya di buku tabungan yang telah diperbaharui, tapi tetap saja aku harus memastikan lagi.Menarik nafas dalam-dalam dan segera memasukkan kartu itu pada tempatnya. Menekan beberapa digit angka yang merupakan kombinasi tanggal kelahiranku. Dan, berhasil hanya dalam satu kali tekan saja.Memilih menu informasi saldo dan terpampang dengan jelas 7 digit angka dengan diikuti 3 nol di belakangnya membuat keringat dingin merembes dari dahiku.Senang? Tentu saja, tapi rasa itu berbaur menjadi satu dengan perasaan heran dan penasaran akan sosok ayah kandungku. Aku memutuskan keluar tanpa transaksi lagi. Ataupun sekedar menarik bebera
"Dan jawaban untuk pertanyaanmu tadi adalah Ibu. . ."Aku mendongak menatap matanya yang masih basah, terdiam menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibir beliau."Ibu. .tak mungkin lagi bersama Ayahmu, Nak!""Kenapa, Bu?" lirihku sedikit kecewa."Ayah masih cinta Ibu, bahkan sampai hari ini Ayah masih menyimpan semua kenangan tentang Ibu!" ucapku berusaha menyakinkan Ibu. Ibu menoleh, menatap mataku dalam dan aku lihat sedikit senyum di bibirnya."Ayah ada di luar sekarang! Ingin bertemu juga dengan Ibu!" lanjutku."Tapi, Ibu merasa tak pantas untuknya! Ibu sudah sangat melukainya, bahkan Ibu punya anak dari lelaki lain. Tak mungkin rasanya Ayahmu masih cinta Ibu!" sanggahnya menunduk."Aku masih sangat mencintaimu, Neni!"Kami menoleh berbarengan dan kulihat Ayah telah berdiri di ambang pintu menatap kami sendu. Segaris senyum terbit setelah mata kami saling bertemu."Mas. . ." lirih Ibu pelan dan matanya tak lepas menatap Ayah.Ayah berjalan mendekat ke arah kami dengan kedua ja
Di sinilah kami sekarang, di depan bangunan toko yang nyaris tak pernah aku kunjungi selama ini karena sudah dikelola oleh Ibu.Kondisi toko lumayan ramai, meski tak sebesar toko yang di kelola Mbak Idah. Nampak beberapa pengunjung datang silih berganti, memang lokasi toko ini cukup strategis karena berada di tepi jalan kota yang ramai."Gimana, Yang, Yah?" tanya El sebelum kami memutuskan turun."Ayah, gugup!" jawab Ayah menatap lurus pintu kaca toko yang tertutup itu."Zahra juga, Yah! Tapi, kita tetap harus masuk ke dalam!" yakinku lagi.Setelah beberapa saat, kami akhirnya turun dan segera masuk ke dalam. Tak ku jumpai Raka di sana, hanya ada seorang kasir yang waktu itu sempat di pekerjakan Ibu di toko pusat. Aku memutuskan untuk bertanya saja padanya dan meninggalkan El serta Ayah di dekat pintu."Kamu-" ucapnya seperti tengah mengingat-ingat."Raka dimana?" tanyaku langsung dan mengabaikan tebakannya."Ada di atas ada perlu apa?" tanyanya sedikit ketus dan menatapku tak suka.A
Dua minggu berlalu dari acara resepsi super mewah itu. Siang ini, kami berencana pulang ke Semarang. Awalnya Kakek meminta kami untuk tinggal saja di sini tetapi dengan sungkan aku menolak karena masih ada Ibu yang menanti kedatanganku.Kakek, Tante Mayang, Damar dan Anggi melepas kami di bandara Hang Nadim untuk kembali ke Semarang.Tepat pukul 2 siang, pesawat lepas landas dan semakin meninggi meninggalkan kota kecil yang mengenalkanku kepada teh obeng ini.Batam, kota kecil dengan segala keindahannya. Sungguh aku jatuh cinta padanya dan suatu hari nanti aku akan putuskan untuk menetap di sini tapi tentu setelah tugasku selesai. Itu sudah aku bicarakan dengan suamiku dan tentu saja dia sangat mendukung.Selama di pesawat sudah tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan Ibu dan memeluk tubuhnya. Pun dengan Ayah, yang wajahnya kian berseri sejak pagi tadi. Beliau pun tak sabar untuk bertemu dengan sang ratu yang menghuni hatinya.Teringat kembali percakapan kami beberapa waktu lalu
