Usai berbasa-basi sekedarnya, kami di jamu untuk makan siang lebih dulu sebelum Kakek Beno berbicara padaku 4 mata saja. Sesungguhnya rasa hati sudah tak sabar lagi, tapi mau bagaimana lagi. Aku tetap harus sabar demi mendapat informasi tentang diriku sendiri. Aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Aku harus mengorek informasi tentang diriku dari orang lain.
Kami menikmati makan siang dengan hikmat, sesekali gelak tawa dari kami memenuhi ruang makan yang menyatu dengan dapur mewah ini. Kehangatan dan rasa kekeluargaan sangat terasa sekali, ada yang menghangat di hati ini. Ini untuk pertama kalinya aku merasakan layaknya memiliki keluarga yang utuh dan harmonis. Tante Maya dan Kakek Beno tak menganggapku orang lain, meski baru pertama kali aku datang kemari. Bahkan, anak kedua Tante Maya juga cepat sekali akrab meski baru beberapa menit yang lalu kami bertemu saat dia pulang sekolah.Usai makan dan sholat zuhur, di sinilah aku. Di teras belakang kamar Kakek Beno, duduk di kursi panjang menghadap kolam ikan koi yang sangat memanjakan mata. Hanya berdua saja dengan beliau. "Jadi, apa yang ingin kamu ketahui, Zahra?" tanya Kakek Beno mengalihkan perhatian mataku dari ikan berukuran jumbo dan berjumlah tak sedikit itu. Aku menoleh menatap Kakek Beno yang pandangan mata beliau lurus ke depan sana."Apa Kakek mengetahui sesuatu tentang Zahra?" tanyaku sesopan mungkin."Tentu! Tapi, Kakek tak tahu harus mulai darimana." jawabnya seraya menoleh ke arahku. "Kalau begitu mulai dari ini, Kek!" jawabku seraya mengambil kertas yang tadi pagi aku temukan dari dalam tas selempangku. Kakek Beno menerimanya lantas kemudian membacanya sekilas.Beliau menghela nafas kemudian pandangan matanya kembali lurus ke depan. Mungkin sejenak mengingat kejadian puluhan tahun yang lalu itu."Arum, nenekmu adalah sepupu dari Warni, istri saya. Waktu itu, Arum datang dari Bandengan ke Kauman tempat tinggal kami di Pekalongan. Arum, membawa kabar kurang baik dari anak semata wayangnya, yaitu Ibu kamu.Waktu itu, Arum meminta kami untuk mencarikan rumah yang jauh dari kampung. Akhirnya, ada kerabat saya yang kebetulan ingin menjual rumahnya di daerah Krapyak. Jauh, sangat jauh dari Bandengan kecamatan asal nenekmu. Awalnya kami tidak tahu persis kenapa Nenekmu buru-buru ingin pindah dari Bandengan. Setelah setuju dengan transaksi jual belinya, selang dua hari, Arum membawa Ibumu pindah ke sana. Suatu hari, kami kebetulan ada lewat di daerah sana memutuskan untuk mampir ke rumah Arum. Betapa terkejutnya kami ketika rupanya Ibumu tengah hamil besar dalam keadaan yang memprihatinkan. Rupanya, kabar kurang baik yang disampaikan Arum waktu meminta mencarikan rumah kala itu berimbas demikian pada Neni.Neni depresi berat, nyaris kehilangan akalnya. Namun, Arum tetap mengusahakan yang terbaik untuknya. Waktu kami masih di rumahnya, tiba-tiba Neni pendarahan dan lahirlah kamu. Tak sempat ke bidan apalagi ke dokter, Neni melahirkanmu hanya dengan bantuan paraji/dukun beranak saja.Selang beberapa bulan, kembali Arum mengirim surat pada kami untuk meminta tolong lagi mencarikan rumah di kota besar. Alasannya, tak ingin menambah beban pikiran Neni dari gunjingan orang lain yang akan memperburuk kondisi kejiwaannya. Cukup lama mencari, akhirnya salah satu pekerja Warni menawarkan rumah saudaranya di kota X dengan harga yang sangat terjangkau meski kondisinya masih kurang layak. Arum setuju dan segera berangkat ke kota B, 1 hari setelahnya dengan membawa kamu dan meninggalkan Neni bersama Warni di rumah kami. Arum pergi bersamaku ke kota B.Melewati segala proses yang ada, akhirnya Arum deal dengan rumah itu dan terjadilah perjanjian ini." jelasnya dengan mengangkat kertas yang ku berikan tadi."Setelah di renovasi dan layak untuk di tempati, Arum kembali membawa Neni tinggal di sana. Dengan sisa uang yang dia punya, dia membangun toko kelontong untuk memenuhi kebutuhan hidupnya