“Mas?” panggilku. “Mas?” Aku mengulangi panggilan.Tapi tak ada jawaban.Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur. Kupindai seluruh ruangan.Kosong! Kemana Mas Bayu? Perutku meraung-raung, memanggil untuk diisi. Aku ingin makan sesuatu, namun tak ada cemilan di rumah. Salahku juga, sebagai istri harusnya akulah yang memikirkan tentang cemilan. Bukan bermanja seperti ini. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas locker plastik di samping tempat tidur. Segera aku memencet nomor Mas Bayu yang tertera di kontak panggilan.“Ya, sayang?” Terdengar jawaban dari seberang. Ah hati rasanya hendak terbang ke langit ke tujuh mendengar kata-kata 'sayang' dari Mas Bayu. “Kamu sudah bangun?” tanyanya lembut. Pertanyaan itu diulangi karena aku masih terdiam. Aku terpesona dengan jawabannya. Aku seperti jatuh cinta lagi.Dulu, aku hanya tahu keromantisan seorang lelaki hanya di film-film saja. Atau di novel-novel. Tapi kini, itu nyata. “Mas, aku lapar,” rajukku manja. “Ayam sama oseng kangku
Hari ini, usai jam kantor, aku dan Mas Bayu sudah janjian akan melihat kontrakan baru kami. Kontrakan yang mestinya lebih layak bagi kami untuk menerima tamu menginap, dibanding rumah petakan yang kami kontrak sekarang yang hanya cukup untuk kami berdua. Tiba-tiba aku teringat harus mengecek sesuatu. Ya, aku harus memastikan bahwa daerah yang kami kontrak tidak berada di sekitar Sinta. Tapi, dari mana aku bisa tahu alamat Sinta? Demi menuruti rasa penasaran, aku membuka akun sosial media warna biru. Siapa tahu ada titik terang di sana. Pertama, aku mencari akun milik Mas Bayu. Baru aku menyadari sejak aku menikah, aku sudah tidak lagi membuka akun sosial media itu. Dulu, aku rajin mengacak-acak akun Mas Bayu saat aku masih naksir dia. Bahkan dulu aku juga sudah tahu kalau dia sudah memiliki kekasih. Tapi, waktu itu aku terlalu yakin aku bisa mengambil hati Mas Bayu. Aku berinisiatif membuka akun sosmed milik Sinta yang beberapa kali menandai gambarnya dengan Mas Bayu. Ah say
“Aku sepertinya nggak cocok, Mas,” jawabku pelan. Aku berlalu keluar dari rumah itu, meninggalkan keduanya. Mas Bayu pasti kikuk dengan sikapku. Tapi, aku mencoba untuk tidak peduli. Aku tidak mau mengorbankan perasaanku demi orang lain. Toh, belum tentu orang lain mengorbankan perasaannya demi aku. Aku menunggu di luar pagar. Dari posisiku, aku melihat Sinta mengunci pintu rumah itu sambil berbincang dengan Mas Bayu. Sikapnya memang biasa saja. Tapi, aku tak tahu dengan hatinya. Apakah dia masih menyimpan rasa dengan Mas Bayu, atau tidak. Aku sungguh kecewa dengan Mas Bayu. Bagaimana aku bisa mempertahankan cintaku jika bayang-bayang Sinta masih ada. Bagaimana aku bisa tinggal di rumah ini jika rumah ini berdekatan dengan rumah Sinta. Tak bisakah Mas Bayu sedikit memahaminya? Bagaimana perasaanku, bagaimana pandangan teman-temannya terhadapku nanti? Apakah aku hanyalah seorang pelariannya? Sinta meninggalkan kami dengan mobilnya. Mas Bayu menatapnya sampai bayangan mobil it
