"Risma! Makan dulu, Nak!" Teriakan wanita berusia 54 tahun itu menggema di rumah kecil ini hingga siapapun pasti dapat mendengarnya.
Ya, beliau adalah Ibuku. Teriakannya tadi apakah memanggilku? Tentu saja bukan, melainkan memanggil anak perempuan kesayangannya, Kharisma Wijayanti, adik bungsuku yang kini berusia 19 tahun.Aku menghela nafas besar, melepaskan sesak yang kian menghimpit dada ini. Sudah jam 9 lebih tetapi anak manja itu tak kunjung meninggalkan alam mimpinya. Sedangkan aku? Sudah bermandikan keringat sejak usai subuh."Sayang! Bangun dong! Makan dulu, nanti asam lambung kamu naik loh!" Lagi, suara wanita yang telah melahirkanku 27 tahun yang lalu itu kembali menggema, kini dibarengi dengan ketukan pintu cukup keras. Namun, sang putri tak kunjung merespon."Sayang, habis makan kita ke salon yuk?" Aku menggeleng-gelengkan kepalaku, bukan hal baru bagiku mendengar dan melihat Ibuku merayu anak kesayangannya itu dengan berbagai hal yang menarik. Aku berusaha menutup telingaku dari suara Ibu merayu anak manja itu. Toh, pada akhirnya semua bujuk rayu itu tak akan mempan membangunkan putri kesayangannya di jam segini.Aku terus menggerakkan sabit di tanganku, mencabut rumput-rumput liar yang hampir memenuhi halaman kecil ini. Teriknya matahari tak menyurutkan semangatku, keringat mengucur membasahi wajah dan tubuhku. Tak mengapa, asalkan pekerjaanku segera selesai.Suara riuh para penghuni perutku mulai nyaring terdengar, aku tersenyum miris. Karena, sekeras apapun mereka berdemo, mereka tak akan mendapat apapun sebelum semua pekerjaan selesai aku kerjakan. Itulah yang membuatku nekat menantang matahari yang terik ini demi untuk mendapatkan hak para penghuni perutku.Dengan sisa-sisa tenaga, akhirnya pekerjaan mencabut rumput liar di halaman depan telah selesai aku kerjakan. Gemetar seluruh tubuhku, rasanya kaki sudah tak bertulang hingga tak mampu lagi menahan bobot tubuh yang kian berkurang sejak kepergian nenek 2 bulan yang lalu.Meski tubuh kian gemetar, aku tetap harus mengumpulkan sampah dan membuangnya lebih dulu sebelum aku mengayunkan langkah menuju rumah.Pandangan mata kian gelap, dengan sisa tenaga aku ayunkan kaki menuju dapur guna mengambil air untuk membasahi tenggorokan yang kering ini.Baru seteguk air membasahi kerongkongan, setumpuk pakaian kotor mendarat tepat di kakiku. Aku menoleh dan mendapati tuan putri bersedekap dada dengan rambut kusut khas bangun tidur. "Cuciin yang bersih! Jangan disikat, baju mahal!" Ocehnya, lantas berbalik badan dan meninggalkanku dalam kepasrahan. Bahkan, tak diijinkannya sedikit suaraku keluar dari bibir ini.Segera aku memunguti semua pakaian itu dan membawanya menuju kamar mandi belakang, merendamnya sebentar sebelum aku cuci dengan kedua tanganku.Sembari menunggu rendaman baju, aku kembali ke dapur. Membuka tudung saji di meja khusus untukku, kembali aku tersenyum getir mendapati dua mangkuk yang berada di sana. Satu mangkuk berisi nasi dan satu lagi berisi sayur, lebih tepatnya kuah sayur karena memang hanya terdapat kuah dan dua potong wortel saja. Kemana ayam, sayur sop dan tempe yang sehabis sholat subuh tadi aku masak?Andai nenek