Pagi ini Alaska tampak sibuk, ia krasak-krusuk sendirian tak menentu yang membuat Azka menatapnya heran.
Bahkan Alaska yang kali ini tampak rapi entah kemana. Padahal ini masih terlalu pagi.
"Ka, mau kemana pagi-pagi gini?" tanya Azka pada Alaska yang tak dapat menahan rasa penasarannya itu.
"Mau ke kampus,"
"Sekarang? Kok cepet banget?" tanya Azka lagi.
"Gue mau ke kampus Ka, gue mau ketemu sama Yesaya, karena hari ini dia pasti datang pagi. Gue khawatir dia kenapa-napa," pungkas Alaska lagi dengan terburu seraya memakai tali sepatunya yang bersiap akan berangkat.
"Yaelah Alaska Arlic, positif thinking aja kali. Siapa tau aja, semalam itu dia gak kabarin lo karena handphone-nya mati, atau baterainya lowbet, kan bisa aja, jangan nethink dulu dong," pungkas Azka yang berusaha menenangkan sahabatnya yang tampak amat gelisah pagi ini.
"Bukan itu masalahnya Azka, gue itu tau gimana pacar gue. Dia gak akan pernah ngebiarin baterai handphone-nya mati apalagi lowbet Azka,"
"Iya tapikan mungkin aja dia ketiduran, karena capek pulang Dinner, lo udah berfikiran buruk aja," tukas Azka lagi mencoba membuat Alaska tenang, tapi tetap saja pria itu dipenuhi dengan ketakutannya.
"Udah deh Ka, dari pada menerka-nerka yang belum pasti, mending gue temui langsung aja sama orangnya, gue mau berangkat dulu! Oh iya, lo nyusul ya, gue tunggu di kampus," teriak Alaska yang udah berlari duluan ke arah kuda besinya yang siap untuk membelah jalanan raya pagi ini.
'Emang dasar ya, kalo udah bucin susah banget dibilangin,' omong Azka, seraya memakan roti bakar bikinannya sendiri menikmati kesendiriannya saat ini, sebelum waktu kuliah.
Sementara Alaska? Ia tetap melajukan kuda besinya dengan cepat membelah jalanan raya berharap pagi ini tidak terjadi macet sama sekali, karena ia ingin bertemu dengan Yesaya yang gak ada kabar sama sekali dari semalam, padahal Alaska berpesan jika ia sudah sampai, beri kabar dan berharap jika gadis itu menghubunginya.
Tiga puluh menit berlalu ..
Akhirnya Alaska sampai di kampus. Sedangkan waktu masih menunjukkan pukul 06.45. Berbeda beberapa jam dengan jadwal kuliah Alaska yang akan berlangsung hari ini, tapi demi bertemu dengan Yesaya ia rela datang sepagi ini.
Udah datang buru-buru, tapi yang akan ditemui Alaska belum juga datang. Dan biasanya, Yesaya selalu datang pagi sebelum waktu kuliah berlangsung, untuk sekedar kumpul atau mungkin menikmati WiFi di kampus.
Dengan hati yang sabar, Alaska rela menunggu kekasihnya itu datang. Bahkan sampe setengah jam sekalipun. Ternyata benar saja, Yesaya akhirnya sampai saat tepat pukul 07.30 tapi ada yang ganjal dari penglihatan Alaska pagi ini.
Yesaya, turun dari sebuah mobil yang bukan miliknya, dan yang paling mencurigakan ada pria yang turun membukakan pintu mobil untuk gadis itu.
Deg ..
Hati Alaska bak dihujam sembilu yang harus membuat luka yang menganga lebar di relung hatinya. Tapi lagi-lagi pria itu berusaha untuk terlihat baik-baik saja di hadapan kekasihnya dan pria yang tak ia kenali itu. Akan tetapi, ia masih menggunakan kepala dingin untuk tidak langsung berfikiran buruk. Alaska berjalan ke arah Yesaya dan berusaha dengan tenang menanyakan padanya siapa pria ini, dan kenapa semalam tidak bisa dihubungi.
