Share

BAB 6

last update Last Updated: 2022-07-18 20:20:51

Sudah hampir seminggu aku kembali bekerja. Pikiranku lebih fresh. Meskipun saat melihatnya di rumah, kadang masih ada rasa kesal. Ya, bukan kesal kepadanya. Tapi kesal kepada diriku sendiri. Mengapa dulu teramat mencintainya. Hingga aku terlupa, bahwa ada pemilik hatinya. 

Meski hampir tiap pagi Mas Bayu mengantarku, dan tiap sore dia menjemputku, tapi kami berdua selalu dalam diam. 

Rumah kubiarkan berantakan, bahka Mas Bayu yang sering mengalah merapikannya. Dia juga yang mencuci bekas makan dan minum kami. Dia pula yang mencuci baju kami. Aku memang benar-benar malas mengerjakan apapun. Tak kupedulikan apa yang ada dalam pikirannya tentangku. Yang kuinginkan, aku ingin bahagia. Itu saja. 

Pagi ini, Hari Sabtu. Aku hanya duduk merenung di karpet ruang depan sejak usai Salat Subuh tadi. Biasanya, kalau hari kerja, aku sudah bersiap-siap.

“Mau cari sarapan? Sekitar 1 km dari sini ada pasar kaget. Biasanya banyak yang jual sarapan,” kata Mas Bayu.

Aku menatapnya tak percaya. Dia bisa tahu sedetil itu daerah sini. Besar dugaanku, Sinta, mantan pacarnya -sudah mantan atau belum aku tak tahu- itu tinggal daerah sini. Buktinya aku bisa bertemu dua kali di sekitar sini. Bisa jadi, jika aku sering klayapan disekitar sini, aku akan lebih sering bertemu dengannya. 

"Mau lihat suasana sini? Rame biasanya,” ujar Mas Bayu seperti memprovokasi. 

Aku terdiam. Bingung antara ingin membuang bosan, atau tetap di rumah. 

Aku menimbang dalam hati. Jika aku pergi, aku takut ketemu Sinta lagi, dan akan menoreh luka yang sedikit demi sedikit terobati setelah kembali bekerja dan melupakan semuanya. 

“Kamu nggak mau?” tanyanya lagi karena aku tak kunjung menjawab. Matanya menatapku lekat. Jujur aku tak tahan menatap seperti ini. Jantungku bergemuruh. Ketampanan yang dulu selalu kupuja, kini ada di depan mata. Sayangnya, aku sudah kalah sebelum bertanding. Kalah dengan hatinya yang ruangannya telah terpatri nama yang lain.

“Ayo,” jawabku sambil menepiskan rasa luka yang menganga. 

Kuputuskan untuk pergi bersamanya. Bagaimanapun aku harus menerima kenyataan. Akulah istri Mas Bayu. Kenapa aku menjadi lemah? Menjadi seperti orang kalah? Bukankah jalan berdua dengannya adalah suatu yang kuimpikan sejak lama. Bahkan, bisa jadi ini adalah buah doaku, menjadi istri Mas Bayu.

Aku segera bersiap-siap. Mengganti baju dengan baju yang paling nyaman dikenakan untuk pergi bersama kekasih hatiku. Ah! Betapa sakitnya mengingat itu. Harusnya aku bersama orang yang mengasihiku, bukan yang kukasihi.

Kami berjalan menyusuri gang menuju jalan raya. 

Pagi itu banyak orang yang berjalan menuju arah yang sama dengan tujuan kami. 

Banyak di antaranya yang pergi sekeluarga, berpasangan, atau gerombolan beberapa remaja yang seusia. 

Tak lama, kami sudah sampai di jalan raya yang di kanan dan kirinya penuh dengan tenda-tenda orang berjualan. 

Jalanan ini benar-benar penuh. Bahkan di tengah jalan pun ada yang membuka lapak. Orang lalu lalang di tengah jalan. Rupanya, jika weekend jalan ini ditutup. Hanya ada pejalan kaki yang boleh lewat di jalur ini. 