masih ada, tak mungkin aku makan dengan kuah sayur saja. Ah, tapi semua sudah digariskan oleh sang pencipta, kenapa aku harus menggerutu? Bukankah sekarang nenek sudah tidak lagi merasakan sakit tubuh dan hatinya karena mendapat perlakuan yang buruk dari anak kandungnya sendiri?Tanpa terasa, air mata kembali meyeruak keluar dengan derasnya, mengiringi suapan nasi berikut kuah sayur ke dalam mulutku.Jika saja aku punya pilihan lain, tentu aku tak mau ada di posisi ini. Aku terus memandangi nasi yang sudah aku siram dengan kuah ini, aku harus segera memindahkan nasi ini ke dalam perutku. Biar bagaimanapun, aku butuh nasi ini untuk menemaniku melakukan pekerjaan yang tiada habisnya di rumah ini.🌺🌺🌺"Mana baju yang kemarin?" Ketus Raka, adik sulungku sembari mengacak-acak tumpukan baju yang baru saja selesai aku lipat. Tanpa bersuara, aku meraih kemeja berwarna navy itu dari gantungan dan mengulurkannya. Dengan segera ia menerimanya dan berlalu dari hadapanku tanpa sepatah katapun. Aku hanya mampu menatap baju-baju yang kini telah berhamburan kembali itu dengan tatapan nanar.Dengan cekatan, kembali aku melipat ulang semua baju itu. Bruk,Tumpukan baju yang belum dilipat terlempar ke arah tanganku yang sedang melipat ulang baju yang berserakan itu, dan pelakunya adalah Desi istri Raka, adik iparku."Buruan setrikain! Aku mau pakai!" Ujarnya ketus tanpa sopan santun sedikitpun padahal aku ini adalah kakak iparnya. "Sebentar, ya!" Jawabku pelan yang berhasil membuatnya menoleh ke arahku dan menatapku tak suka."Sekarang! Aku mau pakai sekarang!" Jawabnya dengan suara meninggi dan raut wajah yang tak enak dipandang mata."Ada apa, Sayang!" Sahut Ibu yang baru datang dari arah depan."Ini, Bu! Dia gak mau setrikain baju aku, kan aku mau pergi sama Mas Raka!" Jawabnya dengan suara mendayu, menjijikkan!Ibu melotot menatapku, aku tahu arti tatapan itu meski tanpa suara. Dengan terpaksa aku meninggalkan tumpukan baju yang belum tersentuh itu dan melangkah menuju meja setrika yang terletak di ujung kamar sempit ini."Kamu siap-siap dulu sana, nanti Ibu anterin bajunya ke kamar kamu!" Bujuk Ibu dengan suara lemah lembut. Suara yang selama 27 tahun aku hidup di dunia, belum sekalipun aku mendengarnya beliau berucap demikian padaku.Lagi-lagi mataku menghangat, ada yang berdenyut nyeri di dalam sini. Desi, yang notabenenya adalah orang lain saja mendapat perlakuan begitu manis dari Ibu, sedangkan aku? Yang lahir dari rahimnya, belum sekalipun beliau memanggil namaku dengan benar. Beliau selalu memanggilku 'hei' atau 'kau' miris, sangat miris!"Jangan banyak tingkah! Lakukan semua yang kami perintahkan! Atau keluar saja kau dari rumah ini!" Bentak Ibu saat Desi telah berlalu dari kamar 3x3 yang multifungsi ini. Bukan sekali, dua kali beliau mengatakan itu padaku, sering dan bahkan sering sekali. Dan lagi-lagi aku hanya bisa diam dan pasrah menerimanya. Bukan aku sanggup menerima semua perlakuan mereka tetapi aku kembali mengingat ucapan nenek sesaat sebelum meninggal."Jangan sekalipun kamu berniat pergi dari rumah ini, Ra! Rumah ini milikmu, kalaupun harus ada yang pergi, itu mereka, bukan kamu!" Kembali kata-kata nenek terngiang-ngiang di telingaku. Begitu kuatnya keyakinan nenek bahwa akulah pemilik rumah ini, dan merekalah yang harus pergi. "Apakah Zahra kuat, Nek?" Gumamku dalam hati. 