Alaska berjalan mendekati keduanya, dengan langkah pasti namun dengan hati yang sedikit berkecamuk, jika harapannya tak sesuai dengan kenyataan.
Sontak wanita itu terkejut dan menatap Alaska dengan mata yang membulat.
“Hai,” sapa Alaska dengan pembawaannya yang tenang.
"Ha-hai. Alaska kok kamu cepat banget datangnya?" jawab gadis itu gelagapan karena tidak nyangka jika Alaska datang pagi ini. Entah apa yang ada dalam benak wanita itu, ia masih berusaha untuk terlihat biasa meskipun dari sikap dan tingkahnya mudah dibaca bahwa ia tengah gelisah.
"Tadi mau ketemu sama kamu makanya datang pagi. Semalam kok gak kasih kabar kalo udah di rumah?" tanya Alaska yang masih berusaha tenang, meskipun sebenarnya ia ingin berteriak, menangis, dan menampar pria yang ada di hadapannya itu.
"Iya, semalam itu aku ketiduran. Jadinya gak kabarin kamu," elak Yesaya yang masih terlihat canggung.
Dan tiba-tiba pria itu angkat suara.
"Ini siapa Yesaya?" tanya pria itu.
"Hah? Di-dia Alaska," jawab Yesaya, yang wajahnya semakin panik meskipun ia berusaha terlihat santai.
"Oh iya kenalin aku Robi pacarnya Yesaya," tutur pria itu seraya mengulurkan tangannya pada Alaska. Sontak kalimat itu membuat sembilu menghujam jantung dan hatinya, tapi Alaska harus diam, karena ia tak ingin memperlihatkan kecewa dan lukanya di hadapan pria dan wanita yang ia cintai itu.
Deg!
"Pa-pacar?" ulang Alaska gugup.
"Iya pacar, emangnya Yesaya gak pernah cerita ya? Kita itu satu agensi, jadi cinlok deh, hahaha,” tutur pria itu dengan semringahnya pada Alaska yang hati dan jantungnya remuk redam. Bahkan kebenaran pun tak pernah dikatakan oleh Yesaya orang yang amat ia cintai.
Apa Alaska salah? Terlalu berharap kepada manusia hingga akhirnya kecewa?
Yesaya yang berada di hadapan Alaska hanya terdiam dan semakin gelisah.
"Oh gitu, Iyah. Kalo gitu, gue pulang dulu ya, maaf ganggu kalian," tukas Alaska yang kemudian berjalan meninggalkan mereka berdua berlalu ke parkiran.
Ingin rasanya memberontak, berteriak, dan menangis tapi itu tak mungkin dilakukan oleh pria itu, yang hanya bisa ia lakukan saat ini adalah diam. Dalam diamnya Alaska berfikiran kenapa harus dia yang jatuh dalam kehidupan seperti ini. Kenapa bukan yang lain?
Hari ini adalah hari yang membuat Alaska kecewa. Harapan dan kenyataan tak seiras dengan yang iya bayangkan.
Alaska memutuskan untuk pulang ke kostnya dan tak ingin berada di kampus untuk saat ini, karena luka yang kali ini begitu terasa.
Perjalanan kembali ditempuh Alaska, tapi kali ini dengan suasana hati yang berbeda. Dengan rasa kecewa.
***
Brrrmmm...
Brrrmmm ...
Motor Alaska membuat Azka kepo dan bergegas keluar.
"Heh? Kok balik lagi? Bukannya tadi lo mau ketemu apa pacar lo itu?" tanya Azka setengah kepo.
"Udah ketemu," singkat Alaska yang masih membuang asap kendaraannya dengan suara gas motor yang amat mengganggu telinga.
"Lah terus kenapa wajah lecek amat dah?" -Azka.
"Karena lagi gak enak hati," ketus Langit yang turun dari motornya lalu masuk ke dalam rumah, namun satu hal yang membuat Azka penasaran mata Alaska yang sembab dan hidungnya yang memerah seperti habis nangis.
Apa jangan-jangan pacarnya berulah lagi? Pikir pria itu saat melihat sahabatnya yang galau.