Tiba-tiba jantungku berdesir saat aku merasa jemari tanganku bertangkup dengan jemari tangan Mas Bayu. 

Kutatap tangan ini, lalu tatapanku berpindah ke wajah Mas Bayu untuk meyakinkan diri. Namun, raut wajah Mas Bayu seolah tak menyiratkan terjadi apa-apa. Dia sibuk melihat ke sekitarnya. Hingga kami tiba di sekitar tenda-tenda yang menjual beraneka makanan. 

“Kamu mau makan apa, Dik?” tanyanya tanpa melepaskan pegangan tangannya. 

Aku tak dapat menghindarkan gemuruh dalam dadaku. Genggaman tangan ini dan tawarannya seolah menyihirku kembali dalam buaian angan silamku. Lelaki yang kupuja, kini benar-benar nyata menjadi kekasih halalku.

“Bubur ayam saja, Mas,” sahutku saat melihat penjual bubur ayam tak jauh dari tempat kami berdiri. 

Setelah Mas Bayu memesan dua porsi bubur ayam, kami mencari tempat duduk. 

Ada tikar lesehan yang disediakan menhadap danau. Aku baru tahu, di belakang jajaran tenda-tenda pedagang ini ada danau yang dibatasi dengan track pejalan kaki. Dan kamipun duduk di atas tikar itu. 

Kulihat suasana memang riuh sekali. Banyak orang yang jalan sekedar melihat-lihat, atau berolah raga pagi. Tapi, tak sedikit memang yang sengaja mencari kuliner. 

Kami sengaja duduk di tempat yang sepi, jauh dari lalu lalang. Tak lama, penjual bubur itu datang membawa dua mangkuk bubur dan dua gelas berisi teh tawar hangat. 

“Ayo dimakan,” kata Mas Bayu sambil mengaduk buburnya. Aku sendiri tidak menyukai bubur yang diaduk. 

Belum sempat aku menyuapkan buburku, Mas Bayu menggeser duduknya ke dekatku. Lalu membalikkan tubuhnya seolah memberi kode kepadaku untuk menikmati danau di belakang kami. 

“Kalau kamu mau bicara sesuatu, bicaralah. Aku akan mendengarkan,” kata Mas Bayu sambil menoleh sekilas ke arahku. Lalu dia kembali mengaduk buburnya, menyendoknya dan memasukkan ke mulutnya. 

Aku menatapnya sekilas.

“Kenapa kita memilih tinggal disini, Mas?” ujarku tanpa sadar kata-kata itu mengalir begitu saja. Seolah ambang kesadaranku telah hilang. Mungkin karena keingintahuanku yang terlalu dalam, hingga tak sadar aku mengatakannya.

Raut muka Mas Bayu tidak berubah. Dia tampak biasa saja mendengar pertanyaanku. Sambil menelan buburnya, dia menoleh ke arahku. Lalu kembali memindai pandangan di sekitar danau. 

“Karena aku sangat mengenal daerah sini. Aku suka beberapa tempat disini. Dan kuharap, kau akan menyukainya,” sahutnya. 

“Bukan karena Sinta ada disini?” tanyaku dengan suara setengah bergetar. Menyebut namanya terasa sangat berat bagiku. Aku membencinya. Aku tak menyukainya. Karena dia telah mengambil Mas Bayu dariku. Dia lah yang mengambil hati Mas Bayu hingga tak utuh lagi buatku.

Meski sesak hati ini, tapi terpaksa kutanyakan juga padanya. Aku ingin tahu. Benar-benar ingin tahu. Tak ingin lagi ada prasangka. 

Mas Bayu meletakkan mangkuknya yang sudah kosong. Sedang mangkukku baru berkurang beberapa sendok. 

“Ya, aku mengenal daerah ini karena dulu aku sering menghabiskan waktuku dengan Sinta di sini,” jawabnya datar. Tatapannya masih ke arah danua.

