Tok tok tok!
"Assalamualaikum!" Tak lama terdengar putaran anak kunci dibarengi jawaban salamku tadi."Walaikumsalam. .eh, Zahra!" Seorang wanita cantik menyambut kedatanganku dengan senyum manisnya, namanya Mbak Ika. "Iya, Mbak." ucapku membalas senyumnya."Masuk, yuk!" ajaknya.Aku mengekor sang empunya rumah masuk ke dalam. Mbak Ika mempersilahkanku duduk di sofa ruang tamu, sedangkan beliau berlalu ke dalam untuk membuatkan minum.Tak lama beliau kembali dengan 2 gelas berisi minuman berwarna hijau."Diminum, Ra! Udah lama loh kamu gak main ke sini. Sibuk ya?" ucapnya sembari menjatuhkan bobot di sebelahku."Masuk sore, Mbak! Kalau pagi, biasalah. .banyak tugas negara!" jawabku membuat pemilik lesung di kedua pipinya itu tertawa. Entah apa yang beliau tertawakan, nasibkukah? "Kamu ini! Dahlah, kalau gak sanggup tinggalin aja ke sini!" ucapnya di akhir tawa.Ya, beliau adalah salah satu orang yang paling tahu kehidupanku setelah nenek tiada. Mbak Ika adalah menantu Pak Bandi, rumahnya satu kompleks denganku tapi beda gang. "Enggak, Mbak! Menurut Nenek, rumah itu adalah milikku. Jadi, apapun alasannya aku harus bertahan." jawabku.Mbak Ika menatapku dengan pandangan iba. "Tapi, tidak dengan mengorbankan dirimu begini, Ra! Kamu berhak meraih kebahagiaanmu sendiri." ucapnya pelan sembari mengusap bahuku.Aku tersenyum, meyakinkan bahwa aku masih baik-baik saja."Tenang, Mbak! Kalau udah gak kuat aku bakal lari ke sini!" jawabku meyakinkan."Yaudah, pokoknya kalau butuh bantuan jangan sungkan datang padaku!" "Iya! Buktinya sekarang aku datang, emang lagi butuh bantuan, hehe!" jawabku dengan tawa tanpa dosa."Ada apa? Kamu butuh bantuan apa?" tanyanya antusias."Aku kepengen ketemu sama Kakek Beno, Mbak!" jawabku mulai serius, Mbak Ika mengernyitkan keningnya menatapku heran."Kakek?" tanyanya meyakinkan. Aku balas dengan anggukan kepala tegas."Ada apa?" tanyanya lagi."Penting, Mbak! Kali aja, Kakek tahu sesuatu tentang diriku." "Maksudnya?" Akhirnya aku ceritakan soal penemuanku tadi pagi, Mbak Ika manggut-manggut menyimak tanpa menyela."Gitu ya? Yaudah, mau hari ini juga kita temui Kakek?" Aku mengangguk yakin."Oke, kebetulan Bang Aksa libur hari ini, jadi kita bisa pergi sama-sama. Tunggu bentar ya!" ucapnya lantas bangkit berdiri dan masuk ke dalam. Kakek Beno sejak 1 tahun yang lalu tinggal bersama anak ketiganya, adik bungsu dari Pak Bandi, mereka tinggal di kota lain namun masih bisa di tempuh dengan transportasi darat. Hanya butuh waktu sekitar 2 jam perjalanan menuju tempat tinggal Kakek Beno sekarang.Tak lama Mbak Ika keluar dengan sudah berganti baju dan menenteng tas selempang miliknya, di belakangnya Bang Aksa, suaminya mengekor dan juga sudah rapi."Maafin ya, Mbak, Bang! Zahra jadi ngerepotin!" ungkapku sungkan pada pasutri yang sangat baik hati ini."Belum pergi, Ra! Udah gak enakan aja kamu!" jawab Bang Aksa diiringi tawa kecil."Kalau gak enak kasih garem sama micin, biar sedap!" lanjut Mbak Ika lalu tertawa.Aku hanya bisa ikut tertawa, karena memang aku tak bisa bergerak sendiri ke sana. Di samping jauh, aku juga belum tahu rumahnya."Abang keluarin mobil dulu, lepas itu masukin motor kamu ke garasi, ya! Soalnya lagi gak ada orang di rumah!" ucap Bang Aksa sembari berjalan keluar menuju garasi samping kiri rumah ini. Setelah Bang Aksa mengeluarkan mobilnya, segera aku dorong motor kesayanganku masuk ke dalam garasi, tak lupa aku tutup pintunya sesuai perintah Bang Aksa tadi. Setelahnya, aku segera bergabung naik ke dalam mobil Avanza silver di kursi belakang.Hari belum terlalu