"Sertifikat rumah itu atas nama Arum. Tapi, dia sudah membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa setelah dirinya meninggal, sertifikat rumah itu harus dibalik menjadi namamu." ucap Kakek Beno membuat perasaanku seketika plong, itu artinya rumah itu benar menjadi hak milikku.
"Lalu dimana suratnya, Kek?" "Selama ini surat rumah itu ada pada Kakek. Makanya, setelah 7 hari Arum meninggal, Kakek segera urus balik nama surat rumah itu. Sekarang masih di kantor pengacara Kakek, kamu tenang saja, semua sudah berjalan seperti keinginan Arum." Aku tersenyum lega mendengar jawaban beliau."Senin besok biar sekalian dibawa sama Aksa, atau kamu mau ambil sendiri kemari?" "Gak usah, Kek. Sementara biarlah surat itu ada sama Kakek. Kakek tahu sendiri bagaimana tabiat Ibu dan Adik-adik Zahra. Kalau surat itu ada sama Zahra, Zahra takut tak bisa amanah, Kek." jawabku yakin, aku hanya takut Ibu dan kedua adikku akan merampas hak milikku. Biarlah sementara waktu ini mereka menikmati berada di rumah itu, sampai apa yang aku rencanakan berjalan sebagaimana mestinya."Kamu yakin?" "Yakin, Kek!" "Yasudah. .jika kamu membutuhkannya kapanpun bisa kamu ambil kemari."Tetesan air mata yang tadi membasahi kedua pipiku berganti dengan senyum kelegaan di bibirku. Aku merasa beruntung ada banyak orang baik yang mendukungku meski aku diasingkan oleh keluargaku sendiri.Kami berbincang banyak hal tentang masa laluku yang diketahui Kakek. Menceritakan tentang asal muasal Nenek dan keluarga besarku. Cukup lama hingga akhirnya Bang Aksa mengajakku pulang karena beliau ada acara sore nanti.Perjalanan pulang dari rumah Kakek Beno terasa begitu cepatnya, tanpa terasa kami sudah sampai di depan kafe tempatku bekerja. Ya, aku sengaja minta Bang Aksa untuk langsung mengantarkanku ke tempat kerja. Aku tak mau ambil resiko terlambat lagi jika harus pulang lebih dulu. Kenyataan hidupku yang tadi aku ketahui dari Kakek Beno benar-benar membuatku lega. Meski ada rasa sakit tetapi itu tak sebanding dengan kelegaan dalam dadaku. Rasa bahagia di hatiku meningkatkan semangat kerjaku hari ini. "Tumben amat, Ra! Biasanya juga mepet datengnya?" cecar Hesti, rekan kerjaku saat melihatku masuk ke ruang ganti."Iya, lagi semangat, nih!" jawabku asal sembari tersenyum ke arahnya.Ini untuk pertama kalinya aku datang 15 menit lebih awal dari jam kerja. Karena biasanya lebih sering terlambat."Widih. . .tumben nih!" seru Aldi saat melihatku sudah berganti seragam."Ini juga berkat kamu, Di!" jawabku ambigu. Dia mengerutkan keningnya menatapku."Gegara video kemarin, hari ini aku bebas tugas." bisikku dekat telinganya. Aldi menatapku heran, namun tak lama setelahnya ia tertawa terbahak-bahak membuat Hesti menatap kami bingung.Tak lama Rika datang dan seketika terheran melihatku dan juga Aldi yang tengah tertawa. Rika menunjuk Aldi dengan dagunya sembari menatapku penuh tanya, aku hanya mengendikkan kedua bahuku."Zahra, Zahra! Kamu polosnya kebangetan!" ucap Aldi setelah tawanya usai."Maksud kamu?""Itu video ternyata udah lama! Aku punya yang terbaru, mau gak?" ucap Aldi tanpa melihat situasi."Video apaan?" sela Rika dan didukung anggukan kepala oleh Hesti."Video yang kemaren!" jawab Aldi. Rika menatapku dan aku hanya bisa menganggukan kepala."Edan!" umpat Rika."Apaan sih? Video mantap-mantap, ya? Mau dong!" sela Hesti dengan senyum tersirat. Rika menoyor bahu Hesti hingga