Acara tasyakuran pun tiba. Meski rencananya hanya sederhana, namun ternyata banyak juga yang kami undang. Bahkan, kami sampai menyewa tenda, antisipasi kalau carport penuh. Aku mengundang beberapa teman kantor yang cukup akrab denganku. Meski aku tidak pernah curhat ke mereka tentang masalahku dengan Mas Bayu, paling tidak, aku pun merasa tenang karena tamu tak hanya didominasi oleh rekan kerja dan teman-teman Mas Bayu saja. Tak lupa kami juga mengundang tetangga sekitar dan jamaah masjid yang sudah akrab dengan Mas Bayu. Kami sengaja mengundang dari jam sepuluh pagi. Rencana pagi diisi dengan siraman rohani oleh salah satu ustadz yang dikenal Mas Bayu. Setelah itu, baru ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah. Sedari pagi, Mama sudah repot mengurus segala sesuatunya. Dari catering hingga ruangan. Mama mendesain bagaimana caranya agar semua tamu dapat duduk dengan nyaman selama berlangsung acara. Orang tuaku tak dapat hadir. Kehadirannya sudah diwakilkan dengan mama mertua
EPILOG “Dedek udah tidur, Bun?” tanya Mas Bayu saat aku keluar kamar. Dia baru pulang dari masjid. Kami masih mengontrak di kontrakan yang lama. Kata Mas Bayu, uangnya ditabung saja agar dapat membeli rumah cash. Dia sudah trauma mencicil rumah, ternyata kalau belum lunas, menjual kembalinya sulit sewaktu-waktu kita butuh uang. Mas Bayu juga jadi dipromosikan jabatannya. Aku mengalah meskipun dia bilang kalau aku menghendaki, dia bisa saja mengajukan pengunduran diri dari kantor itu. Tapi aku tak mau menjadi orang yang kalah. Sinta sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Tak pernah kusangka, justru dia yang mengundurkan diri. Sejak sakit, performanya menurun. Sebenarnya aku juga kasihan. Aku tahu, banyak yang masih menyalahkanku. Aku dianggap sebagai biang sakitnya Sinta, hingga kondisinya saat ini. Meski aku tak pernah merasa berkontribusi. “Berhentilah memikirkan pikiran orang lain, Dik. Selamanya kita tak bisa mengendalikan mereka.” Nasehat Mas Bayu setiap aku kembali lemah,
“Saya terima nikah dan kawinnya Anita Prameswari binti Arya Wiguna dengan maskawin perhiasan emas seberat 20 gram dan seperangkat alat sholat dibayar tunai.”Suara lantang dalam satu tarikan napas tak ayal membuat hati Anita berbunga-bunga. “Saksi sah?”“Sah!”“Sah!”"Sah!"Anita tersenyum lebar. Impiannya nikah muda dan menjadi nyonya Bayu Wicaksono tercapai sudah. Hatinya mengembang bahagia.Lelaki di sebelahnya pun tak henti-hentinya menarik kedua unjung bibirnya ke samping. Memberikan senyum terbaiknya pada semua yang hadir di hari bersejarah bagi kedua mempelai. Suasana bahagia pun menyelimuti perhelatan itu. Para tetamu juga memberikan selamat dengan suka cita karena melihat roman bahagia terhias di wajah kedua mempelai.“Makasih ya, Mas. Akhirnya kita menikah, ” kata Anita saat keduanya usai menunaikan sholat dua rekaat di kamarnya. Diciumnya punggung tangan Bayu yang kini telah resmi menjadi suaminya. Anita tak bisa menyembunyikan binar kebahagiaannya. Berbeda dengan lelaki