🌺🌺Hari menjelang petang kala aku sampai di kafe tempat kerjaku, aku melirik jam yang menempel di dinding kafe, waktu sudah menunjukkan pukul lima kurang lima menit. Itu artinya, aku terlambat datang hampir satu jam lamanya.Ya, aku bekerja di sebuah kafe ternama di kota ini. Kafe ini adalah cabang dari kafe besar di ibu kota, bahkan cabangnya sudah menggurita sampai ke seluruh tanah air. Aku bekerja 2 shift, pagi-sore dan sore-malam. Minggu ini kebetulan aku bekerja shif sore yaitu jam 4 sore sampai jam 11 malam. Tapi, lagi-lagi aku terlambat masuk dan ini yang paling parah yaitu hampir 1 jam aku terlambat."Zahra! Kamu masih niat kerja gak sih?" Bentak Mbak Nurma, Manager kepercayaan bos, sembari berkacak pinggang melihat kedatanganku. Aku hanya mampu menunduk dalam."Maaf Mbak! Saya janji ini yang terakhir saya terlambat!" Jawabku lesu."Janji aja terus, sampai kucing bertelor!" Berangnya dengan suara lantang, beruntung saat ini suasana kafe masih sepi jika tidak tentu kami akan jadi pusat perhatian pengunjung kafe."Sekali lagi telat, kamu saya pecat!" Bentaknya lagi dengan menggebrak meja membuatku berjingkat kaget. Aku berjalan lunglai menuju loker dan segera berganti baju seragam kerjaku dan bergabung dengan teman-temanku yang sudah sibuk berkutat dengan pekerjaan."Napa lagi sih, Ra?" Tanya Rika, teman kerjaku yang paling perhatian."Biasa, Rik! Ibu negara kebanyakan kasih tugas!" Jawabku asal dan segera menyambar lap untuk membantu membersikan piring dan gelas."Dahlah, Ra! Mending kos ajalah sama aku!" Lanjutnya dengan tatapan iba."Belum kepikiran, Rik. Mungkin nanti atau malah enggak sama sekali." Jawabku dengan senyum getir."Kenapa, Ra? Kamu masih sanggup jadi budaknya mereka?" "Entahlah, aku-""Zahra!" Suara seseorang memanggilku memotong ucapanku. Aku dan Rika sontak menoleh ke sumber suara, rupanya itu Aldi, rekan kerja kami.Aldi berjalan cepat ke arahku dan Rika."Ra, lihat deh! Ini bukannya adik kamu?" Ucapnya menunjukkan layar ponselnya padaku. Aku yang penasaran langsung memperhatikan apa yang Aldi tunjukkan. Rupanya sebuah video singkat. Mataku sontak melebar sempurna dengan mulut menganga lebar, melihat video itu. Bahkan Rika pun tak kalah terkejutnya denganku."Jadi, Risma. . ."🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻Hari yang melelahkan dengan segala pekerjaan yang membuat seluruh tulangku seakan rontok dari pengaitnya. Meski melelahkan tapi aku sudah mulai terbiasa dengan keadaan ini.Hampir 2 bulan tubuhku dirajam dengan pekerjaan yang tiada habisnya. Lelah? Tentu, tapi tak se-lelah hati ini mendapat perlakuan yang begitu buruk dari Ibu dan adik-adikku.Dulu ketika nenek masih hidup, mereka tak begini padaku meski sama tak menganggapku ada tetapi mereka tak berani membebaniku dengan semua pekerjaan rumah yang tak ada habisnya ini. Pun dengan Ibu, ketika nenek masih hidup, perlakuan Ibu tak seburuk sekarang. Entah apa salah dan dosaku padanya.Jarum jam menunjukkan pukul setengah dua belas malam saat aku masuk ke kamar yang selama ini aku tempati bersama nenek. Sekarang, kamar ini sangat multifungsi. Disamping sebagai tempatku melepas penat, juga merangkap sebagai tempat setrika dan tempat menumpuk baju-baju yang belum di setrika, bahkan ada beberapa kardus tempat pakaian yang sudah tidak terpak