Sore itu, sepulang dari kerja, tiba-tiba motor Mas Bayu berbelok ke sebuah apotik. “Mau ngapain, Mas?” Aku bertanya saat aku terpaksa harus turun. Dia tidak bilang apa-apa sebelumnya. Apa dia sakit ingin membeli obat-obatan? Mas Bayu memarkir motornya di pelataran apotik itu. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Lelaki itu hanya menggandeng tanganku untuk diajaknya masuk ke apotik itu yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggal kami ini. Mas Bayu langsung menuju etalase yang dibelakangnya duduk seorang petugas apotik. “Mbak, ada test pack?” tanyanya. Aku mengerutkan kening, seraya melirik sekilas padanya. Testpack? buat apa Mas Bayu membelinya? Bahkan, Mas Bayu menyebutkan namanya tanpa rasa sungkan. Aku menatap tajam ke Mas Bayu minta penjelasan. Tapi, dia tak menyahut, bahkan hanya tersenyum tipis seraya tetap menatap pada petugas yang langsung bergegas mengambil sesuatu dari rak kaca yang berada tepat berada di belakangnya. Dengan cekatan petugas itu kembali mendekat dan men
"Jangan lupa bawa ini!" Mas Bayu segera mengangsurkan testpack itu saat aku hendak ke toilet. Bahkan azan subuh belum berkumandang. Tak biasanya aku ingin ke belakang. Padahal biasanya aku bangun setelah Mas Bayu pulang dari masjid. Duh, sebenarnya aku sudah tak tahan mau ke belakang, tapi, terpaksa aku harus membaca dulu instruksi di bungkus itu. Maklum, semalam aku langsung tidur. "Mas!" Aku berteriak dari kamar mandi. Tidak terjadi perubahan apapun di sana. "Gimana?" wajah Mas Bayu menyembul karena aku sengaja membuka sedikit pintu kamar mandi. Aku belum sepenuhnya merapikan pakaianku. "Nih lihat sendiri!" aku menyerahkan benda asing yang sudah aku celupkan pada urine yang tadi aku tampung. Ya, mungkin Mas Bayu berharap terlalu lebih. Padahal kan kami juga belum lama menikah. Malah Sinta saja juga belum beres. "Dik! cepetan keluar!" Suara Mas Bayu berteriak sambil menggedor pintu kamar mandi. Padahal usai menunaikan hajat, aku masih mau mengambil air wudhu. "Kenapa?
“Mau kemana, Mas?” tanyaku saat melihat Mas Bayu hendak pergi lagi, sesaat setelah kami tiba di rumah.Bahkan, dia pun belum mengganti baju kerjanya, apalagi bersih-bersih. Dia hanya meletakkan tas kerjanya dan menggantinya dengan tas kecil tempat ia menaruh HP dan dompetnya.“Mau ada urusan sama temen,” jawabnya. Tak lupa sebuah kecupan lembut mendarat di keningku. Meski dia berlaku lembut seperti itu, tetap saja aku penasaran. Jawaban ada urusan seperti itu menandakan dia tak ingin aku tahu urusannya lebih detil. Terpaksa, aku urung untuk bertanya. Karena aku hanya menginginkan keterbukaan. Buat apa sebuah hubungan tanpa saling percaya. Toh, aku tak akan membicarakan urusannya ke orang lain. “Kamu belum makan lho, Mas.” Aku mengingatkan. Sebenarnya aku hanya ingin menahannya saja, karena aku pun juga belum masak. “Nanti Mas makan sama temen,” jawabnya sambil memasang helmnya. Bergegas dibukanya pintu pagar untuk mengeluarkan motornya. Lalu dia pergi meninggalkanku yang masih term
"Kamu dari mana, Mas?" tanyaku. Dia tak menyahut. Entah karena tidak dengar, atau menganggap pertanyaanku tidak penting untuk dijawab. “Aku bersihkan dapur dulu ya,” katanya, lalu meninggalkanku. Aku hanya terdiam di tempat tidur. Aku kembali ke alam pikiranku sendiri. Apakah ini yang harus kuterima saat aku tidak mengikhlaskan kepergian Mas Bayu tadi? Tak kusadari, air mata menetes dari sudut mataku. “Nggak usah terlalu dipikirkan, Dik,” kata Mas Bayu saat dia melihatku menitikkan air mata. Mungkin dipikirnya aku merasa bersalah atas kejadian ini. Mungkin dipikirnya aku memikirkan dapur yang hitam penuh jelaga, sementara rumah ini adalah rumah kontrakan. Padahal aku sedang memikirkan dirinya. Dia dan perempuan itu. Dia dan curhatan di email itu. Dia dan masa lalu yang sepertinya terus membelenggu. “Mas, aku lapar,” rajukku. Aku teringat janjiku dalam hati, kalau aku hanya perlu memikirkan diriku sendiri. Karena memikirkan orang lain, hanya akan membuatku terluka. Aku i
