“Mau kemana, Mas?” tanyaku saat melihat Mas Bayu hendak pergi lagi, sesaat setelah kami tiba di rumah.Bahkan, dia pun belum mengganti baju kerjanya, apalagi bersih-bersih. Dia hanya meletakkan tas kerjanya dan menggantinya dengan tas kecil tempat ia menaruh HP dan dompetnya.“Mau ada urusan sama temen,” jawabnya. Tak lupa sebuah kecupan lembut mendarat di keningku. Meski dia berlaku lembut seperti itu, tetap saja aku penasaran. Jawaban ada urusan seperti itu menandakan dia tak ingin aku tahu urusannya lebih detil. Terpaksa, aku urung untuk bertanya. Karena aku hanya menginginkan keterbukaan. Buat apa sebuah hubungan tanpa saling percaya. Toh, aku tak akan membicarakan urusannya ke orang lain. “Kamu belum makan lho, Mas.” Aku mengingatkan. Sebenarnya aku hanya ingin menahannya saja, karena aku pun juga belum masak. “Nanti Mas makan sama temen,” jawabnya sambil memasang helmnya. Bergegas dibukanya pintu pagar untuk mengeluarkan motornya. Lalu dia pergi meninggalkanku yang masih term
"Kamu dari mana, Mas?" tanyaku. Dia tak menyahut. Entah karena tidak dengar, atau menganggap pertanyaanku tidak penting untuk dijawab. “Aku bersihkan dapur dulu ya,” katanya, lalu meninggalkanku. Aku hanya terdiam di tempat tidur. Aku kembali ke alam pikiranku sendiri. Apakah ini yang harus kuterima saat aku tidak mengikhlaskan kepergian Mas Bayu tadi? Tak kusadari, air mata menetes dari sudut mataku. “Nggak usah terlalu dipikirkan, Dik,” kata Mas Bayu saat dia melihatku menitikkan air mata. Mungkin dipikirnya aku merasa bersalah atas kejadian ini. Mungkin dipikirnya aku memikirkan dapur yang hitam penuh jelaga, sementara rumah ini adalah rumah kontrakan. Padahal aku sedang memikirkan dirinya. Dia dan perempuan itu. Dia dan curhatan di email itu. Dia dan masa lalu yang sepertinya terus membelenggu. “Mas, aku lapar,” rajukku. Aku teringat janjiku dalam hati, kalau aku hanya perlu memikirkan diriku sendiri. Karena memikirkan orang lain, hanya akan membuatku terluka. Aku i
Pukul lima sore. Biasanya Mas Bayu menjemputku. Jika aku belum ada di pelataran lobi, dia akan menelponku. Tapi, ini sudah jam lima lewat. Aku menunggu-nunggu saat dia menelponku dan mencari keberadaanku. Aku berharap dia akan merasa bersalah jika tak mendapatiku di lobi. Atau paling tidak dia akan cemas karena aku pulang lebih awal, sebagaimana dia perhatian selama ini. Namun, lagi-lagi aku salah. Mungkin, sejak saat ini aku harus menghilangkan harapanku pada Mas Bayu. Aku harus pelan-pelan melupakannya. Pukul lima lewat, dia tidak menelponku. Mengirim pesan padaku pun tidak. Baiklah, Mas. Akan kuikuti apa maumu! Lebih baik aku mengurusi diriku sendiri. Aku ingin bahagia. Kubuka aplikasi makanan online. Aku ingin makan yang enak. Aku tidak peduli harganya yang mahal. Selama ini aku tahan-tahan semua keinginanku, agar aku bisa menabung. Agar aku bisa membeli rumah impian bersama Mas Bayu. Agar aku bisa membeli kendaraan bersamanya. Tapi impianku telah sirna. Aku tak ingin ap
