Hari Minggu pagi, sehabis Salat Subuh, aku langsung beranjak. Tak seperti biasanya yang bermalas-malasan. Setelah membereskan tempat tidur dan semua isi rumah, aku berencana hendak memasak nasi goreng.
Semua bumbu dan bahan sudah kupersiapkan. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 06.00 pagi. Namun, sejak Subuh, Mas Bayu belum pulang dari masjid. Kemanakah dia?Hatiku mendadak gelisah. Pikiranku kembali mengembara kemana-mana. Mataku melirik rak yang ada di ruang depan, tempat dia biasa meletakkan ponsel.Tidak ada.Sejak kapan dia ke Masjid membawa ponsel? Seingatku, biasanya dia tidak pernah membawa benda pipih itu. Kemana dia perginya? Apakah menemui Sinta? Pikiranku berkecamuk. Hatiku menjadi tidak tenang. Nafas kuhela berkali-kali agar sesak di dada menjadi berkurang.Aku yang tadi sudah bersemangat untuk membuat sarapan, mendadak seleraku sudah hilang. Setega itukah kamu, Mas?Aku mencoba menguatkan hati. Namun, entah mengapa justru genangan di mata semakin membuat pandanganku kabur. Teringat Sinta, teringat Mas Bayu. Kenapa hatiku menjadi sesakit ini? Salahkah aku menikah dengan Mas Bayu? Bukankah kita juga tak dapat menentukan takdir kita?Dengan hati yang tak menentu, aku memilih bangkit dari duduk dan menuju kamar mandi. Rendaman cucian di ember yang biasa dicuci oleh Mas Bayu dapat kujadikan pelampiasan. Kutumpahkan kekesalan ini sambil menyikat baju-baju itu. Sesekali aku tergugu, namun suaranya tersamarkan oleh gemericik air kran. Mata ini juga tak dapat menahan genangan yang sedari tadi ingin tumpah, hingga akhirnya terdengar sapaan dari luar.“Assalamualaikum.”Aku tak berkeinginan untuk menjawabnya. Hatiku sudah kembali mengeras. Tangis yang semula kutahan, kini sudah pecah. Entah berapa kali aku mengusap air mata dengan lengan bajuku.“Dik Anita, kenapa?” Suara Mas Bayu terdengar sangat dekat.Pria itu berdiri di depan pintu kamar mandi yang sengaja aku buka saat aku mencuci. Dari suaranya, sepertinya dia membawa membawa sesuatu di kantong kresek.Namun, aku enggan untuk menoleh, meski kutahu sikap ini tak benar. Harusnya aku menyambutnya dengan suka cita. Tapi, sakit hatiku mengurungkan semuanya.“Cuci tanganmu dulu, Dik. Ayo kita sarapan dulu,” ajak Mas Bayu dengan intonasi suara biasa saja, seolah tak terjadi apapun.Apakah memang ia tidak peka? Melihatku seberantakan ini, sama sekali tak mengusiknya? Tak mau sedikitpun membujukku? Hanya sekali saja menanyakan aku kenapa?Dengan menahan kesal, aku menggeleng. Pikiranku masih dipenuhi tanda tanya besar. Kenapa sesiang ini dia baru sampai rumah. Tak menganggapkah aku yang sedari tadi menunggunya di rumah? Kemana saja ia pergi?Dan kini, ia pulang membawa bungkusan makanan? Kenapa dia tidak mengajakku jika ingin pergi ke suatu tempat? Dengan siapa dia pergi? Apakah dengan 'dia' lagi.