Seluruh rangkaian acara resepsi pernikahan kami digelar begitu mewahnya, aku terkagum sekaligus masih tak menyangka akan jadi sebegitu mewah dan meriahnya acara ini.Awalnya aku pikir, resepsi ini hanya sekedar resepsi biasa layaknya resepsi yang pernah aku datangi kala di kampung. Namun rupanya, jauh dari bayanganku. Pesta ini tak kalah mewah dengan pesta resepsi artis dan youtuber ternama yang beberapa waktu lalu aku lihat di televisi.Sekali lagi aku lupa, siapa suamiku dan keluarga besarnya. Dan itu membuatku semakin tidak percaya diri, aku merasa asing di sini. Hanya ada Ayah, Mbak Ika, dan Bang Aksa, dari pihak keluargaku.Ribuan undangan berasal dari kalangan orang ternama, mulai dari pengusaha, artis ibu kota, petinggi Bank swasta, politisi bahkan nampak hadir pula putra bungsu orang nomor satu di negeri ini. Aku bagai mimpi berdiri di sini."Woy, Bro! Selamat, akhirnya berani juga melepas masa lajang!" ucap lelaki bertubuh kekar ini sembari memeluk tubuh suamiku. Aku yang ber
Bias cahaya yang pernah hilang perlahan kembali meski masih samar, suara berdenging memekakkan membuatku menutup telinga dengan kedua tangan.Sesak di dalam dada kian menghimpit jiwa, entah apa yang terjadi denganku, aku pun asing dengan jiwaku. Tak kutemukan siapapun di tempatku berdiri, tak ada apapun untuk dapat ku gapai, tak ada bias lain selain pendar cahaya yang berkilau.Suara tangis bayi kian jelas terdengar, membawaku menyeret langkah mendekat, meski membawa beban berat di pundakku. Bayi, ya, bayi! Jauh di sudut pandang kulihat bayi merah tergeletak dan menangis. Namun, semakin cepat langkah ku bawa, semakin jauh pula untuk ku gapai dia.Apa ini? Ada apa dengan semua ini? Batin bertanya dan terus bertanya, kaki telah lelah melangkah namun tak jua sampai padanya. Siapa dia? Kenapa dia di sini, namun tak bisa ku gapai?Terduduk lesu bertumpu kedua kakiku, aku ada dimana?Kulihat bayi merah itu kian tumbuh layaknya anak-anak lainnya. Mulai dari dia tengkurap, merangkak, duduk, j
Mataku mengerjap beberapa kali, tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku menggeliat dan tak ku temukan suamiku di sebelahku, ingatanku kembali ke beberapa saat yang lalu dimana kami pulang dari kafe dan aku mendadak muntah-muntah.Aku kembali tersenyum kala ingat tebakan suamiku bahwa aku tengah hamil, tetapi setelah dilakukan tes hasilnya masih negatif.Cklek,Bunyi handle pintu kamar mandi menarik perhatianku, rupanya suamiku baru saja dari dalam sana. Wajahnya sudah basah dan terlihat semakin tampan saja."Sayang udah bangun?" tanyanya sembari melangkah mendekat. Lalu duduk di sampingku."Masih pusing?" tanyanya lagi nampak khawatir dengan menempelkan punggung tangannya di keningku."Udah mendingan tapi masih lemes." jawabku pelan. Menaikkan kepalaku ke pangkuannya."Kamu kenapa sih? Cerita dong sama aku, Yang!" ucapnya sembari mengusap kepalaku."Gak papa, Yang! Maaf ya, udah bikin kamu khawatir. Aku hanya-" jawabku tertahan di tenggorokan. Ah, rasanya tak sampai hati aku mengucap
