Tepat pukul sembilan motor Var*o putih kesayanganku sudah terparkir cantik di halaman Bank BNI. Gegas aku menghampiri Bang Aksa yang sudah menunggu kedatanganku."Gimana, Bang?" tanyaku setelah berdiri di hadapan Bang Aksa."Beres! Yuk ikut Abang ke dalam!" jawabnya, aku mengangguk pasti kemudian mengekor Bang Aksa masuk ke dalam.Aku pikir, Bang Aksa akan mengambil nomor antrian lebih dulu. Tapi, rupanya Bang Aksa langsung masuk ke dalam sebuah ruangan berdinding kaca gelap tapi masih terlihat jelas seluruh isi ruangannya. Setelah berbicara pada security sebentar, Bang Aksa menoleh padaku."Ayo, Ra!" ucapnya lagi. Setelahnya, mengetuk pintu kaca itu. Mendengar ketukan di pintu, seorang lelaki mungkin seusia Bang Aksa dengan penampilan rapi khas pegawai Bank menoleh dan melambaikan tangannya isyarat mempersilahkan kami masuk."Hay, Bro!" sapa Bang Aksa pada lelaki itu yang aku tebak adalah teman Bang Aksa dari sapaannya yang begitu akrab."Dateng juga, Lu! Gimana kabar?" jawab lelaki
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Hasan, ada sesuatu yang terasa aneh dalam hatiku. Entah perasaan apa ini, aku pun tak dapat mendiskripsikannya dengan jelas.Hasan, pria yang mengaku mencintaiku dan bersedia menungguku. Nyatanya, hanya dalam hitungan kurang dari 4 bulan dari pernyataan cintanya, telah menambatkan hatinya pada wanita lain dalam ikatan sah secara agama dan negara. Ya, mereka telah resmi menikah satu minggu yang lalu. Parahnya, tanpa penjelasan apapun dari Hasan padaku. Ah, aku lupa jika aku bukan siapa-siapa untuknya. Jadi, untuk apa dia menjelaskan padaku, memangnya aku ini siapa? Ah, Zahra! Ingatlah siapa dirimu!Perasaan apa yang bergelayut di hati ini? Apakah cemburu? Tapi, aku rasa tidak. Lalu, marah? Entahlah, aku hanya merasa tidak dihargai oleh keputusannya. Tapi, ya sudahlah! Toh, memang aku sendiri yang meminta waktu 1 tahun kala itu. Mungkin memang dia bukan jodohku. Doa dan harapanku, semoga mereka bahagia dan berjodoh dunia akhirat. Juga aku berdoa
"Hei. .Siapa kamu?"Aku menelan salivaku susah payah. Gemetar seluruh tubuhku, jantungku berpacu cepat. Ya Tuhan, jangan sampai orang itu melihatku tadi keluar dari samping rumah."Hei, budeg ya? Kamu siapa?" ulangnya dengan menepuk bahuku.Mau tak mau aku menoleh ke arahnya, lelaki itu menatapku dengan intens. Lelaki jangkung di hadapanku ini adalah satu dari empat orang yang keluar dari mobil sedan yang terparkir di luar gerbang. "E- maaf, Bang! Saya cari Bu Rukayah, benar ini rumahnya, kan?" jawabku sedikit gemetar."Bu Rukayah? Bentar, gue tanyain dulu!" lantas pria itu masuk kembali tanpa curiga. Aku bernafas lega, itu artinya dia tadi tak melihatku keluar dari samping rumah. Tak lama pria itu kembali."Rumah Bu Rukayah di samping, bukan di sini!" jelasnya menunjuk rumah di samping kiri."Oh maaf, Bang! Kata orang tadi rumah ujung ini!" jawabku pura-pura kikuk."Hem!" dia mengangguk tanpa menyahut.Tak mau membuang waktu, aku segera keluar dari gerbang, berjalan dengan langkah l