Aku meraup udara sebanyak yang aku bisa. Mengeluarkan sesak sekaligus membulatkan tekad untuk bangkit melawan mereka yang telah berlaku dzalim terhadapku. Aku bangkit berdiri, lantas keluar kamar menuju kamar mandi di samping kiri kamarku. Bergegas membersihkan diri meski hari masih terlalu pagi. Karena baju atasku basah akibat siraman air oleh Risma tadi, aku memutuskan untuk mandi sekalian.Tak butuh waktu lama, aku segera mengakhiri ritual mandi di pagi buta ini. Berdiri di depan lemari yang menyimpan semua bajuku dan baju nenek.Begitu aku selesai memakai bajuku, pandangan mataku tertuju pada trap paling atas. Dimana, di sana berisi semua dokumen tentang diriku. Gegas aku mengeluarkan semua isinya, berniat melihat dan memastikan siapa diriku melalui surat-surat itu. Yang pertama aku ambil adalah map bening berisi semua raport dan ijazah dari TK hingga SMA, kartu keluarga asli, beberapa piagam dan tentu akte kelahiranku.Mataku dengan awas meneliti setiap nama yang tertera dalam a
Tok tok tok!"Assalamualaikum!" Tak lama terdengar putaran anak kunci dibarengi jawaban salamku tadi."Walaikumsalam. .eh, Zahra!" Seorang wanita cantik menyambut kedatanganku dengan senyum manisnya, namanya Mbak Ika. "Iya, Mbak." ucapku membalas senyumnya."Masuk, yuk!" ajaknya.Aku mengekor sang empunya rumah masuk ke dalam. Mbak Ika mempersilahkanku duduk di sofa ruang tamu, sedangkan beliau berlalu ke dalam untuk membuatkan minum.Tak lama beliau kembali dengan 2 gelas berisi minuman berwarna hijau."Diminum, Ra! Udah lama loh kamu gak main ke sini. Sibuk ya?" ucapnya sembari menjatuhkan bobot di sebelahku."Masuk sore, Mbak! Kalau pagi, biasalah. .banyak tugas negara!" jawabku membuat pemilik lesung di kedua pipinya itu tertawa. Entah apa yang beliau tertawakan, nasibkukah? "Kamu ini! Dahlah, kalau gak sanggup tinggalin aja ke sini!" ucapnya di akhir tawa.Ya, beliau adalah salah satu orang yang paling tahu kehidupanku setelah nenek tiada. Mbak Ika adalah menantu Pak Bandi, r
Usai berbasa-basi sekedarnya, kami di jamu untuk makan siang lebih dulu sebelum Kakek Beno berbicara padaku 4 mata saja. Sesungguhnya rasa hati sudah tak sabar lagi, tapi mau bagaimana lagi. Aku tetap harus sabar demi mendapat informasi tentang diriku sendiri. Aneh memang, tapi itulah kenyataannya. Aku harus mengorek informasi tentang diriku dari orang lain.Kami menikmati makan siang dengan hikmat, sesekali gelak tawa dari kami memenuhi ruang makan yang menyatu dengan dapur mewah ini. Kehangatan dan rasa kekeluargaan sangat terasa sekali, ada yang menghangat di hati ini. Ini untuk pertama kalinya aku merasakan layaknya memiliki keluarga yang utuh dan harmonis. Tante Maya dan Kakek Beno tak menganggapku orang lain, meski baru pertama kali aku datang kemari. Bahkan, anak kedua Tante Maya juga cepat sekali akrab meski baru beberapa menit yang lalu kami bertemu saat dia pulang sekolah.Usai makan dan sholat zuhur, di sinilah aku. Di teras belakang kamar Kakek Beno, duduk di kursi panjan