limbung ke samping membuat Hesti mencebik."Beneran, Al?" tanyaku meyakinkan, Aldi tak menjawab justru ia mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkannya padaku."Ini, doi semalem!" jelasnya sembari memutarkan video dalam galery ponselnya. Rika dan Hesti berebut ingin ikut melihatnya."Kamu tahu gak, doi sama siapa?" tanyanya membuatku menggeleng. Namun, mataku masih awas melihat layar ponsel."Suami tanteku!" tegas Aldi membuat aku, Rika dan Hesti serempak mendongak menatap lelaki bertubuh gempal itu."Seriusan?" kejutku."Serius! Itu video aku sendiri yang rekam, Tanteku, bininya tu laki yang suruh." terang Aldi sungguh-sungguh.Gila! Ini gila! Apa yang sebenarnya dicari oleh adikku yang manja itu? Uang? Bukankah ia tak perlu memusingkan hal itu karena apapun yang dia minta akan selalu dituruti oleh Ibu maupun Raka. "Kirim ke aku, Al! Apapun yang kamu ketahui soal dia, tolong kasih tahu aku!" pintaku sembari mengulurkan kembali ponselnya."Gak gratis, Say!" candanya sembari jemarinya mengutak-atik ponselnya."Tenang aja, libur nanti kita happy-happy! Aku yang traktir, gimana?" ucapku bersemangat. " Yakin?" tanya Aldi ragu."Iyalah! Aku habis dapat lotre!" kelakarku membuat Rika mencebik."Tumben amat, Ra! Emak kamu udah insyaf emang?" cetus Rika."Doain segera insyaf!" balasku merangkul bahunya."Ini kalian ngebahas apa, sih?" tanya Hesti cengo.Alamak, rupanya dari tadi dia masih gak paham. Yaudahlah, gak usah dijelasin kalau gitu."Udah waktunya kerja, ntar Lady Gaga ngamuk!" tukasku cepat supaya Hesti tak makin penasaran. Mau tak mau kami segera keluar dari ruang ganti dan menuju pantry belakang untuk briefing bersama Lady Gaga (julukan untuk Mbak Nurma) sebelum mulai bekerja. Di sana, kami akan bertemu dengan rekan kami yang lain dari shift pagi tadi yang tugasnya akan kami gantikan. Tak jarang kami juga akan dibriefing bersama staf bagian kitchen, ada head chef, dan beberapa orang lagi yang masing-masing shif berbeda orang.3 tahun bekerja di kafe ini belum sekalipun aku bertemu dengan pemiliknya, yang katanya masih lajang dan sangat tampan. Biasanya setiap awal bulan yang datang untuk meninjau perkembangan kafe ini hanyalah Bang Haikal, yang tadinya aku pikir adalah pemiliknya. Namun ternyata, Bang Haikal hanyalah asisten dari pemilik kafe bernama Hanan.Hari ini kafe lumayan ramai pengunjung meski bukan weekend, kami sampai keteteran dalam melayani pengunjung. Meski melelahkan tetapi aku sangat bersemangat hari ini, teman-temanku sampai heran melihatku se-ceria dan se-semangat ini. Bahkan, Mbak Nurma pun sampai terheran-heran melihatku."Zahra! Kalau setiap hari saya lihat kamu seperti ini, darah tinggi saya bisa turun drastis loh!" kelakarnya disela-sela tugasku mengantar pesanan."Mbak Nurma bisa aja!" balasku sembari mencuci tangan pada wastafel."Kamu tumben amat bahagia banget, auranya bersinar gitu, loh!" lanjutnya lagi membuatku hanya mampu membalas dengan senyum."Abis menang lotre katanya, Mbak!" sambar Aldi sembari membawa nampan berisi peralatan makan yang kotor."Seriusan?""Gaklah, Mbak! Dia ngaco kalau laper!" jawabku asal, lantas berlalu ke belakang untuk membantu Dara dan Sela mencuci peralatan makan. Sedangkan Rika masih sibuk di meja kasir dan Hesti sibuk melayani pelanggan yang baru datang.Kerja tim kami ada 7 orang. Rika, di bagian Kasir. Aku, Aldi, Bima dan Hesti di bagian pelayanan sedangkan Dara dan Sela di bagian belakang. Tapi, kami saling bahu-membahu mengerjakan semuanya. Terkecuali, Rika. Yang memang tak boleh sembarang orang untuk masuk ke areanya selain Mbak Nurma.