“Ayo, Dik. Nanti keburu dingin, nggak enak. Mas beli nasi uduk,” ujarnya lugas. Justru lebih mementingkan sarapan yang dibelinya dibanding perasaanku.Hatiku perih. Bahkan, saat aku mau menyiapkan sarapan, kenapa dia malah membeli sarapan. Kenapa dia tidak mengatakan padaku dulu kalau hendak membeli sarapan diluar?Aku terpaksa menghentikan aktifitas mencuci, karena dua kali dia memanggil. Hanya aku tak ingin menjadi istri yang pembangkang. Meski dalam hati kecil, aku menginginkan dia membujuk dan merayuku, tapi rasanya mustahil. Baru beberapa hari saja, aku sudah bisa tahu kalau Mas Bayu bukan tipe seperti itu.Aku hanya terpekur saat melihat dia sibuk menyiapkan sarapan kami, mengambil piring dan sendok, lalu meletakkan makanan di ruang depan kontrakan kami.“Ayo bangun, nanti biar Mas saja yang nyuci.” Mas Bayu mendekat, lalu membimbingku bangun dari posisi dudukku di kursi kecil di kamar mandi.“Kamu nggak perlu nyuci. Biar Mas aja yang mengerjakan,” katanya lagi sambil memapahku ke ruang depan. Air mata ini masih mengambang. Sesekali aku menyekanya dengan lengan baju. Kata-katanya selalu lembut dan perhatian. Namun, sikapnya justru menyakitkan.“Ayo kita makan dulu,” ujarnya setelah kita duduk berhadapan di atas karpet di ruang depan. Sikapnya sama sekali tak menunjukkan kalau dia melihatku sedang bersedih. Benar-benar tak peka, ataukah dia sudah mulai terbiasa. Atau dia mulai jengah dengan tingkahku yang sedikit-sedikit menangis?“Sudah, ayo, jangan menangis lagi.” Mas Bayu mengangsurkan nasi uduk dan ayam goreng dalam bungkusan kertas nasi yang terbuka, dengan beralaskan piring, lengkap dengan sendok.Aku juga tak ingin menangis, Mas! Teriakku dalam hati. Tapi, kamu yang selalu membuatku menangis. Batinku.Bahkan, dia tidak berkata apa-apa. Tidak menjelaskan kemana saja dia pergi sepagi ini hingga pulang membawa nasi uduk.“Ayo dimakan, nanti kamu sakit kalau nggak makan.” Suara Mas Bayu terdengar lagi. Mungkin dia sedang melihatku yang hanya mengaduk-aduk makanan tanpa menyuapnya ke mulut.Jujur saja, aku sudah kehilangan nafsu makan. Aku ingin tahu dia kemana. Tapi, lidahku sudah kelu untuk menanyakannya.Namun begitu, dalam hati aku sebenarnya merasa lega karena dia tidak mengajakku. Akupun takut bertemu dengan perempuan itu lagi jika aku ikut keluar. Ah biarlah, apa maumu, Mas. Terserah kamu!Mataku mencuri pandang ke arah Mas Bayu sudah menghabiskan suapan terakhirnya. Aku tergagap saat dia mengggeser duduknya ke sebelahku.“Sini. Mas suapin.” Mas Bayu mengambil piring dan sendok dari tanganku.Aku memberanikan diri menatap wajahnya lekat. Wajah tampan yang dulu dan kini masih aku kagumi ini jelas terlihat sedang berusaha menghindar dari tatapanku. Tak sadar airmata ini kembali meleleh lagi.Ya Alloh, kenapa ini? Kenapa pernikahanku penuh tangisan? Apa yang salah padaku? Salahkah aku jika mencintainya terlalu dini? Salahkah aku yang sejak dahulu menyimpan perasaan padanya?Salahkah aku yang selalu meminta kepadaMu untuk mendekatkan dia sebagai jodohku. Apakah aku lancang, ya Alloh. Sok tahu tentang jodohku, dan mendikteMu. Mungkinkah ini teguran dariMu?Berulang aku bertanya dalam hati. Apa yang salah denganku?