Sore harinya. Menjelang berbuka puasa, semua karyawan sudah berkumpul di aula lantai tiga kantor Lovamedia.Aku sedang duduk berbincang-bincang dengan Kasih, sedikit bercerita soal pekerjaan baru kami."Cin, enak banget seharian di ruangan direktur, terus sekarang kamu duduk-duduk aja, gitu? Cepet bantuin hidang makanan." Dewi kembali memberi titah.Aku berdiri dan ikut menghidangkan makanan. Kasih juga membantu. Petinggi perusahaan sudah sedia duduk lesehan di tempat mereka masing-masing. Acara segera dimulai."Ini antar ke pak direktur, ya! Cepet, udah mau maghrib," titah Dewi."Siap!" Kuraih nampan berisi kue dan minuman dan kubawa menuju Mas Rama.Namun ketika aku berpapasan dengan Naren yang juga menghidangkan makanan, tiba-tiba kakinya menyenggol kakiku yang melangkah cepat. Kakiku tersandung dan aku terjatuh.Bruk!! Nampan berisi takjil dan es teh terlempar mengenai Mas Rama. "Apa ini?" Mas Rama mengusap wajah. Suasana tegang. Aku masih tertelungkup di lantai.Mas Rama beranja
“Jadi dimana rumah suami kamu?” ucap Mas Bagus di telepon. Ternyata ketika ia bilang mau membuktikan siapa sebenarnya Mas Rama itu serius.“Pura Mayang, Mas.”“Oke, malam ini juga pukul delapan kami ke sana.”“Ya, Mas.”Langit kota Jambi dipenuhi gemintang. Bulan menggantung separuh di ujung ufuk. Hiruk pikuk kendaraan malam masih ramai.Jam setengah delapan malam aku dan Mas Rama pulang dari kantor Lovamedia. Mengingat jam delapan Mas Bagus, Ibu dan Rindu akan berkunjung ke rumah. Kasih yang sekantor denganku juga sudah kuberi tahu. Ia menyetir mobilnya di belakang mobil kami, membuntuti sampai rumah.Jarak dari Lovamedia ke rumah kami di daerah Mayang hanya sepuluh menit perjalanan mobil.“Asslamualaikum, Bun.” Aku mengucap salam pada Bunda yang sedang membaca di teras malam itu, begitu kami sampai rumah.“Wa’alaikumsalam.”“Bun, ini Kasih.” Aku menunjuk dengan tangan terbuka ke arah saudariku.“Saudari kembar kamu itu?” sahut Bunda Syandi.“Iya, Bun.”Kasih lekas menyalami Bunda Sy
“Kemarin bukannya Mas Bagus yang mau ajari saya ilmu bisnis?” tanya Mas Rama setengah menggoda.“Ah, Mas Rama. Jangan gitu. Saya ini masih kecil banget dibandingkan Mas Rama, tolong lah Mas. Ajari saya.” Mas Bagus malah seperti merengek-rengek.“Saya hanya pekerja biasa, Mas Bagus. Sederhana.”“Jangan merendah begitu dong, Mas Rama. Saya tahu omzet-nya Mas itu ratusan milyar per bulan.”“Berlebihan itu.”“Nggak kok. Tolonglah Mas Rama, ajari saya.”Mas Rama hanya tertawa kecil.Percakapan terhenti ketika Ijah Munica dan beberapa ART lain membawakan minuman warna oranye dan beberapa piring kudapan. Lalu Bunda Syandi mempersilakan keluargaku untuk minum, serta mencicipi makanan yang diantar Ijah Munica.Ibu tak kuat minum dan makan. Ia hanya sibuk celingukan.“Saya pribadi mau minta maaf, saya sebagai Ibu kandung nggak bisa jadi Ibu yang baik untuk Cinta. Malah di keluarga ini Cinta diterima dengan baik. Saya minta maaf telah merendahkan Rama juga, sampai kemarin saya juga membuat Cinta
Dennis melaporkan pada Mas Rama bahwa Robert memang telah meloloskan diri dari penjara. Cara yang ia gunakan memang agak kurang masuk akal, tapi buktinya ia kabur. Sementara penampakan soal Brian masih diselidiki. Mei, salah satu rekan Brian pun belum ditemukan.Rendra dan Dennis sibuk mengirimkan orang-orang untuk memata-matai gerak semua orang yang berhubungan dengan mereka. Mas Rama tak tinggal diam. Tentu saja hal pertama yang harus diperiksa adalah dokter yang menyatakan bahwa Brian telah meninggal. “Aku ikut, Mas!” Aku menggamit tangan Mas Rama yang hendak berangkat memeriksa dokumen rumah sakit.“Kamu bilang nggak bisa jauh dariku, ‘kan?” alibiku.Mas Rama mengizinkan. Kami menuju Mayang Medical Center.“Kami minta file tentang sertifikat kematian dan rekam medis pasien bernama Brian Pratama sekitar seminggu lalu,” pinta Mas Rama pada petugas administrasi rumah sakit.“Maaf, Pak. Kami tidak bisa sembarang memberikan data pasien ke orang lain selain keluarganya. Maaf,” jawabny