di kota berikut untuk biaya berobat Neni.Tidak ada usaha yang mengkhianati hasil. Lambat laun, Neni bisa kembali normal. Namun, satu yang dia tak bisa terima yaitu kehadiran kamu sebagai anaknya. Arum tak menyerah begitu saja, segala cara ia lakukan untuk mendekatkan kamu padanya, tapi hasilnya nihil. Dia tetap tak mau." lanjut Kakek Beno dengan jelas. Bibir ini rasanya sudah tak sabar ingin melontarkan banyak pertanyaan tetapi Kakek seolah tahu hingga ia mengangkat tangannya isyarat agar aku diam lebih dulu. "Karena kasihan padanya yang tak lagi memiliki sanak saudara, akhirnya Warni meminta supaya kami turut pindah ke sana menemani Arum yang notabene masih kerabat Warni. Meninggalkan usaha kami di Kauman dan memboyong anak-anak kami ke kota B dan kebetulan menemukan rumah yang tak jauh dari rumah Arum, rumah yang kamu tinggali sedari masih bayi hingga sekarang." Kakek Beno tersenyum ke arahku."Ada yang ingin kamu tanyakan dari cerita Kakek barusan?" tanyanya dengan senyum tulus. Aku mengangguk cepat."Sebenarnya apa yang terjadi dengan Ibu, sampai Nenek harus pindah rumah?" pertanyaan pertama yang berhasil aku lontarkan."Kamu mau tahu? Yakin?" tanya Kakek menyakinkan. Aku mengangguk lagi, meski debaran dada tak dapat di kendalikan lagi tapi aku harus tahu semuanya."Ibumu, diperkosa malam sebelum hari pernikahannya."Degh,Aku gemetaran dan merinding mendengar jawaban pelan dari Kakek Beno. Seberat itu derita Ibu? Wanita mana yang tak hancur mendapat perlakuan seperti itu tepat sebelum hari bahagianya. Ya Allah!Tapi, tunggu!Diperkosa?Itu artinya?Mataku melebar sempurna menyadari satu hal, itu artinya aku ini anak-"Jadi, Zahra-" mataku memanas, suaraku tercekat hingga tak mampu melanjutkan pertanyaanku pada Kakek. Kakek mengangguk pelan membenarkan apa yang ingin aku tanyakan. Duar!Tak ada angin tak ada hujan tapi petir menyambar hati dan jiwaku. Aku terkejut bukan kepalang mendengar kenyataan pahit ini. Tanpa terasa bulir bening menerobos keluar dari sarangnya.Sesak, sakit, sepahit inikah jalan hidupku? Meski aku telah menyiapkan hati dan jiwaku menerima kenyataan ini, tapi tetap saja sakit luar biasa aku rasakan. Hatiku berdenyut nyeri, sakit sekali. Kini aku tahu alasan kenapa Ibu tak menerima dan tak menganggapku ada. Kakek Beno meraih satu tanganku dan beliau genggam erat. Seolah menyalurkan kekuatan padaku yang tengah hancur."Ceritanya belum selesai, Zahra." ucapnya pelan, aku menatap beliau dengan perasaan campur aduk tak karuan. "Mau lanjut atau tidak?" Sesaat aku bergeming, tapi kembali aku bulatkan keyakinan yang sempat goyah untuk mendengar semua kenyataannya. Aku mengangguk tak mampu bersuara."Ibumu depresi berat setelah kejadian itu. Pernikahan impiannya gagal, digunjing masyarakat, dikucilkan karena dianggap membawa sial untuk kampung dan parahnya, Ibumu di cap sebagai pelac*r. Padahal, Ibumu adalah korban. Masa depannya hancur begitu saja." Ya, miris memang masyarakat kita. Empati dan simpati mereka seolah telah lenyap. Tak jarang mereka mendiskriminasikan korban perkosaan dan parahnya akan menjadi bahan gunjingan dan bullyan, padahal korban dan siapapun tak ingin ada di posisi itu. Maka, wajar jika korban perkosaan akan mengalami luka pada mental dan jiwanya. Ya Allah, ternyata memang berat masa lalu Ibu."Itulah sebabnya, Nenekmu membawa Ibumu pindah dari kampung asalnya.""Lalu, apa Kakek tahu siapa yang perkosa Ibu? Yang itu artinya, ayah kandung Zahra?" lagi pertanyaan itu muncul dan berhasil aku lontarkan pada Kakek. Kakek mengangguk, ada rasa lega sekaligus sakit di hati ini."Siapa, Kek?" lirihku."Setelah pindah dari kampung, Nenek dan Ibumu hidup tenang. Perlahan, Ibumu sudah bisa menerima takdirnya. Tapi, begitu dia tahu kalau dia hamil, ia kembali depresi. Berkali-kali ia mencoba mengakhiri hidupnya dan mencoba melenyapkan janin dalam rahimnya. Tapi, usahanya gagal dan selalu gagal. Menurut Arum, beberapa hari