panas saat mobil Bang Aksa mulai membaur dengan pengendara lainnya. Kami berangkat tepat pukul sepuluh pagi menjelang siang."Kamu udah sarapan belum, Ra?" tanya Mbak Ika memecah keheningan."Udah, Mbak!" jawabku."Yakin?" Mbak Ika menoleh ke belakang dengan memicingkan mata."Iya! Mulai hari ini, gak ada yang bisa melarang Zahra melakukan apapun di rumah. Termasuk makan apapun yang Zahra masak!" jawabku sungguh-sungguh membuat Mbak Ika tersenyum lebar.Meski tadi pagi harus terjadi drama lebih dulu karena aku makan lauk dan sayur yang aku masak, yang biasanya aku hanya akan kebagian sisanya saja. Tapi tidak mulai hari ini. Setelah selesai masak, aku segera makan lebih dulu."Nah, gitu dong! Jangan lemah, Ra! Kamu itu anak tertua, jangan mau di tindas sama adik-adik kamu yang gak ada ahlak itu!" semangatnya. Namun, tetiba beliau terdiam saat pahanya di pukul halus oleh Bang Aksa."Dek, jangan jadi kompor dong!" tegur Bang Aksa. Membuat Mbak Ika salah tingkah."Mbak Ika benar kok, Bang! Zahra aja yang selama ini terlalu bodoh dan lemah." sergahku cepat."Nah, kalau kamu sudah mulai menyadari itu. Bangkit, tapi ingat jangan membalas perlakuan mereka dengan perlakuan yang sama buruknya. Kalau kamu balas mereka sama buruknya, apa bedanya kamu sama mereka? Terus doakan mereka supaya mendapat hidayah dan segera tobat. Kamu harus tegas demi menyelamatkan harga dirimu. Membalas tidak harus dengan cara yang sama, tetapi balas mereka dengan cara yang elegan!" wejangnya panjang lebar. Aku mengiyakannya, memang selama ini akulah yang bodoh dan mereka memanfaatkan kebodohanku untuk mereka bertindak semena-mena terhadapku. Sudah bukan rahasia lagi bagi seluruh penghuni kompleks, jika aku diperlakukan layaknya budak oleh keluargaku sendiri. Tapi, mereka juga tak bisa berbuat apa-apa. Sebab, jika mereka kasihan terhadapku justru itu akan lebih menyengsarakanku. Ibu tak segan memarahi dan memakiku di depan banyak orang dan berujung tak memberiku makan seharian penuh.Kami lanjut berbincang banyak hal, termasuk membahas usiaku yang sudah matang dan siap menikah."Kamu gak mau nikah aja, Ra?" celetuk Mbak Ika tiba-tiba. Aku tak terkejut lagi, pasalnya hampir setiap orang yang berkesempatan ngobrol denganku, pertanyaan itu tak luput mereka utarakan."Bukan gak pengen, Mbak. Tapi, aku rasa belum saatnya." jawabku santai.Ya, bukan tak ingin aku menikah dan membangun keluarga kecil. Tapi, aku tak ingin menambah aib untuk nama keluargaku yang sudah cukup memalukan. Pasalnya, nasabku ke Ibuku. Tak ada nama ayahku yang tersemat di belakang namaku. Aku hanya takut jika waktu ijab nanti semua orang akan membahas nama belakangku yang berbinti Ibuku. Dan lagi, apa ada orang yang akan menerimaku yang demikian? Ah, seketika ingatanku tertuju pada seorang lelaki yang beberapa bulan lalu menyatakan niatnya untuk menikahiku. Namanya, Hasan. Dia, salah satu pelanggan kafe tempatku bekerja. Bukan berasal dari keluarga konglomerat tetapi dia memiliki usaha sendiri. Memiliki toko furniture dan elektronik yang letaknya bersebrangan dengan kafe tempat kerjaku.Kami kenal sudah lebih dari 2 tahun, dia merupakan teman SMA dan kembali bertemu saat dia pulang dari Singapura waktu itu. Dia bukan perjaka karena pernah menikah sebelumnya. Dia duda dengan satu orang anak perempuan yang masih berusia 3 tahun, istrinya meninggal saat melahirkan putrinya. Itu sekilas yang aku tahu."Zahra, maukah kamu menjadi Ibunya Sabila dan menjadi istriku?" ungkapnya di suatu sore beberapa bulan yang lalu."Maaf, San. Aku belum berpikir ke arah sana. Aku