"Hahaha Alaska, lo itu lucu banget yah! Pake nangis segala, baru kali ini deh gue liat cowok nangis. Pasti gara-gara pacar lo ya? Lembek amat lo, hahahaha," ledek Azka dengan tawa semringahnya, padahal ia hanya ingin membuat suasana cair, tapi nyatanya tanggap Alaska tetap dingin.
Alaska sontak menatap Azka dengan tajamnya, dan Azka harus tersentak diam. Ia tau jika kali ini, Alaska sedang marah. Tatapan Alaska padanya begitu tajam, setajam tatapan elang yang amat menusuk dan mengerikan.
Deg
"Hehehe, itu tatapannya biasa aja dong," elak Azka yang berhenti tertawa.
"Lo pikir ini lucu!" tegas Alaska lagi.
"I-iya enggak. Jangan gitu juga dong Ka, kan gu-gue gak maksud ledekin lo," gugup Azka yang gemetar menatap wajah tampan sahabatnya berubah menjadi tajam dan mengerikan tak seperti biasanya.
Namun dibalik itu, Azka juga curiga dengan pacar sahabatnya itu.
***
laska yang kini berada di kamarnya membenamkan wajahnya di bantal, ia menumpahkan seluruh kesedihan hatinya di atas bantal yang membuatnya kecewa dan lelah. Azka yang semakin kepo ingin menguping lalu masuk ke dalam kamar, namun sayangnya kepala Azka harus terbentur karena pintu kamar dikunci oleh Alaska yang mungkin ingin sendiri."Alaska, yaelah lo kunci pintu kamar, parah amat dah," omel Azka dari balik pintu kamar setengah menggerutu pada sahabatnya itu."Alaska buka pintunya, gue mau masuk," teriak Azka lagi."Gue lagi pengen sendiri, ntar aja lo masuknya," jawab Alaska dari dalam kamar dengan suara yang berat sehabis menangis."Tapi lo seriusan gak apa-apa kan, Ka? Kayak anak perawan aja lo masuk kamar langsung dikunci pintunya," ejek Azka dari luar kamar seraya tertawa. Tapi tak ada tanggapan dari Alaska karena ia anggap bacotan Azka itu tidak begitu penting. Yah, semacam angin lalu. Alaska pun hanya terdiam membenamkan wajahnya di balik bantal.
Mereka kembali menjalankan kegiatannya seperti biasanya. Menjadi mahasiswa, dan pusat perhatian bagi siswi di sana.Sebenarnya Alaska sedikit risih, karena ia tak suka dipandangi oleh orang banyak.Kedua pria itu berjalan bersamaan, berjalan menyusuri lorong kampus juga dengan gaya coolnya.“Alaska,”“Alaska gue bawain lo makanan nih,”“Alaska makin ganteng banget sih,”“Alaska i love you,”Suara-suara berisik itu saling bersahutan, bahkan tak hanya Alaska yang mendengarnya, ada Azka juga mahasiswa lainnya yang berada di sana. Akan tetapi semua bersikap biasa layaknya tak mendengarnya apa-apa.Karena itu sudah menjadi hal biasa dan tak perlu ditanyakan lagi.“Lo bisa denger kan? Berapa banyak cewek yang tergila-gila sama lo? Lo bisa liatkan, seberapa cakepnya lo? Tapi kenapa masih insecure dan gak percaya diri sih Alaska!&
Satu jam berlalu. Masih terdengar teriakan, dan juga suara keras dari balik pintu di tempat Alaska duduk. Ia ingin menekan bel tamu, namun ternyata nyalinya tak senekat itu.Mau ditunggu sampai kapan perdebatan itu usai. Hingga akhirnya, Alaska memutuskan untuk meninggalkan rumah Yesa, dan memilih untuk kembali ke rumah.“Den, masih belum dibuka ya pintunya?”Suara itu membuat Alaska kaget, dan sontak menoleh ke belakang.“Eh, Kang? Belom. Kayaknya, Alaska pulang dulu aja kali ya? Soalnya di dalam juga kayaknya ada masalah, gak enak,” tukas Alaska pada kang kebun yang menatap nanar anak muda yang berada di hadapannya itu.“Biasa Den, cekcok antara suami istri. Kalo gitu, ya udah den Alaska pulang dulu. Besok pagi, ke sini lagi,”“Okey kang, makasih banyak ya. Alaska pamit pulang dulu,” pamit pria itu seraya membungkukkan tubuhnya pada kang kebun yang tersenyum salu