sebelum kamu di lahirkan, ada seorang pemuda yang datang padanya. Mengakui segala perbuatannya terhadap Ibu kamu. Alasan dia melakukan itu adalah karena ia tak rela Neni menikah dan meninggalkan dirinya. Dia begitu mencintai Neni, namun caranya salah. Justru ia menghancurkan hidup Neni. Pemuda itu bernama, Herman. Ya, ayah kandung kamu bernama Herman. Itu sekilas yang saya tahu. Herman berniat bertanggung jawab terhadap Neni dan bayinya. Tapi, keadaan ekonomilah yang menghalangi niat baiknya itu. Saat Neni tahu Hermanlah pelakunya, dia menjadi sangat membencimu. Entah bagaimana masa lalu mereka hingga kebencian Neni menjadi dendam yang terus mengakar di hatinya. Setelah kelahiran kamu, Herman kerap datang sekedar untuk memberi sekotak susu dan membantu Nenekmu merawat kamu waktu bayi. Neni semakin murka dan turut membenci Arum, makanya jangan heran jika perlakuan Neni terhadap Arum pun demikian. Ia mengira bahwa Arum bersekongkol dengan Herman untuk melakukan itu padanya. Padahal, Arum sendiripun hancur hati dan hidupnya. Tapi apalah dayanya, tak ada pilihan yang bisa ia pilih.Hari demi hari, Neni memperlakukan Ibumu dengan sangat tidak manusiawi. Akhirnya, Herman memutuskan pergi dan menjauh. Terakhir dia datang ketika kamu berusia sekitar 3 tahun atau kurang malah." jelas Kakek. Aku jadi teringat akan foto yang aku bawa. Segera aku ambil dari dalam tas dan menunjukkannya pada kakek."Ini kah ayah Zahra, Kek?" tanyaku sembari menyodorkan foto itu. Kakek mengangguk membenarkan setelah melihat foto itu."Ya benar, dia Herman, ayah kamu." jawabnya yakin.Ada rasa lega, bahagia, sakit dan entah apa lagi rasa yang tetiba merangsek dalam relung hatiku. Sekarang aku tahu kenapa Ibu membenciku, karena memang aku tidak pernah beliau harapkan. Aku tahu Ibu korban, masa lalu yang beliau lewati begitu berat dan menyakitkan. Tapi, kenapa harus membenciku? Aku bahkan tak pernah bisa memilih darimana aku akan dilahirkan dan bagaimana aku bisa ada di rahim Ibuku? Tapi, kenapa aku yang harus menanggung beban seberat ini? Ya Allah! Salahkah aku membenci Ibuku? Atau Ayahku? Tuhan, aku harus apa dan bagaimana?"Kamu sudah dewasa, Zahra. Kamu bisa berpikir secara logis apa yang sudah Kakek ceritakan padamu. Mungkin tidak semua yang Kakek ceritakan benar adanya, karena Kakek pun tak mengalaminya sendiri. Kakek hanya mendengar itu semua dari Arum dan Kakek ceritakan kembali padamu tanpa ada yang ditambahi dan dikurangi.Jangan buru-buru memgambil keputusan untuk membenci Ibu atau Ayahmu. Karena cerita Kakek tadi baru dari sudut pandang orang ketiga yaitu Nenekmu. Kita tidak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi pada hubungan Ayah dan Ibumu di masa lalu. Saran Kakek, lebih baik kamu cari tahu dulu. Dan dengar ceritanya dari kedua belah pihak kenapa sampai peristiwa itu bisa terjadi." Ya, kakek benar. Aku harus cari tahu lebih dulu tentang masa lalu ayah dan Ibu. Tapi, mulai darimana? Bahkan sekarang aku tak tahu dimana ayahku berada."Apa Kakek tahu dimana ayah Zahra?""Maaf Zahra, kalau itu Kakek tidak tahu. Menurut Arum, sejak kedatangannya yang terakhir dulu, tak sekalipun Herman datang lagi. Hanya memberi kabar melalui telepon, itupun setelah kamu SD kalau tidak salah dan hanya beberapa kali saja. Mengingat masa itu, komunikasi tidak semudah sekarang ini. Hanya, Arum pernah bilang jika Herman meminta Arum membuka rekening bank, dan Herman akan mengirim uang untuk kamu melalui rekening itu. Dan itu terjadi sudah lama sekali, kalau tidak salah tahun 2008 atau 2009 gitu."Aku lantas mengeluarkan buku tabungan berwarna kuning bertuliskan bank BRI berikut kartu ATMnya. Dan satu lagi dari bank BNI atas nama yang sama dan tahun yang berselang hanya 1 tahun saja."Ini, Kek?" ujarku memperlihatkan dua buku tabungan itu berikut selembar kertas tulisan tangan Nenek. "Iya benar, jadi kamu menyimpannya?" "Zahra menemukan ini tadi pagi, Kek. Tapi, Zahra rasa