Satu jam berlalu. Masih terdengar teriakan, dan juga suara keras dari balik pintu di tempat Alaska duduk. Ia ingin menekan bel tamu, namun ternyata nyalinya tak senekat itu.
Mau ditunggu sampai kapan perdebatan itu usai. Hingga akhirnya, Alaska memutuskan untuk meninggalkan rumah Yesa, dan memilih untuk kembali ke rumah.
“Den, masih belum dibuka ya pintunya?”
Suara itu membuat Alaska kaget, dan sontak menoleh ke belakang.
“Eh, Kang? Belom. Kayaknya, Alaska pulang dulu aja kali ya? Soalnya di dalam juga kayaknya ada masalah, gak enak,” tukas Alaska pada kang kebun yang menatap nanar anak muda yang berada di hadapannya itu.
“Biasa Den, cekcok antara suami istri. Kalo gitu, ya udah den Alaska pulang dulu. Besok pagi, ke sini lagi,”
“Okey kang, makasih banyak ya. Alaska pamit pulang dulu,” pamit pria itu seraya membungkukkan tubuhnya pada kang kebun yang tersenyum salut melihatnya.
“Hati-hati Den,"
Alaska memilih untuk bergegas mengendarai motornya, setelah beberapa jam berharap Yesa keluar menemuinya, tapi harapan hanyalah sekedar harapan.
***
Pagi itu Alaska hanya menghela napasnya, dan berjalan melalui koridor kampus yang kali ini tampak ramai oleh mahasiswa yang datang atau pun pulang.
Rasanya, ada yang mengganjal dalam hati dan pikiran Alaska. Yah mengenai Yesa yang sampai saat ini pun tak memberinya kabar sama sekali, padahal kemaren ia telah menemui gadis itu. Alaska yang kemudian memilih untuk duduk di taman kampus di temani tanaman dan pepohonan rindang yang tumbuh, di mana ia jadikan sebagai tempat sandarannya di kala lelah seperti saat ini.
Otaknya masih berfikir, apa kah yang di lakukan olehnya terhadap Yesa adalah sebuah kesalahan?
'Apa yang harus gue lakuin biar bisa ketemu Yesa? Apa gue emang lembek sebagai lelaki?'
Begitulah pertanyaan yang selalu berkecamuk dalam benak pria itu.
Hingga ia tak sadar, jika kali ini ia tengah tertidur di bawah rindangnya pohon taman kampus ini.
"Weh, Alaska! Alaska! Bangun yaelah lo pakai tidur segala! Lang ayok ikut gue sini!" Bangun Azka yang berbicara setengah berbisik pada Alaska.
"Ada apa?"
"Sssttt pokoknya jangan berisik, dan jangan banyak tanya okey! Lo ikut gue sekarang!" titah Azka dengan wajah setengah panik yang kemudian berjalan lebih dulu seakan ia menunjukkan suatu hal pada Alaska yang semakin penasaran dibuatnya.
"Eeeett,, berhenti! Itu Yesa bukan?" tanya Azka lagi.
Yah tepat di ujung koridor, di mana kampus yang kini kian sepi tampak sepasang anak manusia tengah berada di sana. Berpelukan, dan terlihat begitu mesra, namun kemesraan itu akhirnya berakhir dengan ciuman.
“Apa-apaan sih ini! Gue gak bisa biarin,” geramnya lalu berjalan cepat ke arah yang ditunjuk oleh Azka.
"Alaska, lo mau kemana woy? Eh! Tahan Alaska! Duh!” teriak Azka panik ketika melihat Alaska yang sudah berjalan dulu ke arah Yesa dan pria yang tak dikenal itu.
Emosi? Yah pasti! Siapa yang gak bakalan emosi liat pasangannya kiss lips sama orang lain yang jelas di depan mata.
Bruk!
"Alaska! Apa-apaan sih!" teriak Yesa. Tapi Alaska tak peduli dan menghajar pria itu habis-habisan.
"Alaska berhenti," teriak Yesa lagi, dan berusaha untuk menahan Alaska tapi kekuatannya tak sekuat pria itu, yang ia sendiri tak mampu untuk menahannya.
"Azka stop! Kita udah putus!" teriak Yesa untuk kesekian kalinya, yang sontak membuat Alaska menghentikan pukulannya lalu menatap pada Yesa lamat dan dengan tatapan tajam.