🌺🌺🌺Malam ini aku memutuskan untuk menginap di kosan Rika yang lebih dekat dengan kafe. Bisa ditempuh hanya 5 menit saja dengan berjalan kaki.Dari semua teman kerjaku, hanya Rika dan Aldi yang cukup tahu dengan kondisi keluargaku dan bagaimana perlakuan keluargaku terhadapku."Kamu yakin, Ra. Ntar Ibu kamu gak marah?" tanya Rika saat kami sudah sampai di kamar kosnya."Iya, yakin. Kamu tahu sendiri kan, kalau Ibu bahkan gak pernah menganggapku ada." jawabku sambil merebahkan diri di karpet bulu yang terbentang di samping kasur."Terus motor kamu dimana?""Ada di rumah Bang Aksa." jawabku lantas aku menceritakan semua pada Rika. Mulai dari penemuan petunjuk tadi pagi hingga kepergianku ke rumah kakek Beno bersama Bang Aksa dan Mbak Ika. Dia menyimak dan sesekali mangut-mangut."Nah, besok kamu temenin aku ke Bank, ya!" pintaku."Oke deh! Yaudah, sekarang tidur yuk! Capek!" jawabnya seraya merebahkan tubuhnya di kasur.Setelah membersihkan diri sekedarnya, aku turut merebahkan diri di samping Rika yang sudah terlelap lebih dulu ke alam mimpi.Keesokan paginya, kami bergegas menuju Bank BNI lebih dulu yang lokasinya lebih dekat dan hanya satu kali naik angkutan umum.Karena masih pagi, kami tak terlalu lama mengantri. Setelah 10 menit mengantri, kini giliran nomorku yang dipanggil."Ada yang bisa kami bantu, Mbak?" tanya Mbak teller dengan ramah."Saya mau nanya, apakah nomor rekening ini masih aktif atau tidak? Dan bisa tidak memperbaharui kartu ATMnya?" ujarku seraya menyodorkan buku tabungan dan kartu ATM kepadanya. "Baik, sebentar kami periksa dulu ya, Mbak!" jawabnya ramah sembari menerima buku itu.Si Mbak teller segera kembali ke tempat duduknya dan memeriksa nomor rekening melalui komputer di hadapannya. Rekening yang menurut nenek adalah tabungan dari hasil jualan nenek selama ini. Tak lama kemudian si Mbak teller berdiri kembali di hadapanku."Ini nomor rekeningnya masih aktif, Mbak. Tapi, buku dan Kartunya harus diperbaharui." ucapnya ramah."Bisa tidak kalau diperbaharui di sini?""Maaf, Mbak. Jika memperbaharui harus di cabang semula.""Tapi, pemiliknya udah meninggal, Mbak. Gimana dong?""Begini saja, Mbak. Mbak cairkan saja dulu semua tabungan dan depositonya jika Mbak adalah ahli waris dari pemilik rekening ini. Dengan persyaratan, KTP asli, KK asli, surat kematian dan surat kuasa atau surat keterangan." ucapnya ramah. Duh, ribet juga, pikirku.Setelah dari Bank BNI, aku mengajak Rika untuk segera menuju Bank BRI yang terletak agak jauh. Aku memutuskan memesan grab untuk ke sana."Ada isinya, Ra?" tanya Rika setelah mobil pesananku membaur membelah jalanan."Ada, cuma katanya harus dicairkan dulu karena pemiliknya sudah meninggal." jawabku asal. "Biarlah nanti minta tolong Bang Aksa lagi." lanjutku.Tak lama kami sudah sampai di Bank yang aku tuju. Usai membayar tagihan kami segera masuk ke dalam. Setelah mengambil antrian, kami mencari tempat duduk yang kosong.Hingga tiba giliran nomorku dipanggil, aku melangkah menuju meja teller."Selamat siang, Mbak! Ada yang bisa kami bantu?" ucapnya ramah."Saya mau tanya apakah rekening ini masih aktif atau tidak? Juga ATM ini." ucapku seraya menyodorkan buku tabungan berikut ATMnya.Sama seperti si Bank sebelumnya, si Mbak