buku tabungan dan kartu itu sudah expired mengingat itu kartu dari 15 tahun lalu.""Kartunya boleh expired tetapi data dan isinya tentu tidak, Zahra. Kamu tinggal datang ke bank, bilang mau membaharuinya saja, siapa tahu kamu menemukan petunjuk dari sini tentang keberadaan ayahmu!" Astaga! Kenapa aku tak berpikir ke sana? Benar kata kakek, jika data perbankan itu abadi. Aku bisa mengetahuinya dari buku itu. Jika memang ayah masih mengirimkan uang maka nomor rekening tabungan itu masih aktif. Ya, aku harus coba ke bank."Ada lagi yang ingin kamu tanyakan, Zahra?""Ada, Kek. Mengenai rumah yang sekarang kami tempati. Itu atas nama siapa? Sebab, sebelum nenek meninggal 2 bulan lalu, Nenek bilang jika rumah itu milik Zahra.""Itu yang Kakek tunggu dari tadi!" ucapnya dengan senyum mengembang membuatku kian penasaran akan jawabannya."Rumah itu atas nama. . ."🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻"Sertifikat rumah itu atas nama Arum. Tapi, dia sudah membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa setelah dirinya meninggal, sertifikat rumah itu harus dibalik menjadi namamu." ucap Kakek Beno membuat perasaanku seketika plong, itu artinya rumah itu benar menjadi hak milikku."Lalu dimana suratnya, Kek?" "Selama ini surat rumah itu ada pada Kakek. Makanya, setelah 7 hari Arum meninggal, Kakek segera urus balik nama surat rumah itu. Sekarang masih di kantor pengacara Kakek, kamu tenang saja, semua sudah berjalan seperti keinginan Arum." Aku tersenyum lega mendengar jawaban beliau."Senin besok biar sekalian dibawa sama Aksa, atau kamu mau ambil sendiri kemari?" "Gak usah, Kek. Sementara biarlah surat itu ada sama Kakek. Kakek tahu sendiri bagaimana tabiat Ibu dan Adik-adik Zahra. Kalau surat itu ada sama Zahra, Zahra takut tak bisa amanah, Kek." jawabku yakin, aku hanya takut Ibu dan kedua adikku akan merampas hak milikku. Biarlah sementara waktu ini mereka menikmati berada di ru
Saking gemetarnya aku sampai lupa menanyakan pin dari kartu tipis ini. Ah, tapi aku percaya jika pin kartu ini bukan kombinasi angka yang sulit sebab nenek adalah tipe orang yang tak mau ribet dengan angka-angka.Di sinilah aku sekarang. Di depan mesin canggih yang hanya dengan menekan angka maka dia akan mempermudah kita dalam bertransaksi.Meski sudah tahu jumlahnya di buku tabungan yang telah diperbaharui, tapi tetap saja aku harus memastikan lagi.Menarik nafas dalam-dalam dan segera memasukkan kartu itu pada tempatnya. Menekan beberapa digit angka yang merupakan kombinasi tanggal kelahiranku. Dan, berhasil hanya dalam satu kali tekan saja.Memilih menu informasi saldo dan terpampang dengan jelas 7 digit angka dengan diikuti 3 nol di belakangnya membuat keringat dingin merembes dari dahiku.Senang? Tentu saja, tapi rasa itu berbaur menjadi satu dengan perasaan heran dan penasaran akan sosok ayah kandungku. Aku memutuskan keluar tanpa transaksi lagi. Ataupun sekedar menarik bebera
Sejauh apapun kakimu melangkah pergi, tetap keluargalah tempatmu pulang.-Adinda Azzahra-Dering ponsel yang aku beli kemarin terdengar nyaring di gendang telingaku. Dengan berat aku mengulurkan tangan meraba di sela bantal. Begitu menyentuhnya, segera aku jawab panggilan itu tanpa melihat nomor siapa yang menghubungi."Hallo!" jawabku dengan suara berat."Hallo, Ra! Ini, Mbak Ika!" mataku membeliak mendengar suara Mbak Ika di seberang sana. "Kata Bang Aksa nanti jam 9 kamu ditunggu Bang Aksa di Bank. Suruh bawa buku tabungan sama KTP kamu yang asli." lanjutnya tanpa menungguku bersuara lebih dulu."Beneran, Mbak?" tanyaku memastikan."Iya, bener! Deposito Nenek kamu bisa langsung cair!" jawabnya meyakinkanku. Seketika kantuk yang mendera sirna sudah, tergantikan semangat yang luar biasa. Aku segera bangkit dan terduduk masih dengan ponsel yang menempel di telingaku."Alhamdulillah. ." gumamku bersyukur karena diberi kemudahan mengurus semuanya."Nanti Mbak Ika temanin ya?" pintaku.
