Akhirnya aku dan mama Mas Bayu mengurungkan niat melanjutkan jalan-jalan di mall ini.Kami memilih pulang.Hatiku seperti diremas-remas menyaksikan pemandangan tadi. Demikian juga dengan mama mertuaku. Beliau masih terlihat menyimpan amarahnya. Sepanjang jalan, mama Mas Bayu hanya diam. Dadanya masih terlihat naik turun. Aku tak berani menanyakan apapun pada beliau, kecuali saat kita sudah sampai di rumah. “Minum dulu, Ma,” ucapku demi menetralisir amarahnya.Aku tahu, mama pasti kaget melihat pemandangan itu. Pasti beliau tak menyangka kalau putra kesayangannya mampu bertindak seperti itu dibelakangnya.Setahuku, mama sangat menyayangi Mas Bayu. Demikian juga sebaliknya. Mas Bayu tak pernah berani mengecewakannya. Termasuk dalam urusan perjodohanku dengannya ini.Tapi, kenapa harus aku yang menjadi korbannya? Aku memang sejak dulu mencintai Mas Bayu. Aku mengaguminya. Bahkan, menikah dengannya serasa bagai mimpi yang menjadi kenyataan. Laksana terkabulkannya doa yang selama ini ku
“Mama sudah pesan tiket. Sebentar lagi taksi datang. Mama pulang. Mama tak mau melihat anak mama yang tak tahu diri ini, hingga dia mau memperbaiki kesalahannya,” tukas mama Mas Bayu.Mata tua itu menatapku sambil berkaca-kaca. “Mama. Mama jangan bilang begitu. Anita tidak apa-apa,” tukasku.Aku memeluk wanita yang telah kuanggap sebagai ibuku sendiri ini. Baliau sangat menyayangiku. Aku tahu beliau terluka atas apa yang dilihatnya tadi. Tapi, itulah kenyataan.Memang sungguh menyakitkan. Dan aku memilih tak mengatakan pada beliau, hingga beliau melihatnya sendiri. Apakah aku jahat? “Mama minta maaf, Anita. Mama tak bisa mendidik Bayu,” tukas beliau lagi. Wanita itu tak mau melirik pada putranya. Bahkan beliau meninggalkannya begitu saja, hingga Mas Bayu mengejarnya. “Ma, maafin Bayu, Ma!” Mas Bayu mengejar Mamanya.Bahkan, beliau tak mengindahkan saat Mas Bayu hendak membantu membawa tas ke taksi. Mama tampak sangat kecewa.Aku hanya dapat menghela napas. Ada rasa pedih tatkala s
Aku terdiam mematung. Sinta lagi yang ada dalam pikirannya. Sinta lagi yang menjadi prioritas baginya. Pantas saja jika mamanya marah dan malu padaku. Bahkan, aku tak pernah dianggapnya. Segera kutepiskan pikiranku. Bukankah aku sudah berjanji tak akan memikirkan Mas Bayu lagi. Bukankah aku berjanji membuat diriku sendiri bahagia, dan tak perlu memperdulikannya? Aku menyeringai hampa. Kuputuskan bersiap ke kantor. Di kantor, aku lebih leluasa melupakan masalah hidup rumah tanggaku. Aku bisa menutupi semua kegelisahanku dengan menenggelamkan diri dengan pekerjaan. [Dik, habis pulang kerja, ke rumah sakit, ya] Pesan Mas Bayu masuk ke ponselku. Aku hanya membacanya sekilas. Ada rasa nyeri di dadaku. Buat apa aku harus ke rumah sakit? Buat apa aku harus terlibat pada masalahnya? Toh, harusnya dia bersyukur aku tak melarangnya pergi ke rumah sakit menyambangi tambatan hatinya itu. Tak lama Mas Bayu membagikan lokasinya. Kuhembuskan napas dengan kasar. Ada rasa kesal. Tapi, baikl