teller segera menerima bukunya dan memeriksa melalui komputer di hadapannya. Tak lama ia bangkit berdiri, kembali menghadapku."Rekeningnya masih aktif, Mbak. Bahkan baru dua hari yang lalu terjadi transaksi. Kalau kartunya harus di perbaharui lebih dulu." ucapnya dengan seulas senyum."Dua hari lalu?" gumamku dan beliau mengangguk."Kalau begitu saya minta print rekening korannya. Bisa, Mbak?""Bisa, Mbak. Mohon tunggu sebentar. Sekalian kami perbaharui kartunya, ya?" ucapnya dan aku mengangguk.Gelisah dudukku antara senang dan penasaran. Cukup lama hingga nama nenek dipanggil kembali. Aku segera mendekat, berdiri di hadapan Mbak teller."Ini sudah kami perbaharui ya, Mbak. Nanti bisa langsung cek di mesin ATM. Ini kartunya dan ini Buku tabungannya yang baru." ucapnya sembari menyerahkan buku tabungan dan kartu ATM yang baru.Aku membuka lembar demi lembar dan meneliti setiap transaksi yang tertulis di buku itu. Mataku seketika membola seakan hampir lepas dari kelopaknya melihat nominal terakhir yang tertera di buku yang aku pegang ini. Seketika nafasku tercekat di tenggorokan, seumur hidup belum pernah aku melihat uang sebanyak itu. Tanganku gemetar memegangi buku berikut kartu itu. Benarkah semua ini milikku? Apakah ini nyata? Atau hanya mimpi? Rasanya, kaki ini seakan tak memijak lantai dengan benar."Siapa sebenarnya Ayahku?" 🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻Saking gemetarnya aku sampai lupa menanyakan pin dari kartu tipis ini. Ah, tapi aku percaya jika pin kartu ini bukan kombinasi angka yang sulit sebab nenek adalah tipe orang yang tak mau ribet dengan angka-angka.Di sinilah aku sekarang. Di depan mesin canggih yang hanya dengan menekan angka maka dia akan mempermudah kita dalam bertransaksi.Meski sudah tahu jumlahnya di buku tabungan yang telah diperbaharui, tapi tetap saja aku harus memastikan lagi.Menarik nafas dalam-dalam dan segera memasukkan kartu itu pada tempatnya. Menekan beberapa digit angka yang merupakan kombinasi tanggal kelahiranku. Dan, berhasil hanya dalam satu kali tekan saja.Memilih menu informasi saldo dan terpampang dengan jelas 7 digit angka dengan diikuti 3 nol di belakangnya membuat keringat dingin merembes dari dahiku.Senang? Tentu saja, tapi rasa itu berbaur menjadi satu dengan perasaan heran dan penasaran akan sosok ayah kandungku. Aku memutuskan keluar tanpa transaksi lagi. Ataupun sekedar menarik bebera
Sejauh apapun kakimu melangkah pergi, tetap keluargalah tempatmu pulang.-Adinda Azzahra-Dering ponsel yang aku beli kemarin terdengar nyaring di gendang telingaku. Dengan berat aku mengulurkan tangan meraba di sela bantal. Begitu menyentuhnya, segera aku jawab panggilan itu tanpa melihat nomor siapa yang menghubungi."Hallo!" jawabku dengan suara berat."Hallo, Ra! Ini, Mbak Ika!" mataku membeliak mendengar suara Mbak Ika di seberang sana. "Kata Bang Aksa nanti jam 9 kamu ditunggu Bang Aksa di Bank. Suruh bawa buku tabungan sama KTP kamu yang asli." lanjutnya tanpa menungguku bersuara lebih dulu."Beneran, Mbak?" tanyaku memastikan."Iya, bener! Deposito Nenek kamu bisa langsung cair!" jawabnya meyakinkanku. Seketika kantuk yang mendera sirna sudah, tergantikan semangat yang luar biasa. Aku segera bangkit dan terduduk masih dengan ponsel yang menempel di telingaku."Alhamdulillah. ." gumamku bersyukur karena diberi kemudahan mengurus semuanya."Nanti Mbak Ika temanin ya?" pintaku.