Tepat pukul sembilan motor Var*o putih kesayanganku sudah terparkir cantik di halaman Bank BNI. Gegas aku menghampiri Bang Aksa yang sudah menunggu kedatanganku."Gimana, Bang?" tanyaku setelah berdiri di hadapan Bang Aksa."Beres! Yuk ikut Abang ke dalam!" jawabnya, aku mengangguk pasti kemudian mengekor Bang Aksa masuk ke dalam.Aku pikir, Bang Aksa akan mengambil nomor antrian lebih dulu. Tapi, rupanya Bang Aksa langsung masuk ke dalam sebuah ruangan berdinding kaca gelap tapi masih terlihat jelas seluruh isi ruangannya. Setelah berbicara pada security sebentar, Bang Aksa menoleh padaku."Ayo, Ra!" ucapnya lagi. Setelahnya, mengetuk pintu kaca itu. Mendengar ketukan di pintu, seorang lelaki mungkin seusia Bang Aksa dengan penampilan rapi khas pegawai Bank menoleh dan melambaikan tangannya isyarat mempersilahkan kami masuk."Hay, Bro!" sapa Bang Aksa pada lelaki itu yang aku tebak adalah teman Bang Aksa dari sapaannya yang begitu akrab."Dateng juga, Lu! Gimana kabar?" jawab lelaki
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Hasan, ada sesuatu yang terasa aneh dalam hatiku. Entah perasaan apa ini, aku pun tak dapat mendiskripsikannya dengan jelas.Hasan, pria yang mengaku mencintaiku dan bersedia menungguku. Nyatanya, hanya dalam hitungan kurang dari 4 bulan dari pernyataan cintanya, telah menambatkan hatinya pada wanita lain dalam ikatan sah secara agama dan negara. Ya, mereka telah resmi menikah satu minggu yang lalu. Parahnya, tanpa penjelasan apapun dari Hasan padaku. Ah, aku lupa jika aku bukan siapa-siapa untuknya. Jadi, untuk apa dia menjelaskan padaku, memangnya aku ini siapa? Ah, Zahra! Ingatlah siapa dirimu!Perasaan apa yang bergelayut di hati ini? Apakah cemburu? Tapi, aku rasa tidak. Lalu, marah? Entahlah, aku hanya merasa tidak dihargai oleh keputusannya. Tapi, ya sudahlah! Toh, memang aku sendiri yang meminta waktu 1 tahun kala itu. Mungkin memang dia bukan jodohku. Doa dan harapanku, semoga mereka bahagia dan berjodoh dunia akhirat. Juga aku berdoa
"Hei. .Siapa kamu?"Aku menelan salivaku susah payah. Gemetar seluruh tubuhku, jantungku berpacu cepat. Ya Tuhan, jangan sampai orang itu melihatku tadi keluar dari samping rumah."Hei, budeg ya? Kamu siapa?" ulangnya dengan menepuk bahuku.Mau tak mau aku menoleh ke arahnya, lelaki itu menatapku dengan intens. Lelaki jangkung di hadapanku ini adalah satu dari empat orang yang keluar dari mobil sedan yang terparkir di luar gerbang. "E- maaf, Bang! Saya cari Bu Rukayah, benar ini rumahnya, kan?" jawabku sedikit gemetar."Bu Rukayah? Bentar, gue tanyain dulu!" lantas pria itu masuk kembali tanpa curiga. Aku bernafas lega, itu artinya dia tadi tak melihatku keluar dari samping rumah. Tak lama pria itu kembali."Rumah Bu Rukayah di samping, bukan di sini!" jelasnya menunjuk rumah di samping kiri."Oh maaf, Bang! Kata orang tadi rumah ujung ini!" jawabku pura-pura kikuk."Hem!" dia mengangguk tanpa menyahut.Tak mau membuang waktu, aku segera keluar dari gerbang, berjalan dengan langkah l
"Kenapa orang itu ada di sini?" batinku sembari mematikan mesin kuda besiku.Bang Mada, anak pertama suami Ibu. Yang itu artinya dia adalah kakak Raka dan Risma. Sudah hampir 1 tahun kami tak bersua karena beliau tinggal di lain kota bersama keluarga dan Ibunya. Sedangkan, ayahnya yang juga ayahRaka dan Risma tak tahu dimana rimbanya. Itu sekilas yang beliau ceritakan dulu padaku. Entah jika sekarang!Melihatku datang, kedua pria dewasa itu menghentikan obrolannya. Aku segera naik ke teras sembari mengucap salam."Asalamualaikum!""Walaikumsalam!" jawab keduanya berbarengan."Bang," sapaku pada Bang Mada."Hai, Ra! Apa kabar?" tanyanya balik."Baik, Bang! Abang kok ada di sini?" "Iya, kebetulan ada urusan sama Aksa, jadi mampir ke sini. Pas mau pulang, Ika bilang kalau kamu mau datang. Jadi, Abang sengaja nunggu kamu datang." jelasnya dengan senyum yang masih sama seperti dulu. Ramah dan baik sama seperti ayahnya padaku."Oh, gimana kabar Mbak Sita dan anak-anak, Bang? Juga Tante Ra