“Aku tak ingin membicarakan apapun tentang dia. Kalau Mas Bayu masih membicarakannya, lebih baik kita pulang. Aku lelah. Aku pengen cepet istirahat,” ujarku mengakhiri pembicaraan yang bagiku tak ada gunanya ini. Mas Bayu mengangguk, lalu ia menghela napas. Aku memang sedang tak ingin mengalah padanya. Karena aku tahu, aku sudah kalah. Aku hanya ingin mempertahankan apa yang menjadi hakku. Selama makan, Mas Bayu hanya diam tak berbicara. Begitupun denganku. Sejak aku melihatnya berdua dengan Sinta di kantin pada hari itu, aku memang memilih menjaga jarak. Tapi, rupanya dia tak pernah peka. Dia tak pernah merasa ada yang salah dengannya, hingga peristiwa saat mamanya menamparnya di mall siang itu. Apalah arti pria romantis jika dia memberikannya pada wanita yang salah. Wanita yang tak punya hak sama sekali. Tiba di rumah, Mas Bayu masih diam. Dia lebih banyak melamun. Mungkin karena kekasihnya terbaring di rumah sakit. Aku tak peduli. Aku memilih segera membersihkan diriku
“Hai, Bayu! Tumben jauh amat makan siangnya!” sapa seorang lelaki dengan setelan baju kerja. Sepertinya ia adalah teman Mas Bayu. Aku tak terlalu memperhatikannya. Malas aku berhubungan dengan teman Mas Bayu. Semua telah mengecewakanku. Aku kecewa karena rata-rata mereka mendukung hubungan Mas Bayu dengan Sinta. Bahkan, saat mereka tahu aku istri Mas Bayu, malah mereka menatapku dengan tatapan iba. Mas Bayu menoleh ke sumber suara itu. “Hai, San. Ketemu di sini,” sahut Mas Bayu. Raut muka Mas Bayu yang tadi sangat perhatian padaku, kini sedikit berubah tatkala melihat siapa yang menyapanya. “Tumben nggak bareng Sinta?” tanya pria itu. Deg! Mendengar nama itu disebut, tiba-tiba saja wajahku terasa pias. Mataku menjadi berkaca-kaca. Debaran jantungku terasa berdentum lebih kencang. Beginikah rasanya menjadi orang ketiga? “San, kenalin. Ini Anita, istriku,” sahut Mas Bayu. Aku masih menunduk, menahan butiran bening di mataku yang siap tumbah. Sakit rasa hatiku. Semua teman Mas
Sore ini, aku pulang sendiri lagi. Mas Bayu ada lembur di kantornya. Baru aku berjalan beberapa langkahku terhenti. Lelaki yang tadi siang bertemu dengan Mas Bayu, tiba-tiba sudah ada di hadapanku. “Ada apa, Kak?” tanyaku tanpa basa-basi. “Kita bicara sebentar,” tukasnya. Wajahnya melihatku dengan tatapan serius. Di sudut lobi gedungku, ada café. Lelaki itu mengajakku ke sana. Sebenarnya, aku jarang pergi atau sekedar makan minum dengan pria yang aku tak mengenal dekat. Paling banter, pasti yang aku sudah sangat akrab. Misalnya teman kantor atau teman kuliah. Sementara Kak Hasan? Aku tak pernah mengenal dekat. “Aku baru tahu kalau Bayu sudah menikah,” tukasnya. Lelaki itu kembali duduk di hadapanku setelah memesan dua minuman untuk kami. Sementara, sedari tadi aku hanya menantinya di kursi yang aku pilih. Di pinggir dekat kaca, sehingga mudah bagiku melihat ke arah luar. Aku hanya tersenyum menanggapinya. Tak tahu harus berkata apa. “Kamu kenal Mas Bayu di mana?” ta
Aku tak tahu apa yang mereka sedang bicarakan. Ada Mas Bayu, ada orang tua yang kuduga mama dan papa Sinta. Sepertinya mereka membicarakan masalah yang serius. Kak Hasan hanya mengambil gambar dari balik jendela kamar itu. “Sudah, Kak,” ujarku. Aku tak tahan. Aku ingin segera mematikan sambungan telepon ini. Aku ingin menenangkan hatiku yang teramat nyeri. “Anita dengar, aku janji. Ini terakhir kalinya Bayu menemui Anita. Setelah ini, Bayu akan menjadi milikmu,” ujar Kak Hasan penuh percaya diri. Aku tak mengerti maksudnya. Tapi, hatiku terlanjur sakit. Andai tadi aku tak menyalakan video itu, mungkin aku tak sesakit ini rasanya. Aku hanya terduduk di lantai hingga beberapa saat lamanya, hingga tak sadar suara deru motor Mas Bayu berhenti di depan rumah. Saat pintu dibuka, aku menoleh ke arahnya, tanpa ada keinginan untuk bangkit dari posisiku. Aku ingin melihat reaksi Mas Bayu saat melihatku terpuruk seperti ini. Terpuruk karena kebohongannya. “Dik, kamu kenapa?” Mas Ba