“Dik, sebentar lagi akan ada yang kirim lemari sama kasur ya. Baru setelah itu kita pergi belanja,” kata Mas Bayu sambil menurunkan barang-barang dari taxi online yang kami sewa. Sebenarnya kami hanya membawa dua koper tas isi baju-baju kami, dan beberapa dus isi beberapa barang yang aku punya di kosan lama dan beberap kado-kado pernikahan kami. Mas Bayu membawaku mengontrak di rumah petak. Aku tidak tahu kenapa. Aku pun tidak bertanya. Khawatir dia tersinggung. Bagaimanapun aku sekarang tahu posisiku di hatinya. Dia masih bersedia mengontrakkan rumah buat kami saja, aku sangat bersyukur. Mas Bayu sudah selesai menurunkan barang-barang kami. Dia menumpuk barang-barang kami di pojok, sedangkan aku mengamati rumah yang baru saja kami masuki. Rumah dimana aku akan menghabiskan waktu di awal-awal pernikahanku ini. Rumah petak yang kami tinggali terdiri dari tiga sekat. Petak pertama, sepertinya cocok untuk menerima tamu dan aktifitas utama kita lainnya. Petak kedua berukuran lebih sem
Kudorong trolly yang berisi belanjaan. Kutahan airmata untuk tidak keluar. Berkali-kali kuhirup nafas kuat-kuat. Sekilas dari ekor mataku, perempuan itu sudah tidak ada. Mas Bayu kelihatan bergegas menghampiriku. “Sudah semua, Dik?” tanyanya. Aku hanya mengangguk pelan. Kuhempaskan kuat-kuat bayangan yang tadi terlihat. Beruntung Mas Bayu tidak melihat perubahan raut mukaku, atau pura-pura tak melihat. Aku tahu, dia pun tidak menginginkanku. Jadi tidak perlu juga terlalu perhatian kepadaku. “Sini biar aku saja,” katanya sambil mengambil trolly dari tanganku. “Kita makan disini aja sekalian. Di lantai bawah ada foodcourt,” katanya lagi. Dia benar-benar seperti sudah mengenal tempat ini. Kubiarkan dia melangkah di depanku, sedang aku mengekorinya. Toh percuma berjalan di sebelahnya, belum tentu dia akan mengajakku bicara. Apalagi menggandeng tanganku. Aku benar-benar hidup bagai pungguk merindukan bulan. Aku mengikuti saja kemana Mas Bayu berjalan. “Mau masakan Sunda, Padang, ata
“Di bungkus saja boleh?” bisikku pada Mas Bayu. Lelaki itu menatapku sejenak, lalu ia mengulaskan senyum di bibirnya sebelum kemudian mengangguk. Entahlah. Kulihat sikap Mas Bayu biasa saja. Tidak ada rasa gugup saat bertemu wanita yang bernama Sinta itu. Tidak seperti orang lain yang merasa gugup jika melakukan hubungan di luar hubungan sahnya. Benarkah dia pacarnya Mas Bayu? Tapi mengapa dia tetap ramah padaku? Seperti tidak ada dendam? Apa sebenarnya dalam hatinya juga ada dendam? Ah, aku tak tahu. Kepalaku terasa pusing memikirkannya. Kami segera beranjak dari tempat itu. Kulihat Mas Bayu berpamitan pada Sinta dan seorang perempuan yang menemaninya. Sepertinya, Mas Bayu pun sudah akrab dengannya. Aku tak tahu. Aku tidak mau tahu. Aku tidak ingin bertanya. Kami kembali pulang. Berjalan dalam diam. Sesekali Mas Bayu menyapa orang yang duduk-duduk di tepi gang menuju rumah kontrakan kami. Malam kian larut, setelah kami makan malam dan bersih-bersih, aku berniat merebahkan diriku
Mas Bayu memindahkan bubur ayam ke dalam mangkuk, lalu berjalan mendekatiku yang duduk di atas kasur busa yang baru dibelinya kemaren. “Makan dulu, ya,” katanya sambil menyendokkan bubur. Aku menggeleng. “Biar aku sendiri, Mas," ucapku. Dia mengangguk. Lalu memberikan mangkuk berisi bubur ayam itu kepadaku. Sementara, dia juga makan bubur yang sama langsung dari kemasan stereoform. Mungkin dia memindahkannya bagianku ke mangkuk karena aku makan di atas pembaringan, khawatir tumpah. Kami berdua makan dalam diam. “Dik, aku hari ini ke kantor. Kamu nggak papa kan Mas tinggal?” tanya Mas Bayu. Kuakui, Mas Bayu memang lembut dan perhatian. Itu juga yang membuatku jatuh hati padanya. Sayang, hatinya bukan milikku. Tak ada gunanya aku menang dan mendapatkan raganya bersamaku, jika perasaannya bukan milikku. Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Lidahku masih kelu untuk berucap sesuatu. “Nanti siang Mas pesenkan makan saja dari kantor,” tuturnya lagi sambil bersiap-siap ke kanto