"Kenapa orang itu ada di sini?" batinku sembari mematikan mesin kuda besiku.Bang Mada, anak pertama suami Ibu. Yang itu artinya dia adalah kakak Raka dan Risma. Sudah hampir 1 tahun kami tak bersua karena beliau tinggal di lain kota bersama keluarga dan Ibunya. Sedangkan, ayahnya yang juga ayahRaka dan Risma tak tahu dimana rimbanya. Itu sekilas yang beliau ceritakan dulu padaku. Entah jika sekarang!Melihatku datang, kedua pria dewasa itu menghentikan obrolannya. Aku segera naik ke teras sembari mengucap salam."Asalamualaikum!""Walaikumsalam!" jawab keduanya berbarengan."Bang," sapaku pada Bang Mada."Hai, Ra! Apa kabar?" tanyanya balik."Baik, Bang! Abang kok ada di sini?" "Iya, kebetulan ada urusan sama Aksa, jadi mampir ke sini. Pas mau pulang, Ika bilang kalau kamu mau datang. Jadi, Abang sengaja nunggu kamu datang." jelasnya dengan senyum yang masih sama seperti dulu. Ramah dan baik sama seperti ayahnya padaku."Oh, gimana kabar Mbak Sita dan anak-anak, Bang? Juga Tante Ra
Sepulang kerja aku segera tancap gas menuju rumah Kakek Beno, jika tidak macet maka aku akan sampai sekitar jam setengah enam. Saat hendak menstarter motor, Rika memanggilku dengan keras."Apa?" jawabku saat ia sudah berdiri di dekat motorku."Kamu mau langsung pulang?" tanyanya."Enggak aku ada urusan bentar, kenapa?""Oh, itu tadi Mbak Nurma pesan katanya besok pemilik cafe mau datang. Jadi kita diminta datang lebih awal, jam 7 udah harus datang katanya." jelasnya."Bang Haikal?" tanyaku memastikan."Bukan! Bang Hanan, pemiliknya sendiri yang mau datang." "Oh!" "Oh doang?" "Ya terus?""Au Ah! Yaudah, aku mau pulang. Besok jangan telat!""Oke!" Setelahnya gegas aku melajukan motor meninggalkan halaman kafe menuju kota S, rumah Kakek Beno.Sepanjang perjalanan, mendadak aku kepikiran soal Ayah kandungku. Sejujurnya aku sangat penasaran siapa sebenarnya dia? Kata Kakek Beno, dulu Ayah mau bertanggung jawab sama Ibu dan aku tapi faktor ekonomi yang menghalanginya. Itu artinya, belia
"Apa-Apaan ini?!"Aku kembali memungut lembaran kertas itu dengan senyum menyeringai."Bisa baca bukan?" ucapku tenang menatap tajam mata Raka yang kian memerah. "Jadi, diperbolehkan berkemas dan tinggalkan rumahku!" lanjutku tegas.Desi bangkit berdiri di samping suaminya, dia nampak gusar dengan ancamanku. Pun dengan Risma yang sama gelisah, tapi tidak dengan Ibu. Justru beliau diam tak melakukan pembelaan pada putra kebanggaannya itu. Apakah sejatinya beliau sudah tahu jika surat rumah ini atas namaku?"Hei, kamu ini kenapa sih? Jahat banget sama adik sendiri!" bentak Desi dengan suara bergetar. Bahkan di saat seperti ini saja mereka tak sudi memanggilku dengan sebutan yang lebih baik untuk ditujukan kepada orang yang statusnya lebih tua dari mereka, atau sekedar menyebut namaku saja tak mereka lakukan."Aku punya nama, Nona!" ucapku sembari bersedekap dada. "Dan apa kamu bilang tadi? Aku jahat?" ulangku lantas aku tertawa keras."Ya, aku jadi jahat sebab ulah kalian sendiri! Kali
"Kamu!"Ucap Kami berbarengan. Meski telah bertahun-tahun lamanya kami tak berjumpa tapi aku ingat betul pria tampan dengan bekas luka di pelipis kiri itu."El. ." gumamku tak lepas menatap wajah tampan itu."Jenong?"Plak!Reflek aku melayangkan pukulan ke bahu kirinya dengan cepat mendengar ia masih menyebutku dengan panggilan itu."Ya Allah! Dunia sempit banget ya! Atau kita memang ditakdirkan untuk berjodoh?" ucapnya tak tahu tempat.Seketika mataku melebar sempurna mendengar guyonan unfaedahnya itu. Bertahun tak bertemu tapi sengkleknya masih melekat, atau memang penyakit khasnya itu kekal abadi mendiami otaknya yang sudah gak penuh lagi? Entahlah!"Apaan sih! Masih gesrek aja kamu! Aku pikir setelah sekian tahun tak bertemu, otakmu udah penuh. Tahunya malah makin parah!" cibirku kembali berbalik badan dan berniat segera melanjutkan pekerjaanku yang tertunda itu."Eh Jenong, kamu kerja di sini?" tanyanya tetiba duduk di salah satu kursi yang mejanya sedang aku bersihkan."Iya!" j