mau fokus dulu untuk kesembuhan Nenek." jawabku menolak lamarannya."Ra, aku benar mencintaimu. Aku akan menunggumu hingga kamu siap." yakinnya lagi."Jika kamu memang mencintaiku, tunggulah 1 tahun lagi.""Pasti, aku pasti akan menunggumu. Tapi, jangan ada yang berubah dari pertemanan kita, tetaplah seperti hari-hari kemarin." pintanya lagi. Bahkan, dia juga mengutarakan niatnya itu pada nenek waktu itu dan jawaban nenek terserah padaku. Hingga hari ini, kami masih sering bertukar pesan, jika ada waktu dan kesempatan kami sering pergi bersama Sabila. Namun, setelah Nenek tiada. Kami jadi jarang bertemu dikarenakan kesibukanku akan pekerjaan yang tak ada habisnya di rumah. Membuatku tak seleluasa dulu untuk pergi keluar rumah.Namun begitu, komunikasi masih lancar melalui pesan dan telepon, tak jarang dia menyempatkan video call tentu dengan alasan Sabila mencariku. Aku tersenyum sendiri mengingat lelaki berdarah Jawa-Sunda itu."Kenapa senyum-senyum, Ra? Kesambet?" ledek Mbak Ika.Seketika wajahku memanas, rasa malu menyergap jiwaku. Mbak Ika menatapku heran dengan menyatukan kedua alisnya."Eh, enggak, Mbak!" jawabku kikuk."Atau, lagi kangen sama pacar?" godanya yang membuatku kian merasa malu."Enggak, Mbak! Aku gak punya pacar! Gimana mau pacaran, wong kerjaan aja sudah menyita seluruh perhatian kok. Yang ada pacarku kalah sama pekerjaan!" jawabku menetralkan detak jantung yang kian berpacu. Tapi, jawabanku benar adanya, aku gak sempat sekedar mikirin pacaran. Mbak Ika tertawa keras.Ah, betapa aku telah menyia-nyiakan masa mudaku. Eh, bentar lagi udah kepala 3 aja! Sepanjang hidupku belum pernah yang namanya punya pacar ataupun pacaran, teman dekat ada dan ada beberapa juga yang menyatakan perasaannya padaku. Tapi, akunya yang gak sempat. Selepas sekolah, aku fokus dengan bekerja dan mengumpulkan uang untuk kehidupan sehari-hari yang di bebankan padaku. Istilah kasarnya, makan pun mereka bergantung padaku.Meski pada akhirnya seluruh tabungan habis tak tersisa demi menutup kebutuhan dan biaya berobat nenek selama 1 tahun lamanya. Aku menghela nafas besar, kembali sesak mengingat masa laluku. Tanpa terasa, mobil Bang Aksa sudah berhenti di halaman sebuah rumah yang cukup besar dan mewah. Terlihat dari pilar yang berjajar gagah di teras rumah berlantai dua itu."Udah sampai!" ucap Bang Aksa.Kami semua turun dari mobil dan segera melangkah ke teras rumah. Dua kali menekan bel, tak lama pintu utama di buka oleh wanita paruh baya yang terlihat sangat cantik dan modis."Eh, Aksa, Ika!" sambutnya ramah."Iya, Tan. Gimana kabarnya, Tan?" tanya Mbak Ika sembari bercipika-cipiki."Baik, gimana kalian? Datang kok ga kabarin dulu!" lanjutnya setelah melepas pelukan pada Bang Aksa."Mendadak, Tan. Mau anterin dia!" jawab Mbak Ika menunjukku yang berdiri di belakang mereka dengan dagu.Wanita paruh baya itu lantas menatapku."Kenalin, Tan. Dia Zahra, tetangga rumah." jelas Mbak Ika, aku lantas mengulurkan tangan pada beliau dan di sambut balik."Ra, ini Tante Maya, istrinya Om Kusno." jelas Mbak Ika lagi."Zahra, Tante." ucapku memperkenalkan diri. Tante Maya pun menyebut namanya dengan ramah."Mau ketemu Kakek, Tan. Ada?" sahut Bang Aksa."Oh, ada! Yuk masuk, masuk!" ajak Tante Maya lantas kami mengekori beliau masuk ke dalam rumah mewahnya.Kami dibimbing menuju ke arah belakang, melewati ruang tamu dan satu ruangan yang pintunya tertutup, yang aku tebak pastilah sebuah kamar. Tante Maya mempersilahkan kami duduk di ruang keluarga, sementara beliau berlalu ke belakang untuk memanggil Kakek.Tak lama, lelaki