Sepulang kerja aku segera tancap gas menuju rumah Kakek Beno, jika tidak macet maka aku akan sampai sekitar jam setengah enam. Saat hendak menstarter motor, Rika memanggilku dengan keras."Apa?" jawabku saat ia sudah berdiri di dekat motorku."Kamu mau langsung pulang?" tanyanya."Enggak aku ada urusan bentar, kenapa?""Oh, itu tadi Mbak Nurma pesan katanya besok pemilik cafe mau datang. Jadi kita diminta datang lebih awal, jam 7 udah harus datang katanya." jelasnya."Bang Haikal?" tanyaku memastikan."Bukan! Bang Hanan, pemiliknya sendiri yang mau datang." "Oh!" "Oh doang?" "Ya terus?""Au Ah! Yaudah, aku mau pulang. Besok jangan telat!""Oke!" Setelahnya gegas aku melajukan motor meninggalkan halaman kafe menuju kota S, rumah Kakek Beno.Sepanjang perjalanan, mendadak aku kepikiran soal Ayah kandungku. Sejujurnya aku sangat penasaran siapa sebenarnya dia? Kata Kakek Beno, dulu Ayah mau bertanggung jawab sama Ibu dan aku tapi faktor ekonomi yang menghalanginya. Itu artinya, belia
"Dan jawaban untuk pertanyaanmu tadi adalah Ibu. . ."Aku mendongak menatap matanya yang masih basah, terdiam menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibir beliau."Ibu. .tak mungkin lagi bersama Ayahmu, Nak!""Kenapa, Bu?" lirihku sedikit kecewa."Ayah masih cinta Ibu, bahkan sampai hari ini Ayah masih menyimpan semua kenangan tentang Ibu!" ucapku berusaha menyakinkan Ibu. Ibu menoleh, menatap mataku dalam dan aku lihat sedikit senyum di bibirnya."Ayah ada di luar sekarang! Ingin bertemu juga dengan Ibu!" lanjutku."Tapi, Ibu merasa tak pantas untuknya! Ibu sudah sangat melukainya, bahkan Ibu punya anak dari lelaki lain. Tak mungkin rasanya Ayahmu masih cinta Ibu!" sanggahnya menunduk."Aku masih sangat mencintaimu, Neni!"Kami menoleh berbarengan dan kulihat Ayah telah berdiri di ambang pintu menatap kami sendu. Segaris senyum terbit setelah mata kami saling bertemu."Mas. . ." lirih Ibu pelan dan matanya tak lepas menatap Ayah.Ayah berjalan mendekat ke arah kami dengan kedua ja
Di sinilah kami sekarang, di depan bangunan toko yang nyaris tak pernah aku kunjungi selama ini karena sudah dikelola oleh Ibu.Kondisi toko lumayan ramai, meski tak sebesar toko yang di kelola Mbak Idah. Nampak beberapa pengunjung datang silih berganti, memang lokasi toko ini cukup strategis karena berada di tepi jalan kota yang ramai."Gimana, Yang, Yah?" tanya El sebelum kami memutuskan turun."Ayah, gugup!" jawab Ayah menatap lurus pintu kaca toko yang tertutup itu."Zahra juga, Yah! Tapi, kita tetap harus masuk ke dalam!" yakinku lagi.Setelah beberapa saat, kami akhirnya turun dan segera masuk ke dalam. Tak ku jumpai Raka di sana, hanya ada seorang kasir yang waktu itu sempat di pekerjakan Ibu di toko pusat. Aku memutuskan untuk bertanya saja padanya dan meninggalkan El serta Ayah di dekat pintu."Kamu-" ucapnya seperti tengah mengingat-ingat."Raka dimana?" tanyaku langsung dan mengabaikan tebakannya."Ada di atas ada perlu apa?" tanyanya sedikit ketus dan menatapku tak suka.A