“Ayo, buka mulut.” Mas Bayu menginstruksi dengan lembut. Bahkan, mulutnya ikut membuka, persis seperti sedang menyuapi anak kecil.Aku tak mengerti dengan sikapnya. Kadang dia terlihat tak peka dan tak berperasaan. Namun tak jarang sangat perhatian seperti ini. Lihatlah, dia memperlakukanku seperti orang sakit yang di ujung kematian, yang jika tidak makan akan mati.Dia terus membujukku. Padahal, air mataku sedang terurai. Bagaimana mulutku bisa mengunyah makanan?Mas Bayu meletakkan kembali piring itu di atas karpet tempat kami duduk. Lalu ia menghela nafas. Aku tahu dia kesal. Kesal karena aku tidak mau makan. Tapi, aku bisa apa? Hati ini terlalu sakit, Mas!Mas Bayu menarik nafas, lalu bangkit ke belakang, entah apa yang hendak dilakukan di sana. Tak lama, dia berujar, “Oh, kamu mau makan nasi goreng ya?” Sepertinya dia melihat bahan-bahan dan bumbu di dapur yang sudah siap dimasak.“Ayo, Mas bantu memasaknya,” ajaknya sambil membimbingku agar aku bangkit. Wajahnya masih sama, tidak marah. Bahkan mencoba untuk tersenyum manis padaku.Sebenarnya moodku sudah benar-benar buruk. Tapi, aku nggak mau membuat Mas Bayu kesal sebagaimana perasaanku padanya. Bagaimanapun dia sekarang adalah imamku.“Sini aku saja. Kamu tinggal bilang saja mana yang harus dikerjain,” katanya sambil menyalakan kompor.“Maaf ya, Dik. Aku nggak tahu kalau kamu mau masak nasi goreng. Tadi, aku pikir kamu akan kelaparan. Jadi, aku sekalian beli nasi uduk,” ucapnya lagi seraya menuangkan minyak dari botol di atas penggorengan.Ah aku ngga peduli alasanmu, Mas! aku menggumam dalam hati.“Ini dulu,” ujarku sambil mengangsurkan copper yang berisi bumbu nasi goreng, saat melihat minyak mulai panas.Mas Bayu mengangguk. Lalu ia menuangkan bumbu itu ke dalam wajan menggunakan sodet, dan menggongsengnya layaknya chef profesional.Aroma bumbu nasi goreng menguar dari kontrakan kami.Aku membantunya menuang bahan-bahan nasi goreng, sedang dia tetap mengaduk-aduknya. Tak lama, nasi goreng buatan kami sudah matang.“Wah, aku harus sarapan kedua, nih. Pasti nasi goreng buatan kita rasanya lezaaat,” kata Mas Bayu sambil menuangkan nasi goreng itu ke dua buah piring yang sudah aku siapkan.“Masakan yang dimasak dengan cinta akan selalu lezaaat,” katanya sembari membawa dua piring nasi goreng ke ruang depan.Satu piring diletakkan di depanku, dan satu lagi di depannya. Ia mulai menyendokkan nasi goreng ke mulutnya.Aku menatap Mas Bayu yang asyik menikmati sarapan keduanya. Ia makan dengan lahap. Entah dengan perasaan apa. Hatiku masih berubah-ubah. Seperti hatinya yang berubah-ubah.Sejak aku sering berpapasan dengan Sinta di sekitar kontrakan kami, aku benar-benar malas kalau Mas Bayu mengajak keluar rumah. Aku trauma. Tepatnya paranoid.Malam itu, menjelang tidur, aku mengambil buah mentimun di kulkas dan mengirisnya tipis. Aku ingin mengompres mataku, agar keesokan paginya mata ini tidak terlihat terlalu bengkak. Lagipula, rasanya pedih karena terlalu banyak menangis. Dengan dikompres, aku berharap akan memberikan efek dingin dan sejuk.Segera kubaringkan tubuhku di kasur, kemudian meletakkan irisan mentimun itu di atas kelopak mata yang sudah terpejam. Benar saja. Efek dinginnya tak hanya enak di mata, namun juga sedikit menenangkan hatiku yang galau. Harusnya pengantin baru sepertiku hidup diliputi kebahagiaan, namun justru sebaliknya. Aku tak tahu bagaimana perasaan Mas Bayu. Mungkin juga dia lebih terluka dari aku karena pernikahannya dengan Sinta yang kandas. Dengan mata terpejam, aku mencoba menghapus bayang-bayang kelam yang selama ini menyiksa. Saya