Tepat pukul sembilan motor Var*o putih kesayanganku sudah terparkir cantik di halaman Bank BNI. Gegas aku menghampiri Bang Aksa yang sudah menunggu kedatanganku."Gimana, Bang?" tanyaku setelah berdiri di hadapan Bang Aksa."Beres! Yuk ikut Abang ke dalam!" jawabnya, aku mengangguk pasti kemudian mengekor Bang Aksa masuk ke dalam.Aku pikir, Bang Aksa akan mengambil nomor antrian lebih dulu. Tapi, rupanya Bang Aksa langsung masuk ke dalam sebuah ruangan berdinding kaca gelap tapi masih terlihat jelas seluruh isi ruangannya. Setelah berbicara pada security sebentar, Bang Aksa menoleh padaku."Ayo, Ra!" ucapnya lagi. Setelahnya, mengetuk pintu kaca itu. Mendengar ketukan di pintu, seorang lelaki mungkin seusia Bang Aksa dengan penampilan rapi khas pegawai Bank menoleh dan melambaikan tangannya isyarat mempersilahkan kami masuk."Hay, Bro!" sapa Bang Aksa pada lelaki itu yang aku tebak adalah teman Bang Aksa dari sapaannya yang begitu akrab."Dateng juga, Lu! Gimana kabar?" jawab lelaki
Sepanjang perjalanan pulang dari rumah Hasan, ada sesuatu yang terasa aneh dalam hatiku. Entah perasaan apa ini, aku pun tak dapat mendiskripsikannya dengan jelas.Hasan, pria yang mengaku mencintaiku dan bersedia menungguku. Nyatanya, hanya dalam hitungan kurang dari 4 bulan dari pernyataan cintanya, telah menambatkan hatinya pada wanita lain dalam ikatan sah secara agama dan negara. Ya, mereka telah resmi menikah satu minggu yang lalu. Parahnya, tanpa penjelasan apapun dari Hasan padaku. Ah, aku lupa jika aku bukan siapa-siapa untuknya. Jadi, untuk apa dia menjelaskan padaku, memangnya aku ini siapa? Ah, Zahra! Ingatlah siapa dirimu!Perasaan apa yang bergelayut di hati ini? Apakah cemburu? Tapi, aku rasa tidak. Lalu, marah? Entahlah, aku hanya merasa tidak dihargai oleh keputusannya. Tapi, ya sudahlah! Toh, memang aku sendiri yang meminta waktu 1 tahun kala itu. Mungkin memang dia bukan jodohku. Doa dan harapanku, semoga mereka bahagia dan berjodoh dunia akhirat. Juga aku berdoa
"Hei. .Siapa kamu?"Aku menelan salivaku susah payah. Gemetar seluruh tubuhku, jantungku berpacu cepat. Ya Tuhan, jangan sampai orang itu melihatku tadi keluar dari samping rumah."Hei, budeg ya? Kamu siapa?" ulangnya dengan menepuk bahuku.Mau tak mau aku menoleh ke arahnya, lelaki itu menatapku dengan intens. Lelaki jangkung di hadapanku ini adalah satu dari empat orang yang keluar dari mobil sedan yang terparkir di luar gerbang. "E- maaf, Bang! Saya cari Bu Rukayah, benar ini rumahnya, kan?" jawabku sedikit gemetar."Bu Rukayah? Bentar, gue tanyain dulu!" lantas pria itu masuk kembali tanpa curiga. Aku bernafas lega, itu artinya dia tadi tak melihatku keluar dari samping rumah. Tak lama pria itu kembali."Rumah Bu Rukayah di samping, bukan di sini!" jelasnya menunjuk rumah di samping kiri."Oh maaf, Bang! Kata orang tadi rumah ujung ini!" jawabku pura-pura kikuk."Hem!" dia mengangguk tanpa menyahut.Tak mau membuang waktu, aku segera keluar dari gerbang, berjalan dengan langkah l
"Kenapa orang itu ada di sini?" batinku sembari mematikan mesin kuda besiku.Bang Mada, anak pertama suami Ibu. Yang itu artinya dia adalah kakak Raka dan Risma. Sudah hampir 1 tahun kami tak bersua karena beliau tinggal di lain kota bersama keluarga dan Ibunya. Sedangkan, ayahnya yang juga ayahRaka dan Risma tak tahu dimana rimbanya. Itu sekilas yang beliau ceritakan dulu padaku. Entah jika sekarang!Melihatku datang, kedua pria dewasa itu menghentikan obrolannya. Aku segera naik ke teras sembari mengucap salam."Asalamualaikum!""Walaikumsalam!" jawab keduanya berbarengan."Bang," sapaku pada Bang Mada."Hai, Ra! Apa kabar?" tanyanya balik."Baik, Bang! Abang kok ada di sini?" "Iya, kebetulan ada urusan sama Aksa, jadi mampir ke sini. Pas mau pulang, Ika bilang kalau kamu mau datang. Jadi, Abang sengaja nunggu kamu datang." jelasnya dengan senyum yang masih sama seperti dulu. Ramah dan baik sama seperti ayahnya padaku."Oh, gimana kabar Mbak Sita dan anak-anak, Bang? Juga Tante Ra