Pukul lima sore. Biasanya Mas Bayu menjemputku. Jika aku belum ada di pelataran lobi, dia akan menelponku. Tapi, ini sudah jam lima lewat. Aku menunggu-nunggu saat dia menelponku dan mencari keberadaanku. Aku berharap dia akan merasa bersalah jika tak mendapatiku di lobi. Atau paling tidak dia akan cemas karena aku pulang lebih awal, sebagaimana dia perhatian selama ini. Namun, lagi-lagi aku salah. Mungkin, sejak saat ini aku harus menghilangkan harapanku pada Mas Bayu. Aku harus pelan-pelan melupakannya. Pukul lima lewat, dia tidak menelponku. Mengirim pesan padaku pun tidak. Baiklah, Mas. Akan kuikuti apa maumu! Lebih baik aku mengurusi diriku sendiri. Aku ingin bahagia. Kubuka aplikasi makanan online. Aku ingin makan yang enak. Aku tidak peduli harganya yang mahal. Selama ini aku tahan-tahan semua keinginanku, agar aku bisa menabung. Agar aku bisa membeli rumah impian bersama Mas Bayu. Agar aku bisa membeli kendaraan bersamanya. Tapi impianku telah sirna. Aku tak ingin ap
EPILOG “Dedek udah tidur, Bun?” tanya Mas Bayu saat aku keluar kamar. Dia baru pulang dari masjid. Kami masih mengontrak di kontrakan yang lama. Kata Mas Bayu, uangnya ditabung saja agar dapat membeli rumah cash. Dia sudah trauma mencicil rumah, ternyata kalau belum lunas, menjual kembalinya sulit sewaktu-waktu kita butuh uang. Mas Bayu juga jadi dipromosikan jabatannya. Aku mengalah meskipun dia bilang kalau aku menghendaki, dia bisa saja mengajukan pengunduran diri dari kantor itu. Tapi aku tak mau menjadi orang yang kalah. Sinta sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Tak pernah kusangka, justru dia yang mengundurkan diri. Sejak sakit, performanya menurun. Sebenarnya aku juga kasihan. Aku tahu, banyak yang masih menyalahkanku. Aku dianggap sebagai biang sakitnya Sinta, hingga kondisinya saat ini. Meski aku tak pernah merasa berkontribusi. “Berhentilah memikirkan pikiran orang lain, Dik. Selamanya kita tak bisa mengendalikan mereka.” Nasehat Mas Bayu setiap aku kembali lemah,
Acara tasyakuran pun tiba. Meski rencananya hanya sederhana, namun ternyata banyak juga yang kami undang. Bahkan, kami sampai menyewa tenda, antisipasi kalau carport penuh. Aku mengundang beberapa teman kantor yang cukup akrab denganku. Meski aku tidak pernah curhat ke mereka tentang masalahku dengan Mas Bayu, paling tidak, aku pun merasa tenang karena tamu tak hanya didominasi oleh rekan kerja dan teman-teman Mas Bayu saja. Tak lupa kami juga mengundang tetangga sekitar dan jamaah masjid yang sudah akrab dengan Mas Bayu. Kami sengaja mengundang dari jam sepuluh pagi. Rencana pagi diisi dengan siraman rohani oleh salah satu ustadz yang dikenal Mas Bayu. Setelah itu, baru ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah. Sedari pagi, Mama sudah repot mengurus segala sesuatunya. Dari catering hingga ruangan. Mama mendesain bagaimana caranya agar semua tamu dapat duduk dengan nyaman selama berlangsung acara. Orang tuaku tak dapat hadir. Kehadirannya sudah diwakilkan dengan mama mertua