Dahiku mengernyit bersamaan dengan mata yang menyipit. Mulut ini berusaha mengeja kata demi kata yang tertera di sepucuk surat itu. Tagihan tunggakan cicilan rumah? itu yang tertulis di sana. Apa ini maksudnya?Slip tagihan aku baca berulang kali, memastikan aku tidak salah lihat.Dadaku bergemuruh. Ada rasa yang membuatku seolah terhisap ke dasar bumi. Rahasia apa lagi yang disembunyikan Mas Bayu. Aku sampai mengucek mata untuk meyakinkan kembali apa yang terbaca.Nama Mas Bayu terpampang jelas di slip tunggakan cicilan rumah. Ada tipe rumah, ada alamat dan ada nama pengembang perumahan tertera di surat itu.Mendadak wajahku terasa pias. Sesak rongga di dadaku seolah ada puluhan ton batu menindih di sana. Tiba-tiba, sebuah tangan lembut meraih surat yang aku pegang. Entah kapan Mas Bayu sudah ada di depanku. “Dik, duduk sini. Mari, Mas jelaskan.” Pria itu berkata dengan lembut sembari meraih tanganku. Dia membimbingku untuk duduk di sebelahnya. Aku sedikit memiringkan badan, beru
Aku duduk menyendiri sambil termenung di teras cottage tempat kami menginap. Mas Bayu mengajakku ikut family gathering dari kantornya di kawasan Puncak. Sebelumnya, Mas Bayu sudah mewanti-wanti, kalau Sinta juga akan datang ke acara itu. Dia bahkan memberiku pilihan. Jika aku tidak sanggup, aku boleh di rumah saja. Tapi, aku memilih untuk ikut. Aku bukanlah orang yang kalah. Aku juga ingin mengenal dan tahu teman-teman Mas Bayu lainnya. “Nggak gabung, Dik?” Mbak Dania menyapa seraya mendekat. Sejak semalam sebenarnya aku sudah bertemu dengan Mbak Dania. Tapi, tidak sempat ngobrol. Hanya berbasa-basi saja karena aku ingin segera istirahat. Perjalanan ke Puncak yang macet membuat tubuhku terasa lelah. Pagi ini acara perlombaan antar keluarga. Karena Mas Bayu panitia, aku memilih duduk saja dan mengamati dari teras ini. Aku belum akrab dengan yang lain. Lagi pula, teman Mas Bayu banyak yang sudah berkeluarga dan sibuk dengan anggota keluarga mereka. “Kamu sudah tahu mana yang naman
“Ma, Mama nggak usah datang ke sini. Biar kami saja yang pulang.”Sekilas Aku mendengar Mas Bayu sedang menerima telpon dari ibunya saat aku hendak menyiapkan masakan di dapur mungil kami. Aku paham, sebenarnya Mas Bayu malu pada orangtuanya karena tinggal di rumah kontrakan ini. Apalagi di depan ibunya yang dulu menjodohkan Mas Bayu denganku. Bagaimanapun, hidup seorang karyawan swasta di perusahaan yang sudah mapan, tak mungkin tinggal di rumah petak seperti ini. Terlebih, tetangga sekitar kontrakan, umumnya hanya seorang tenaga harian. Sedangkan Mas Bayu dan aku adalah karyawan tetap. “Mas, apa kita mau pindah kontrakan saja?” tawarku usai Mas Bayu menutup sambungan teleponnya.Aku sengaja mendekat padanya. Rasanya ini saat yang tepat untuk mengusulkan pindah dari tempat ini. Aku sudah muak dengan daerah ini. Aku ingin membuka lembaran baru. Di mana tak ada lagi bayang-bayang Sinta dalam hidupku dan hidup Mas Bayu. Minimal, di luar jam kerja Mas Bayu, jika memang terpaksa dia te