“Dik, nanti pulang kerja, kamu mau nemeni ke notaris?” tanya Mas Bayu sambil mengikat tali sepatunya. “Notaris? Ada apa?” Aku menggernyitkan kening. Kenapa mendadak Mas Bayu mengajak ke notaris. Ada masalah apa? “Rumah yang akan aku lepas, mau dibeli sama papanya Sinta. Aku sudah bicara sama papanya Sinta, agar urusanku dan Sinta segera selesai.” Aku menatap Mas Bayu tak percaya. Dia mengangguk. “Sinta mau menempatinya?” tanyaku lagi. Bukankah itu hanya akan menggores luka lama? “Mana aku tahu. Bukan urusanku. Yang penting aku segera terbebas dari cicilan itu. Setelah ini, kita bisa beli rumah dimana kamu mau,” tukasnya. Mas Bayu sudah selesai mengenakan sepatu dan jaketnya, sementara aku masih terdiam mematung dengan ucapannya. “Kalau aku sudah tak punya tanggungan utang, aku bisa resign kapan saja, seperti harapanmu,” ujarnya tanpa beban. Mataku membulat. “Benarkah?” Senyum Mas Bayu seketika mengembang. Pria itu lalu mendekat padaku dan merangkul pundakku. “Aku t
EPILOG “Dedek udah tidur, Bun?” tanya Mas Bayu saat aku keluar kamar. Dia baru pulang dari masjid. Kami masih mengontrak di kontrakan yang lama. Kata Mas Bayu, uangnya ditabung saja agar dapat membeli rumah cash. Dia sudah trauma mencicil rumah, ternyata kalau belum lunas, menjual kembalinya sulit sewaktu-waktu kita butuh uang. Mas Bayu juga jadi dipromosikan jabatannya. Aku mengalah meskipun dia bilang kalau aku menghendaki, dia bisa saja mengajukan pengunduran diri dari kantor itu. Tapi aku tak mau menjadi orang yang kalah. Sinta sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Tak pernah kusangka, justru dia yang mengundurkan diri. Sejak sakit, performanya menurun. Sebenarnya aku juga kasihan. Aku tahu, banyak yang masih menyalahkanku. Aku dianggap sebagai biang sakitnya Sinta, hingga kondisinya saat ini. Meski aku tak pernah merasa berkontribusi. “Berhentilah memikirkan pikiran orang lain, Dik. Selamanya kita tak bisa mengendalikan mereka.” Nasehat Mas Bayu setiap aku kembali lemah,
Acara tasyakuran pun tiba. Meski rencananya hanya sederhana, namun ternyata banyak juga yang kami undang. Bahkan, kami sampai menyewa tenda, antisipasi kalau carport penuh. Aku mengundang beberapa teman kantor yang cukup akrab denganku. Meski aku tidak pernah curhat ke mereka tentang masalahku dengan Mas Bayu, paling tidak, aku pun merasa tenang karena tamu tak hanya didominasi oleh rekan kerja dan teman-teman Mas Bayu saja. Tak lupa kami juga mengundang tetangga sekitar dan jamaah masjid yang sudah akrab dengan Mas Bayu. Kami sengaja mengundang dari jam sepuluh pagi. Rencana pagi diisi dengan siraman rohani oleh salah satu ustadz yang dikenal Mas Bayu. Setelah itu, baru ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah. Sedari pagi, Mama sudah repot mengurus segala sesuatunya. Dari catering hingga ruangan. Mama mendesain bagaimana caranya agar semua tamu dapat duduk dengan nyaman selama berlangsung acara. Orang tuaku tak dapat hadir. Kehadirannya sudah diwakilkan dengan mama mertua