Deg,

Hatiku terasa panas. Bergejolak. Ada rasa tidak terima disana. Apakah dia benar-benar belum mau melepasnya? Hingga kenangan yang ada dengan Sinta pun, tak ingin dilepaskannya. Sakit hatiku. 

“Sudahlah, kamu nggak usah membahas dia lagi. Itu tidak baik untukmu. Toh, aku sudah menikah denganmu,” katanya kemudian. 

Aku mengangguk. Benar apa katanya. Memang sebaiknya aku tidak tahu apa-apa. Sebaiknya aku tidak boleh mencari tahu. Semakin aku tahu, semakin sakit hati ini. 

Mas Bayu segera bangkit dari duduknya saat melihat aku menyuap sendokan bubur terakhir. Kulirik dia sedang membayar bubur itu, dan…

Aku menoleh lagi untuk meyakinkan diri. Mataku melebar kembali.

Dia, Mas Bayuku, kini sedang ngobrol dengan wanita itu lagi? wanita itu ada disini? 

Jantungku berdegup kencang. Tak bisakah kamu menghindarinya, Mas? Tak bisakah kamu sedikit menghargai perasaanku, Mas? Tak bisakah kamu sedikit saja tidak bertemu dengannya saat bersamaku?

Kutarik nafasku dalam-dalam. Kupalingkan pandanganku ke danau seolah-olah tidak melihatnya. Hingga Mas Bayu menghampiriku, dan meraih jemariku. Dia menggenggam jemariku dan membimbingku untuk bangkit dari duduk. 

“Ayo kita jalan lagi. Siapa tahu kamu melihat sesuatu yang kamu suka,” katanya. 

Aku mendengus kesal. Bukan bertemu sesuatu yang aku suka, Mas. Tapi bertemu seseorang yang aku benci, batinku.

Bersambung

Related chapters

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   BAB 7

    Mas Bayu masih menggenggam tanganku. Kami berjalan beriringan. Di depan kami tampak banyak penjual sayur-sayuran lengkap. Ada beraneka ikan segar termasuk cumi dan udang, ada berbagai daging sapi yang terlihat segar, juga ayam potong. “Kamu belum pernah masak, Dik. Setahuku dulu kamu suka memasak,” ujar Mas Bayu sambil menatapku. Seger kupalingkan mukaku ke penjual-penjual itu. Sedikit ge er aku mendengar Mas Bayu tahu kalau aku dulu suka memasak. “Kalau kamu mau masak, kita beli sayuran disini aja. Nanti aku bantu,” katanya lagi. Kulirik dia yang sudah berjongkok di depan pedagang sayuran itu. “Dik, kamu bisa buat trancam nggak, kayaknya seger ya kalau kita makan sambal urap nanti siang,” katanya sambil menengadah, menatapku yang masih berdiri di belakangnya. Rasa bersalah menyelimutiku. Hampir sepekan aku menjadi istrinya, tak pernah sekalipun aku menyalakan kompor di rumah. Padahal aku sudah berbelanja bumbu dapur lengkap saat pertama belanja, sebelum melihat wanita itu. Akh

    Last Updated : 2022-07-18
  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   BAB 8.

    Hari Minggu pagi, sehabis Salat Subuh, aku langsung beranjak. Tak seperti biasanya yang bermalas-malasan. Setelah membereskan tempat tidur dan semua isi rumah, aku berencana hendak memasak nasi goreng. Semua bumbu dan bahan sudah kupersiapkan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun, sejak Subuh, Mas Bayu belum pulang dari masjid. Kemanakah dia? Hatiku mendadak gelisah. Pikiranku kembali mengembara kemana-mana. Mataku melirik rak yang ada di ruang depan, tempat dia biasa meletakkan ponsel. Tidak ada. Sejak kapan dia ke Masjid membawa ponsel? Seingatku, biasanya dia tidak pernah membawa benda pipih itu. Kemana dia perginya? Apakah menemui Sinta? Pikiranku berkecamuk. Hatiku menjadi tidak tenang. Nafas kuhela berkali-kali agar sesak di dada menjadi berkurang. Aku yang tadi sudah bersemangat untuk membuat sarapan, mendadak seleraku sudah hilang. Setega itukah kamu, Mas? Aku mencoba menguatkan hati. Namun, entah mengapa justru genangan di mata semakin membuat pandang