Sudah hampir seminggu aku kembali bekerja. Pikiranku lebih fresh. Meskipun saat melihatnya di rumah, kadang masih ada rasa kesal. Ya, bukan kesal kepadanya. Tapi kesal kepada diriku sendiri. Mengapa dulu teramat mencintainya. Hingga aku terlupa, bahwa ada pemilik hatinya. Meski hampir tiap pagi Mas Bayu mengantarku, dan tiap sore dia menjemputku, tapi kami berdua selalu dalam diam. Rumah kubiarkan berantakan, bahka Mas Bayu yang sering mengalah merapikannya. Dia juga yang mencuci bekas makan dan minum kami. Dia pula yang mencuci baju kami. Aku memang benar-benar malas mengerjakan apapun. Tak kupedulikan apa yang ada dalam pikirannya tentangku. Yang kuinginkan, aku ingin bahagia. Itu saja. Pagi ini, Hari Sabtu. Aku hanya duduk merenung di karpet ruang depan sejak usai Salat Subuh tadi. Biasanya, kalau hari kerja, aku sudah bersiap-siap.“Mau cari sarapan? Sekitar 1 km dari sini ada pasar kaget. Biasanya banyak yang jual sarapan,” kata Mas Bayu.Aku menatapnya tak percaya. Dia bisa t
EPILOG “Dedek udah tidur, Bun?” tanya Mas Bayu saat aku keluar kamar. Dia baru pulang dari masjid. Kami masih mengontrak di kontrakan yang lama. Kata Mas Bayu, uangnya ditabung saja agar dapat membeli rumah cash. Dia sudah trauma mencicil rumah, ternyata kalau belum lunas, menjual kembalinya sulit sewaktu-waktu kita butuh uang. Mas Bayu juga jadi dipromosikan jabatannya. Aku mengalah meskipun dia bilang kalau aku menghendaki, dia bisa saja mengajukan pengunduran diri dari kantor itu. Tapi aku tak mau menjadi orang yang kalah. Sinta sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Tak pernah kusangka, justru dia yang mengundurkan diri. Sejak sakit, performanya menurun. Sebenarnya aku juga kasihan. Aku tahu, banyak yang masih menyalahkanku. Aku dianggap sebagai biang sakitnya Sinta, hingga kondisinya saat ini. Meski aku tak pernah merasa berkontribusi. “Berhentilah memikirkan pikiran orang lain, Dik. Selamanya kita tak bisa mengendalikan mereka.” Nasehat Mas Bayu setiap aku kembali lemah,
Acara tasyakuran pun tiba. Meski rencananya hanya sederhana, namun ternyata banyak juga yang kami undang. Bahkan, kami sampai menyewa tenda, antisipasi kalau carport penuh. Aku mengundang beberapa teman kantor yang cukup akrab denganku. Meski aku tidak pernah curhat ke mereka tentang masalahku dengan Mas Bayu, paling tidak, aku pun merasa tenang karena tamu tak hanya didominasi oleh rekan kerja dan teman-teman Mas Bayu saja. Tak lupa kami juga mengundang tetangga sekitar dan jamaah masjid yang sudah akrab dengan Mas Bayu. Kami sengaja mengundang dari jam sepuluh pagi. Rencana pagi diisi dengan siraman rohani oleh salah satu ustadz yang dikenal Mas Bayu. Setelah itu, baru ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah. Sedari pagi, Mama sudah repot mengurus segala sesuatunya. Dari catering hingga ruangan. Mama mendesain bagaimana caranya agar semua tamu dapat duduk dengan nyaman selama berlangsung acara. Orang tuaku tak dapat hadir. Kehadirannya sudah diwakilkan dengan mama mertua