Hari yang melelahkan namun membahagiakan sekaligus menegangkan telah berhasil aku lewati.Bertemu kembali dengan El atau sekarang lebih tenar dengan nama Hanan. Ah, aku saja baru tahu kalau dia punya nama sebagus itu, EL HANAN ABIMAYU. Menghadirkan getar rasa yang tak bisa aku jabarkan. Dia tak banyak berubah, hanya sekarang jauh lebih dewasa dan tampan, eh!Usai jam kerja, aku berencana segera pulang. Tak sabar rasanya melihat keluarga cemara nan harmonis dan bahagia itu kelabakan karena kalah taruhan denganku. Meski aku yakin saat ini mereka masih berada di rumahku. Melangkah pelan menuju loker untuk mengambil tasku, tetiba Suara Aldi menghentikan langkahku."Zahra!"Aku menoleh dan mendapati Aldi berjalan ke arahku."Eh, Ra! Udah tahu belom kalau si Risma itu gak cuma ngelon*e tapi juga make?" ucapnya pelan nyaris berbisik sembari matanya melirik sekitar.Aku menghela nafas besar lantas mengangguk pelan. Sontak matanya membulat sempurna."Gila!" umpatnya "Kamu tahu darimana, Di?"
"Dan jawaban untuk pertanyaanmu tadi adalah Ibu. . ."Aku mendongak menatap matanya yang masih basah, terdiam menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibir beliau."Ibu. .tak mungkin lagi bersama Ayahmu, Nak!""Kenapa, Bu?" lirihku sedikit kecewa."Ayah masih cinta Ibu, bahkan sampai hari ini Ayah masih menyimpan semua kenangan tentang Ibu!" ucapku berusaha menyakinkan Ibu. Ibu menoleh, menatap mataku dalam dan aku lihat sedikit senyum di bibirnya."Ayah ada di luar sekarang! Ingin bertemu juga dengan Ibu!" lanjutku."Tapi, Ibu merasa tak pantas untuknya! Ibu sudah sangat melukainya, bahkan Ibu punya anak dari lelaki lain. Tak mungkin rasanya Ayahmu masih cinta Ibu!" sanggahnya menunduk."Aku masih sangat mencintaimu, Neni!"Kami menoleh berbarengan dan kulihat Ayah telah berdiri di ambang pintu menatap kami sendu. Segaris senyum terbit setelah mata kami saling bertemu."Mas. . ." lirih Ibu pelan dan matanya tak lepas menatap Ayah.Ayah berjalan mendekat ke arah kami dengan kedua ja
Di sinilah kami sekarang, di depan bangunan toko yang nyaris tak pernah aku kunjungi selama ini karena sudah dikelola oleh Ibu.Kondisi toko lumayan ramai, meski tak sebesar toko yang di kelola Mbak Idah. Nampak beberapa pengunjung datang silih berganti, memang lokasi toko ini cukup strategis karena berada di tepi jalan kota yang ramai."Gimana, Yang, Yah?" tanya El sebelum kami memutuskan turun."Ayah, gugup!" jawab Ayah menatap lurus pintu kaca toko yang tertutup itu."Zahra juga, Yah! Tapi, kita tetap harus masuk ke dalam!" yakinku lagi.Setelah beberapa saat, kami akhirnya turun dan segera masuk ke dalam. Tak ku jumpai Raka di sana, hanya ada seorang kasir yang waktu itu sempat di pekerjakan Ibu di toko pusat. Aku memutuskan untuk bertanya saja padanya dan meninggalkan El serta Ayah di dekat pintu."Kamu-" ucapnya seperti tengah mengingat-ingat."Raka dimana?" tanyaku langsung dan mengabaikan tebakannya."Ada di atas ada perlu apa?" tanyanya sedikit ketus dan menatapku tak suka.A