    Last Updated : 2022-07-29
  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   BAB 9

    Sejak aku sering berpapasan dengan Sinta di sekitar kontrakan kami, aku benar-benar malas kalau Mas Bayu mengajak keluar rumah. Aku trauma. Tepatnya paranoid.Malam itu, menjelang tidur, aku mengambil buah mentimun di kulkas dan mengirisnya tipis. Aku ingin mengompres mataku, agar keesokan paginya mata ini tidak terlihat terlalu bengkak. Lagipula, rasanya pedih karena terlalu banyak menangis. Dengan dikompres, aku berharap akan memberikan efek dingin dan sejuk.Segera kubaringkan tubuhku di kasur, kemudian meletakkan irisan mentimun itu di atas kelopak mata yang sudah terpejam. Benar saja. Efek dinginnya tak hanya enak di mata, namun juga sedikit menenangkan hatiku yang galau. Harusnya pengantin baru sepertiku hidup diliputi kebahagiaan, namun justru sebaliknya. Aku tak tahu bagaimana perasaan Mas Bayu. Mungkin juga dia lebih terluka dari aku karena pernikahannya dengan Sinta yang kandas. Dengan mata terpejam, aku mencoba menghapus bayang-bayang kelam yang selama ini menyiksa. Saya

    Last Updated : 2022-07-29
  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 10A.

    Dahiku mengernyit bersamaan dengan mata yang menyipit. Mulut ini berusaha mengeja kata demi kata yang tertera di sepucuk surat itu. Tagihan tunggakan cicilan rumah? itu yang tertulis di sana. Apa ini maksudnya?Slip tagihan aku baca berulang kali, memastikan aku tidak salah lihat.Dadaku bergemuruh. Ada rasa yang membuatku seolah terhisap ke dasar bumi. Rahasia apa lagi yang disembunyikan Mas Bayu. Aku sampai mengucek mata untuk meyakinkan kembali apa yang terbaca.Nama Mas Bayu terpampang jelas di slip tunggakan cicilan rumah. Ada tipe rumah, ada alamat dan ada nama pengembang perumahan tertera di surat itu.Mendadak wajahku terasa pias. Sesak rongga di dadaku seolah ada puluhan ton batu menindih di sana. Tiba-tiba, sebuah tangan lembut meraih surat yang aku pegang. Entah kapan Mas Bayu sudah ada di depanku. “Dik, duduk sini. Mari, Mas jelaskan.” Pria itu berkata dengan lembut sembari meraih tanganku. Dia membimbingku untuk duduk di sebelahnya. Aku sedikit memiringkan badan, beru

    Last Updated : 2022-07-29
  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 10B.

    Aku duduk menyendiri sambil termenung di teras cottage tempat kami menginap. Mas Bayu mengajakku ikut family gathering dari kantornya di kawasan Puncak. Sebelumnya, Mas Bayu sudah mewanti-wanti, kalau Sinta juga akan datang ke acara itu. Dia bahkan memberiku pilihan. Jika aku tidak sanggup, aku boleh di rumah saja. Tapi, aku memilih untuk ikut. Aku bukanlah orang yang kalah. Aku juga ingin mengenal dan tahu teman-teman Mas Bayu lainnya. “Nggak gabung, Dik?” Mbak Dania menyapa seraya mendekat. Sejak semalam sebenarnya aku sudah bertemu dengan Mbak Dania. Tapi, tidak sempat ngobrol. Hanya berbasa-basi saja karena aku ingin segera istirahat. Perjalanan ke Puncak yang macet membuat tubuhku terasa lelah. Pagi ini acara perlombaan antar keluarga. Karena Mas Bayu panitia, aku memilih duduk saja dan mengamati dari teras ini. Aku belum akrab dengan yang lain. Lagi pula, teman Mas Bayu banyak yang sudah berkeluarga dan sibuk dengan anggota keluarga mereka. “Kamu sudah tahu mana yang naman

    Last Updated : 2022-07-29
  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 11.