"Siapa dia? Kenapa harus sekarang lakuin itu? Kenapa bukan sama aku?" ujar Alaska yang kembali melontarkan pertanyaan pada Yesa, dengan susah ia menahan tangis karena suaranya serak.
"Kamu bisa kasih aku apa hah?" tutur Yesa tak kalah kerasnya dari Alaska yang amarahnya sudah sampai di klimaks.
"Aku emang gak tajir, tapi aku punya perasaan cinta dan sayang yang besar buat kamu! Kalo uang bisa dicari, tapi ketulusan dan setia itu gak ada harga jual beli," tutur Alaska dengan nada bicara yang melemah.
Tapi Yesa tak lagi menghiraukannya, dia memilih pria yang terkapar karena dipukuli Langit habis-habisan itu.
Jantung Alaska lagi-lagi bak dihujan duri yang semakin parah. Hancur berkeping-keping.
Ternyata kalimat yang ia lontarkan malam itu, bukan sekedar kalimat, tapi memang nyata.
Argh!
Kini pria itu mengepal kuat tangannya dan memukul pohon yang berada di sampingnya dengan emosi yang semakin membuncah.
Seakan tak ingin terlihat lemah, Langit menyeka air matanya yang ternyata tak kuasa tertahan. Azka yang menatap dari kejauhan juga tak kuasa menahan tangisnya, seakan ia menempatkan dirinya sebagai Alaska kali ini. Ada rasa kecewa juga yang menyeruak dalam dada Azka.
“You are nothing short of like a bitch!" umpat Azka juga pada Yesa, seraya menunjukkan jari tengahnya.
“Gue gak butuh cinta! Emang lo bisa beliin gue sesuatu pake cinta lo!" ketus Yesa pada Alaska dan sontak mendorong bahu Alaska dan kemudian berlalu dengan pria yang wajahnya sudah membiru karena tonjokan Alaska yang penuh emosi tadi.
"Aaargggghh! Gue benci hidup gue! Gue benci gak bisa jadi yang pacar gue pengen," teriak Alaska yang tampak tak kuasa menahan sesak di dadanya, ia berlutut di atas tanah. Kecewa terberat adalah, ketika kita terlalu menaruh harapan besar terhadap orang yang tak mencintai kita sama sekali.
Melihat Alaska yang tengah gundah, Azka sontak menghampirinya dan meminta Alaska untuk bangkit dari simpuhnya.
"Alaska, ayok kita pulang, ayok jangan di sini," ajak Azka.
Alaska hanya menangis dan tak menggubris apapun pembicaraan Azka. Ia lebih memilih diam, dan berkali-kali meluapkan emosinya pada batang pohon yang berada di sampingnya.
Andai pohon itu bisa bicara, mungkin dia sudah meminta ampun pada Alaska.
"Alaska, gue bisa ngerasain gimana posisi lo. Tapi gue minta tolong Ka, jangan kegini. Ayok pulang, tenangin pikiran lo nanti kita cari solusinya sama-sama," ajak Azka lagi dengan sangat hati-hati karena di balik carenya, dia juga takut ditonjok Alaska.
“Solusi apa? Gue sama Yesa udah kelar! Udah gak bareng lagi, solusi apa yang lo mau cariin bangsat!”
“I-iya, t-tapi lo pulang dulu!”
Alaska lelah dengan perdebatan.
Emosi telah menguras energinya.
Hingga akhirnya, Alaska menuruti Azka untuk kembali ke kostnya, yah meskipun hati tak sesuai dengan apa yang harus ia lihat kan dalam sesak dan lukanya yang kini menganga lebar, bahkan keluhnya pun tak lagi dapat ia rasakan.
Luka yang kali ini, tak dapat untuk di bicarakan lagi. Tak bisa untuk diobati, Yesa is the Queen in Alaska's heart.