Pagi-pagi sebelum berangkat kerja, seperti biasa aku menghidangkan sarapan untuknya.Mas Bayu tidak menyukai sarapan yang terlalu berat. Hanya roti bakar dengan olesan krim keju atau krim coklat dan juga segelas kopi dengan kreamer dan gula.Aku tidak membahas apa yang akhir-akhir ini kulihat tentangnya. Pun juga tidak membahas sikapnya yang berubah. Aku ingin menunggu saat yang tepat. Biarlah saat ini aku pura-pura tidak tahu saja. Aku ingin tahu, apa yang akan Mas Bayu lakukan kemudian. Toh, posisiku jauh lebih kuat dari seorang Sinta. Aku istri sahnya. Aku diterima di keluarganya. Dan aku juga mengandung anaknya. Hanya saja, hatinya yang masih separuh kudapatkan. Aku yakin, cepat atau lambat, hati Mas Bayu akan utuh untukku. “Dik, Mama jadi mau ke sini,” Mas Bayu membuka percakapan tanpa menatap padaku. Pandangannya tertuju pada roti bakar yang ditangannya. Sesekali melihat ke cangkir kopi di depannya. Aku hanya diam. Mataku menatap setiap inci pergerakannya. Hingga kurasakan di
Deru mobil berhenti di depan rumah. Segera kuintip dari celah pintu siapa yang datang. Senyumku mengembang saat terlihat seorang ibu seusia ibuku keluar dari pintu penumpang. Bergegas aku berlari keluar untuk menyambutnya. “Kamu sehat kan, Ndhuk?” tanya Mama Mertua saat aku mencium punggung tangannya. Lalu kami berjalan masuk beriringan. Kubantu Mama membawa tas bawaannya dan masuk ke dalam kamar yang telah tersediakan untuknya. Ibu mertua datang sendirian karena bapak mertua belum pensiun dan masih harus bekerja di kantor. Sejak kami menikah, sebenarnya Mama mertua ingin segera melihat tempat tinggal kami. Namun, Mas Bayu selalu mengulur waktu. Dulu, karena kami masih tinggal di rumah petak. Dan kini, tak ada lagi alasan baginya untuk mengulur kembali setelah kami pindah di rumah yang lebih lega. “Alhmadulillah, Ma,” jawabku seraya meletakkan tas tenteng itu di atas ranjang di kamar tamu. “Mama mau bersih-bersih dulu, atau ngobrol dulu? Anita buatkan teh panas,” tawarku. Ha
Kepulangan Bayu ke rumah orang tuanya saat itu, seolah menjadi titik balik pagi Sinta. Gadis yang sudah selama karir Bayu di kantor, menjadi pacarnya. Hampir tiga tahun menjalin hubungan, bahkan sudah berencana hendak ke jenjang serius, terpaksa terhempas begitu saja. “Mamaku menjodohkanku dengan wanita pilihannya, Sin,” ujar Bayu dengan berat. Rongga dadanya serasa sesak menyampaikan kabar itu. Tapi, diapun tak kuasa menolak keinginan mamanya. Tak ada alasan sakit atau pun warisan yang rata-rata menjadi alasan perjodohan. Tapi hanya semata-mata tradisi keluarganya, menikah dengan berjodoh di lingkaran keluarga besarnya. Bayu bukan tak kenal Anita. Tapi sudah menganggap Anita sebagai adiknya. Tak tega rasanya menolak perjodohan itu. Anita selain masih ada hubungan saudara jauh, juga mamanya dan mama Anita berteman dekat. Sejak remaja Anita telah dibidik oleh sang mama untuk dijodohkan dengannya. Bukan Bayu tak tahu atas perjodohan itu dan tetap melanjutkan hubungan dengan Sinta. Da
Siang itu, hari libur karena akhir pekan. Anita ingin mengajak mama mertuanya jalan-jalan. Tidak enak rasanya jika hanya membiarkan Mama mertuanya tinggal di rumah, sementara dia juga sedang libur bekerja. Bayu sudah pergi sejak pagi. Meskipun ada mamanya di rumah, namun ia tak terlalu terganggu dengan rencananya. Ada lembur, begitu alasannya. Anita memilih untuk tidak peduli meski dia pun merasa bahwa mama mertuanya mulai menaruh kecurigaan. Baginya, dia hanya perlu bahagia tanpa memikirkan hal-hal yang mengusik pikirannya. Jika Bayu tak memedulikannya, buat apa dia peduli? Jika Bayu tak mau menjaga perasaannya, buat apa dia melakukan hal sebaliknya? Meski melihat hal yang janggal dalam hubungan menantu dan putranya, Mama Bayu hanya diam. Dari sikapnya, Mama Bayu tahu kalau menantunya sedang menutupi hal yang tidak beres. Mama Bayu memilih tidak memihak hingga menunggu saat yang tepat untuk bertindak. “Makan di restoran saja, Ma. Aku pengen makan yang berkuah dan pedes,” ujar