telah kejadian tadi, Alaska tampak mengurung diri di kamarnya.Ternyata begini rasanya jadi dewasa?Harus jauh dari keluarga, dipatahkan oleh cinta dan harus menjadi diri sendiri dalam peliknya dunia yang fana.Susah yah jadi dewasa, apalagi mencintai wanita yang separo hati mencintai kita. Padahal, cinta seorang Alaska sama luasnya dengan Langit yang terbentang di atas sana. Teramat luas, bahkan tak berujung. Tapi, kenapa masih ada wanita sepicik itu yang membuat Alaska harus terjatuh dalam lembah lukanya?"Alaska, lo mikirin apa sih cuy?" timpal Azka yang sontak menepuk bahu Alaska yang tengkurap memainkan ponselnya di dalam kamar."Gak lagi ngapa-ngapain," singkat Alaska."Etdah bocah, singkat amat jawabnya,""Menurut lo gue gebukin cowok brengsek tadi itu salah gak ya? Apa gue harus minta maaf? Secara gue udah bikin Yesa kecewa Ka?"Pertanyaan Alaska yang dilontarkannya membuat Azka syok, dan makanan yang ia telan pun, menj
aska masih melamun, karena kegundahan dan resah masih melanda hatinya. Terutama handphone yang masih ia otak-atik menunggu kabar dari Yesa yang tak kunjung datang. Padahal ia amat mencintai kekasihnya itu dan amat takut kehilangannya.Sekalipun ia tau, jika Yesa tak lagi mencintainya, dan telah mengatakan putus. Dan meskipun berulang kali Azka memintanya untuk menjauh, tapi semakin ia menjauh, semakin besar rasanya terhadap Yesa."Alaska! Nanti pergi kampus, gue naik angkutan umum aja ya!" tukas Azka pada Alaska."Loh kenapa? Kok gak bareng gue aja?""Iya lagi pengen menikmati suasana angkutan umum aja gue," tukas Azka lagi seraya menepuk pundak Alaska yang hanya mengangguk dan kembali melanjutkan lamunannya seraya menatap layar ponsel yang kini ada di genggamannya."Lo kenapa sih wajahnya remuk banget? Masih mikirin Yesa ya?" tanya Azka lagi yang sontak membuat Alaska berdecak."Iya masih lah Ka, gue mikirin dia lagi apa sekarang," jawab Al
Alaska kali ini tengah berfikir keras di taman kampusnya. Ia berfikir kenapa harus dia yang berada di posisi ini?Di saat dirinya menaruh harapan malah di kecewakan.Terlintas dalam benak pria itu. Akan suatu hal yang terjadi di rumah Yesa saat ia datang berkunjung. Akhir-akhir ini, banyak yang terjadi bahkan saat ia ingin memperbaiki hubungannya dengan Yesa.“Woy! Kenapa lo?” Kaget Azka pada Alaska yang masih melamun dengan tatapan datar.“Gak apa-apa. Baru dateng aja, lu?” tanya Alaska spontan pada Azka yang malah cengengesan.“Eh, katanya sekarang kelas on time! Ayok buruan ke aula!” ajak Azka seraya menyeret tangan Alaska untuk bergegas menguntit cengengesan.***Heran deh, Alaska itu mentalnya terbuat dari apa sih? Ampe masih berani datang ke rumah Yesa hanya karena alasan masih cinta.Bahkan ia juga gak mikir kalo nanti dia bakalan kecewa.&nbs