Pak Arman dan Bu Arman sudah pulang. Aku dan Mas Bayu membereskan semuanya. Lelaki itu lalu berinisiatif mencuci semua bekas makanan yang tadi telah kita gunakan. Sementara dia menyuruhku istirahat saja. “Kamu pasti lelah. Duduk saja di situ. Aku yang bereskan semuanya,” ucapnya. Kuakui, Mas Bayu memang sangat baik. Jadi, buat apa aku menyimpan segala kecewaku. Bukankah seharusnya aku bersyukur mendapatkannya.Perkara Sinta, harusnya tak lagi kupikirkan. Dia hanyalah duri dalam pernikahan kami. Bukan aku yang menjadi duri di hubungan mereka. Karena hubungan mereka adalah hubungan semu. Sementara hubunganku dengan Mas Bayu terikat norma agama. Ibadah yang menjadi landasannya.“Ngga usah dipikir, Dik kata-kata Pak Arman tadi,” ujar Mas Bayu sambil mengusap lenganku kala dia usai merapikan semua perabot. Aku menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa aku tak memikirkannya, sementara mereka, seolah sangat serius mengatakannya padaku.“Gimana kalau kita bikin tasyakuran saja. Sebentar lagi kan
“Bagaimana kalau besok Pak Arman dan Ibu kita undang makan bakso di rumah?” Tiba-tiba Mas Bayu memberi usul. Rupanya dia ingat kalau aku siang tadi juga belanja bahan bakso.Aku pun langsung menghiyakan. Pak Arman dan Bu Arman saling berpandangan, lalu mereka tersenyum. “Jangan merepotkan,” sahut Pak Arman. “Nggak repot, Pak. Kebetulan, Dik Anita ini senang masak, Pak. Iya kan, Dik?” ujarnya seraya menatapku disertai senyuman hangatnya. Hatiku menghangat. Dipromosikan seperti ini, aku merasa dihargai dan dianggap oleh Mas Bayu.“Iya Pak, Bu. Sekalian icip-icip bakso, kita bisa ngobrol.” Aku menyahut.Sepanjang jalan, aku tak lagi memikirkan bakso yang besok harus dimasak. Tapi, aku justru memikirkan obrolan apa yang sesuai saat bersama dengan Bu Arman nanti. Aku tak ingin melukai hatinya. Namun aku pun tetap ingin menunjukkan perhatianku padanya. ***“Bener tadi kamu nggak papa?” tanya Mas Bayu saat kami sudah bersiap-siap hendak tidur. “Aku tadi sedih banget, Mas, mendengar cer
Mas Bayu memarkir sepeda motornya di sebuah rumah minimalis tak jauh dari kontrakan kami. Pantas saja kalau kami tadi bertemu di supermarket. Ternyata rumah teman kantor Mas Bayu ini cukup dekat. Bisa jadi, sebelumnya aku pernah bertemu dengan beliau entah di mana. Tapi, karena aku tak mengenal beliau, kami tak pernah bertegur sapa. “Ayo, Dik,” ucap Mas Bayu seraya menggandeng tanganku, mendekat ke pintu pagar itu. Tampak cahaya lampu terang berpendar menyinari teras rumah itu. Sementara, di dalam rumah, ruang tamu terlihat gelap. Setelah sekali memencet bel, tak lama lampu ruang tamu menyala. “Lho, Dik Bayu.” Seorang lelaki menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Lalu si empunya rumah membuka pintu itu lebar-lebar tatkala menyadari Mas Bayu yang datang. “Ayu masuk-masuk. Tadi, istri cerita kalau ketemu Mas Bayu di supermarket ya. Kebetulan saat belanja tadi, saya hanya nunggu di parkiran, karena istri ceritanya cuma mau beli buah aja,” jelasnya seraya mempersilahkan kami duduk
“Mau kemana, Dik?” tanya Mas Bayu saat mendapatiku sudah rapi dengan pakaian hendak pergi. Padahal kami baru saja pulang kondangan. “Pengen belanja, Mas. Bahan makanan di kulkas sudah habis.” Aku beralasan. Meski sebenarnya stok masih cukup untuk seminggu. Hanya saja, kalau untuk membuat siomay atau bakso sebagai pembanding makanan di pesta tadi, aku perlu belanja daging giling dan ikan tenggiri.“Ngga capek?” tanyanya. Aku tahu, sebenarnya dia yang capek. Padahal aku juga nggak minta dia mengantar. Aku bisa berangkat sendiri, toh banyak taksi online juga kalau dia nggak ngijinin aku naik ojek. “Mumpung Sabtu, Mas. Besok biar seharian di rumah." “Ya sudah. Tunggu sebentar. Aku siap-siap.” Mas Bayu yang masih berdiri di ruang tamu, bergegas ke kamar. Dia masih memakai baju sholat karena baru pulang dari masjid.“Ngga papa, Mas. Aku bisa sendiri,” sahutku. Nggak enak rasanya selalu tergantung padanya. Mungkin, dia pun juga perlu istirahat. Apalagi kami habis pergi kondangan. Aku tah