Akhirnya aku dan mama Mas Bayu mengurungkan niat melanjutkan jalan-jalan di mall ini.Kami memilih pulang.Hatiku seperti diremas-remas menyaksikan pemandangan tadi. Demikian juga dengan mama mertuaku. Beliau masih terlihat menyimpan amarahnya. Sepanjang jalan, mama Mas Bayu hanya diam. Dadanya masih terlihat naik turun. Aku tak berani menanyakan apapun pada beliau, kecuali saat kita sudah sampai di rumah. “Minum dulu, Ma,” ucapku demi menetralisir amarahnya.Aku tahu, mama pasti kaget melihat pemandangan itu. Pasti beliau tak menyangka kalau putra kesayangannya mampu bertindak seperti itu dibelakangnya.Setahuku, mama sangat menyayangi Mas Bayu. Demikian juga sebaliknya. Mas Bayu tak pernah berani mengecewakannya. Termasuk dalam urusan perjodohanku dengannya ini.Tapi, kenapa harus aku yang menjadi korbannya? Aku memang sejak dulu mencintai Mas Bayu. Aku mengaguminya. Bahkan, menikah dengannya serasa bagai mimpi yang menjadi kenyataan. Laksana terkabulkannya doa yang selama ini ku
EPILOG “Dedek udah tidur, Bun?” tanya Mas Bayu saat aku keluar kamar. Dia baru pulang dari masjid. Kami masih mengontrak di kontrakan yang lama. Kata Mas Bayu, uangnya ditabung saja agar dapat membeli rumah cash. Dia sudah trauma mencicil rumah, ternyata kalau belum lunas, menjual kembalinya sulit sewaktu-waktu kita butuh uang. Mas Bayu juga jadi dipromosikan jabatannya. Aku mengalah meskipun dia bilang kalau aku menghendaki, dia bisa saja mengajukan pengunduran diri dari kantor itu. Tapi aku tak mau menjadi orang yang kalah. Sinta sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Tak pernah kusangka, justru dia yang mengundurkan diri. Sejak sakit, performanya menurun. Sebenarnya aku juga kasihan. Aku tahu, banyak yang masih menyalahkanku. Aku dianggap sebagai biang sakitnya Sinta, hingga kondisinya saat ini. Meski aku tak pernah merasa berkontribusi. “Berhentilah memikirkan pikiran orang lain, Dik. Selamanya kita tak bisa mengendalikan mereka.” Nasehat Mas Bayu setiap aku kembali lemah,
Acara tasyakuran pun tiba. Meski rencananya hanya sederhana, namun ternyata banyak juga yang kami undang. Bahkan, kami sampai menyewa tenda, antisipasi kalau carport penuh. Aku mengundang beberapa teman kantor yang cukup akrab denganku. Meski aku tidak pernah curhat ke mereka tentang masalahku dengan Mas Bayu, paling tidak, aku pun merasa tenang karena tamu tak hanya didominasi oleh rekan kerja dan teman-teman Mas Bayu saja. Tak lupa kami juga mengundang tetangga sekitar dan jamaah masjid yang sudah akrab dengan Mas Bayu. Kami sengaja mengundang dari jam sepuluh pagi. Rencana pagi diisi dengan siraman rohani oleh salah satu ustadz yang dikenal Mas Bayu. Setelah itu, baru ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah. Sedari pagi, Mama sudah repot mengurus segala sesuatunya. Dari catering hingga ruangan. Mama mendesain bagaimana caranya agar semua tamu dapat duduk dengan nyaman selama berlangsung acara. Orang tuaku tak dapat hadir. Kehadirannya sudah diwakilkan dengan mama mertua