Pak Arman dan Bu Arman sudah pulang. Aku dan Mas Bayu membereskan semuanya. Lelaki itu lalu berinisiatif mencuci semua bekas makanan yang tadi telah kita gunakan. Sementara dia menyuruhku istirahat saja. “Kamu pasti lelah. Duduk saja di situ. Aku yang bereskan semuanya,” ucapnya. Kuakui, Mas Bayu memang sangat baik. Jadi, buat apa aku menyimpan segala kecewaku. Bukankah seharusnya aku bersyukur mendapatkannya.Perkara Sinta, harusnya tak lagi kupikirkan. Dia hanyalah duri dalam pernikahan kami. Bukan aku yang menjadi duri di hubungan mereka. Karena hubungan mereka adalah hubungan semu. Sementara hubunganku dengan Mas Bayu terikat norma agama. Ibadah yang menjadi landasannya.“Ngga usah dipikir, Dik kata-kata Pak Arman tadi,” ujar Mas Bayu sambil mengusap lenganku kala dia usai merapikan semua perabot. Aku menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa aku tak memikirkannya, sementara mereka, seolah sangat serius mengatakannya padaku.“Gimana kalau kita bikin tasyakuran saja. Sebentar lagi kan
“Bagaimana kalau besok Pak Arman dan Ibu kita undang makan bakso di rumah?” Tiba-tiba Mas Bayu memberi usul. Rupanya dia ingat kalau aku siang tadi juga belanja bahan bakso.Aku pun langsung menghiyakan. Pak Arman dan Bu Arman saling berpandangan, lalu mereka tersenyum. “Jangan merepotkan,” sahut Pak Arman. “Nggak repot, Pak. Kebetulan, Dik Anita ini senang masak, Pak. Iya kan, Dik?” ujarnya seraya menatapku disertai senyuman hangatnya. Hatiku menghangat. Dipromosikan seperti ini, aku merasa dihargai dan dianggap oleh Mas Bayu.“Iya Pak, Bu. Sekalian icip-icip bakso, kita bisa ngobrol.” Aku menyahut.Sepanjang jalan, aku tak lagi memikirkan bakso yang besok harus dimasak. Tapi, aku justru memikirkan obrolan apa yang sesuai saat bersama dengan Bu Arman nanti. Aku tak ingin melukai hatinya. Namun aku pun tetap ingin menunjukkan perhatianku padanya. ***“Bener tadi kamu nggak papa?” tanya Mas Bayu saat kami sudah bersiap-siap hendak tidur. “Aku tadi sedih banget, Mas, mendengar cer
Mas Bayu memarkir sepeda motornya di sebuah rumah minimalis tak jauh dari kontrakan kami. Pantas saja kalau kami tadi bertemu di supermarket. Ternyata rumah teman kantor Mas Bayu ini cukup dekat. Bisa jadi, sebelumnya aku pernah bertemu dengan beliau entah di mana. Tapi, karena aku tak mengenal beliau, kami tak pernah bertegur sapa. “Ayo, Dik,” ucap Mas Bayu seraya menggandeng tanganku, mendekat ke pintu pagar itu. Tampak cahaya lampu terang berpendar menyinari teras rumah itu. Sementara, di dalam rumah, ruang tamu terlihat gelap. Setelah sekali memencet bel, tak lama lampu ruang tamu menyala. “Lho, Dik Bayu.” Seorang lelaki menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Lalu si empunya rumah membuka pintu itu lebar-lebar tatkala menyadari Mas Bayu yang datang. “Ayu masuk-masuk. Tadi, istri cerita kalau ketemu Mas Bayu di supermarket ya. Kebetulan saat belanja tadi, saya hanya nunggu di parkiran, karena istri ceritanya cuma mau beli buah aja,” jelasnya seraya mempersilahkan kami duduk
“Mau kemana, Dik?” tanya Mas Bayu saat mendapatiku sudah rapi dengan pakaian hendak pergi. Padahal kami baru saja pulang kondangan. “Pengen belanja, Mas. Bahan makanan di kulkas sudah habis.” Aku beralasan. Meski sebenarnya stok masih cukup untuk seminggu. Hanya saja, kalau untuk membuat siomay atau bakso sebagai pembanding makanan di pesta tadi, aku perlu belanja daging giling dan ikan tenggiri.“Ngga capek?” tanyanya. Aku tahu, sebenarnya dia yang capek. Padahal aku juga nggak minta dia mengantar. Aku bisa berangkat sendiri, toh banyak taksi online juga kalau dia nggak ngijinin aku naik ojek. “Mumpung Sabtu, Mas. Besok biar seharian di rumah." “Ya sudah. Tunggu sebentar. Aku siap-siap.” Mas Bayu yang masih berdiri di ruang tamu, bergegas ke kamar. Dia masih memakai baju sholat karena baru pulang dari masjid.“Ngga papa, Mas. Aku bisa sendiri,” sahutku. Nggak enak rasanya selalu tergantung padanya. Mungkin, dia pun juga perlu istirahat. Apalagi kami habis pergi kondangan. Aku tah