sepuh yang aku cari itu datang. Berjalan pelan dengan bantuan tongkat di tangan kirinya. Bang Aksa dan Mbak Ika segera menyambut dan mncium tangannya takzim. Pun denganku setelah Mbak Ika dan Bang Aksa kembali duduk."Zahra! Kamu datang, Nak!" sambutnya dengan senyum mengembang begitu aku mendekat dan mencium punggung tangannya.Ada yang janggal dari ucapan beliau, seolah beliau sudah menunggu saat ini. Apakah, beliau sudah tahu akan hari ini? Dan maksud akan kedatanganku kemari?Aku mendongak, menatap mata tua dengan sorot tajam itu. Beliau tersenyum lebar dan satu tangannya mengusap punggungku."Duduklah! Kakek tahu maksud kedatanganmu!"🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻Usai berbasa-basi sekedarnya, kami di jamu untuk makan siang lebih dulu sebelum Kakek Beno berbicara padaku 4 mata saja. Sesungguhnya rasa hati sudah tak sabar lagi, tapi mau bagaimana lagi. Aku tetap harus sabar demi mendapat informasi tentang diriku sendiri. Aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Aku harus mengorek informasi tentang diriku dari orang lain.Kami menikmati makan siang dengan hikmat, sesekali gelak tawa dari kami memenuhi ruang makan yang menyatu dengan dapur mewah ini. Kehangatan dan rasa kekeluargaan sangat terasa sekali, ada yang menghangat di hati ini. Ini untuk pertama kalinya aku merasakan layaknya memiliki keluarga yang utuh dan harmonis. Tante Maya dan Kakek Beno tak menganggapku orang lain, meski baru pertama kali aku datang kemari. Bahkan, anak kedua Tante Maya juga cepat sekali akrab meski baru beberapa menit yang lalu kami bertemu saat dia pulang sekolah.Usai makan dan sholat zuhur, di sinilah aku. Di teras belakang kamar Kakek Beno, duduk di kursi panjan
"Sertifikat rumah itu atas nama Arum. Tapi, dia sudah membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa setelah dirinya meninggal, sertifikat rumah itu harus dibalik menjadi namamu." ucap Kakek Beno membuat perasaanku seketika plong, itu artinya rumah itu benar menjadi hak milikku."Lalu dimana suratnya, Kek?" "Selama ini surat rumah itu ada pada Kakek. Makanya, setelah 7 hari Arum meninggal, Kakek segera urus balik nama surat rumah itu. Sekarang masih di kantor pengacara Kakek, kamu tenang saja, semua sudah berjalan seperti keinginan Arum." Aku tersenyum lega mendengar jawaban beliau."Senin besok biar sekalian dibawa sama Aksa, atau kamu mau ambil sendiri kemari?" "Gak usah, Kek. Sementara biarlah surat itu ada sama Kakek. Kakek tahu sendiri bagaimana tabiat Ibu dan Adik-adik Zahra. Kalau surat itu ada sama Zahra, Zahra takut tak bisa amanah, Kek." jawabku yakin, aku hanya takut Ibu dan kedua adikku akan merampas hak milikku. Biarlah sementara waktu ini mereka menikmati berada di ru
Saking gemetarnya aku sampai lupa menanyakan pin dari kartu tipis ini. Ah, tapi aku percaya jika pin kartu ini bukan kombinasi angka yang sulit sebab nenek adalah tipe orang yang tak mau ribet dengan angka-angka.Di sinilah aku sekarang. Di depan mesin canggih yang hanya dengan menekan angka maka dia akan mempermudah kita dalam bertransaksi.Meski sudah tahu jumlahnya di buku tabungan yang telah diperbaharui, tapi tetap saja aku harus memastikan lagi.Menarik nafas dalam-dalam dan segera memasukkan kartu itu pada tempatnya. Menekan beberapa digit angka yang merupakan kombinasi tanggal kelahiranku. Dan, berhasil hanya dalam satu kali tekan saja.Memilih menu informasi saldo dan terpampang dengan jelas 7 digit angka dengan diikuti 3 nol di belakangnya membuat keringat dingin merembes dari dahiku.Senang? Tentu saja, tapi rasa itu berbaur menjadi satu dengan perasaan heran dan penasaran akan sosok ayah kandungku. Aku memutuskan keluar tanpa transaksi lagi. Ataupun sekedar menarik bebera