Aku berusaha mengendalikan emosi, agar tidak tersulut oleh amarah. Meski dalam hati, aku geram bukan main dengan kata-kata Sinta. Meski sudah tidak terpilih, kenapa dia masih saja berusaha menyakiti hatiku? Atau, sebuah kepuasan jika kami sama-sama terluka?Namun, seketika aku tersadar. Aku harus bersikap elegan. Aku hanya mengalah untuk menang, bukan sebaliknya. Lagi pula, Sinta masih sakit. Kalau pun aku memaki dia, tentu saja akan terlihat sebagai pecundang. Tidak! Itu tidak boleh terjadi sampai kapan pun. Dari kejauhan, tampakMas Bayu sudah membawa dua piring dan berjalan ke arahku. Namun, langkahnya terhenti karena kursi roda yang membawa Sinta berhenti tepat di depannya. Dari posisiku, jelas terlihat, Mas Bayu membungkukkan badannya, mendekatkan kepalanya pada Sinta yang duduk di kursi roda. Mas Bayu seperti sedang mendengarkan ucapan wanita itu dengan seksama, lalu ia balik meresponnya dengan wajah yang berseri-seri. Dadaku terasa diremas-remas menyaksikannya. Sesekali aku m
Seperti biasa, Mas Bayu menjemputku. Dalam perjalanan pulang, dia masih diam, tak mengatakan sepatah kata pun. Nanti saja kalau sudah dekat toko buku, aku akan mengutarakan niatku untuk mampir membeli bungkus kado, batinku. Mendadak, Mas Bayu meminggirkan motornya di sebuah butik. Ha? Butik? Gumanku. Aku mengeja namanya. Salah satu butik ternama di area kami.“Ayo masuk,” ajaknya biasa saja. Seperti dia tak sedang marah padaku. Begitu cepatnya dia berubah. Apakah semua lelaki seperti ini? Atau, dia hanya pandai menyembunyikan perasaannya saja? Karena sekarang kami berada di tempat umum, jadi, dia tak mau menunjukkan kalau sedang marah.“Mbak, mau nyari baju yang sarimbit buat kami berdua. Kasih tahu pilihan yang tersedia ya,” ujar Mas Bayu saat pelayan butik itu membukakan pintu untuk kami. Mataku membulat tak percaya. Aku menoleh ke samping untuk memastikan pendengaranku. Mas Bayu berdiri di sebelahku. Wajahnya yang masih lurus menatap ke depan, meski tangannya menggandeng tangan
Sejak kejadian itu, Mas Bayu mendiamkanku. Dia tetap menjemput dan mengantarkanku, tapi tak semanis kemarin. “Mas, aku minta maaf.” Berkali aku meminta maaf padanya, agar dia mau berbicara padaku. Aku tahu aku salah, meski tak sepenuhnya aku bersalah. Aku hanya makan berdua dengan Kak Hasan. Itupun karena tak sengaja bertemu. Bukan karena aku janjian. Kesalahanku memang Mas Bayu datang pada saat yang tidak tepat. Dia melihatku berpisah dengan Kak Hasan di ujung gang. Bahkan, saat kami saling melambaikan tangan, seolah kami sudah terbiasa bertemu. Padahal sungguh, itu baru pertama kalinya.Dan kala Mas Bayu menanyaiku apakah aku makan siang bersama Kak Hasan, tentu saja aku menjawab iya, karena itu kenyataannya. Sayangnya, dia tak mau mendengarkan dan tak mau tahu alasanku sedikit pun. Mungkin hatinya sedang marah. Mungkin sama denganku kala itu. Saat hati terbakar cemburu, kadang, kebenaran sekali pun, enggan untuk menerimanya. Haruskah aku menunggu sang waktu untuk menjawabnya?