Alaska berada di kamarnya dulu sewaktu masih berada di kampung. Bahkan satu pun tak ada yang berubah, hingga ia hampir saja tak ingin beranjak dari kamar itu untuk melepas kerinduan.
Sementara ia harus balik ke kota untuk kembali melanjutkan hidupnya di rantau menjalani pendidikan yang hampir selesai ia tempuh. Semua rasanya terasa kembali dalam ingatan Alaska, dimana dulu ini adalah kamar pertama ia sewaktu selesai khitan. Dan ini adalah kamar dimana ia menumpahkan segala kerisauan dalam hatinya, sesekali memetik senar gitar yang hampir terlupakan olehnya. Alaska yang dulu hanya berdiam diri di kamar tanpa ada yang mau berteman dengannya, bahkan ia tidak terlalu terbuka untuk berbagai hal yang sontak membuat sekitarnya ingin menjadikan Alaska sebagai menantunya. Alaska hanya tertegun ketika mengingat semua itu, ia harus kuat tak ada lagi Alaska yang harus rapuh ketika mengingat masa lalu yang begitu menghancurkan dirinya. Flashback adalah salah satu cara terbodoh yang
Biarkan semua berjalan sesuai alurnya. Mengikuti proses sebagaimana mestinya, tak perlu berhayal tinggi dalam menjalan kan kehidupan yang nyatanya keras dan begitu kejam. Cinta bahkan tak peduli berapa besar rasa yang harus ia korbankan, bahkan luka juga tak mau tau berapa perih yang harus ia sembuhkan untuk tetap bertahan.“Bang Alaska, enak gak kuliah di Jakarta?” tanya Shania yang sedari tadi sibuk memperhatikan Alaska yang tengah berberes.“Kenapa kok nanya gitu? Emang Shania juga mau kuliah di Jakarta?” tanya Alaska lagi.“Hm, pengen tau aja bang. Karena masih takut karena belum pernah jaoh dari mama sama papa, rasanya Shania masih belum siap buat itu,” jelas adiknya yang membuat Alaska melihat kan lengkung bulan sabit di bibirnya.“Gak ada yang perlu di takutin kok Shania, semuanya juga akan jadi terbiasa. Apalagi disana, bisa lebih mandiri dari pada harus selalu tinggal sama orang tua. Tapi kalo Shania, jan
‘Siapa bilang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati? Nyatanya lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati!’ ujar Alaska pada dirinya sendiri yang tatkala sedang membawa motor menuju kostnya.Rasanya ia bermimpi, bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat itu hanyalah sebuah delusi yang membawanya dalam sebuah kesengsaraan, tapi ternyata salah! Itu adalah sebuah kenyataan yang harus di terima disaat semua tak satu pun berpihak pada kita.Oh ternyata begini, rasanya menjadi dewasa. Setelah bertahun, hanya mendengar kita dari orang lain yang selalu mengeluh lelah menjalani hidupnya. Meskipun tak pernah mengusik, tapi kenapa Alaska selalu di hadirkan orang yang tak pernah memberi ketenangan pada jiwanya yang tergolong lelah itu. tak terasa hampir bentar lagi Alaska sampai di rumah kostnya. Baru sebentar ia tinggal, rasa rindunya sudah menyeruak menyesakkan dada. Sama seperti halnya ketika ditinggal oleh orang yang terkasih, baru saja sebentar tapi rindunya ud
Setiap manusia punya sisi kelemahannya masing-masing. Dan salah satu sisi kelemahan gue adalah hidup tanpa lo!••Fajar kembali menyingsing. Sesekali melihatkan diri akan satu hal yang membuat seluruh manusia di bumi melanjutkan aktivitasnya. Alaska sempat beberapa kali berdecak kagum dalam hati, ketika menatap semesta begitu bersahabat, terlebih pagi ini tampak rindang dan sejuk, juga tenang. Gak seperti biasanya.Alaska mencoba menghirup udara segar yang kali ini membuat pikirannya sedikit tenang, dari segala beban masalah yang menghampirinya. Angin sepoi-sepoi pun ikut bahagia, dengan hadirnya Alaska pagi ini yang tampak seperti Langit biru di angkasa.“Alaska!” kaget Azka yang baru saja datang dari belakang.“Lo Ka, ada apa?” tanya Alaska pada Azka lagi.“Gak ada sih, lagi pengen nyantai aja hari ini. Rasanya tenang banget ya, kalo kayak sekarang,” pungkas Azka.“Iya enak