“Mas?” panggilku. “Mas?” Aku mengulangi panggilan.Tapi tak ada jawaban.Pelan-pelan aku beranjak dari tempat tidur. Kupindai seluruh ruangan.Kosong! Kemana Mas Bayu? Perutku meraung-raung, memanggil untuk diisi. Aku ingin makan sesuatu, namun tak ada cemilan di rumah. Salahku juga, sebagai istri harusnya akulah yang memikirkan tentang cemilan. Bukan bermanja seperti ini. Aku meraih ponsel yang tergeletak di atas locker plastik di samping tempat tidur. Segera aku memencet nomor Mas Bayu yang tertera di kontak panggilan.“Ya, sayang?” Terdengar jawaban dari seberang. Ah hati rasanya hendak terbang ke langit ke tujuh mendengar kata-kata 'sayang' dari Mas Bayu. “Kamu sudah bangun?” tanyanya lembut. Pertanyaan itu diulangi karena aku masih terdiam. Aku terpesona dengan jawabannya. Aku seperti jatuh cinta lagi.Dulu, aku hanya tahu keromantisan seorang lelaki hanya di film-film saja. Atau di novel-novel. Tapi kini, itu nyata. “Mas, aku lapar,” rajukku manja. “Ayam sama oseng kangku
Hari ini, usai jam kantor, aku dan Mas Bayu sudah janjian akan melihat kontrakan baru kami. Kontrakan yang mestinya lebih layak bagi kami untuk menerima tamu menginap, dibanding rumah petakan yang kami kontrak sekarang yang hanya cukup untuk kami berdua. Tiba-tiba aku teringat harus mengecek sesuatu. Ya, aku harus memastikan bahwa daerah yang kami kontrak tidak berada di sekitar Sinta. Tapi, dari mana aku bisa tahu alamat Sinta? Demi menuruti rasa penasaran, aku membuka akun sosial media warna biru. Siapa tahu ada titik terang di sana. Pertama, aku mencari akun milik Mas Bayu. Baru aku menyadari sejak aku menikah, aku sudah tidak lagi membuka akun sosial media itu. Dulu, aku rajin mengacak-acak akun Mas Bayu saat aku masih naksir dia. Bahkan dulu aku juga sudah tahu kalau dia sudah memiliki kekasih. Tapi, waktu itu aku terlalu yakin aku bisa mengambil hati Mas Bayu. Aku berinisiatif membuka akun sosmed milik Sinta yang beberapa kali menandai gambarnya dengan Mas Bayu. Ah say
“Aku sepertinya nggak cocok, Mas,” jawabku pelan. Aku berlalu keluar dari rumah itu, meninggalkan keduanya. Mas Bayu pasti kikuk dengan sikapku. Tapi, aku mencoba untuk tidak peduli. Aku tidak mau mengorbankan perasaanku demi orang lain. Toh, belum tentu orang lain mengorbankan perasaannya demi aku. Aku menunggu di luar pagar. Dari posisiku, aku melihat Sinta mengunci pintu rumah itu sambil berbincang dengan Mas Bayu. Sikapnya memang biasa saja. Tapi, aku tak tahu dengan hatinya. Apakah dia masih menyimpan rasa dengan Mas Bayu, atau tidak. Aku sungguh kecewa dengan Mas Bayu. Bagaimana aku bisa mempertahankan cintaku jika bayang-bayang Sinta masih ada. Bagaimana aku bisa tinggal di rumah ini jika rumah ini berdekatan dengan rumah Sinta. Tak bisakah Mas Bayu sedikit memahaminya? Bagaimana perasaanku, bagaimana pandangan teman-temannya terhadapku nanti? Apakah aku hanyalah seorang pelariannya? Sinta meninggalkan kami dengan mobilnya. Mas Bayu menatapnya sampai bayangan mobil it