Dua minggu berlalu dari acara resepsi super mewah itu. Siang ini, kami berencana pulang ke Semarang. Awalnya Kakek meminta kami untuk tinggal saja di sini tetapi dengan sungkan aku menolak karena masih ada Ibu yang menanti kedatanganku.Kakek, Tante Mayang, Damar dan Anggi melepas kami di bandara Hang Nadim untuk kembali ke Semarang.Tepat pukul 2 siang, pesawat lepas landas dan semakin meninggi meninggalkan kota kecil yang mengenalkanku kepada teh obeng ini.Batam, kota kecil dengan segala keindahannya. Sungguh aku jatuh cinta padanya dan suatu hari nanti aku akan putuskan untuk menetap di sini tapi tentu setelah tugasku selesai. Itu sudah aku bicarakan dengan suamiku dan tentu saja dia sangat mendukung.Selama di pesawat sudah tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan Ibu dan memeluk tubuhnya. Pun dengan Ayah, yang wajahnya kian berseri sejak pagi tadi. Beliau pun tak sabar untuk bertemu dengan sang ratu yang menghuni hatinya.Teringat kembali percakapan kami beberapa waktu lalu
Seluruh rangkaian acara resepsi pernikahan kami digelar begitu mewahnya, aku terkagum sekaligus masih tak menyangka akan jadi sebegitu mewah dan meriahnya acara ini.Awalnya aku pikir, resepsi ini hanya sekedar resepsi biasa layaknya resepsi yang pernah aku datangi kala di kampung. Namun rupanya, jauh dari bayanganku. Pesta ini tak kalah mewah dengan pesta resepsi artis dan youtuber ternama yang beberapa waktu lalu aku lihat di televisi.Sekali lagi aku lupa, siapa suamiku dan keluarga besarnya. Dan itu membuatku semakin tidak percaya diri, aku merasa asing di sini. Hanya ada Ayah, Mbak Ika, dan Bang Aksa, dari pihak keluargaku.Ribuan undangan berasal dari kalangan orang ternama, mulai dari pengusaha, artis ibu kota, petinggi Bank swasta, politisi bahkan nampak hadir pula putra bungsu orang nomor satu di negeri ini. Aku bagai mimpi berdiri di sini."Woy, Bro! Selamat, akhirnya berani juga melepas masa lajang!" ucap lelaki bertubuh kekar ini sembari memeluk tubuh suamiku. Aku yang ber
Bias cahaya yang pernah hilang perlahan kembali meski masih samar, suara berdenging memekakkan membuatku menutup telinga dengan kedua tangan.Sesak di dalam dada kian menghimpit jiwa, entah apa yang terjadi denganku, aku pun asing dengan jiwaku. Tak kutemukan siapapun di tempatku berdiri, tak ada apapun untuk dapat ku gapai, tak ada bias lain selain pendar cahaya yang berkilau.Suara tangis bayi kian jelas terdengar, membawaku menyeret langkah mendekat, meski membawa beban berat di pundakku. Bayi, ya, bayi! Jauh di sudut pandang kulihat bayi merah tergeletak dan menangis. Namun, semakin cepat langkah ku bawa, semakin jauh pula untuk ku gapai dia.Apa ini? Ada apa dengan semua ini? Batin bertanya dan terus bertanya, kaki telah lelah melangkah namun tak jua sampai padanya. Siapa dia? Kenapa dia di sini, namun tak bisa ku gapai?Terduduk lesu bertumpu kedua kakiku, aku ada dimana?Kulihat bayi merah itu kian tumbuh layaknya anak-anak lainnya. Mulai dari dia tengkurap, merangkak, duduk, j
Mataku mengerjap beberapa kali, tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku menggeliat dan tak ku temukan suamiku di sebelahku, ingatanku kembali ke beberapa saat yang lalu dimana kami pulang dari kafe dan aku mendadak muntah-muntah.Aku kembali tersenyum kala ingat tebakan suamiku bahwa aku tengah hamil, tetapi setelah dilakukan tes hasilnya masih negatif.Cklek,Bunyi handle pintu kamar mandi menarik perhatianku, rupanya suamiku baru saja dari dalam sana. Wajahnya sudah basah dan terlihat semakin tampan saja."Sayang udah bangun?" tanyanya sembari melangkah mendekat. Lalu duduk di sampingku."Masih pusing?" tanyanya lagi nampak khawatir dengan menempelkan punggung tangannya di keningku."Udah mendingan tapi masih lemes." jawabku pelan. Menaikkan kepalaku ke pangkuannya."Kamu kenapa sih? Cerita dong sama aku, Yang!" ucapnya sembari mengusap kepalaku."Gak papa, Yang! Maaf ya, udah bikin kamu khawatir. Aku hanya-" jawabku tertahan di tenggorokan. Ah, rasanya tak sampai hati aku mengucap