    “Ma, Mama nggak usah datang ke sini. Biar kami saja yang pulang.”Sekilas Aku mendengar Mas Bayu sedang menerima telpon dari ibunya saat aku hendak menyiapkan masakan di dapur mungil kami. Aku paham, sebenarnya Mas Bayu malu pada orangtuanya karena tinggal di rumah kontrakan ini. Apalagi di depan ibunya yang dulu menjodohkan Mas Bayu denganku. Bagaimanapun, hidup seorang karyawan swasta di perusahaan yang sudah mapan, tak mungkin tinggal di rumah petak seperti ini. Terlebih, tetangga sekitar kontrakan, umumnya hanya seorang tenaga harian. Sedangkan Mas Bayu dan aku adalah karyawan tetap. “Mas, apa kita mau pindah kontrakan saja?” tawarku usai Mas Bayu menutup sambungan teleponnya.Aku sengaja mendekat padanya. Rasanya ini saat yang tepat untuk mengusulkan pindah dari tempat ini. Aku sudah muak dengan daerah ini. Aku ingin membuka lembaran baru. Di mana tak ada lagi bayang-bayang Sinta dalam hidupku dan hidup Mas Bayu. Minimal, di luar jam kerja Mas Bayu, jika memang terpaksa dia te

    Last Updated : 2022-07-29
  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 12.

    “Mas?” panggilku. “Mas?” Aku mengulangi panggilan.Tapi tak ada jawaban.Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur. Kupindai seluruh ruangan.Kosong! Kemana Mas Bayu? Perutku meraung-raung, memanggil untuk diisi. Aku ingin makan sesuatu, namun tak ada cemilan di rumah. Salahku juga, sebagai istri harusnya akulah yang memikirkan tentang cemilan. Bukan bermanja seperti ini. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas locker plastik di samping tempat tidur. Segera aku memencet nomor Mas Bayu yang tertera di kontak panggilan.“Ya, sayang?” Terdengar jawaban dari seberang. Ah hati rasanya hendak terbang ke langit ke tujuh mendengar kata-kata 'sayang' dari Mas Bayu. “Kamu sudah bangun?” tanyanya lembut. Pertanyaan itu diulangi karena aku masih terdiam. Aku terpesona dengan jawabannya. Aku seperti jatuh cinta lagi.Dulu, aku hanya tahu keromantisan seorang lelaki hanya di film-film saja. Atau di novel-novel. Tapi kini, itu nyata. “Mas, aku lapar,” rajukku manja. “Ayam sama oseng kangku

    Last Updated : 2022-07-29
  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 13 A.

    Hari ini, usai jam kantor, aku dan Mas Bayu sudah janjian akan melihat kontrakan baru kami. Kontrakan yang mestinya lebih layak bagi kami untuk menerima tamu menginap, dibanding rumah petakan yang kami kontrak sekarang yang hanya cukup untuk kami berdua. Tiba-tiba aku teringat harus mengecek sesuatu. Ya, aku harus memastikan bahwa daerah yang kami kontrak tidak berada di sekitar Sinta. Tapi, dari mana aku bisa tahu alamat Sinta? Demi menuruti rasa penasaran, aku membuka akun sosial media warna biru. Siapa tahu ada titik terang di sana. Pertama, aku mencari akun milik Mas Bayu. Baru aku menyadari sejak aku menikah, aku sudah tidak lagi membuka akun sosial media itu. Dulu, aku rajin mengacak-acak akun Mas Bayu saat aku masih naksir dia. Bahkan dulu aku juga sudah tahu kalau dia sudah memiliki kekasih. Tapi, waktu itu aku terlalu yakin aku bisa mengambil hati Mas Bayu. Aku berinisiatif membuka akun sosmed milik Sinta yang beberapa kali menandai gambarnya dengan Mas Bayu. Ah say