Sore itu, sepulang dari kerja, tiba-tiba motor Mas Bayu berbelok ke sebuah apotik. “Mau ngapain, Mas?” Aku bertanya saat aku terpaksa harus turun. Dia tidak bilang apa-apa sebelumnya. Apa dia sakit ingin membeli obat-obatan? Mas Bayu memarkir motornya di pelataran apotik itu. Dia tidak menjawab pertanyaanku. Lelaki itu hanya menggandeng tanganku untuk diajaknya masuk ke apotik itu yang lokasinya tak jauh dari tempat tinggal kami ini. Mas Bayu langsung menuju etalase yang dibelakangnya duduk seorang petugas apotik. “Mbak, ada test pack?” tanyanya. Aku mengerutkan kening, seraya melirik sekilas padanya. Testpack? buat apa Mas Bayu membelinya? Bahkan, Mas Bayu menyebutkan namanya tanpa rasa sungkan. Aku menatap tajam ke Mas Bayu minta penjelasan. Tapi, dia tak menyahut, bahkan hanya tersenyum tipis seraya tetap menatap pada petugas yang langsung bergegas mengambil sesuatu dari rak kaca yang berada tepat berada di belakangnya. Dengan cekatan petugas itu kembali mendekat dan men
EPILOG “Dedek udah tidur, Bun?” tanya Mas Bayu saat aku keluar kamar. Dia baru pulang dari masjid. Kami masih mengontrak di kontrakan yang lama. Kata Mas Bayu, uangnya ditabung saja agar dapat membeli rumah cash. Dia sudah trauma mencicil rumah, ternyata kalau belum lunas, menjual kembalinya sulit sewaktu-waktu kita butuh uang. Mas Bayu juga jadi dipromosikan jabatannya. Aku mengalah meskipun dia bilang kalau aku menghendaki, dia bisa saja mengajukan pengunduran diri dari kantor itu. Tapi aku tak mau menjadi orang yang kalah. Sinta sudah tidak bekerja lagi di tempat itu. Tak pernah kusangka, justru dia yang mengundurkan diri. Sejak sakit, performanya menurun. Sebenarnya aku juga kasihan. Aku tahu, banyak yang masih menyalahkanku. Aku dianggap sebagai biang sakitnya Sinta, hingga kondisinya saat ini. Meski aku tak pernah merasa berkontribusi. “Berhentilah memikirkan pikiran orang lain, Dik. Selamanya kita tak bisa mengendalikan mereka.” Nasehat Mas Bayu setiap aku kembali lemah,
Acara tasyakuran pun tiba. Meski rencananya hanya sederhana, namun ternyata banyak juga yang kami undang. Bahkan, kami sampai menyewa tenda, antisipasi kalau carport penuh. Aku mengundang beberapa teman kantor yang cukup akrab denganku. Meski aku tidak pernah curhat ke mereka tentang masalahku dengan Mas Bayu, paling tidak, aku pun merasa tenang karena tamu tak hanya didominasi oleh rekan kerja dan teman-teman Mas Bayu saja. Tak lupa kami juga mengundang tetangga sekitar dan jamaah masjid yang sudah akrab dengan Mas Bayu. Kami sengaja mengundang dari jam sepuluh pagi. Rencana pagi diisi dengan siraman rohani oleh salah satu ustadz yang dikenal Mas Bayu. Setelah itu, baru ditutup dengan doa bersama dan ramah tamah. Sedari pagi, Mama sudah repot mengurus segala sesuatunya. Dari catering hingga ruangan. Mama mendesain bagaimana caranya agar semua tamu dapat duduk dengan nyaman selama berlangsung acara. Orang tuaku tak dapat hadir. Kehadirannya sudah diwakilkan dengan mama mertua
Pak Arman dan Bu Arman sudah pulang. Aku dan Mas Bayu membereskan semuanya. Lelaki itu lalu berinisiatif mencuci semua bekas makanan yang tadi telah kita gunakan. Sementara dia menyuruhku istirahat saja. “Kamu pasti lelah. Duduk saja di situ. Aku yang bereskan semuanya,” ucapnya. Kuakui, Mas Bayu memang sangat baik. Jadi, buat apa aku menyimpan segala kecewaku. Bukankah seharusnya aku bersyukur mendapatkannya.Perkara Sinta, harusnya tak lagi kupikirkan. Dia hanyalah duri dalam pernikahan kami. Bukan aku yang menjadi duri di hubungan mereka. Karena hubungan mereka adalah hubungan semu. Sementara hubunganku dengan Mas Bayu terikat norma agama. Ibadah yang menjadi landasannya.“Ngga usah dipikir, Dik kata-kata Pak Arman tadi,” ujar Mas Bayu sambil mengusap lenganku kala dia usai merapikan semua perabot. Aku menoleh ke arahnya. Bagaimana bisa aku tak memikirkannya, sementara mereka, seolah sangat serius mengatakannya padaku.“Gimana kalau kita bikin tasyakuran saja. Sebentar lagi kan