Sepulang kerja aku segera tancap gas menuju rumah Kakek Beno, jika tidak macet maka aku akan sampai sekitar jam setengah enam. Saat hendak menstarter motor, Rika memanggilku dengan keras."Apa?" jawabku saat ia sudah berdiri di dekat motorku."Kamu mau langsung pulang?" tanyanya."Enggak aku ada urusan bentar, kenapa?""Oh, itu tadi Mbak Nurma pesan katanya besok pemilik cafe mau datang. Jadi kita diminta datang lebih awal, jam 7 udah harus datang katanya." jelasnya."Bang Haikal?" tanyaku memastikan."Bukan! Bang Hanan, pemiliknya sendiri yang mau datang." "Oh!" "Oh doang?" "Ya terus?""Au Ah! Yaudah, aku mau pulang. Besok jangan telat!""Oke!" Setelahnya gegas aku melajukan motor meninggalkan halaman kafe menuju kota S, rumah Kakek Beno.Sepanjang perjalanan, mendadak aku kepikiran soal Ayah kandungku. Sejujurnya aku sangat penasaran siapa sebenarnya dia? Kata Kakek Beno, dulu Ayah mau bertanggung jawab sama Ibu dan aku tapi faktor ekonomi yang menghalanginya. Itu artinya, belia
"Apa-Apaan ini?!"Aku kembali memungut lembaran kertas itu dengan senyum menyeringai."Bisa baca bukan?" ucapku tenang menatap tajam mata Raka yang kian memerah. "Jadi, diperbolehkan berkemas dan tinggalkan rumahku!" lanjutku tegas.Desi bangkit berdiri di samping suaminya, dia nampak gusar dengan ancamanku. Pun dengan Risma yang sama gelisah, tapi tidak dengan Ibu. Justru beliau diam tak melakukan pembelaan pada putra kebanggaannya itu. Apakah sejatinya beliau sudah tahu jika surat rumah ini atas namaku?"Hei, kamu ini kenapa sih? Jahat banget sama adik sendiri!" bentak Desi dengan suara bergetar. Bahkan di saat seperti ini saja mereka tak sudi memanggilku dengan sebutan yang lebih baik untuk ditujukan kepada orang yang statusnya lebih tua dari mereka, atau sekedar menyebut namaku saja tak mereka lakukan."Aku punya nama, Nona!" ucapku sembari bersedekap dada. "Dan apa kamu bilang tadi? Aku jahat?" ulangku lantas aku tertawa keras."Ya, aku jadi jahat sebab ulah kalian sendiri! Kali
"Dan jawaban untuk pertanyaanmu tadi adalah Ibu. . ."Aku mendongak menatap matanya yang masih basah, terdiam menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibir beliau."Ibu. .tak mungkin lagi bersama Ayahmu, Nak!""Kenapa, Bu?" lirihku sedikit kecewa."Ayah masih cinta Ibu, bahkan sampai hari ini Ayah masih menyimpan semua kenangan tentang Ibu!" ucapku berusaha menyakinkan Ibu. Ibu menoleh, menatap mataku dalam dan aku lihat sedikit senyum di bibirnya."Ayah ada di luar sekarang! Ingin bertemu juga dengan Ibu!" lanjutku."Tapi, Ibu merasa tak pantas untuknya! Ibu sudah sangat melukainya, bahkan Ibu punya anak dari lelaki lain. Tak mungkin rasanya Ayahmu masih cinta Ibu!" sanggahnya menunduk."Aku masih sangat mencintaimu, Neni!"Kami menoleh berbarengan dan kulihat Ayah telah berdiri di ambang pintu menatap kami sendu. Segaris senyum terbit setelah mata kami saling bertemu."Mas. . ." lirih Ibu pelan dan matanya tak lepas menatap Ayah.Ayah berjalan mendekat ke arah kami dengan kedua ja
Di sinilah kami sekarang, di depan bangunan toko yang nyaris tak pernah aku kunjungi selama ini karena sudah dikelola oleh Ibu.Kondisi toko lumayan ramai, meski tak sebesar toko yang di kelola Mbak Idah. Nampak beberapa pengunjung datang silih berganti, memang lokasi toko ini cukup strategis karena berada di tepi jalan kota yang ramai."Gimana, Yang, Yah?" tanya El sebelum kami memutuskan turun."Ayah, gugup!" jawab Ayah menatap lurus pintu kaca toko yang tertutup itu."Zahra juga, Yah! Tapi, kita tetap harus masuk ke dalam!" yakinku lagi.Setelah beberapa saat, kami akhirnya turun dan segera masuk ke dalam. Tak ku jumpai Raka di sana, hanya ada seorang kasir yang waktu itu sempat di pekerjakan Ibu di toko pusat. Aku memutuskan untuk bertanya saja padanya dan meninggalkan El serta Ayah di dekat pintu."Kamu-" ucapnya seperti tengah mengingat-ingat."Raka dimana?" tanyaku langsung dan mengabaikan tebakannya."Ada di atas ada perlu apa?" tanyanya sedikit ketus dan menatapku tak suka.A