-Jangan sampai mengecewakan seseorang, karena suatu saat semua akan berbalik-
***
telah kejadian tadi, Alaska tampak mengurung diri di kamarnya.Ternyata begini rasanya jadi dewasa?Harus jauh dari keluarga, dipatahkan oleh cinta dan harus menjadi diri sendiri dalam peliknya dunia yang fana.Susah yah jadi dewasa, apalagi mencintai wanita yang separo hati mencintai kita. Padahal, cinta seorang Alaska sama luasnya dengan Langit yang terbentang di atas sana. Teramat luas, bahkan tak berujung. Tapi, kenapa masih ada wanita sepicik itu yang membuat Alaska harus terjatuh dalam lembah lukanya?"Alaska, lo mikirin apa sih cuy?" timpal Azka yang sontak menepuk bahu Alaska yang tengkurap memainkan ponselnya di dalam kamar."Gak lagi ngapa-ngapain," singkat Alaska."Etdah bocah, singkat amat jawabnya,""Menurut lo gue gebukin cowok brengsek tadi itu salah gak ya? Apa gue harus minta maaf? Secara gue udah bikin Yesa kecewa Ka?"Pertanyaan Alaska yang dilontarkannya membuat Azka syok, dan makanan yang ia telan pun, menj
aska masih melamun, karena kegundahan dan resah masih melanda hatinya. Terutama handphone yang masih ia otak-atik menunggu kabar dari Yesa yang tak kunjung datang. Padahal ia amat mencintai kekasihnya itu dan amat takut kehilangannya.Sekalipun ia tau, jika Yesa tak lagi mencintainya, dan telah mengatakan putus. Dan meskipun berulang kali Azka memintanya untuk menjauh, tapi semakin ia menjauh, semakin besar rasanya terhadap Yesa."Alaska! Nanti pergi kampus, gue naik angkutan umum aja ya!" tukas Azka pada Alaska."Loh kenapa? Kok gak bareng gue aja?""Iya lagi pengen menikmati suasana angkutan umum aja gue," tukas Azka lagi seraya menepuk pundak Alaska yang hanya mengangguk dan kembali melanjutkan lamunannya seraya menatap layar ponsel yang kini ada di genggamannya."Lo kenapa sih wajahnya remuk banget? Masih mikirin Yesa ya?" tanya Azka lagi yang sontak membuat Alaska berdecak."Iya masih lah Ka, gue mikirin dia lagi apa sekarang," jawab Al
Alaska kali ini tengah berfikir keras di taman kampusnya. Ia berfikir kenapa harus dia yang berada di posisi ini?Di saat dirinya menaruh harapan malah di kecewakan.Terlintas dalam benak pria itu. Akan suatu hal yang terjadi di rumah Yesa saat ia datang berkunjung. Akhir-akhir ini, banyak yang terjadi bahkan saat ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Yesa.“Woy! Kenapa lo?” Kaget Azka pada Alaska yang masih melamun dengan tatapan datar.“Gak apa-apa. Baru dateng aja, lu?” tanya Alaska spontan pada Azka yang malah cengengesan.“Eh, katanya sekarang kelas on time! Ayok buruan ke aula!” ajak Azka seraya menyeret tangan Alaska untuk bergegas menguntit cengengesan.***Heran deh, Alaska itu mentalnya terbuat dari apa sih? Ampe masih berani datang ke rumah Yesa hanya karena alasan masih cinta.Bahkan ia juga gak mikir kalo nanti dia bakalan kecewa.&nbs
Setelah menemui Yesa di rumahnya, membuat Alaska merasa lega. Karena setidaknya ia bisa meyakinkan tambatan hatinya bahwa ia bisa menjadi yang terbaik.Alaska yang kini mengendarai kembali motornya menuju rumah kost dan akan segera beristirahat lalu menceritakan hal yang baru saja terjadi pada sahabatnya Azka.Brrrmmm....Brrrmmm...Brrrmmm ..."Alaska, heh! Berisik tau gak? Itu motor bebek lo, bikin tetangga emosi! Belum lagi asapnya bikin polusi Alaska!" gerutu Azka pada Alaska itu seraya terkekeh."Biarin, gue lagi panasin motor gue dulu," jawab Alaska lagi pada sahabatnya itu."Iya panasin motor sih boleh, tapi gak gitu juga kali, Ka! Yang ada tetangga pada marah sama lo. Lagian yang tinggal di sini itu bukan cuma lo doang!" omel Azka pada Alaska yang akhirnya dengan terpaksa menghentikan tingkahnya yang membuat sahabatnya itu naik pitam."Gak bakalan ada yang marah juga, Azka!" santai Alaska lalu masuk ke dal