Pak Arman dan Bu Arman sudah pulang. Aku dan Mas Bayu membereskan semuanya. Lelaki itu lalu berinisiatif mencuci semua bekas makanan yang tadi telah kita gunakan. Sementara dia menyuruhku istirahat saja. “Kamu pasti lelah. Duduk saja di situ. Aku yang bereskan semuanya,” ucapnya. Kuakui, Mas Bayu memang sangat baik. Jadi, buat apa aku menyimpan segala kecewaku. Bukankah seharusnya aku bersyukur mendapatkannya.Perkara Sinta, harusnya tak lagi kupikirkan. Dia hanyalah duri dalam pernikahan kami. Bukan aku yang menjadi duri di hubungan mereka. Karena hubungan mereka adalah hubungan semu. Sementara hubunganku dengan Mas Bayu terikat norma agama. Ibadah yang menjadi landasannya.“Ngga usah dipikir, Dik kata-kata Pak Arman tadi,” ujar Mas Bayu sambil mengusap lenganku kala dia usai merapikan semua perabot. Aku menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa aku tak memikirkannya, sementara mereka, seolah sangat serius mengatakannya padaku.“Gimana kalau kita bikin tasyakuran saja. Sebentar lagi kan
“Bagaimana kalau besok Pak Arman dan Ibu kita undang makan bakso di rumah?” Tiba-tiba Mas Bayu memberi usul. Rupanya dia ingat kalau aku siang tadi juga belanja bahan bakso.Aku pun langsung menghiyakan. Pak Arman dan Bu Arman saling berpandangan, lalu mereka tersenyum. “Jangan merepotkan,” sahut Pak Arman. “Nggak repot, Pak. Kebetulan, Dik Anita ini senang masak, Pak. Iya kan, Dik?” ujarnya seraya menatapku disertai senyuman hangatnya. Hatiku menghangat. Dipromosikan seperti ini, aku merasa dihargai dan dianggap oleh Mas Bayu.“Iya Pak, Bu. Sekalian icip-icip bakso, kita bisa ngobrol.” Aku menyahut.Sepanjang jalan, aku tak lagi memikirkan bakso yang besok harus dimasak. Tapi, aku justru memikirkan obrolan apa yang sesuai saat bersama dengan Bu Arman nanti. Aku tak ingin melukai hatinya. Namun aku pun tetap ingin menunjukkan perhatianku padanya. ***“Bener tadi kamu nggak papa?” tanya Mas Bayu saat kami sudah bersiap-siap hendak tidur. “Aku tadi sedih banget, Mas, mendengar cer
Mas Bayu memarkir sepeda motornya di sebuah rumah minimalis tak jauh dari kontrakan kami. Pantas saja kalau kami tadi bertemu di supermarket. Ternyata rumah teman kantor Mas Bayu ini cukup dekat. Bisa jadi, sebelumnya aku pernah bertemu dengan beliau entah di mana. Tapi, karena aku tak mengenal beliau, kami tak pernah bertegur sapa. “Ayo, Dik,” ucap Mas Bayu seraya menggandeng tanganku, mendekat ke pintu pagar itu. Tampak cahaya lampu terang berpendar menyinari teras rumah itu. Sementara, di dalam rumah, ruang tamu terlihat gelap. Setelah sekali memencet bel, tak lama lampu ruang tamu menyala. “Lho, Dik Bayu.” Seorang lelaki menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Lalu si empunya rumah membuka pintu itu lebar-lebar tatkala menyadari Mas Bayu yang datang. “Ayu masuk-masuk. Tadi, istri cerita kalau ketemu Mas Bayu di supermarket ya. Kebetulan saat belanja tadi, saya hanya nunggu di parkiran, karena istri ceritanya cuma mau beli buah aja,” jelasnya seraya mempersilahkan kami duduk
“Mau kemana, Dik?” tanya Mas Bayu saat mendapatiku sudah rapi dengan pakaian hendak pergi. Padahal kami baru saja pulang kondangan. “Pengen belanja, Mas. Bahan makanan di kulkas sudah habis.” Aku beralasan. Meski sebenarnya stok masih cukup untuk seminggu. Hanya saja, kalau untuk membuat siomay atau bakso sebagai pembanding makanan di pesta tadi, aku perlu belanja daging giling dan ikan tenggiri.“Ngga capek?” tanyanya. Aku tahu, sebenarnya dia yang capek. Padahal aku juga nggak minta dia mengantar. Aku bisa berangkat sendiri, toh banyak taksi online juga kalau dia nggak ngijinin aku naik ojek. “Mumpung Sabtu, Mas. Besok biar seharian di rumah." “Ya sudah. Tunggu sebentar. Aku siap-siap.” Mas Bayu yang masih berdiri di ruang tamu, bergegas ke kamar. Dia masih memakai baju sholat karena baru pulang dari masjid.“Ngga papa, Mas. Aku bisa sendiri,” sahutku. Nggak enak rasanya selalu tergantung padanya. Mungkin, dia pun juga perlu istirahat. Apalagi kami habis pergi kondangan. Aku tah