Setelah menemui Yesa di rumahnya, membuat Alaska merasa lega. Karena setidaknya ia bisa meyakinkan tambatan hatinya bahwa ia bisa menjadi yang terbaik.Alaska yang kini mengendarai kembali motornya menuju rumah kost dan akan segera beristirahat lalu menceritakan hal yang baru saja terjadi pada sahabatnya Azka.Brrrmmm....Brrrmmm...Brrrmmm ..."Alaska, heh! Berisik tau gak? Itu motor bebek lo, bikin tetangga emosi! Belum lagi asapnya bikin polusi Alaska!" gerutu Azka pada Alaska itu seraya terkekeh."Biarin, gue lagi panasin motor gue dulu," jawab Alaska lagi pada sahabatnya itu."Iya panasin motor sih boleh, tapi gak gitu juga kali, Ka! Yang ada tetangga pada marah sama lo. Lagian yang tinggal di sini itu bukan cuma lo doang!" omel Azka pada Alaska yang akhirnya dengan terpaksa menghentikan tingkahnya yang membuat sahabatnya itu naik pitam."Gak bakalan ada yang marah juga, Azka!" santai Alaska lalu masuk ke dal
Keesokannya ...Pagi ini, Alaska sudah siap-siap. Ia berusaha tampil semenarik mungkin, berharap jika dirinya tidak akan membuat Yesa kecewa.“Cie yang pagi-pagi udah siap mau touring.” goda Azka pada Alaska yang bersiap dengan coolnya di hadapan cermin yang memantulkan wajah tampan dengan kulit putih, juga hidung bangir yang menambah tampan wajahnya.“Apaan sih, Ka?” tukas Alaska yang malu, dan itu terlihat jelas dari rona merah jambu dari wajahnya.“Hahaha, malu nih ye, sans aja kali cuy!”“Gue gimana, Ka? Udah cakep belum? Atau gue norak?” tanya Alaska lagi setelah menatap Azka yang berpangku tangan menatap sahabatnya itu.“Menurut gue, lo itu cakep kok, Ka! Dan apapun outfit yang lo pake itu, gak pernah ada yang gagal.” tutur Azka dengan wajah seriusnya pada Alaska.“Huh, tapi gue masih gak pede, Ka!”“Yaelah Alaska
“Alaska, kok lo malah main tinggal gue aja sih sama tu orang di depan?” Dengus Azka yang berlari mengejar Alaska yang bergegas masuk ke dalam rumah."Gue gak mau bergulat dengan masa lalu yang udah bikin gue tertatih! Gue gak mau harus mengulang sejarah sama orang yang berulang kali bikin gue kecewa. Dia hadir, cuma gak mau anak yang ada dalam perutnya itu lahir tanpa ayah. Gue tau, kalo gue jahat gak mau dampingin dia, karena jujur dari hati yang paling dalam gue masih sayang sama dia Ka!” tutur Alaska seraya menyeka air mata yang ikut tumpah ketika mulutnya melontarkan kalimat yang membuatnya pilu itu.“Sayang sama orang salah! Itu karma buat dia, karena udah nyakitin perasaan orang yang tulus sama dia, dan gak mau ngerusak dia sama sekali,” timpal Azka dan menepuk pundak Alaska.“Entahlah Ka, mendingan lo suruh Yesa pulang aja. Gue gak mau nanti salah paham,” titah Alaska pada Azka yang menatapnya datar, lalu beranjak
Setiap manusia punya sisi kelemahannya masing-masing. Dan salah satu sisi kelemahan gue adalah hidup tanpa lo!••Fajar kembali menyingsing. Sesekali melihatkan diri akan satu hal yang membuat seluruh manusia di bumi melanjutkan aktivitasnya. Alaska sempat beberapa kali berdecak kagum dalam hati, ketika menatap semesta begitu bersahabat, terlebih pagi ini tampak rindang dan sejuk, juga tenang. Gak seperti biasanya.Alaska mencoba menghirup udara segar yang kali ini membuat pikirannya sedikit tenang, dari segala beban masalah yang menghampirinya. Angin sepoi-sepoi pun ikut bahagia, dengan hadirnya Alaska pagi ini yang tampak seperti Langit biru di angkasa.“Alaska!” kaget Azka yang baru saja datang dari belakang.“Lo Ka, ada apa?” tanya Alaska pada Azka lagi.“Gak ada sih, lagi pengen nyantai aja hari ini. Rasanya tenang banget ya, kalo kayak sekarang,” pungkas Azka.“Iya enak
