Setiap manusia punya sisi kelemahannya masing-masing. Dan salah satu sisi kelemahan gue adalah hidup tanpa lo!
•
•
Fajar kembali menyingsing. Sesekali melihatkan diri akan satu hal yang membuat seluruh manusia di bumi melanjutkan aktivitasnya. Alaska sempat beberapa kali berdecak kagum dalam hati, ketika menatap semesta begitu bersahabat, terlebih pagi ini tampak rindang dan sejuk, juga tenang. Gak seperti biasanya.
Alaska mencoba menghirup udara segar yang kali ini membuat pikirannya sedikit tenang, dari segala beban masalah yang menghampirinya. Angin sepoi-sepoi pun ikut bahagia, dengan hadirnya Alaska pagi ini yang tampak seperti Langit biru di angkasa.
“Alaska!” kaget Azka yang baru saja datang dari belakang.
“Lo Ka, ada apa?” tanya Alaska pada Azka lagi.
“Gak ada sih, lagi pengen nyantai aja hari ini. Rasanya tenang banget ya, kalo kayak sekarang,” pungkas Azka.
“Iya enak
“Alaska, kok lo malah main tinggal gue aja sih sama tu orang di depan?” Dengus Azka yang berlari mengejar Alaska yang bergegas masuk ke dalam rumah."Gue gak mau bergulat dengan masa lalu yang udah bikin gue tertatih! Gue gak mau harus mengulang sejarah sama orang yang berulang kali bikin gue kecewa. Dia hadir, cuma gak mau anak yang ada dalam perutnya itu lahir tanpa ayah. Gue tau, kalo gue jahat gak mau dampingin dia, karena jujur dari hati yang paling dalam gue masih sayang sama dia Ka!” tutur Alaska seraya menyeka air mata yang ikut tumpah ketika mulutnya melontarkan kalimat yang membuatnya pilu itu.“Sayang sama orang salah! Itu karma buat dia, karena udah nyakitin perasaan orang yang tulus sama dia, dan gak mau ngerusak dia sama sekali,” timpal Azka dan menepuk pundak Alaska.“Entahlah Ka, mendingan lo suruh Yesa pulang aja. Gue gak mau nanti salah paham,” titah Alaska pada Azka yang menatapnya datar, lalu beranjak
Langit malam kali ini begitu membuat hati semakin tenang ketika menatapnya. Terlebih saat benda angkasa menghiasinya bak lampu kamar yang menerangi temaramnya malam ini."Ka, lo mau kemana?" tanya Azka sahabat Alaska. Ia menganggetkan Alaska yang tengah melamun, pria itu membuyarkan lamunan dengan menepuk pundaknya.“Hah,” tukas Alaska yang kaget, ia menoleh ke arah belakang tepat di mana Azka berdiri.“Makanya, jangan bengong! Kesambet baru tau rasa!” celetuk Azka pada Alaska yang menatapnya datar.“Azka, menurut lo gue pantas gak sih untuk pergi Dinner bareng Yesaya malam ini?”"Malam ini?" tanya Azka dengan mata yang membulat pada Alaska yang menatap datar sahabatnya itu."Iya jelas malam ini lah!” tukas pria itu lagi pada Azka yang mengangguk. Seketika Azka menatap tajam ke arah Alaska yang masih bimbang.“Menurut gue sih la
Malam itu, Alaska memaksa untuk tetap pulang karena keadaan hatinya yang tak lagi bisa dikondisikan akibat perihnya tak dianggap dalam kalangan mereka.Meskipun demikian, Alaska hanyalah manusia biasa yang memiliki rasa kecewa dan juga perih. Terlebih saat menatap sahabat Yesaya yang seakan meremehkan dirinya, juga Yesaya yang tak menganggapnya sebagai pasangan seperti pria lain yang dibanggakan atau mungkin dihargai oleh pasangannya. Mungkin, karena rasa yang amat besar Alaska tak ingin memperlihatkan rasa kecewanya pada Yesaya kekasihnya itu."Kamu itu kenapa sih maksa banget dari tadi? Perasaan gak ada yang salah loh," bantah Yesaya terhadap ajakan Alaska yang ingin pulang."Aku cuma mau pulang by," lirih Alaska pelan pada kekasihnya itu, tapi tetap saja Yesaya tak mau dan bersikukuh untuk tetap berada di sana.Hingga perdebatan mereka itu membuat seluruh pasang mata yang ada di sana serentak menatap, seakan tengah menyaksikan sinetron dalam layar leba