Dua minggu berlalu dari acara resepsi super mewah itu. Siang ini, kami berencana pulang ke Semarang. Awalnya Kakek meminta kami untuk tinggal saja di sini tetapi dengan sungkan aku menolak karena masih ada Ibu yang menanti kedatanganku.Kakek, Tante Mayang, Damar dan Anggi melepas kami di bandara Hang Nadim untuk kembali ke Semarang.Tepat pukul 2 siang, pesawat lepas landas dan semakin meninggi meninggalkan kota kecil yang mengenalkanku kepada teh obeng ini.Batam, kota kecil dengan segala keindahannya. Sungguh aku jatuh cinta padanya dan suatu hari nanti aku akan putuskan untuk menetap di sini tapi tentu setelah tugasku selesai. Itu sudah aku bicarakan dengan suamiku dan tentu saja dia sangat mendukung.Selama di pesawat sudah tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan Ibu dan memeluk tubuhnya. Pun dengan Ayah, yang wajahnya kian berseri sejak pagi tadi. Beliau pun tak sabar untuk bertemu dengan sang ratu yang menghuni hatinya.Teringat kembali percakapan kami beberapa waktu lalu
Seluruh rangkaian acara resepsi pernikahan kami digelar begitu mewahnya, aku terkagum sekaligus masih tak menyangka akan jadi sebegitu mewah dan meriahnya acara ini.Awalnya aku pikir, resepsi ini hanya sekedar resepsi biasa layaknya resepsi yang pernah aku datangi kala di kampung. Namun rupanya, jauh dari bayanganku. Pesta ini tak kalah mewah dengan pesta resepsi artis dan youtuber ternama yang beberapa waktu lalu aku lihat di televisi.Sekali lagi aku lupa, siapa suamiku dan keluarga besarnya. Dan itu membuatku semakin tidak percaya diri, aku merasa asing di sini. Hanya ada Ayah, Mbak Ika, dan Bang Aksa, dari pihak keluargaku.Ribuan undangan berasal dari kalangan orang ternama, mulai dari pengusaha, artis ibu kota, petinggi Bank swasta, politisi bahkan nampak hadir pula putra bungsu orang nomor satu di negeri ini. Aku bagai mimpi berdiri di sini."Woy, Bro! Selamat, akhirnya berani juga melepas masa lajang!" ucap lelaki bertubuh kekar ini sembari memeluk tubuh suamiku. Aku yang ber
Bias cahaya yang pernah hilang perlahan kembali meski masih samar, suara berdenging memekakkan membuatku menutup telinga dengan kedua tangan.Sesak di dalam dada kian menghimpit jiwa, entah apa yang terjadi denganku, aku pun asing dengan jiwaku. Tak kutemukan siapapun di tempatku berdiri, tak ada apapun untuk dapat ku gapai, tak ada bias lain selain pendar cahaya yang berkilau.Suara tangis bayi kian jelas terdengar, membawaku menyeret langkah mendekat, meski membawa beban berat di pundakku. Bayi, ya, bayi! Jauh di sudut pandang kulihat bayi merah tergeletak dan menangis. Namun, semakin cepat langkah ku bawa, semakin jauh pula untuk ku gapai dia.Apa ini? Ada apa dengan semua ini? Batin bertanya dan terus bertanya, kaki telah lelah melangkah namun tak jua sampai padanya. Siapa dia? Kenapa dia di sini, namun tak bisa ku gapai?Terduduk lesu bertumpu kedua kakiku, aku ada dimana?Kulihat bayi merah itu kian tumbuh layaknya anak-anak lainnya. Mulai dari dia tengkurap, merangkak, duduk, j