“Setya?”“Asistenku yang lain. Dennis masih sibuk dengan penyelidikan. Aku nggak mau ganggu dia. Sementara Rendra selain ikut bantu menyelidiki, dia juga sedang belajar untuk menggantikan posisi Rinaldi di Aurora Corporation.”“Baik, Mas.”Mas Rama menelpon seseorang yang mungkin adalah Setya. Ia memerintahkan Setya untuk membongkar makam Brian dan membawa jasadnya ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi. Setya yang sebenarnya juga punya tugas dalam penyelidikan Brian, segera mengerti dan berkata akan segera melaksanakan apa yang diperintah suamiku itu.“Sekarang apa lagi, Mas?”Kami memasuki mobil di parkiran rumah sakit itu. Mas Rama kembali membuka ponselnya, mengirim pesan untuk seseorang.“Melipatgandakan keamanan rumah, Lov. Robert tentu ada dendam padaku. Zapa ingin mengambil alih perusahaan. Lalu kamu kemarin sempat melihat mereka. Artinya kita dan keluarga kita bisa jadi mereka incar. Aku mau menambah jumlah bodyguard di rumah untuk melindungi Bunda. Juga Tara sebaiknya harus
UDARA kota Jambi siang itu sejuk. Gumpalan abu-abu raksasa masih menghalangi sang mentari di panorama langit. Namun tak sampai satu menit kemudian awan kelabu itu berubah gelap. Mendung, awan kumulonimbus mengambil alih. Petir menggelegar sesekali. Kilat bersambaran di ufuk barat.Rendra mengingatkan untuk sangat berhati-hati karena Robert membawa pasukan bergerak mencariku. Karena itulah Mas Rama langsung mengajakku pulang. Namun belum sempat kami melangkah, rombongan lelaki dengan kayu dan tongkat di tangan mereka mengepung di tiap ujung jembatan membuat kami terdesak.“Mas, aku takut.” Aku memegang lengan Mas Rama melihat rombongan lelaki itu.“Tenang, Lov. Aku juga takut. Jadi kamu nggak takut sendirian.”“Mas, bukan saatnya bercanda!”“Baca doa yang biasanya, Lov.”“Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihii syaiun fil ardhi walaa fis samaa’ wahuwas sami’un aliim. La haula walaa quwwata illa billah,” lirihku berdoa pada Yang Maha Kuasa, “tolong selamatkan kami ya Rabb. Berikan kea
Ternyata memang benar. Ini adalah ancaman Zapa pada waktu itu. Memang ternyata selama ini dialah dalang semua ketidak-beresan dari perusahaan Rama Corporation.“Apa tawaran kalian kalau aku bisa menjamin kami tutup mulut?”Wajah ketua preman berubah heran, mengernyit.“Siap-siap untuk lompat, Lov. Dari Bahasa tubuhnya yang kubaca, orang ini tipe yang sangat kuat pada pendiriannya. Mereka tidak akan mudah kupengaruhi,” bisik Mas Rama padaku.Aku mengangguk dan menelan ludah. Degup jantung entah sudah berapa kali per menit. Barangkali sudah 170 dimana normalnya dibawah 100. Langit meneteskan air matanya perlahan. Hujan rintik. Angin semakin kencang. Permukaan sungai Batanghari berombak.“Kami hanya butuh melaksanakan tugas, Rama. Jadi, bersiaplah.”“Tunggu, aku mau memberikan kalian penawaran.” Mas Rama memperbaiki posisi kacamatanya.“Penawaran?”“Ya. Apa kalian mau dengar?”“Cih!”“Aku akan memberikan bayaran kalian tiga kali lipat daripada berapapun bayaran kalian sekarang. Kalian ha
Sekian tahun lalu."Buka jilbabnya, buka jilbabnya!" teriak sekelompok lelaki mengelilingi seorang wanita remaja. Barangkali umurnya masih tiga belas tahun. Salah satu lelaki remaja itu menarik jilbab sang gadis hingga tersentak kepalanya. Terbuka lah hijab itu dan terurai lah rambut lurus sepunggung itu. Gadis itu berlari meraih jilbab yang berada pada lelaki yang menariknya. Lalu lelaki itu melempar ke teman di sebelahnya. Si Gadis mengejar. Lalu jilbab itu dilemparkan lagi ke teman yang lain. Begitu seterusnya hingga si Gadis tak dapat meraihnya."Anak kecil jangan sok-sok pake jilbab!" sentak lelaki paling tua."Ni ambil kalau bisa!" Temannya yang lain mengulurkan jilbab hitam itu. Namun ketika si Gadis itu mau mengambilnya, si lelaki menariknya dan si Gadis hanya menangkap angin."Kembalikaaan!" teriaknya pada sekawan lelaki itu.Tak dinyana, si Gadis mengambil kayu sebesar lengan. Satu meter kira-kira panjangnya. Dengan segenap tenaga ia gebukkan kayu itu dan mengenai tangan sa