‘Siapa bilang lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati? Nyatanya lebih baik sakit gigi dari pada sakit hati!’ ujar Alaska pada dirinya sendiri yang tatkala sedang membawa motor menuju kostnya.Rasanya ia bermimpi, bahwa apa yang terjadi pada dirinya saat itu hanyalah sebuah delusi yang membawanya dalam sebuah kesengsaraan, tapi ternyata salah! Itu adalah sebuah kenyataan yang harus di terima disaat semua tak satu pun berpihak pada kita.Oh ternyata begini, rasanya menjadi dewasa. Setelah bertahun, hanya mendengar kita dari orang lain yang selalu mengeluh lelah menjalani hidupnya. Meskipun tak pernah mengusik, tapi kenapa Alaska selalu di hadirkan orang yang tak pernah memberi ketenangan pada jiwanya yang tergolong lelah itu. tak terasa hampir bentar lagi Alaska sampai di rumah kostnya. Baru sebentar ia tinggal, rasa rindunya sudah menyeruak menyesakkan dada. Sama seperti halnya ketika ditinggal oleh orang yang terkasih, baru saja sebentar tapi rindunya ud
Biarkan semua berjalan sesuai alurnya. Mengikuti proses sebagaimana mestinya, tak perlu berhayal tinggi dalam menjalan kan kehidupan yang nyatanya keras dan begitu kejam. Cinta bahkan tak peduli berapa besar rasa yang harus ia korbankan, bahkan luka juga tak mau tau berapa perih yang harus ia sembuhkan untuk tetap bertahan.“Bang Alaska, enak gak kuliah di Jakarta?” tanya Shania yang sedari tadi sibuk memperhatikan Alaska yang tengah berberes.“Kenapa kok nanya gitu? Emang Shania juga mau kuliah di Jakarta?” tanya Alaska lagi.“Hm, pengen tau aja bang. Karena masih takut karena belum pernah jaoh dari mama sama papa, rasanya Shania masih belum siap buat itu,” jelas adiknya yang membuat Alaska melihat kan lengkung bulan sabit di bibirnya.“Gak ada yang perlu di takutin kok Shania, semuanya juga akan jadi terbiasa. Apalagi disana, bisa lebih mandiri dari pada harus selalu tinggal sama orang tua. Tapi kalo Shania, jan
Alaska berada di kamarnya dulu sewaktu masih berada di kampung. Bahkan satu pun tak ada yang berubah, hingga ia hampir saja tak ingin beranjak dari kamar itu untuk melepas kerinduan.Sementara ia harus balik ke kota untuk kembali melanjutkan hidupnya di rantau menjalani pendidikan yang hampir selesai ia tempuh. Semua rasanya terasa kembali dalam ingatan Alaska, dimana dulu ini adalah kamar pertama ia sewaktu selesai khitan. Dan ini adalah kamar dimana ia menumpahkan segala kerisauan dalam hatinya, sesekali memetik senar gitar yang hampir terlupakan olehnya. Alaska yang dulu hanya berdiam diri di kamar tanpa ada yang mau berteman dengannya, bahkan ia tidak terlalu terbuka untuk berbagai hal yang sontak membuat sekitarnya ingin menjadikan Alaska sebagai menantunya. Alaska hanya tertegun ketika mengingat semua itu, ia harus kuat tak ada lagi Alaska yang harus rapuh ketika mengingat masa lalu yang begitu menghancurkan dirinya. Flashback adalah salah satu cara terbodoh yang