    Last Updated : 2022-07-29

Latest chapter

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 31 C (TAMAT)

    EPILOG “Dedek udah tidur, Bun?” tanya Mas Bayu saat aku keluar kamar. Dia baru pulang dari masjid. Kami masih mengontrak di kontrakan yang lama. Kata Mas Bayu, uangnya ditabung saja agar dapat membeli rumah cash. Dia sudah trauma mencicil rumah, ternyata kalau belum lunas, menjual kembalinya sulit sewaktu-waktu kita butuh uang. Mas Bayu juga jadi dipromosikan jabatannya. Aku mengalah meskipun dia bilang kalau aku menghendaki, dia bisa saja mengajukan pengunduran diri dari kantor itu. Tapi aku tak mau menjadi orang yang kalah. Sinta sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Tak pernah kusangka, justru dia yang mengundurkan diri. Sejak sakit, performanya menurun. Sebenarnya aku juga kasihan. Aku tahu, banyak yang masih menyalahkanku. Aku dianggap sebagai biang sakitnya Sinta, hingga kondisinya saat ini. Meski aku tak pernah merasa berkontribusi. “Berhentilah memikirkan pikiran orang lain, Dik. Selamanya kita tak bisa mengendalikan mereka.” Nasehat Mas Bayu setiap aku kembali lemah,

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 31 B

    Acara tasyakuran pun tiba. Meski rencananya hanya sederhana, namun ternyata banyak juga yang kami undang. Bahkan, kami sampai menyewa tenda, antisipasi kalau carport penuh. Aku mengundang beberapa teman kantor yang cukup akrab denganku. Meski aku tidak pernah curhat ke mereka tentang masalahku dengan Mas Bayu, paling tidak, aku pun merasa tenang karena tamu tak hanya didominasi oleh rekan kerja dan teman-teman Mas Bayu saja. Tak lupa kami juga mengundang tetangga sekitar dan jamaah masjid yang sudah akrab dengan Mas Bayu. Kami sengaja mengundang dari jam sepuluh pagi. Rencana pagi diisi dengan siraman rohani oleh salah satu ustadz yang dikenal Mas Bayu. Setelah itu, baru ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah. Sedari pagi, Mama sudah repot mengurus segala sesuatunya. Dari catering hingga ruangan. Mama mendesain bagaimana caranya agar semua tamu dapat duduk dengan nyaman selama berlangsung acara. Orang tuaku tak dapat hadir. Kehadirannya sudah diwakilkan dengan mama mertua

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 31 A

    Pak Arman dan Bu Arman sudah pulang. Aku dan Mas Bayu membereskan semuanya. Lelaki itu lalu berinisiatif mencuci semua bekas makanan yang tadi telah kita gunakan. Sementara dia menyuruhku istirahat saja. “Kamu pasti lelah. Duduk saja di situ. Aku yang bereskan semuanya,” ucapnya. Kuakui, Mas Bayu memang sangat baik. Jadi, buat apa aku menyimpan segala kecewaku. Bukankah seharusnya aku bersyukur mendapatkannya.Perkara Sinta, harusnya tak lagi kupikirkan. Dia hanyalah duri dalam pernikahan kami. Bukan aku yang menjadi duri di hubungan mereka. Karena hubungan mereka adalah hubungan semu. Sementara hubunganku dengan Mas Bayu terikat norma agama. Ibadah yang menjadi landasannya.“Ngga usah dipikir, Dik kata-kata Pak Arman tadi,” ujar Mas Bayu sambil mengusap lenganku kala dia usai merapikan semua perabot. Aku menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa aku tak memikirkannya, sementara mereka, seolah sangat serius mengatakannya padaku.“Gimana kalau kita bikin tasyakuran saja. Sebentar lagi kan