Sejauh apapun kakimu melangkah pergi, tetap keluargalah tempatmu pulang.-Adinda Azzahra-Dering ponsel yang aku beli kemarin terdengar nyaring di gendang telingaku. Dengan berat aku mengulurkan tangan meraba di sela bantal. Begitu menyentuhnya, segera aku jawab panggilan itu tanpa melihat nomor siapa yang menghubungi."Hallo!" jawabku dengan suara berat."Hallo, Ra! Ini, Mbak Ika!" mataku membeliak mendengar suara Mbak Ika di seberang sana. "Kata Bang Aksa nanti jam 9 kamu ditunggu Bang Aksa di Bank. Suruh bawa buku tabungan sama KTP kamu yang asli." lanjutnya tanpa menungguku bersuara lebih dulu."Beneran, Mbak?" tanyaku memastikan."Iya, bener! Deposito Nenek kamu bisa langsung cair!" jawabnya meyakinkanku. Seketika kantuk yang mendera sirna sudah, tergantikan semangat yang luar biasa. Aku segera bangkit dan terduduk masih dengan ponsel yang menempel di telingaku."Alhamdulillah. ." gumamku bersyukur karena diberi kemudahan mengurus semuanya."Nanti Mbak Ika temanin ya?" pintaku.
Tepat pukul sembilan motor Var*o putih kesayanganku sudah terparkir cantik di halaman Bank BNI. Gegas aku menghampiri Bang Aksa yang sudah menunggu kedatanganku."Gimana, Bang?" tanyaku setelah berdiri di hadapan Bang Aksa."Beres! Yuk ikut Abang ke dalam!" jawabnya, aku mengangguk pasti kemudian mengekor Bang Aksa masuk ke dalam.Aku pikir, Bang Aksa akan mengambil nomor antrian lebih dulu. Tapi, rupanya Bang Aksa langsung masuk ke dalam sebuah ruangan berdinding kaca gelap tapi masih terlihat jelas seluruh isi ruangannya. Setelah berbicara pada security sebentar, Bang Aksa menoleh padaku."Ayo, Ra!" ucapnya lagi. Setelahnya, mengetuk pintu kaca itu. Mendengar ketukan di pintu, seorang lelaki mungkin seusia Bang Aksa dengan penampilan rapi khas pegawai Bank menoleh dan melambaikan tangannya isyarat mempersilahkan kami masuk."Hay, Bro!" sapa Bang Aksa pada lelaki itu yang aku tebak adalah teman Bang Aksa dari sapaannya yang begitu akrab."Dateng juga, Lu! Gimana kabar?" jawab lelaki
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Hasan, ada sesuatu yang terasa aneh dalam hatiku. Entah perasaan apa ini, aku pun tak dapat mendiskripsikannya dengan jelas.Hasan, pria yang mengaku mencintaiku dan bersedia menungguku. Nyatanya, hanya dalam hitungan kurang dari 4 bulan dari pernyataan cintanya, telah menambatkan hatinya pada wanita lain dalam ikatan sah secara agama dan negara. Ya, mereka telah resmi menikah satu minggu yang lalu. Parahnya, tanpa penjelasan apapun dari Hasan padaku. Ah, aku lupa jika aku bukan siapa-siapa untuknya. Jadi, untuk apa dia menjelaskan padaku, memangnya aku ini siapa? Ah, Zahra! Ingatlah siapa dirimu!Perasaan apa yang bergelayut di hati ini? Apakah cemburu? Tapi, aku rasa tidak. Lalu, marah? Entahlah, aku hanya merasa tidak dihargai oleh keputusannya. Tapi, ya sudahlah! Toh, memang aku sendiri yang meminta waktu 1 tahun kala itu. Mungkin memang dia bukan jodohku. Doa dan harapanku, semoga mereka bahagia dan berjodoh dunia akhirat. Juga aku berdoa