Aku melihat dengan seksama video kiriman Raka, masih tak percaya hingga aku ulangi sekali lagi. Video berdurasi 20 detik itu mampu meruntuhkan duniaku. Mataku melebar sempurna, dengan mulut menganga. Air mata mengalir begitu saja, bahkan tanganku mulai bergetar.Masih belum yakin kembali aku putar bahkan dengan volume full, takutnya aku salah dengar."Ibu Neni ingat Mbak Zahra?" tanya suster Asih seolah kembali menegaskan. Entah percakapan seperti apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dari ekspresi suster Asih pun nampak terkejut dan bahagia di saat yang bersamaan.Nampak Ibu mengangguk lemah, matanya menatap lurus ke depan. Dan aku yakin, di depan Ibu adalah Raka karena mata Ibu tepat mengarah ke kamera."Siapa Zahra, Bu Neni?" suara suster Asih lagi."Zah-ra. . ." ucapan itu terdengar lirih dan itu keluar dari mulut Ibu.Ibu yang selama ini tak menganggapku ada, akhirnya setelah 27 tahun penantian beliau mau memanggil namaku. Air mata bahagia tak dapat ku bendung lagi, mengalir begitu
Satu bulan kemudianAku masih termenung menatap wajahnya, kerutan kian jelas terlihat di sekitar matanya. Ibu, terlelap begitu damai setelah minum obat yang ku berikan tadi. Selama hampir satu bulan, aku merawatnya. Mulai dari menyuapi makan, memandikan, mengajaknya bercerita dan kadang jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Selama itu pula sorot matanya mulai ada bias kehidupan.Meski, sesekali masih menyebut nama Risma, tetapi sudah tidak ada lagi tindakan brutal yang mengancam orang-orang di sekelilingnya.Hari ini, hari terakhir sebelum esok pagi aku bertolak ke Batam untuk menggelar acara resepsi yang akan berlangsung 4 hari lagi. Sedari pagi, aku menghabiskan waktu bersama Ibu. Entah, rasanya hati ini semakin tak tega meninggalkannya.Usapan lembut di bahuku membuatku menoleh."Tenang aja, Kak! Biar aku yang jaga dan rawat Ibu di sini!" ucap Raka sembari tersenyum.Ya, Raka, adik lelakiku. Dia sudah menyesali perbuatannya dan sudah dibebaskan oleh pihak kepolisian karena Desi
Gundukan tanah merah dengan taburan aneka bunga segar menghiasi, di ujungnya tertancap nisan kokoh bertuliskan nama adik bungsuku, KHARISMA WIJAYANTI.Tangis Raka kian terdengar pilu, bersimpuh di samping nisan dan memeluknya erat. Sekelebat penyesalan dan rasa bersalah kembali hadir di sudut lain hati ini, hingga air mata kembali tumpah dengan derasnya.Andai aku tak melaporkan Risma, andai aku diam saja mengetahui kelakuan Risma, andai, andai dan andai. Aku benci rasa ini, aku benci keadaan ini.El mengeratkan pelukannya padaku, menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Membiarkan tangisku kembali tumpah membasahi bajunya.Setelah tangisnya reda, ia bangkit berdiri. Memandangi tinta hitam yang mengukir nama adiknya di papan kayu jati. Diam, tanpa beralih untuk beberapa saat lamanya.Setelahnya, ia beranjak. Berbalik badan dan menatapku yang berdiri tak jauh darinya. Matanya menyiratkan kepedihan luar biasa, jejak-jejak lelehan air mata masih nampak jelas di kedua pipinya. Lalu, mele