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 30B

    “Bagaimana kalau besok Pak Arman dan Ibu kita undang makan bakso di rumah?” Tiba-tiba Mas Bayu memberi usul. Rupanya dia ingat kalau aku siang tadi juga belanja bahan bakso.Aku pun langsung menghiyakan. Pak Arman dan Bu Arman saling berpandangan, lalu mereka tersenyum. “Jangan merepotkan,” sahut Pak Arman. “Nggak repot, Pak. Kebetulan, Dik Anita ini senang masak, Pak. Iya kan, Dik?” ujarnya seraya menatapku disertai senyuman hangatnya. Hatiku menghangat. Dipromosikan seperti ini, aku merasa dihargai dan dianggap oleh Mas Bayu.“Iya Pak, Bu. Sekalian icip-icip bakso, kita bisa ngobrol.” Aku menyahut.Sepanjang jalan, aku tak lagi memikirkan bakso yang besok harus dimasak. Tapi, aku justru memikirkan obrolan apa yang sesuai saat bersama dengan Bu Arman nanti. Aku tak ingin melukai hatinya. Namun aku pun tetap ingin menunjukkan perhatianku padanya. ***“Bener tadi kamu nggak papa?” tanya Mas Bayu saat kami sudah bersiap-siap hendak tidur. “Aku tadi sedih banget, Mas, mendengar cer

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 30 A

    Mas Bayu memarkir sepeda motornya di sebuah rumah minimalis tak jauh dari kontrakan kami. Pantas saja kalau kami tadi bertemu di supermarket. Ternyata rumah teman kantor Mas Bayu ini cukup dekat. Bisa jadi, sebelumnya aku pernah bertemu dengan beliau entah di mana. Tapi, karena aku tak mengenal beliau, kami tak pernah bertegur sapa. “Ayo, Dik,” ucap Mas Bayu seraya menggandeng tanganku, mendekat ke pintu pagar itu. Tampak cahaya lampu terang berpendar menyinari teras rumah itu. Sementara, di dalam rumah, ruang tamu terlihat gelap. Setelah sekali memencet bel, tak lama lampu ruang tamu menyala. “Lho, Dik Bayu.” Seorang lelaki menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Lalu si empunya rumah membuka pintu itu lebar-lebar tatkala menyadari Mas Bayu yang datang. “Ayu masuk-masuk. Tadi, istri cerita kalau ketemu Mas Bayu di supermarket ya. Kebetulan saat belanja tadi, saya hanya nunggu di parkiran, karena istri ceritanya cuma mau beli buah aja,” jelasnya seraya mempersilahkan kami duduk

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 29 B

    “Mau kemana, Dik?” tanya Mas Bayu saat mendapatiku sudah rapi dengan pakaian hendak pergi. Padahal kami baru saja pulang kondangan. “Pengen belanja, Mas. Bahan makanan di kulkas sudah habis.” Aku beralasan. Meski sebenarnya stok masih cukup untuk seminggu. Hanya saja, kalau untuk membuat siomay atau bakso sebagai pembanding makanan di pesta tadi, aku perlu belanja daging giling dan ikan tenggiri.“Ngga capek?” tanyanya. Aku tahu, sebenarnya dia yang capek. Padahal aku juga nggak minta dia mengantar. Aku bisa berangkat sendiri, toh banyak taksi online juga kalau dia nggak ngijinin aku naik ojek. “Mumpung Sabtu, Mas. Besok biar seharian di rumah." “Ya sudah. Tunggu sebentar. Aku siap-siap.” Mas Bayu yang masih berdiri di ruang tamu, bergegas ke kamar. Dia masih memakai baju sholat karena baru pulang dari masjid.“Ngga papa, Mas. Aku bisa sendiri,” sahutku. Nggak enak rasanya selalu tergantung padanya. Mungkin, dia pun juga perlu istirahat. Apalagi kami habis pergi kondangan. Aku tah