“Bagaimana kalau besok Pak Arman dan Ibu kita undang makan bakso di rumah?” Tiba-tiba Mas Bayu memberi usul. Rupanya dia ingat kalau aku siang tadi juga belanja bahan bakso.Aku pun langsung menghiyakan. Pak Arman dan Bu Arman saling berpandangan, lalu mereka tersenyum. “Jangan merepotkan,” sahut Pak Arman. “Nggak repot, Pak. Kebetulan, Dik Anita ini senang masak, Pak. Iya kan, Dik?” ujarnya seraya menatapku disertai senyuman hangatnya. Hatiku menghangat. Dipromosikan seperti ini, aku merasa dihargai dan dianggap oleh Mas Bayu.“Iya Pak, Bu. Sekalian icip-icip bakso, kita bisa ngobrol.” Aku menyahut.Sepanjang jalan, aku tak lagi memikirkan bakso yang besok harus dimasak. Tapi, aku justru memikirkan obrolan apa yang sesuai saat bersama dengan Bu Arman nanti. Aku tak ingin melukai hatinya. Namun aku pun tetap ingin menunjukkan perhatianku padanya. ***“Bener tadi kamu nggak papa?” tanya Mas Bayu saat kami sudah bersiap-siap hendak tidur. “Aku tadi sedih banget, Mas, mendengar cer
Mas Bayu memarkir sepeda motornya di sebuah rumah minimalis tak jauh dari kontrakan kami. Pantas saja kalau kami tadi bertemu di supermarket. Ternyata rumah teman kantor Mas Bayu ini cukup dekat. Bisa jadi, sebelumnya aku pernah bertemu dengan beliau entah di mana. Tapi, karena aku tak mengenal beliau, kami tak pernah bertegur sapa. “Ayo, Dik,” ucap Mas Bayu seraya menggandeng tanganku, mendekat ke pintu pagar itu. Tampak cahaya lampu terang berpendar menyinari teras rumah itu. Sementara, di dalam rumah, ruang tamu terlihat gelap. Setelah sekali memencet bel, tak lama lampu ruang tamu menyala. “Lho, Dik Bayu.” Seorang lelaki menyembulkan kepalanya dari balik pintu. Lalu si empunya rumah membuka pintu itu lebar-lebar tatkala menyadari Mas Bayu yang datang. “Ayu masuk-masuk. Tadi, istri cerita kalau ketemu Mas Bayu di supermarket ya. Kebetulan saat belanja tadi, saya hanya nunggu di parkiran, karena istri ceritanya cuma mau beli buah aja,” jelasnya seraya mempersilahkan kami duduk
“Mau kemana, Dik?” tanya Mas Bayu saat mendapatiku sudah rapi dengan pakaian hendak pergi. Padahal kami baru saja pulang kondangan. “Pengen belanja, Mas. Bahan makanan di kulkas sudah habis.” Aku beralasan. Meski sebenarnya stok masih cukup untuk seminggu. Hanya saja, kalau untuk membuat siomay atau bakso sebagai pembanding makanan di pesta tadi, aku perlu belanja daging giling dan ikan tenggiri.“Ngga capek?” tanyanya. Aku tahu, sebenarnya dia yang capek. Padahal aku juga nggak minta dia mengantar. Aku bisa berangkat sendiri, toh banyak taksi online juga kalau dia nggak ngijinin aku naik ojek. “Mumpung Sabtu, Mas. Besok biar seharian di rumah." “Ya sudah. Tunggu sebentar. Aku siap-siap.” Mas Bayu yang masih berdiri di ruang tamu, bergegas ke kamar. Dia masih memakai baju sholat karena baru pulang dari masjid.“Ngga papa, Mas. Aku bisa sendiri,” sahutku. Nggak enak rasanya selalu tergantung padanya. Mungkin, dia pun juga perlu istirahat. Apalagi kami habis pergi kondangan. Aku tah