Pagi ini Alaska tampak sibuk, ia krasak-krusuk sendirian tak menentu yang membuat Azka menatapnya heran.Bahkan Alaska yang kali ini tampak rapi entah kemana. Padahal ini masih terlalu pagi."Ka, mau kemana pagi-pagi gini?" tanya Azka pada Alaska yang tak dapat menahan rasa penasarannya itu."Mau ke kampus,""Sekarang? Kok cepet banget?" tanya Azka lagi."Gue mau ke kampus Ka, gue mau ketemu sama Yesaya, karena hari ini dia pasti datang pagi. Gue khawatir dia kenapa-napa," pungkas Alaska lagi dengan terburu seraya memakai tali sepatunya yang bersiap akan berangkat."Yaelah Alaska Arlic, positif thinking aja kali. Siapa tau aja, semalam itu dia gak kabarin lo karena handphone-nya mati, atau baterainya lowbet, kan bisa aja, jangan nethink dulu dong," pungkas Azka yang berusaha menenangkan sahabatnya yang tampak amat gelisah pagi ini."Bukan itu masalahnya Azka, gue itu tau gimana pacar gue. Dia gak akan
laska yang kini berada di kamarnya membenamkan wajahnya di bantal, ia menumpahkan seluruh kesedihan hatinya di atas bantal yang membuatnya kecewa dan lelah. Azka yang semakin kepo ingin menguping lalu masuk ke dalam kamar, namun sayangnya kepala Azka harus terbentur karena pintu kamar dikunci oleh Alaska yang mungkin ingin sendiri."Alaska, yaelah lo kunci pintu kamar, parah amat dah," omel Azka dari balik pintu kamar setengah menggerutu pada sahabatnya itu."Alaska buka pintunya, gue mau masuk," teriak Azka lagi."Gue lagi pengen sendiri, ntar aja lo masuknya," jawab Alaska dari dalam kamar dengan suara yang berat sehabis menangis."Tapi lo seriusan gak apa-apa kan, Ka? Kayak anak perawan aja lo masuk kamar langsung dikunci pintunya," ejek Azka dari luar kamar seraya tertawa. Tapi tak ada tanggapan dari Alaska karena ia anggap bacotan Azka itu tidak begitu penting. Yah, semacam angin lalu. Alaska pun hanya terdiam membenamkan wajahnya di balik bantal.
Mereka kembali menjalankan kegiatannya seperti biasanya. Menjadi mahasiswa, dan pusat perhatian bagi siswi di sana.Sebenarnya Alaska sedikit risih, karena ia tak suka dipandangi oleh orang banyak.Kedua pria itu berjalan bersamaan, berjalan menyusuri lorong kampus juga dengan gaya coolnya.“Alaska,”“Alaska gue bawain lo makanan nih,”“Alaska makin ganteng banget sih,”“Alaska i love you,”Suara-suara berisik itu saling bersahutan, bahkan tak hanya Alaska yang mendengarnya, ada Azka juga mahasiswa lainnya yang berada di sana. Akan tetapi semua bersikap biasa layaknya tak mendengarnya apa-apa.Karena itu sudah menjadi hal biasa dan tak perlu ditanyakan lagi.“Lo bisa denger kan? Berapa banyak cewek yang tergila-gila sama lo? Lo bisa liatkan, seberapa cakepnya lo? Tapi kenapa masih insecure dan gak percaya diri sih Alaska!&
Satu jam berlalu. Masih terdengar teriakan, dan juga suara keras dari balik pintu di tempat Alaska duduk. Ia ingin menekan bel tamu, namun ternyata nyalinya tak senekat itu.Mau ditunggu sampai kapan perdebatan itu usai. Hingga akhirnya, Alaska memutuskan untuk meninggalkan rumah Yesa, dan memilih untuk kembali ke rumah.“Den, masih belum dibuka ya pintunya?”Suara itu membuat Alaska kaget, dan sontak menoleh ke belakang.“Eh, Kang? Belom. Kayaknya, Alaska pulang dulu aja kali ya? Soalnya di dalam juga kayaknya ada masalah, gak enak,” tukas Alaska pada kang kebun yang menatap nanar anak muda yang berada di hadapannya itu.“Biasa Den, cekcok antara suami istri. Kalo gitu, ya udah den Alaska pulang dulu. Besok pagi, ke sini lagi,”“Okey kang, makasih banyak ya. Alaska pamit pulang dulu,” pamit pria itu seraya membungkukkan tubuhnya pada kang kebun yang tersenyum salu
telah kejadian tadi, Alaska tampak mengurung diri di kamarnya.Ternyata begini rasanya jadi dewasa?Harus jauh dari keluarga, dipatahkan oleh cinta dan harus menjadi diri sendiri dalam peliknya dunia yang fana.Susah yah jadi dewasa, apalagi mencintai wanita yang separo hati mencintai kita. Padahal, cinta seorang Alaska sama luasnya dengan Langit yang terbentang di atas sana. Teramat luas, bahkan tak berujung. Tapi, kenapa masih ada wanita sepicik itu yang membuat Alaska harus terjatuh dalam lembah lukanya?"Alaska, lo mikirin apa sih cuy?" timpal Azka yang sontak menepuk bahu Alaska yang tengkurap memainkan ponselnya di dalam kamar."Gak lagi ngapa-ngapain," singkat Alaska."Etdah bocah, singkat amat jawabnya,""Menurut lo gue gebukin cowok brengsek tadi itu salah gak ya? Apa gue harus minta maaf? Secara gue udah bikin Yesa kecewa Ka?"Pertanyaan Alaska yang dilontarkannya membuat Azka syok, dan makanan yang ia telan pun, menj