"Sertifikat rumah itu atas nama Arum. Tapi, dia sudah membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa setelah dirinya meninggal, sertifikat rumah itu harus dibalik menjadi namamu." ucap Kakek Beno membuat perasaanku seketika plong, itu artinya rumah itu benar menjadi hak milikku."Lalu dimana suratnya, Kek?" "Selama ini surat rumah itu ada pada Kakek. Makanya, setelah 7 hari Arum meninggal, Kakek segera urus balik nama surat rumah itu. Sekarang masih di kantor pengacara Kakek, kamu tenang saja, semua sudah berjalan seperti keinginan Arum." Aku tersenyum lega mendengar jawaban beliau."Senin besok biar sekalian dibawa sama Aksa, atau kamu mau ambil sendiri kemari?" "Gak usah, Kek. Sementara biarlah surat itu ada sama Kakek. Kakek tahu sendiri bagaimana tabiat Ibu dan Adik-adik Zahra. Kalau surat itu ada sama Zahra, Zahra takut tak bisa amanah, Kek." jawabku yakin, aku hanya takut Ibu dan kedua adikku akan merampas hak milikku. Biarlah sementara waktu ini mereka menikmati berada di ru
Saking gemetarnya aku sampai lupa menanyakan pin dari kartu tipis ini. Ah, tapi aku percaya jika pin kartu ini bukan kombinasi angka yang sulit sebab nenek adalah tipe orang yang tak mau ribet dengan angka-angka.Di sinilah aku sekarang. Di depan mesin canggih yang hanya dengan menekan angka maka dia akan mempermudah kita dalam bertransaksi.Meski sudah tahu jumlahnya di buku tabungan yang telah diperbaharui, tapi tetap saja aku harus memastikan lagi.Menarik nafas dalam-dalam dan segera memasukkan kartu itu pada tempatnya. Menekan beberapa digit angka yang merupakan kombinasi tanggal kelahiranku. Dan, berhasil hanya dalam satu kali tekan saja.Memilih menu informasi saldo dan terpampang dengan jelas 7 digit angka dengan diikuti 3 nol di belakangnya membuat keringat dingin merembes dari dahiku.Senang? Tentu saja, tapi rasa itu berbaur menjadi satu dengan perasaan heran dan penasaran akan sosok ayah kandungku. Aku memutuskan keluar tanpa transaksi lagi. Ataupun sekedar menarik bebera
Sejauh apapun kakimu melangkah pergi, tetap keluargalah tempatmu pulang.-Adinda Azzahra-Dering ponsel yang aku beli kemarin terdengar nyaring di gendang telingaku. Dengan berat aku mengulurkan tangan meraba di sela bantal. Begitu menyentuhnya, segera aku jawab panggilan itu tanpa melihat nomor siapa yang menghubungi."Hallo!" jawabku dengan suara berat."Hallo, Ra! Ini, Mbak Ika!" mataku membeliak mendengar suara Mbak Ika di seberang sana. "Kata Bang Aksa nanti jam 9 kamu ditunggu Bang Aksa di Bank. Suruh bawa buku tabungan sama KTP kamu yang asli." lanjutnya tanpa menungguku bersuara lebih dulu."Beneran, Mbak?" tanyaku memastikan."Iya, bener! Deposito Nenek kamu bisa langsung cair!" jawabnya meyakinkanku. Seketika kantuk yang mendera sirna sudah, tergantikan semangat yang luar biasa. Aku segera bangkit dan terduduk masih dengan ponsel yang menempel di telingaku."Alhamdulillah. ." gumamku bersyukur karena diberi kemudahan mengurus semuanya."Nanti Mbak Ika temanin ya?" pintaku.