Keesokannya ...Pagi ini, Alaska sudah siap-siap. Ia berusaha tampil semenarik mungkin, berharap jika dirinya tidak akan membuat Yesa kecewa.“Cie yang pagi-pagi udah siap mau touring.” goda Azka pada Alaska yang bersiap dengan coolnya di hadapan cermin yang memantulkan wajah tampan dengan kulit putih, juga hidung bangir yang menambah tampan wajahnya.“Apaan sih, Ka?” tukas Alaska yang malu, dan itu terlihat jelas dari rona merah jambu dari wajahnya.“Hahaha, malu nih ye, sans aja kali cuy!”“Gue gimana, Ka? Udah cakep belum? Atau gue norak?” tanya Alaska lagi setelah menatap Azka yang berpangku tangan menatap sahabatnya itu.“Menurut gue, lo itu cakep kok, Ka! Dan apapun outfit yang lo pake itu, gak pernah ada yang gagal.” tutur Azka dengan wajah seriusnya pada Alaska.“Huh, tapi gue masih gak pede, Ka!”“Yaelah Alaska
"Woy, lo di toilet ya?" panggil Azka seraya mengetuk kasar pintu toilet."Iya." singkat Alaska."Lah terus kenapa gak keluar dulu bentar? Kan gak enak, Alaskaaaaa!" gerutu Azka lagi.Sontak Alaska membuka pintu toilet dan menatap Azka senyum."Apaan lo senyum-senyum, Lo pikir gue bakalan luluh?" emosi Azka lagi."Gue males ketemu cewek yang bukan Yesa, Ka!"Dengan terpaksa Azka menarik tangan Alaska untuk menemui tamu perempuan itu."Ini Alaska, gue tinggal sebentar ya!" tukas Azka dan berlalu meninggalkan mereka berdua."Hm, Ka! Lo masih ingat gue gak?" tanya wanita itu pada Alaska."Hai?" panggilnya lagi seraya melambaikan tangan ke arah Alaska yang masih membisu tak berkutik sepatah kata pun.Akan tetapi, Alaska hanya diam dan bingung menatapnya, lalu bertanya dalam hati.'Siapa wanita ini?'_____Lagi-lagi Alaska dibuat pusing oleh masalah perempuan yang mengusik hidupnya, be
Alaska berasa sekujur tubuhnya tak bernyawa, antara kuat dan tak sanggup kini berbaur menjadi satu. Bahkan Alaska merasa hidup tak adil baginya karena semua seakan kembali terbuka. Satu per satu kini kedok Yesa akan terbuka. Tapi, dalam hati Alaska berdoa semoga itu hanya sebuah kesalah pahaman, dan juga sebuah rencana untuk menghancurkan hubungannya dengan Yesa. Alaska duduk di kamar masih melamun, menatap benda pipih di tangannya, berusaha semampunya menghubungi Yesa dengan chat yang ia kirim bertubi-tubi (Spam)."Ka, itu lo lagi ngapain?" tanya Azka menganggetkan Alaska yang masih melamun."Hah? Enggak ada, cuma lagi liatin ini doang," elak Alaska yang sontak menutup layar ponselnya."Yakin lo lagi gak ngapa-ngapain? Udah siap kan? Kita berangkat sekarang!" ajak Azka.“Hm, emang kenapa sih Ka? Harus kegitu?” jawab Alaska dengan nada lesu dan terpaksa.“Lo mau liat dengan mata kepala lo kan? Semua kesalahan yang pernah dilakuin
"Gue harus temuin Yesa dan menanyakan hal ini! Gue gak percaya omongan kalian." tukas Alaska yang sontak ke luar dari mobil untuk menghampiri gerombolan itu."Hah, Alaska!" panggil Zoy panik."Alaskaaa." teriak Azka juga.Dengan langkah yang terhuyung, Alaska memaksakan dirinya untuk bertemu dengan Yesa yang ada di seberang jalan untuk memastikan jika ini hanya sebuah kesalah pahaman, semua berasaskan 'Nekat'.Karena Alaska tak kuasa untuk menahan rasa sesaknya karena perkataan yang dilontarkan Zoy dan Azka yang membuat dirinya semakin tak tahan."Alaska, please gue mohon, jangan nekat! Mereka banyak, Ka!" larang Zoy meneriaki Alaska yang masih menatapnya dengan kemarahan."Gue gak bisa gini terus Zoy! Gue butuh kepastian! Gue yakin ini sebuah kesalah pahaman!" bantah Alaska saat berada di pinggir jalanan, dan suara hiruk-pikuk pun terdengar gusar, menambah suasana menjadi tak karuan karena kebisingan."Ala