Aku berusaha mengendalikan emosi, agar tidak tersulut oleh amarah. Meski dalam hati, aku geram bukan main dengan kata-kata Sinta. Meski sudah tidak terpilih, kenapa dia masih saja berusaha menyakiti hatiku? Atau, sebuah kepuasan jika kami sama-sama terluka?Namun, seketika aku tersadar. Aku harus bersikap elegan. Aku hanya mengalah untuk menang, bukan sebaliknya. Lagi pula, Sinta masih sakit. Kalau pun aku memaki dia, tentu saja akan terlihat sebagai pecundang. Tidak! Itu tidak boleh terjadi sampai kapan pun. Dari kejauhan, tampakMas Bayu sudah membawa dua piring dan berjalan ke arahku. Namun, langkahnya terhenti karena kursi roda yang membawa Sinta berhenti tepat di depannya. Dari posisiku, jelas terlihat, Mas Bayu membungkukkan badannya, mendekatkan kepalanya pada Sinta yang duduk di kursi roda. Mas Bayu seperti sedang mendengarkan ucapan wanita itu dengan seksama, lalu ia balik meresponnya dengan wajah yang berseri-seri. Dadaku terasa diremas-remas menyaksikannya. Sesekali aku m
Seperti biasa, Mas Bayu menjemputku. Dalam perjalanan pulang, dia masih diam, tak mengatakan sepatah kata pun. Nanti saja kalau sudah dekat toko buku, aku akan mengutarakan niatku untuk mampir membeli bungkus kado, batinku. Mendadak, Mas Bayu meminggirkan motornya di sebuah butik. Ha? Butik? Gumanku. Aku mengeja namanya. Salah satu butik ternama di area kami.“Ayo masuk,” ajaknya biasa saja. Seperti dia tak sedang marah padaku. Begitu cepatnya dia berubah. Apakah semua lelaki seperti ini? Atau, dia hanya pandai menyembunyikan perasaannya saja? Karena sekarang kami berada di tempat umum, jadi, dia tak mau menunjukkan kalau sedang marah.“Mbak, mau nyari baju yang sarimbit buat kami berdua. Kasih tahu pilihan yang tersedia ya,” ujar Mas Bayu saat pelayan butik itu membukakan pintu untuk kami. Mataku membulat tak percaya. Aku menoleh ke samping untuk memastikan pendengaranku. Mas Bayu berdiri di sebelahku. Wajahnya yang masih lurus menatap ke depan, meski tangannya menggandeng tangan
Sejak kejadian itu, Mas Bayu mendiamkanku. Dia tetap menjemput dan mengantarkanku, tapi tak semanis kemarin. “Mas, aku minta maaf.” Berkali aku meminta maaf padanya, agar dia mau berbicara padaku. Aku tahu aku salah, meski tak sepenuhnya aku bersalah. Aku hanya makan berdua dengan Kak Hasan. Itupun karena tak sengaja bertemu. Bukan karena aku janjian. Kesalahanku memang Mas Bayu datang pada saat yang tidak tepat. Dia melihatku berpisah dengan Kak Hasan di ujung gang. Bahkan, saat kami saling melambaikan tangan, seolah kami sudah terbiasa bertemu. Padahal sungguh, itu baru pertama kalinya.Dan kala Mas Bayu menanyaiku apakah aku makan siang bersama Kak Hasan, tentu saja aku menjawab iya, karena itu kenyataannya. Sayangnya, dia tak mau mendengarkan dan tak mau tahu alasanku sedikit pun. Mungkin hatinya sedang marah. Mungkin sama denganku kala itu. Saat hati terbakar cemburu, kadang, kebenaran sekali pun, enggan untuk menerimanya. Haruskah aku menunggu sang waktu untuk menjawabnya?