“Alaska tetap gak mau buat di jodohin pa, ma!” Bantah Alaska di hadapan pak Asep yang hanya bungkam dan sesekali menatap istrinya, seakan ia bersalah atas perjanjian yang mereka lakukan dua puluh tahun silam, sejak awal anak mereka masih dalam kandungan.“Apa alasan kamu gak mau Alaska? Gak sopan banget kamu ya, lancang banget di depan pak Asep ngomong gitu!” Bantah papa Alaska dengan nada yang meninggi, sedangkan di ruang tamu para manusia yang ada disana, sangat gugup dan sontak menjadi canggung.“Pah, Alaska minta maaf ya kalo kali ini Alaska harus nolak permintaan papa sama mama buat di jodohin, Alaska sadar kok kalo itu udah bikin Alaska jadi anak durhaka. Tapi Alaska minta pengertian mama sama papa, juga pak Asep. Kali ini, Alaska pengen nikmati masa muda dulu, dan cari pekerjaan yang bener-bener bikin Alaska mapan, dan siap menanggung semuanya. Sedangkan sekarang? Alaska masih berstatus kan mahasiswa,” tutur Alaska berharap ay
Drrrttt ...Drrrttt ...Drrrttt ...“Ka, woy bangun! Hape lo getar noh dari tadi!” Teriak Azka. Sontak membuat Alaska langsung bangun dari tidurnya dan menatap ke layar ponsel yang di berikan Azka padanya.“Siapa? Gue ngantuk!”“Nyokap lo kayaknya, coba liat lagi deh!” Titah Azka pada Alaska yang matanya masih separo merem.“Hooaamm ya udah mana sini handphone gue!”“Itu handphone lo disana Alaska! Yaelah, pikun dini deh lo!” Celetuk Azka pada Alaska yang nyawanya masih belum terkumpul karena masih ngantuk.“Eh---““Ya, hallo ma? Ada apa ma?” jawab Alaska ketika menjawab panggilan, dan keluar kamar untuk bicara dengan orang tuanya.Sepertinya ada privasi sendiri, yang Azka gak boleh tau.“Hah? A-Alaska? Kok Alaska sih? Gak- Gak mau ma! Alaska pokoknya gak mau!” bantah Alaska lagi di teleponnya
-Hidup itu tentang perjuangan. Bukan tentang bahagia yang di dapatkan semudah membalikkan telapak tangan,-“Ayok ikut gue ke ATM!” Ajak Azka pada Alaska yang wajahnya udah mulai gak lesu lagi. Karena Azka memberikannya jalan keluar untuk hal ini.“Sekarang?”“Enggak, tahun depan! Ya sekarang lah Alaska, biar masalah lo, kelar satu-satu!” Kesal Azka lagi.“Iya udah, ayok. Tapi gimana gue mau kasih ke mereka? Sedangkan ATM dan rekening aja gak punya,” lirih Alaska lagi.“Yaelah lo Alaska! Kan kita bisa lewat orang yang badannya gede tadi, atau lo telpon nyokap lo di kampung, buat kasih tau ke lintah darat itu, kirimin nomor rekeningnya ke gue!”“Makasihh Azka, lo emang sahabat gue yang terbaik. Gue gak tau, kenapa otak gue bisa jadi sebego ini,” Timpal Alaska seraya memeluk Azka yang duduk tepat di depannya.“Ih lo ap
Kali ini, Alaska tengah gundah menelusuri jalanan raya yang kala itu ramai dengan kendaraan karena yang namanya ibu kota, pasti gak akan pernah sepi apalagi sama kendaraan yang berlalu lalang. Gundah kembali menghampiri, setelah masalah dengan Yesa, ternyata orang suruhan pak Suryo datang menemuinya dengan tidak sopan ke kota.Apa ini yang namanya dewasa?Bukan hanya masalah cinta, tapi juga keluarga. Apa tak bisa sehari saja masalah itu hilang, hanya sekedar melukis sebuah kebahagiaan. Apa dewasa itu selalu tentang luka dan masalah saja? Kapan dewasa itu bisa menjadi bahagia? Mengapa ada kalimat yang menyatakan bahwa ‘Akan ada pelangi setelah hujan,' lantas mengapa tak ada pelangi dalam hidupnya Langit, padahal badai tak kunjung berhenti untuk datang silih berganti.Banyak hal yang kini berkecamuk dalam benaknya, antara tetap kuliah atau berhenti. Antara kerja atau masih jadi beban keluarga. Semua itu hampir saja membuat kepalanya pecah.“Lah