Aku berusaha mengendalikan emosi, agar tidak tersulut oleh amarah. Meski dalam hati, aku geram bukan main dengan kata-kata Sinta. Meski sudah tidak terpilih, kenapa dia masih saja berusaha menyakiti hatiku? Atau, sebuah kepuasan jika kami sama-sama terluka?Namun, seketika aku tersadar. Aku harus bersikap elegan. Aku hanya mengalah untuk menang, bukan sebaliknya. Lagi pula, Sinta masih sakit. Kalau pun aku memaki dia, tentu saja akan terlihat sebagai pecundang. Tidak! Itu tidak boleh terjadi sampai kapan pun. Dari kejauhan, tampakMas Bayu sudah membawa dua piring dan berjalan ke arahku. Namun, langkahnya terhenti karena kursi roda yang membawa Sinta berhenti tepat di depannya. Dari posisiku, jelas terlihat, Mas Bayu membungkukkan badannya, mendekatkan kepalanya pada Sinta yang duduk di kursi roda. Mas Bayu seperti sedang mendengarkan ucapan wanita itu dengan seksama, lalu ia balik meresponnya dengan wajah yang berseri-seri. Dadaku terasa diremas-remas menyaksikannya. Sesekali aku m
Seperti biasa, Mas Bayu menjemputku. Dalam perjalanan pulang, dia masih diam, tak mengatakan sepatah kata pun. Nanti saja kalau sudah dekat toko buku, aku akan mengutarakan niatku untuk mampir membeli bungkus kado, batinku. Mendadak, Mas Bayu meminggirkan motornya di sebuah butik. Ha? Butik? Gumanku. Aku mengeja namanya. Salah satu butik ternama di area kami.“Ayo masuk,” ajaknya biasa saja. Seperti dia tak sedang marah padaku. Begitu cepatnya dia berubah. Apakah semua lelaki seperti ini? Atau, dia hanya pandai menyembunyikan perasaannya saja? Karena sekarang kami berada di tempat umum, jadi, dia tak mau menunjukkan kalau sedang marah.“Mbak, mau nyari baju yang sarimbit buat kami berdua. Kasih tahu pilihan yang tersedia ya,” ujar Mas Bayu saat pelayan butik itu membukakan pintu untuk kami. Mataku membulat tak percaya. Aku menoleh ke samping untuk memastikan pendengaranku. Mas Bayu berdiri di sebelahku. Wajahnya yang masih lurus menatap ke depan, meski tangannya menggandeng tangan
Sejak kejadian itu, Mas Bayu mendiamkanku. Dia tetap menjemput dan mengantarkanku, tapi tak semanis kemarin. “Mas, aku minta maaf.” Berkali aku meminta maaf padanya, agar dia mau berbicara padaku. Aku tahu aku salah, meski tak sepenuhnya aku bersalah. Aku hanya makan berdua dengan Kak Hasan. Itupun karena tak sengaja bertemu. Bukan karena aku janjian. Kesalahanku memang Mas Bayu datang pada saat yang tidak tepat. Dia melihatku berpisah dengan Kak Hasan di ujung gang. Bahkan, saat kami saling melambaikan tangan, seolah kami sudah terbiasa bertemu. Padahal sungguh, itu baru pertama kalinya.Dan kala Mas Bayu menanyaiku apakah aku makan siang bersama Kak Hasan, tentu saja aku menjawab iya, karena itu kenyataannya. Sayangnya, dia tak mau mendengarkan dan tak mau tahu alasanku sedikit pun. Mungkin hatinya sedang marah. Mungkin sama denganku kala itu. Saat hati terbakar cemburu, kadang, kebenaran sekali pun, enggan untuk menerimanya. Haruskah aku menunggu sang waktu untuk menjawabnya?