"Hei. .Siapa kamu?"Aku menelan salivaku susah payah. Gemetar seluruh tubuhku, jantungku berpacu cepat. Ya Tuhan, jangan sampai orang itu melihatku tadi keluar dari samping rumah."Hei, budeg ya? Kamu siapa?" ulangnya dengan menepuk bahuku.Mau tak mau aku menoleh ke arahnya, lelaki itu menatapku dengan intens. Lelaki jangkung di hadapanku ini adalah satu dari empat orang yang keluar dari mobil sedan yang terparkir di luar gerbang. "E- maaf, Bang! Saya cari Bu Rukayah, benar ini rumahnya, kan?" jawabku sedikit gemetar."Bu Rukayah? Bentar, gue tanyain dulu!" lantas pria itu masuk kembali tanpa curiga. Aku bernafas lega, itu artinya dia tadi tak melihatku keluar dari samping rumah. Tak lama pria itu kembali."Rumah Bu Rukayah di samping, bukan di sini!" jelasnya menunjuk rumah di samping kiri."Oh maaf, Bang! Kata orang tadi rumah ujung ini!" jawabku pura-pura kikuk."Hem!" dia mengangguk tanpa menyahut.Tak mau membuang waktu, aku segera keluar dari gerbang, berjalan dengan langkah l
"Kenapa orang itu ada di sini?" batinku sembari mematikan mesin kuda besiku.Bang Mada, anak pertama suami Ibu. Yang itu artinya dia adalah kakak Raka dan Risma. Sudah hampir 1 tahun kami tak bersua karena beliau tinggal di lain kota bersama keluarga dan Ibunya. Sedangkan, ayahnya yang juga ayahRaka dan Risma tak tahu dimana rimbanya. Itu sekilas yang beliau ceritakan dulu padaku. Entah jika sekarang!Melihatku datang, kedua pria dewasa itu menghentikan obrolannya. Aku segera naik ke teras sembari mengucap salam."Asalamualaikum!""Walaikumsalam!" jawab keduanya berbarengan."Bang," sapaku pada Bang Mada."Hai, Ra! Apa kabar?" tanyanya balik."Baik, Bang! Abang kok ada di sini?" "Iya, kebetulan ada urusan sama Aksa, jadi mampir ke sini. Pas mau pulang, Ika bilang kalau kamu mau datang. Jadi, Abang sengaja nunggu kamu datang." jelasnya dengan senyum yang masih sama seperti dulu. Ramah dan baik sama seperti ayahnya padaku."Oh, gimana kabar Mbak Sita dan anak-anak, Bang? Juga Tante Ra
"Dan jawaban untuk pertanyaanmu tadi adalah Ibu. . ."Aku mendongak menatap matanya yang masih basah, terdiam menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibir beliau."Ibu. .tak mungkin lagi bersama Ayahmu, Nak!""Kenapa, Bu?" lirihku sedikit kecewa."Ayah masih cinta Ibu, bahkan sampai hari ini Ayah masih menyimpan semua kenangan tentang Ibu!" ucapku berusaha menyakinkan Ibu. Ibu menoleh, menatap mataku dalam dan aku lihat sedikit senyum di bibirnya."Ayah ada di luar sekarang! Ingin bertemu juga dengan Ibu!" lanjutku."Tapi, Ibu merasa tak pantas untuknya! Ibu sudah sangat melukainya, bahkan Ibu punya anak dari lelaki lain. Tak mungkin rasanya Ayahmu masih cinta Ibu!" sanggahnya menunduk."Aku masih sangat mencintaimu, Neni!"Kami menoleh berbarengan dan kulihat Ayah telah berdiri di ambang pintu menatap kami sendu. Segaris senyum terbit setelah mata kami saling bertemu."Mas. . ." lirih Ibu pelan dan matanya tak lepas menatap Ayah.Ayah berjalan mendekat ke arah kami dengan kedua ja
Di sinilah kami sekarang, di depan bangunan toko yang nyaris tak pernah aku kunjungi selama ini karena sudah dikelola oleh Ibu.Kondisi toko lumayan ramai, meski tak sebesar toko yang di kelola Mbak Idah. Nampak beberapa pengunjung datang silih berganti, memang lokasi toko ini cukup strategis karena berada di tepi jalan kota yang ramai."Gimana, Yang, Yah?" tanya El sebelum kami memutuskan turun."Ayah, gugup!" jawab Ayah menatap lurus pintu kaca toko yang tertutup itu."Zahra juga, Yah! Tapi, kita tetap harus masuk ke dalam!" yakinku lagi.Setelah beberapa saat, kami akhirnya turun dan segera masuk ke dalam. Tak ku jumpai Raka di sana, hanya ada seorang kasir yang waktu itu sempat di pekerjakan Ibu di toko pusat. Aku memutuskan untuk bertanya saja padanya dan meninggalkan El serta Ayah di dekat pintu."Kamu-" ucapnya seperti tengah mengingat-ingat."Raka dimana?" tanyaku langsung dan mengabaikan tebakannya."Ada di atas ada perlu apa?" tanyanya sedikit ketus dan menatapku tak suka.A