Mataku mengerjap beberapa kali, tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku menggeliat dan tak ku temukan suamiku di sebelahku, ingatanku kembali ke beberapa saat yang lalu dimana kami pulang dari kafe dan aku mendadak muntah-muntah.Aku kembali tersenyum kala ingat tebakan suamiku bahwa aku tengah hamil, tetapi setelah dilakukan tes hasilnya masih negatif.Cklek,Bunyi handle pintu kamar mandi menarik perhatianku, rupanya suamiku baru saja dari dalam sana. Wajahnya sudah basah dan terlihat semakin tampan saja."Sayang udah bangun?" tanyanya sembari melangkah mendekat. Lalu duduk di sampingku."Masih pusing?" tanyanya lagi nampak khawatir dengan menempelkan punggung tangannya di keningku."Udah mendingan tapi masih lemes." jawabku pelan. Menaikkan kepalaku ke pangkuannya."Kamu kenapa sih? Cerita dong sama aku, Yang!" ucapnya sembari mengusap kepalaku."Gak papa, Yang! Maaf ya, udah bikin kamu khawatir. Aku hanya-" jawabku tertahan di tenggorokan. Ah, rasanya tak sampai hati aku mengucap
Aku melihat dengan seksama video kiriman Raka, masih tak percaya hingga aku ulangi sekali lagi. Video berdurasi 20 detik itu mampu meruntuhkan duniaku. Mataku melebar sempurna, dengan mulut menganga. Air mata mengalir begitu saja, bahkan tanganku mulai bergetar.Masih belum yakin kembali aku putar bahkan dengan volume full, takutnya aku salah dengar."Ibu Neni ingat Mbak Zahra?" tanya suster Asih seolah kembali menegaskan. Entah percakapan seperti apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dari ekspresi suster Asih pun nampak terkejut dan bahagia di saat yang bersamaan.Nampak Ibu mengangguk lemah, matanya menatap lurus ke depan. Dan aku yakin, di depan Ibu adalah Raka karena mata Ibu tepat mengarah ke kamera."Siapa Zahra, Bu Neni?" suara suster Asih lagi."Zah-ra. . ." ucapan itu terdengar lirih dan itu keluar dari mulut Ibu.Ibu yang selama ini tak menganggapku ada, akhirnya setelah 27 tahun penantian beliau mau memanggil namaku. Air mata bahagia tak dapat ku bendung lagi, mengalir begitu
Satu bulan kemudianAku masih termenung menatap wajahnya, kerutan kian jelas terlihat di sekitar matanya. Ibu, terlelap begitu damai setelah minum obat yang ku berikan tadi. Selama hampir satu bulan, aku merawatnya. Mulai dari menyuapi makan, memandikan, mengajaknya bercerita dan kadang jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Selama itu pula sorot matanya mulai ada bias kehidupan.Meski, sesekali masih menyebut nama Risma, tetapi sudah tidak ada lagi tindakan brutal yang mengancam orang-orang di sekelilingnya.Hari ini, hari terakhir sebelum esok pagi aku bertolak ke Batam untuk menggelar acara resepsi yang akan berlangsung 4 hari lagi. Sedari pagi, aku menghabiskan waktu bersama Ibu. Entah, rasanya hati ini semakin tak tega meninggalkannya.Usapan lembut di bahuku membuatku menoleh."Tenang aja, Kak! Biar aku yang jaga dan rawat Ibu di sini!" ucap Raka sembari tersenyum.Ya, Raka, adik lelakiku. Dia sudah menyesali perbuatannya dan sudah dibebaskan oleh pihak kepolisian karena Desi
Gundukan tanah merah dengan taburan aneka bunga segar menghiasi, di ujungnya tertancap nisan kokoh bertuliskan nama adik bungsuku, KHARISMA WIJAYANTI.Tangis Raka kian terdengar pilu, bersimpuh di samping nisan dan memeluknya erat. Sekelebat penyesalan dan rasa bersalah kembali hadir di sudut lain hati ini, hingga air mata kembali tumpah dengan derasnya.Andai aku tak melaporkan Risma, andai aku diam saja mengetahui kelakuan Risma, andai, andai dan andai. Aku benci rasa ini, aku benci keadaan ini.El mengeratkan pelukannya padaku, menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Membiarkan tangisku kembali tumpah membasahi bajunya.Setelah tangisnya reda, ia bangkit berdiri. Memandangi tinta hitam yang mengukir nama adiknya di papan kayu jati. Diam, tanpa beralih untuk beberapa saat lamanya.Setelahnya, ia beranjak. Berbalik badan dan menatapku yang berdiri tak jauh darinya. Matanya menyiratkan kepedihan luar biasa, jejak-jejak lelehan air mata masih nampak jelas di kedua pipinya. Lalu, mele