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 29 A

    Aku berusaha mengendalikan emosi, agar tidak tersulut oleh amarah. Meski dalam hati, aku geram bukan main dengan kata-kata Sinta. Meski sudah tidak terpilih, kenapa dia masih saja berusaha menyakiti hatiku? Atau, sebuah kepuasan jika kami sama-sama terluka?Namun, seketika aku tersadar. Aku harus bersikap elegan. Aku hanya mengalah untuk menang, bukan sebaliknya. Lagi pula, Sinta masih sakit. Kalau pun aku memaki dia, tentu saja akan terlihat sebagai pecundang. Tidak! Itu tidak boleh terjadi sampai kapan pun. Dari kejauhan, tampakMas Bayu sudah membawa dua piring dan berjalan ke arahku. Namun, langkahnya terhenti karena kursi roda yang membawa Sinta berhenti tepat di depannya. Dari posisiku, jelas terlihat, Mas Bayu membungkukkan badannya, mendekatkan kepalanya pada Sinta yang duduk di kursi roda. Mas Bayu seperti sedang mendengarkan ucapan wanita itu dengan seksama, lalu ia balik meresponnya dengan wajah yang berseri-seri. Dadaku terasa diremas-remas menyaksikannya. Sesekali aku m

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 28 B

    Seperti biasa, Mas Bayu menjemputku. Dalam perjalanan pulang, dia masih diam, tak mengatakan sepatah kata pun. Nanti saja kalau sudah dekat toko buku, aku akan mengutarakan niatku untuk mampir membeli bungkus kado, batinku. Mendadak, Mas Bayu meminggirkan motornya di sebuah butik. Ha? Butik? Gumanku. Aku mengeja namanya. Salah satu butik ternama di area kami.“Ayo masuk,” ajaknya biasa saja. Seperti dia tak sedang marah padaku. Begitu cepatnya dia berubah. Apakah semua lelaki seperti ini? Atau, dia hanya pandai menyembunyikan perasaannya saja? Karena sekarang kami berada di tempat umum, jadi, dia tak mau menunjukkan kalau sedang marah.“Mbak, mau nyari baju yang sarimbit buat kami berdua. Kasih tahu pilihan yang tersedia ya,” ujar Mas Bayu saat pelayan butik itu membukakan pintu untuk kami. Mataku membulat tak percaya. Aku menoleh ke samping untuk memastikan pendengaranku. Mas Bayu berdiri di sebelahku. Wajahnya yang masih lurus menatap ke depan, meski tangannya menggandeng tangan

  • AKU TAKKAN MENYERAH, MAS!   Bab 28 A

    Sejak kejadian itu, Mas Bayu mendiamkanku. Dia tetap menjemput dan mengantarkanku, tapi tak semanis kemarin. “Mas, aku minta maaf.” Berkali aku meminta maaf padanya, agar dia mau berbicara padaku. Aku tahu aku salah, meski tak sepenuhnya aku bersalah. Aku hanya makan berdua dengan Kak Hasan. Itupun karena tak sengaja bertemu. Bukan karena aku janjian. Kesalahanku memang Mas Bayu datang pada saat yang tidak tepat. Dia melihatku berpisah dengan Kak Hasan di ujung gang. Bahkan, saat kami saling melambaikan tangan, seolah kami sudah terbiasa bertemu. Padahal sungguh, itu baru pertama kalinya.Dan kala Mas Bayu menanyaiku apakah aku makan siang bersama Kak Hasan, tentu saja aku menjawab iya, karena itu kenyataannya. Sayangnya, dia tak mau mendengarkan dan tak mau tahu alasanku sedikit pun. Mungkin hatinya sedang marah. Mungkin sama denganku kala itu. Saat hati terbakar cemburu, kadang, kebenaran sekali pun, enggan untuk menerimanya. Haruskah aku menunggu sang waktu untuk menjawabnya?

DMCA.com Protection Status