Tepat pukul sembilan motor Var*o putih kesayanganku sudah terparkir cantik di halaman Bank BNI. Gegas aku menghampiri Bang Aksa yang sudah menunggu kedatanganku."Gimana, Bang?" tanyaku setelah berdiri di hadapan Bang Aksa."Beres! Yuk ikut Abang ke dalam!" jawabnya, aku mengangguk pasti kemudian mengekor Bang Aksa masuk ke dalam.Aku pikir, Bang Aksa akan mengambil nomor antrian lebih dulu. Tapi, rupanya Bang Aksa langsung masuk ke dalam sebuah ruangan berdinding kaca gelap tapi masih terlihat jelas seluruh isi ruangannya. Setelah berbicara pada security sebentar, Bang Aksa menoleh padaku."Ayo, Ra!" ucapnya lagi. Setelahnya, mengetuk pintu kaca itu. Mendengar ketukan di pintu, seorang lelaki mungkin seusia Bang Aksa dengan penampilan rapi khas pegawai Bank menoleh dan melambaikan tangannya isyarat mempersilahkan kami masuk."Hay, Bro!" sapa Bang Aksa pada lelaki itu yang aku tebak adalah teman Bang Aksa dari sapaannya yang begitu akrab."Dateng juga, Lu! Gimana kabar?" jawab lelaki
"Dan jawaban untuk pertanyaanmu tadi adalah Ibu. . ."Aku mendongak menatap matanya yang masih basah, terdiam menanti jawaban apa yang akan keluar dari bibir beliau."Ibu. .tak mungkin lagi bersama Ayahmu, Nak!""Kenapa, Bu?" lirihku sedikit kecewa."Ayah masih cinta Ibu, bahkan sampai hari ini Ayah masih menyimpan semua kenangan tentang Ibu!" ucapku berusaha menyakinkan Ibu. Ibu menoleh, menatap mataku dalam dan aku lihat sedikit senyum di bibirnya."Ayah ada di luar sekarang! Ingin bertemu juga dengan Ibu!" lanjutku."Tapi, Ibu merasa tak pantas untuknya! Ibu sudah sangat melukainya, bahkan Ibu punya anak dari lelaki lain. Tak mungkin rasanya Ayahmu masih cinta Ibu!" sanggahnya menunduk."Aku masih sangat mencintaimu, Neni!"Kami menoleh berbarengan dan kulihat Ayah telah berdiri di ambang pintu menatap kami sendu. Segaris senyum terbit setelah mata kami saling bertemu."Mas. . ." lirih Ibu pelan dan matanya tak lepas menatap Ayah.Ayah berjalan mendekat ke arah kami dengan kedua ja
Di sinilah kami sekarang, di depan bangunan toko yang nyaris tak pernah aku kunjungi selama ini karena sudah dikelola oleh Ibu.Kondisi toko lumayan ramai, meski tak sebesar toko yang di kelola Mbak Idah. Nampak beberapa pengunjung datang silih berganti, memang lokasi toko ini cukup strategis karena berada di tepi jalan kota yang ramai."Gimana, Yang, Yah?" tanya El sebelum kami memutuskan turun."Ayah, gugup!" jawab Ayah menatap lurus pintu kaca toko yang tertutup itu."Zahra juga, Yah! Tapi, kita tetap harus masuk ke dalam!" yakinku lagi.Setelah beberapa saat, kami akhirnya turun dan segera masuk ke dalam. Tak ku jumpai Raka di sana, hanya ada seorang kasir yang waktu itu sempat di pekerjakan Ibu di toko pusat. Aku memutuskan untuk bertanya saja padanya dan meninggalkan El serta Ayah di dekat pintu."Kamu-" ucapnya seperti tengah mengingat-ingat."Raka dimana?" tanyaku langsung dan mengabaikan tebakannya."Ada di atas ada perlu apa?" tanyanya sedikit ketus dan menatapku tak suka.A