Aku berusaha mengendalikan emosi, agar tidak tersulut oleh amarah. Meski dalam hati, aku geram bukan main dengan kata-kata Sinta. Meski sudah tidak terpilih, kenapa dia masih saja berusaha menyakiti hatiku? Atau, sebuah kepuasan jika kami sama-sama terluka?Namun, seketika aku tersadar. Aku harus bersikap elegan. Aku hanya mengalah untuk menang, bukan sebaliknya. Lagi pula, Sinta masih sakit. Kalau pun aku memaki dia, tentu saja akan terlihat sebagai pecundang. Tidak! Itu tidak boleh terjadi sampai kapan pun. Dari kejauhan, tampakMas Bayu sudah membawa dua piring dan berjalan ke arahku. Namun, langkahnya terhenti karena kursi roda yang membawa Sinta berhenti tepat di depannya. Dari posisiku, jelas terlihat, Mas Bayu membungkukkan badannya, mendekatkan kepalanya pada Sinta yang duduk di kursi roda. Mas Bayu seperti sedang mendengarkan ucapan wanita itu dengan seksama, lalu ia balik meresponnya dengan wajah yang berseri-seri. Dadaku terasa diremas-remas menyaksikannya. Sesekali aku m
Seperti biasa, Mas Bayu menjemputku. Dalam perjalanan pulang, dia masih diam, tak mengatakan sepatah kata pun. Nanti saja kalau sudah dekat toko buku, aku akan mengutarakan niatku untuk mampir membeli bungkus kado, batinku. Mendadak, Mas Bayu meminggirkan motornya di sebuah butik. Ha? Butik? Gumanku. Aku mengeja namanya. Salah satu butik ternama di area kami.“Ayo masuk,” ajaknya biasa saja. Seperti dia tak sedang marah padaku. Begitu cepatnya dia berubah. Apakah semua lelaki seperti ini? Atau, dia hanya pandai menyembunyikan perasaannya saja? Karena sekarang kami berada di tempat umum, jadi, dia tak mau menunjukkan kalau sedang marah.“Mbak, mau nyari baju yang sarimbit buat kami berdua. Kasih tahu pilihan yang tersedia ya,” ujar Mas Bayu saat pelayan butik itu membukakan pintu untuk kami. Mataku membulat tak percaya. Aku menoleh ke samping untuk memastikan pendengaranku. Mas Bayu berdiri di sebelahku. Wajahnya yang masih lurus menatap ke depan, meski tangannya menggandeng tangan
Sejak kejadian itu, Mas Bayu mendiamkanku. Dia tetap menjemput dan mengantarkanku, tapi tak semanis kemarin. “Mas, aku minta maaf.” Berkali aku meminta maaf padanya, agar dia mau berbicara padaku. Aku tahu aku salah, meski tak sepenuhnya aku bersalah. Aku hanya makan berdua dengan Kak Hasan. Itupun karena tak sengaja bertemu. Bukan karena aku janjian. Kesalahanku memang Mas Bayu datang pada saat yang tidak tepat. Dia melihatku berpisah dengan Kak Hasan di ujung gang. Bahkan, saat kami saling melambaikan tangan, seolah kami sudah terbiasa bertemu. Padahal sungguh, itu baru pertama kalinya.Dan kala Mas Bayu menanyaiku apakah aku makan siang bersama Kak Hasan, tentu saja aku menjawab iya, karena itu kenyataannya. Sayangnya, dia tak mau mendengarkan dan tak mau tahu alasanku sedikit pun. Mungkin hatinya sedang marah. Mungkin sama denganku kala itu. Saat hati terbakar cemburu, kadang, kebenaran sekali pun, enggan untuk menerimanya. Haruskah aku menunggu sang waktu untuk menjawabnya?