“Alaska, kok lo malah main tinggal gue aja sih sama tu orang di depan?” Dengus Azka yang berlari mengejar Alaska yang bergegas masuk ke dalam rumah."Gue gak mau bergulat dengan masa lalu yang udah bikin gue tertatih! Gue gak mau harus mengulang sejarah sama orang yang berulang kali bikin gue kecewa. Dia hadir, cuma gak mau anak yang ada dalam perutnya itu lahir tanpa ayah. Gue tau, kalo gue jahat gak mau dampingin dia, karena jujur dari hati yang paling dalam gue masih sayang sama dia Ka!” tutur Alaska seraya menyeka air mata yang ikut tumpah ketika mulutnya melontarkan kalimat yang membuatnya pilu itu.“Sayang sama orang salah! Itu karma buat dia, karena udah nyakitin perasaan orang yang tulus sama dia, dan gak mau ngerusak dia sama sekali,” timpal Azka dan menepuk pundak Alaska.“Entahlah Ka, mendingan lo suruh Yesa pulang aja. Gue gak mau nanti salah paham,” titah Alaska pada Azka yang menatapnya datar, lalu beranjak
Langit malam kali ini begitu membuat hati semakin tenang ketika menatapnya. Terlebih saat benda angkasa menghiasinya bak lampu kamar yang menerangi temaramnya malam ini."Ka, lo mau kemana?" tanya Azka sahabat Alaska. Ia menganggetkan Alaska yang tengah melamun, pria itu membuyarkan lamunan dengan menepuk pundaknya.“Hah,” tukas Alaska yang kaget, ia menoleh ke arah belakang tepat di mana Azka berdiri.“Makanya, jangan bengong! Kesambet baru tau rasa!” celetuk Azka pada Alaska yang menatapnya datar.“Azka, menurut lo gue pantas gak sih untuk pergi Dinner bareng Yesaya malam ini?”"Malam ini?" tanya Azka dengan mata yang membulat pada Alaska yang menatap datar sahabatnya itu."Iya jelas malam ini lah!” tukas pria itu lagi pada Azka yang mengangguk. Seketika Azka menatap tajam ke arah Alaska yang masih bimbang.“Menurut gue sih la
Malam itu, Alaska memaksa untuk tetap pulang karena keadaan hatinya yang tak lagi bisa dikondisikan akibat perihnya tak dianggap dalam kalangan mereka.Meskipun demikian, Alaska hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa kecewa dan juga perih. Terlebih saat menatap sahabat Yesaya yang seakan meremehkan dirinya, juga Yesaya yang tak menganggapnya sebagai pasangan seperti pria lain yang dibanggakan atau mungkin dihargai oleh pasangannya. Mungkin, karena rasa yang amat besar Alaska tak ingin memperlihatkan rasa kecewanya pada Yesaya kekasihnya itu."Kamu itu kenapa sih maksa banget dari tadi? Perasaan gak ada yang salah loh," bantah Yesaya terhadap ajakan Alaska yang ingin pulang."Aku cuma mau pulang by," lirih Alaska pelan pada kekasihnya itu, tapi tetap saja Yesaya tak mau dan bersikukuh untuk tetap berada di sana.Hingga perdebatan mereka itu membuat seluruh pasang mata yang ada di sana serentak menatap, seakan tengah menyaksikan sinetron dalam layar leba
Pagi ini Alaska tampak sibuk, ia krasak-krusuk sendirian tak menentu yang membuat Azka menatapnya heran.Bahkan Alaska yang kali ini tampak rapi entah kemana. Padahal ini masih terlalu pagi."Ka, mau kemana pagi-pagi gini?" tanya Azka pada Alaska yang tak dapat menahan rasa penasarannya itu."Mau ke kampus,""Sekarang? Kok cepet banget?" tanya Azka lagi."Gue mau ke kampus Ka, gue mau ketemu sama Yesaya, karena hari ini dia pasti datang pagi. Gue khawatir dia kenapa-napa," pungkas Alaska lagi dengan terburu seraya memakai tali sepatunya yang bersiap akan berangkat."Yaelah Alaska Arlic, positif thinking aja kali. Siapa tau aja, semalam itu dia gak kabarin lo karena handphone-nya mati, atau baterainya lowbet, kan bisa aja, jangan nethink dulu dong," pungkas Azka yang berusaha menenangkan sahabatnya yang tampak amat gelisah pagi ini."Bukan itu masalahnya Azka, gue itu tau gimana pacar gue. Dia gak akan
laska yang kini berada di kamarnya membenamkan wajahnya di bantal, ia menumpahkan seluruh kesedihan hatinya di atas bantal yang membuatnya kecewa dan lelah. Azka yang semakin kepo ingin menguping lalu masuk ke dalam kamar, namun sayangnya kepala Azka harus terbentur karena pintu kamar dikunci oleh Alaska yang mungkin ingin sendiri."Alaska, yaelah lo kunci pintu kamar, parah amat dah," omel Azka dari balik pintu kamar setengah menggerutu pada sahabatnya itu."Alaska buka pintunya, gue mau masuk," teriak Azka lagi."Gue lagi pengen sendiri, ntar aja lo masuknya," jawab Alaska dari dalam kamar dengan suara yang berat sehabis menangis."Tapi lo seriusan gak apa-apa kan, Ka? Kayak anak perawan aja lo masuk kamar langsung dikunci pintunya," ejek Azka dari luar kamar seraya tertawa. Tapi tak ada tanggapan dari Alaska karena ia anggap bacotan Azka itu tidak begitu penting. Yah, semacam angin lalu. Alaska pun hanya terdiam membenamkan wajahnya di balik bantal.