Dua minggu berlalu dari acara resepsi super mewah itu. Siang ini, kami berencana pulang ke Semarang. Awalnya Kakek meminta kami untuk tinggal saja di sini tetapi dengan sungkan aku menolak karena masih ada Ibu yang menanti kedatanganku.Kakek, Tante Mayang, Damar dan Anggi melepas kami di bandara Hang Nadim untuk kembali ke Semarang.Tepat pukul 2 siang, pesawat lepas landas dan semakin meninggi meninggalkan kota kecil yang mengenalkanku kepada teh obeng ini.Batam, kota kecil dengan segala keindahannya. Sungguh aku jatuh cinta padanya dan suatu hari nanti aku akan putuskan untuk menetap di sini tapi tentu setelah tugasku selesai. Itu sudah aku bicarakan dengan suamiku dan tentu saja dia sangat mendukung.Selama di pesawat sudah tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan Ibu dan memeluk tubuhnya. Pun dengan Ayah, yang wajahnya kian berseri sejak pagi tadi. Beliau pun tak sabar untuk bertemu dengan sang ratu yang menghuni hatinya.Teringat kembali percakapan kami beberapa waktu lalu
Seluruh rangkaian acara resepsi pernikahan kami digelar begitu mewahnya, aku terkagum sekaligus masih tak menyangka akan jadi sebegitu mewah dan meriahnya acara ini.Awalnya aku pikir, resepsi ini hanya sekedar resepsi biasa layaknya resepsi yang pernah aku datangi kala di kampung. Namun rupanya, jauh dari bayanganku. Pesta ini tak kalah mewah dengan pesta resepsi artis dan youtuber ternama yang beberapa waktu lalu aku lihat di televisi.Sekali lagi aku lupa, siapa suamiku dan keluarga besarnya. Dan itu membuatku semakin tidak percaya diri, aku merasa asing di sini. Hanya ada Ayah, Mbak Ika, dan Bang Aksa, dari pihak keluargaku.Ribuan undangan berasal dari kalangan orang ternama, mulai dari pengusaha, artis ibu kota, petinggi Bank swasta, politisi bahkan nampak hadir pula putra bungsu orang nomor satu di negeri ini. Aku bagai mimpi berdiri di sini."Woy, Bro! Selamat, akhirnya berani juga melepas masa lajang!" ucap lelaki bertubuh kekar ini sembari memeluk tubuh suamiku. Aku yang ber
Bias cahaya yang pernah hilang perlahan kembali meski masih samar, suara berdenging memekakkan membuatku menutup telinga dengan kedua tangan.Sesak di dalam dada kian menghimpit jiwa, entah apa yang terjadi denganku, aku pun asing dengan jiwaku. Tak kutemukan siapapun di tempatku berdiri, tak ada apapun untuk dapat ku gapai, tak ada bias lain selain pendar cahaya yang berkilau.Suara tangis bayi kian jelas terdengar, membawaku menyeret langkah mendekat, meski membawa beban berat di pundakku. Bayi, ya, bayi! Jauh di sudut pandang kulihat bayi merah tergeletak dan menangis. Namun, semakin cepat langkah ku bawa, semakin jauh pula untuk ku gapai dia.Apa ini? Ada apa dengan semua ini? Batin bertanya dan terus bertanya, kaki telah lelah melangkah namun tak jua sampai padanya. Siapa dia? Kenapa dia di sini, namun tak bisa ku gapai?Terduduk lesu bertumpu kedua kakiku, aku ada dimana?Kulihat bayi merah itu kian tumbuh layaknya anak-anak lainnya. Mulai dari dia tengkurap, merangkak, duduk, j