Aku melihat dengan seksama video kiriman Raka, masih tak percaya hingga aku ulangi sekali lagi. Video berdurasi 20 detik itu mampu meruntuhkan duniaku. Mataku melebar sempurna, dengan mulut menganga. Air mata mengalir begitu saja, bahkan tanganku mulai bergetar.Masih belum yakin kembali aku putar bahkan dengan volume full, takutnya aku salah dengar."Ibu Neni ingat Mbak Zahra?" tanya suster Asih seolah kembali menegaskan. Entah percakapan seperti apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dari ekspresi suster Asih pun nampak terkejut dan bahagia di saat yang bersamaan.Nampak Ibu mengangguk lemah, matanya menatap lurus ke depan. Dan aku yakin, di depan Ibu adalah Raka karena mata Ibu tepat mengarah ke kamera."Siapa Zahra, Bu Neni?" suara suster Asih lagi."Zah-ra. . ." ucapan itu terdengar lirih dan itu keluar dari mulut Ibu.Ibu yang selama ini tak menganggapku ada, akhirnya setelah 27 tahun penantian beliau mau memanggil namaku. Air mata bahagia tak dapat ku bendung lagi, mengalir begitu
Satu bulan kemudianAku masih termenung menatap wajahnya, kerutan kian jelas terlihat di sekitar matanya. Ibu, terlelap begitu damai setelah minum obat yang ku berikan tadi. Selama hampir satu bulan, aku merawatnya. Mulai dari menyuapi makan, memandikan, mengajaknya bercerita dan kadang jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Selama itu pula sorot matanya mulai ada bias kehidupan.Meski, sesekali masih menyebut nama Risma, tetapi sudah tidak ada lagi tindakan brutal yang mengancam orang-orang di sekelilingnya.Hari ini, hari terakhir sebelum esok pagi aku bertolak ke Batam untuk menggelar acara resepsi yang akan berlangsung 4 hari lagi. Sedari pagi, aku menghabiskan waktu bersama Ibu. Entah, rasanya hati ini semakin tak tega meninggalkannya.Usapan lembut di bahuku membuatku menoleh."Tenang aja, Kak! Biar aku yang jaga dan rawat Ibu di sini!" ucap Raka sembari tersenyum.Ya, Raka, adik lelakiku. Dia sudah menyesali perbuatannya dan sudah dibebaskan oleh pihak kepolisian karena Desi
Gundukan tanah merah dengan taburan aneka bunga segar menghiasi, di ujungnya tertancap nisan kokoh bertuliskan nama adik bungsuku, KHARISMA WIJAYANTI.Tangis Raka kian terdengar pilu, bersimpuh di samping nisan dan memeluknya erat. Sekelebat penyesalan dan rasa bersalah kembali hadir di sudut lain hati ini, hingga air mata kembali tumpah dengan derasnya.Andai aku tak melaporkan Risma, andai aku diam saja mengetahui kelakuan Risma, andai, andai dan andai. Aku benci rasa ini, aku benci keadaan ini.El mengeratkan pelukannya padaku, menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Membiarkan tangisku kembali tumpah membasahi bajunya.Setelah tangisnya reda, ia bangkit berdiri. Memandangi tinta hitam yang mengukir nama adiknya di papan kayu jati. Diam, tanpa beralih untuk beberapa saat lamanya.Setelahnya, ia beranjak. Berbalik badan dan menatapku yang berdiri tak jauh darinya. Matanya menyiratkan kepedihan luar biasa, jejak-jejak lelehan air mata masih nampak jelas di kedua pipinya. Lalu, mele