Dua minggu berlalu dari acara resepsi super mewah itu. Siang ini, kami berencana pulang ke Semarang. Awalnya Kakek meminta kami untuk tinggal saja di sini tetapi dengan sungkan aku menolak karena masih ada Ibu yang menanti kedatanganku.Kakek, Tante Mayang, Damar dan Anggi melepas kami di bandara Hang Nadim untuk kembali ke Semarang.Tepat pukul 2 siang, pesawat lepas landas dan semakin meninggi meninggalkan kota kecil yang mengenalkanku kepada teh obeng ini.Batam, kota kecil dengan segala keindahannya. Sungguh aku jatuh cinta padanya dan suatu hari nanti aku akan putuskan untuk menetap di sini tapi tentu setelah tugasku selesai. Itu sudah aku bicarakan dengan suamiku dan tentu saja dia sangat mendukung.Selama di pesawat sudah tak sabar rasanya ingin segera bertemu dengan Ibu dan memeluk tubuhnya. Pun dengan Ayah, yang wajahnya kian berseri sejak pagi tadi. Beliau pun tak sabar untuk bertemu dengan sang ratu yang menghuni hatinya.Teringat kembali percakapan kami beberapa waktu lalu
Seluruh rangkaian acara resepsi pernikahan kami digelar begitu mewahnya, aku terkagum sekaligus masih tak menyangka akan jadi sebegitu mewah dan meriahnya acara ini.Awalnya aku pikir, resepsi ini hanya sekedar resepsi biasa layaknya resepsi yang pernah aku datangi kala di kampung. Namun rupanya, jauh dari bayanganku. Pesta ini tak kalah mewah dengan pesta resepsi artis dan youtuber ternama yang beberapa waktu lalu aku lihat di televisi.Sekali lagi aku lupa, siapa suamiku dan keluarga besarnya. Dan itu membuatku semakin tidak percaya diri, aku merasa asing di sini. Hanya ada Ayah, Mbak Ika, dan Bang Aksa, dari pihak keluargaku.Ribuan undangan berasal dari kalangan orang ternama, mulai dari pengusaha, artis ibu kota, petinggi Bank swasta, politisi bahkan nampak hadir pula putra bungsu orang nomor satu di negeri ini. Aku bagai mimpi berdiri di sini."Woy, Bro! Selamat, akhirnya berani juga melepas masa lajang!" ucap lelaki bertubuh kekar ini sembari memeluk tubuh suamiku. Aku yang ber
Bias cahaya yang pernah hilang perlahan kembali meski masih samar, suara berdenging memekakkan membuatku menutup telinga dengan kedua tangan.Sesak di dalam dada kian menghimpit jiwa, entah apa yang terjadi denganku, aku pun asing dengan jiwaku. Tak kutemukan siapapun di tempatku berdiri, tak ada apapun untuk dapat ku gapai, tak ada bias lain selain pendar cahaya yang berkilau.Suara tangis bayi kian jelas terdengar, membawaku menyeret langkah mendekat, meski membawa beban berat di pundakku. Bayi, ya, bayi! Jauh di sudut pandang kulihat bayi merah tergeletak dan menangis. Namun, semakin cepat langkah ku bawa, semakin jauh pula untuk ku gapai dia.Apa ini? Ada apa dengan semua ini? Batin bertanya dan terus bertanya, kaki telah lelah melangkah namun tak jua sampai padanya. Siapa dia? Kenapa dia di sini, namun tak bisa ku gapai?Terduduk lesu bertumpu kedua kakiku, aku ada dimana?Kulihat bayi merah itu kian tumbuh layaknya anak-anak lainnya. Mulai dari dia tengkurap, merangkak, duduk, j
Mataku mengerjap beberapa kali, tenggorokanku rasanya kering sekali. Aku menggeliat dan tak ku temukan suamiku di sebelahku, ingatanku kembali ke beberapa saat yang lalu dimana kami pulang dari kafe dan aku mendadak muntah-muntah.Aku kembali tersenyum kala ingat tebakan suamiku bahwa aku tengah hamil, tetapi setelah dilakukan tes hasilnya masih negatif.Cklek,Bunyi handle pintu kamar mandi menarik perhatianku, rupanya suamiku baru saja dari dalam sana. Wajahnya sudah basah dan terlihat semakin tampan saja."Sayang udah bangun?" tanyanya sembari melangkah mendekat. Lalu duduk di sampingku."Masih pusing?" tanyanya lagi nampak khawatir dengan menempelkan punggung tangannya di keningku."Udah mendingan tapi masih lemes." jawabku pelan. Menaikkan kepalaku ke pangkuannya."Kamu kenapa sih? Cerita dong sama aku, Yang!" ucapnya sembari mengusap kepalaku."Gak papa, Yang! Maaf ya, udah bikin kamu khawatir. Aku hanya-" jawabku tertahan di tenggorokan. Ah, rasanya tak sampai hati aku mengucap