Pak Arman dan Bu Arman sudah pulang. Aku dan Mas Bayu membereskan semuanya. Lelaki itu lalu berinisiatif mencuci semua bekas makanan yang tadi telah kita gunakan. Sementara dia menyuruhku istirahat saja. “Kamu pasti lelah. Duduk saja di situ. Aku yang bereskan semuanya,” ucapnya. Kuakui, Mas Bayu memang sangat baik. Jadi, buat apa aku menyimpan segala kecewaku. Bukankah seharusnya aku bersyukur mendapatkannya.Perkara Sinta, harusnya tak lagi kupikirkan. Dia hanyalah duri dalam pernikahan kami. Bukan aku yang menjadi duri di hubungan mereka. Karena hubungan mereka adalah hubungan semu. Sementara hubunganku dengan Mas Bayu terikat norma agama. Ibadah yang menjadi landasannya.“Ngga usah dipikir, Dik kata-kata Pak Arman tadi,” ujar Mas Bayu sambil mengusap lenganku kala dia usai merapikan semua perabot. Aku menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa aku tak memikirkannya, sementara mereka, seolah sangat serius mengatakannya padaku.“Gimana kalau kita bikin tasyakuran saja. Sebentar lagi kan
“Bagaimana kalau besok Pak Arman dan Ibu kita undang makan bakso di rumah?” Tiba-tiba Mas Bayu memberi usul. Rupanya dia ingat kalau aku siang tadi juga belanja bahan bakso.Aku pun langsung menghiyakan. Pak Arman dan Bu Arman saling berpandangan, lalu mereka tersenyum. “Jangan merepotkan,” sahut Pak Arman. “Nggak repot, Pak. Kebetulan, Dik Anita ini senang masak, Pak. Iya kan, Dik?” ujarnya seraya menatapku disertai senyuman hangatnya. Hatiku menghangat. Dipromosikan seperti ini, aku merasa dihargai dan dianggap oleh Mas Bayu.“Iya Pak, Bu. Sekalian icip-icip bakso, kita bisa ngobrol.” Aku menyahut.Sepanjang jalan, aku tak lagi memikirkan bakso yang besok harus dimasak. Tapi, aku justru memikirkan obrolan apa yang sesuai saat bersama dengan Bu Arman nanti. Aku tak ingin melukai hatinya. Namun aku pun tetap ingin menunjukkan perhatianku padanya. ***“Bener tadi kamu nggak papa?” tanya Mas Bayu saat kami sudah bersiap-siap hendak tidur. “Aku tadi sedih banget, Mas, mendengar cer
Mas Bayu memarkir sepeda motornya di sebuah rumah minimalis tak jauh dari kontrakan kami. Pantas saja kalau kami tadi bertemu di supermarket. Ternyata rumah teman kantor Mas Bayu ini cukup dekat. Bisa jadi, sebelumnya aku pernah bertemu dengan beliau entah di mana. Tapi, karena aku tak mengenal beliau, kami tak pernah bertegur sapa. “Ayo, Dik,” ucap Mas Bayu seraya menggandeng tanganku, mendekat ke pintu pagar itu. Tampak cahaya lampu terang berpendar menyinari teras rumah itu. Sementara, di dalam rumah, ruang tamu terlihat gelap. Setelah sekali memencet bel, tak lama lampu ruang tamu menyala. “Lho, Dik Bayu.” Seorang lelaki menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Lalu si empunya rumah membuka pintu itu lebar-lebar tatkala menyadari Mas Bayu yang datang. “Ayu masuk-masuk. Tadi, istri cerita kalau ketemu Mas Bayu di supermarket ya. Kebetulan saat belanja tadi, saya hanya nunggu di parkiran, karena istri ceritanya cuma mau beli buah aja,” jelasnya seraya mempersilahkan kami duduk
“Mau kemana, Dik?” tanya Mas Bayu saat mendapatiku sudah rapi dengan pakaian hendak pergi. Padahal kami baru saja pulang kondangan. “Pengen belanja, Mas. Bahan makanan di kulkas sudah habis.” Aku beralasan. Meski sebenarnya stok masih cukup untuk seminggu. Hanya saja, kalau untuk membuat siomay atau bakso sebagai pembanding makanan di pesta tadi, aku perlu belanja daging giling dan ikan tenggiri.“Ngga capek?” tanyanya. Aku tahu, sebenarnya dia yang capek. Padahal aku juga nggak minta dia mengantar. Aku bisa berangkat sendiri, toh banyak taksi online juga kalau dia nggak ngijinin aku naik ojek. “Mumpung Sabtu, Mas. Besok biar seharian di rumah." “Ya sudah. Tunggu sebentar. Aku siap-siap.” Mas Bayu yang masih berdiri di ruang tamu, bergegas ke kamar. Dia masih memakai baju sholat karena baru pulang dari masjid.“Ngga papa, Mas. Aku bisa sendiri,” sahutku. Nggak enak rasanya selalu tergantung padanya. Mungkin, dia pun juga perlu istirahat. Apalagi kami habis pergi kondangan. Aku tah