Mataku mengerjap beberapa kali, tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku menggeliat dan tak ku temukan suamiku di sebelahku, ingatanku kembali ke beberapa saat yang lalu dimana kami pulang dari kafe dan aku mendadak muntah-muntah.Aku kembali tersenyum kala ingat tebakan suamiku bahwa aku tengah hamil, tetapi setelah dilakukan tes hasilnya masih negatif.Cklek,Bunyi handle pintu kamar mandi menarik perhatianku, rupanya suamiku baru saja dari dalam sana. Wajahnya sudah basah dan terlihat semakin tampan saja."Sayang udah bangun?" tanyanya sembari melangkah mendekat. Lalu duduk di sampingku."Masih pusing?" tanyanya lagi nampak khawatir dengan menempelkan punggung tangannya di keningku."Udah mendingan tapi masih lemes." jawabku pelan. Menaikkan kepalaku ke pangkuannya."Kamu kenapa sih? Cerita dong sama aku, Yang!" ucapnya sembari mengusap kepalaku."Gak papa, Yang! Maaf ya, udah bikin kamu khawatir. Aku hanya-" jawabku tertahan di tenggorokan. Ah, rasanya tak sampai hati aku mengucap
Aku melihat dengan seksama video kiriman Raka, masih tak percaya hingga aku ulangi sekali lagi. Video berdurasi 20 detik itu mampu meruntuhkan duniaku. Mataku melebar sempurna, dengan mulut menganga. Air mata mengalir begitu saja, bahkan tanganku mulai bergetar.Masih belum yakin kembali aku putar bahkan dengan volume full, takutnya aku salah dengar."Ibu Neni ingat Mbak Zahra?" tanya suster Asih seolah kembali menegaskan. Entah percakapan seperti apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dari ekspresi suster Asih pun nampak terkejut dan bahagia di saat yang bersamaan.Nampak Ibu mengangguk lemah, matanya menatap lurus ke depan. Dan aku yakin, di depan Ibu adalah Raka karena mata Ibu tepat mengarah ke kamera."Siapa Zahra, Bu Neni?" suara suster Asih lagi."Zah-ra. . ." ucapan itu terdengar lirih dan itu keluar dari mulut Ibu.Ibu yang selama ini tak menganggapku ada, akhirnya setelah 27 tahun penantian beliau mau memanggil namaku. Air mata bahagia tak dapat ku bendung lagi, mengalir begitu
Satu bulan kemudianAku masih termenung menatap wajahnya, kerutan kian jelas terlihat di sekitar matanya. Ibu, terlelap begitu damai setelah minum obat yang ku berikan tadi. Selama hampir satu bulan, aku merawatnya. Mulai dari menyuapi makan, memandikan, mengajaknya bercerita dan kadang jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Selama itu pula sorot matanya mulai ada bias kehidupan.Meski, sesekali masih menyebut nama Risma, tetapi sudah tidak ada lagi tindakan brutal yang mengancam orang-orang di sekelilingnya.Hari ini, hari terakhir sebelum esok pagi aku bertolak ke Batam untuk menggelar acara resepsi yang akan berlangsung 4 hari lagi. Sedari pagi, aku menghabiskan waktu bersama Ibu. Entah, rasanya hati ini semakin tak tega meninggalkannya.Usapan lembut di bahuku membuatku menoleh."Tenang aja, Kak! Biar aku yang jaga dan rawat Ibu di sini!" ucap Raka sembari tersenyum.Ya, Raka, adik lelakiku. Dia sudah menyesali perbuatannya dan sudah dibebaskan oleh pihak kepolisian karena Desi
Gundukan tanah merah dengan taburan aneka bunga segar menghiasi, di ujungnya tertancap nisan kokoh bertuliskan nama adik bungsuku, KHARISMA WIJAYANTI.Tangis Raka kian terdengar pilu, bersimpuh di samping nisan dan memeluknya erat. Sekelebat penyesalan dan rasa bersalah kembali hadir di sudut lain hati ini, hingga air mata kembali tumpah dengan derasnya.Andai aku tak melaporkan Risma, andai aku diam saja mengetahui kelakuan Risma, andai, andai dan andai. Aku benci rasa ini, aku benci keadaan ini.El mengeratkan pelukannya padaku, menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Membiarkan tangisku kembali tumpah membasahi bajunya.Setelah tangisnya reda, ia bangkit berdiri. Memandangi tinta hitam yang mengukir nama adiknya di papan kayu jati. Diam, tanpa beralih untuk beberapa saat lamanya.Setelahnya, ia beranjak. Berbalik badan dan menatapku yang berdiri tak jauh darinya. Matanya menyiratkan kepedihan luar biasa, jejak-jejak lelehan air mata masih nampak jelas di kedua pipinya. Lalu, mele