Aku melihat dengan seksama video kiriman Raka, masih tak percaya hingga aku ulangi sekali lagi. Video berdurasi 20 detik itu mampu meruntuhkan duniaku. Mataku melebar sempurna, dengan mulut menganga. Air mata mengalir begitu saja, bahkan tanganku mulai bergetar.Masih belum yakin kembali aku putar bahkan dengan volume full, takutnya aku salah dengar."Ibu Neni ingat Mbak Zahra?" tanya suster Asih seolah kembali menegaskan. Entah percakapan seperti apa yang mereka lakukan sebelumnya. Dari ekspresi suster Asih pun nampak terkejut dan bahagia di saat yang bersamaan.Nampak Ibu mengangguk lemah, matanya menatap lurus ke depan. Dan aku yakin, di depan Ibu adalah Raka karena mata Ibu tepat mengarah ke kamera."Siapa Zahra, Bu Neni?" suara suster Asih lagi."Zah-ra. . ." ucapan itu terdengar lirih dan itu keluar dari mulut Ibu.Ibu yang selama ini tak menganggapku ada, akhirnya setelah 27 tahun penantian beliau mau memanggil namaku. Air mata bahagia tak dapat ku bendung lagi, mengalir begitu
Satu bulan kemudianAku masih termenung menatap wajahnya, kerutan kian jelas terlihat di sekitar matanya. Ibu, terlelap begitu damai setelah minum obat yang ku berikan tadi. Selama hampir satu bulan, aku merawatnya. Mulai dari menyuapi makan, memandikan, mengajaknya bercerita dan kadang jalan-jalan di sekitar taman rumah sakit. Selama itu pula sorot matanya mulai ada bias kehidupan.Meski, sesekali masih menyebut nama Risma, tetapi sudah tidak ada lagi tindakan brutal yang mengancam orang-orang di sekelilingnya.Hari ini, hari terakhir sebelum esok pagi aku bertolak ke Batam untuk menggelar acara resepsi yang akan berlangsung 4 hari lagi. Sedari pagi, aku menghabiskan waktu bersama Ibu. Entah, rasanya hati ini semakin tak tega meninggalkannya.Usapan lembut di bahuku membuatku menoleh."Tenang aja, Kak! Biar aku yang jaga dan rawat Ibu di sini!" ucap Raka sembari tersenyum.Ya, Raka, adik lelakiku. Dia sudah menyesali perbuatannya dan sudah dibebaskan oleh pihak kepolisian karena Desi
Gundukan tanah merah dengan taburan aneka bunga segar menghiasi, di ujungnya tertancap nisan kokoh bertuliskan nama adik bungsuku, KHARISMA WIJAYANTI.Tangis Raka kian terdengar pilu, bersimpuh di samping nisan dan memeluknya erat. Sekelebat penyesalan dan rasa bersalah kembali hadir di sudut lain hati ini, hingga air mata kembali tumpah dengan derasnya.Andai aku tak melaporkan Risma, andai aku diam saja mengetahui kelakuan Risma, andai, andai dan andai. Aku benci rasa ini, aku benci keadaan ini.El mengeratkan pelukannya padaku, menenggelamkan wajahku di dada bidangnya. Membiarkan tangisku kembali tumpah membasahi bajunya.Setelah tangisnya reda, ia bangkit berdiri. Memandangi tinta hitam yang mengukir nama adiknya di papan kayu jati. Diam, tanpa beralih untuk beberapa saat lamanya.Setelahnya, ia beranjak. Berbalik badan dan menatapku yang berdiri tak jauh darinya. Matanya menyiratkan kepedihan luar biasa, jejak-jejak lelehan air mata masih nampak jelas di kedua pipinya. Lalu, mele