Dua minggu berlalu dari acara resepsi super mewah itu. Siang ini, kami berencana pulang ke Semarang. Awalnya Kakek meminta kami untuk tinggal saja di sini tetapi dengan sungkan aku menolak karena masih ada Ibu yang menanti kedatanganku.Kakek, Tante Mayang, Damar dan Anggi melepas kami di bandara Hang Nadim untuk kembali ke Semarang.Tepat pukul 2 siang, pesawat lepas landas dan semakin meninggi meninggalkan kota kecil yang mengenalkanku kepada teh obeng ini.Batam, kota kecil dengan segala keindahannya. Sungguh aku jatuh cinta padanya dan suatu hari nanti aku akan putuskan untuk menetap di sini tapi tentu setelah tugasku selesai. Itu sudah aku bicarakan dengan suamiku dan tentu saja dia sangat mendukung.Selama di pesawat sudah tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan Ibu dan memeluk tubuhnya. Pun dengan Ayah, yang wajahnya kian berseri sejak pagi tadi. Beliau pun tak sabar untuk bertemu dengan sang ratu yang menghuni hatinya.Teringat kembali percakapan kami beberapa waktu lalu
Seluruh rangkaian acara resepsi pernikahan kami digelar begitu mewahnya, aku terkagum sekaligus masih tak menyangka akan jadi sebegitu mewah dan meriahnya acara ini.Awalnya aku pikir, resepsi ini hanya sekedar resepsi biasa layaknya resepsi yang pernah aku datangi kala di kampung. Namun rupanya, jauh dari bayanganku. Pesta ini tak kalah mewah dengan pesta resepsi artis dan youtuber ternama yang beberapa waktu lalu aku lihat di televisi.Sekali lagi aku lupa, siapa suamiku dan keluarga besarnya. Dan itu membuatku semakin tidak percaya diri, aku merasa asing di sini. Hanya ada Ayah, Mbak Ika, dan Bang Aksa, dari pihak keluargaku.Ribuan undangan berasal dari kalangan orang ternama, mulai dari pengusaha, artis ibu kota, petinggi Bank swasta, politisi bahkan nampak hadir pula putra bungsu orang nomor satu di negeri ini. Aku bagai mimpi berdiri di sini."Woy, Bro! Selamat, akhirnya berani juga melepas masa lajang!" ucap lelaki bertubuh kekar ini sembari memeluk tubuh suamiku. Aku yang ber
Bias cahaya yang pernah hilang perlahan kembali meski masih samar, suara berdenging memekakkan membuatku menutup telinga dengan kedua tangan.Sesak di dalam dada kian menghimpit jiwa, entah apa yang terjadi denganku, aku pun asing dengan jiwaku. Tak kutemukan siapapun di tempatku berdiri, tak ada apapun untuk dapat ku gapai, tak ada bias lain selain pendar cahaya yang berkilau.Suara tangis bayi kian jelas terdengar, membawaku menyeret langkah mendekat, meski membawa beban berat di pundakku. Bayi, ya, bayi! Jauh di sudut pandang kulihat bayi merah tergeletak dan menangis. Namun, semakin cepat langkah ku bawa, semakin jauh pula untuk ku gapai dia.Apa ini? Ada apa dengan semua ini? Batin bertanya dan terus bertanya, kaki telah lelah melangkah namun tak jua sampai padanya. Siapa dia? Kenapa dia di sini, namun tak bisa ku gapai?Terduduk lesu bertumpu kedua kakiku, aku ada dimana?Kulihat bayi merah itu kian tumbuh layaknya anak-anak lainnya. Mulai dari dia tengkurap, merangkak, duduk, j
Mataku mengerjap beberapa kali, tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku menggeliat dan tak ku temukan suamiku di sebelahku, ingatanku kembali ke beberapa saat yang lalu dimana kami pulang dari kafe dan aku mendadak muntah-muntah.Aku kembali tersenyum kala ingat tebakan suamiku bahwa aku tengah hamil, tetapi setelah dilakukan tes hasilnya masih negatif.Cklek,Bunyi handle pintu kamar mandi menarik perhatianku, rupanya suamiku baru saja dari dalam sana. Wajahnya sudah basah dan terlihat semakin tampan saja."Sayang udah bangun?" tanyanya sembari melangkah mendekat. Lalu duduk di sampingku."Masih pusing?" tanyanya lagi nampak khawatir dengan menempelkan punggung tangannya di keningku."Udah mendingan tapi masih lemes." jawabku pelan. Menaikkan kepalaku ke pangkuannya."Kamu kenapa sih? Cerita dong sama aku, Yang!" ucapnya sembari mengusap kepalaku."Gak papa, Yang! Maaf ya, udah bikin kamu khawatir. Aku hanya-" jawabku tertahan di tenggorokan. Ah, rasanya tak sampai hati aku mengucap