Aku berusaha mengendalikan emosi, agar tidak tersulut oleh amarah. Meski dalam hati, aku geram bukan main dengan kata-kata Sinta. Meski sudah tidak terpilih, kenapa dia masih saja berusaha menyakiti hatiku? Atau, sebuah kepuasan jika kami sama-sama terluka?Namun, seketika aku tersadar. Aku harus bersikap elegan. Aku hanya mengalah untuk menang, bukan sebaliknya. Lagi pula, Sinta masih sakit. Kalau pun aku memaki dia, tentu saja akan terlihat sebagai pecundang. Tidak! Itu tidak boleh terjadi sampai kapan pun. Dari kejauhan, tampakMas Bayu sudah membawa dua piring dan berjalan ke arahku. Namun, langkahnya terhenti karena kursi roda yang membawa Sinta berhenti tepat di depannya. Dari posisiku, jelas terlihat, Mas Bayu membungkukkan badannya, mendekatkan kepalanya pada Sinta yang duduk di kursi roda. Mas Bayu seperti sedang mendengarkan ucapan wanita itu dengan seksama, lalu ia balik meresponnya dengan wajah yang berseri-seri. Dadaku terasa diremas-remas menyaksikannya. Sesekali aku m
Seperti biasa, Mas Bayu menjemputku. Dalam perjalanan pulang, dia masih diam, tak mengatakan sepatah kata pun. Nanti saja kalau sudah dekat toko buku, aku akan mengutarakan niatku untuk mampir membeli bungkus kado, batinku. Mendadak, Mas Bayu meminggirkan motornya di sebuah butik. Ha? Butik? Gumanku. Aku mengeja namanya. Salah satu butik ternama di area kami.“Ayo masuk,” ajaknya biasa saja. Seperti dia tak sedang marah padaku. Begitu cepatnya dia berubah. Apakah semua lelaki seperti ini? Atau, dia hanya pandai menyembunyikan perasaannya saja? Karena sekarang kami berada di tempat umum, jadi, dia tak mau menunjukkan kalau sedang marah.“Mbak, mau nyari baju yang sarimbit buat kami berdua. Kasih tahu pilihan yang tersedia ya,” ujar Mas Bayu saat pelayan butik itu membukakan pintu untuk kami. Mataku membulat tak percaya. Aku menoleh ke samping untuk memastikan pendengaranku. Mas Bayu berdiri di sebelahku. Wajahnya yang masih lurus menatap ke depan, meski tangannya menggandeng tangan
Sejak kejadian itu, Mas Bayu mendiamkanku. Dia tetap menjemput dan mengantarkanku, tapi tak semanis kemarin. “Mas, aku minta maaf.” Berkali aku meminta maaf padanya, agar dia mau berbicara padaku. Aku tahu aku salah, meski tak sepenuhnya aku bersalah. Aku hanya makan berdua dengan Kak Hasan. Itupun karena tak sengaja bertemu. Bukan karena aku janjian. Kesalahanku memang Mas Bayu datang pada saat yang tidak tepat. Dia melihatku berpisah dengan Kak Hasan di ujung gang. Bahkan, saat kami saling melambaikan tangan, seolah kami sudah terbiasa bertemu. Padahal sungguh, itu baru pertama kalinya.Dan kala Mas Bayu menanyaiku apakah aku makan siang bersama Kak Hasan, tentu saja aku menjawab iya, karena itu kenyataannya. Sayangnya, dia tak mau mendengarkan dan tak mau tahu alasanku sedikit pun. Mungkin hatinya sedang marah. Mungkin sama denganku kala itu. Saat hati terbakar cemburu, kadang, kebenaran sekali pun, enggan untuk menerimanya. Haruskah aku menunggu sang waktu untuk menjawabnya?