Aku melihat dengan seksama video kiriman Raka, masih tak percaya hingga aku ulangi sekali lagi. Video berdurasi 20 detik itu mampu meruntuhkan duniaku. Mataku melebar sempurna, dengan mulut menganga. Air mata mengalir begitu saja, bahkan tanganku mulai bergetar.Masih belum yakin kembali aku putar bahkan dengan volume full, takutnya aku salah dengar."Ibu Neni ingat Mbak Zahra?" tanya suster Asih seolah kembali menegaskan. Entah percakapan seperti apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dari ekspresi suster Asih pun nampak terkejut dan bahagia di saat yang bersamaan.Nampak Ibu mengangguk lemah, matanya menatap lurus ke depan. Dan aku yakin, di depan Ibu adalah Raka karena mata Ibu tepat mengarah ke kamera."Siapa Zahra, Bu Neni?" suara suster Asih lagi."Zah-ra. . ." ucapan itu terdengar lirih dan itu keluar dari mulut Ibu.Ibu yang selama ini tak menganggapku ada, akhirnya setelah 27 tahun penantian beliau mau memanggil namaku. Air mata bahagia tak dapat ku bendung lagi, mengalir begitu
Satu bulan kemudianAku masih termenung menatap wajahnya, kerutan kian jelas terlihat di sekitar matanya. Ibu, terlelap begitu damai setelah minum obat yang ku berikan tadi. Selama hampir satu bulan, aku merawatnya. Mulai dari menyuapi makan, memandikan, mengajaknya bercerita dan kadang jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Selama itu pula sorot matanya mulai ada bias kehidupan.Meski, sesekali masih menyebut nama Risma, tetapi sudah tidak ada lagi tindakan brutal yang mengancam orang-orang di sekelilingnya.Hari ini, hari terakhir sebelum esok pagi aku bertolak ke Batam untuk menggelar acara resepsi yang akan berlangsung 4 hari lagi. Sedari pagi, aku menghabiskan waktu bersama Ibu. Entah, rasanya hati ini semakin tak tega meninggalkannya.Usapan lembut di bahuku membuatku menoleh."Tenang aja, Kak! Biar aku yang jaga dan rawat Ibu di sini!" ucap Raka sembari tersenyum.Ya, Raka, adik lelakiku. Dia sudah menyesali perbuatannya dan sudah dibebaskan oleh pihak kepolisian karena Desi
Gundukan tanah merah dengan taburan aneka bunga segar menghiasi, di ujungnya tertancap nisan kokoh bertuliskan nama adik bungsuku, KHARISMA WIJAYANTI.Tangis Raka kian terdengar pilu, bersimpuh di samping nisan dan memeluknya erat. Sekelebat penyesalan dan rasa bersalah kembali hadir di sudut lain hati ini, hingga air mata kembali tumpah dengan derasnya.Andai aku tak melaporkan Risma, andai aku diam saja mengetahui kelakuan Risma, andai, andai dan andai. Aku benci rasa ini, aku benci keadaan ini.El mengeratkan pelukannya padaku, menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Membiarkan tangisku kembali tumpah membasahi bajunya.Setelah tangisnya reda, ia bangkit berdiri. Memandangi tinta hitam yang mengukir nama adiknya di papan kayu jati. Diam, tanpa beralih untuk beberapa saat lamanya.Setelahnya, ia beranjak. Berbalik badan dan menatapku yang berdiri tak jauh darinya. Matanya menyiratkan kepedihan luar biasa, jejak-jejak lelehan air mata masih nampak jelas di kedua pipinya. Lalu, mele