“Setya?”“Asistenku yang lain. Dennis masih sibuk dengan penyelidikan. Aku nggak mau ganggu dia. Sementara Rendra selain ikut bantu menyelidiki, dia juga sedang belajar untuk menggantikan posisi Rinaldi di Aurora Corporation.”“Baik, Mas.”Mas Rama menelpon seseorang yang mungkin adalah Setya. Ia memerintahkan Setya untuk membongkar makam Brian dan membawa jasadnya ke rumah sakit untuk dilakukan autopsi. Setya yang sebenarnya juga punya tugas dalam penyelidikan Brian, segera mengerti dan berkata akan segera melaksanakan apa yang diperintah suamiku itu.“Sekarang apa lagi, Mas?”Kami memasuki mobil di parkiran rumah sakit itu. Mas Rama kembali membuka ponselnya, mengirim pesan untuk seseorang.“Melipatgandakan keamanan rumah, Lov. Robert tentu ada dendam padaku. Zapa ingin mengambil alih perusahaan. Lalu kamu kemarin sempat melihat mereka. Artinya kita dan keluarga kita bisa jadi mereka incar. Aku mau menambah jumlah bodyguard di rumah untuk melindungi Bunda. Juga Tara sebaiknya harus
UDARA kota Jambi siang itu sejuk. Gumpalan abu-abu raksasa masih menghalangi sang mentari di panorama langit. Namun tak sampai satu menit kemudian awan kelabu itu berubah gelap. Mendung, awan kumulonimbus mengambil alih. Petir menggelegar sesekali. Kilat bersambaran di ufuk barat.Rendra mengingatkan untuk sangat berhati-hati karena Robert membawa pasukan bergerak mencariku. Karena itulah Mas Rama langsung mengajakku pulang. Namun belum sempat kami melangkah, rombongan lelaki dengan kayu dan tongkat di tangan mereka mengepung di tiap ujung jembatan membuat kami terdesak.“Mas, aku takut.” Aku memegang lengan Mas Rama melihat rombongan lelaki itu.“Tenang, Lov. Aku juga takut. Jadi kamu nggak takut sendirian.”“Mas, bukan saatnya bercanda!”“Baca doa yang biasanya, Lov.”“Bismillahilladzi laa yadhurru ma’asmihii syaiun fil ardhi walaa fis samaa’ wahuwas sami’un aliim. La haula walaa quwwata illa billah,” lirihku berdoa pada Yang Maha Kuasa, “tolong selamatkan kami ya Rabb. Berikan kea
Ternyata memang benar. Ini adalah ancaman Zapa pada waktu itu. Memang ternyata selama ini dialah dalang semua ketidak-beresan dari perusahaan Rama Corporation.“Apa tawaran kalian kalau aku bisa menjamin kami tutup mulut?”Wajah ketua preman berubah heran, mengernyit.“Siap-siap untuk lompat, Lov. Dari Bahasa tubuhnya yang kubaca, orang ini tipe yang sangat kuat pada pendiriannya. Mereka tidak akan mudah kupengaruhi,” bisik Mas Rama padaku.Aku mengangguk dan menelan ludah. Degup jantung entah sudah berapa kali per menit. Barangkali sudah 170 dimana normalnya dibawah 100. Langit meneteskan air matanya perlahan. Hujan rintik. Angin semakin kencang. Permukaan sungai Batanghari berombak.“Kami hanya butuh melaksanakan tugas, Rama. Jadi, bersiaplah.”“Tunggu, aku mau memberikan kalian penawaran.” Mas Rama memperbaiki posisi kacamatanya.“Penawaran?”“Ya. Apa kalian mau dengar?”“Cih!”“Aku akan memberikan bayaran kalian tiga kali lipat daripada berapapun bayaran kalian sekarang. Kalian ha
Sekian tahun lalu."Buka jilbabnya, buka jilbabnya!" teriak sekelompok lelaki mengelilingi seorang wanita remaja. Barangkali umurnya masih tiga belas tahun. Salah satu lelaki remaja itu menarik jilbab sang gadis hingga tersentak kepalanya. Terbuka lah hijab itu dan terurai lah rambut lurus sepunggung itu. Gadis itu berlari meraih jilbab yang berada pada lelaki yang menariknya. Lalu lelaki itu melempar ke teman di sebelahnya. Si Gadis mengejar. Lalu jilbab itu dilemparkan lagi ke teman yang lain. Begitu seterusnya hingga si Gadis tak dapat meraihnya."Anak kecil jangan sok-sok pake jilbab!" sentak lelaki paling tua."Ni ambil kalau bisa!" Temannya yang lain mengulurkan jilbab hitam itu. Namun ketika si Gadis itu mau mengambilnya, si lelaki menariknya dan si Gadis hanya menangkap angin."Kembalikaaan!" teriaknya pada sekawan lelaki itu.Tak dinyana, si Gadis mengambil kayu sebesar lengan. Satu meter kira-kira panjangnya. Dengan segenap tenaga ia gebukkan kayu itu dan mengenai tangan sa
"Besok aku lewat situ lagi." Lov turun dari mobilku, ia tak mau diantar sampai rumah. Aku hanya menurunkannya di depan gang. "Terus?" tanyaku."Ada sarang lebah di sana. Mereka juga bakal menggangguku lagi.""Terus?""Lebahnya kalau nyengat, bisa bengkak, demam, meriang, muntah. Innalillah! Apa lagi kalau ketemu cowok-cowok itu. Bisa dibully lagi.""Iya, terus?"Lov menjejakkan kaki ke tanah. Kesal. Wajah bocahnya itu cemberut. Bibirnya mencebik. Matanya berubah mata elang."Jangan cemberut gitu. Besok aku akan lewat sini juga. Jam berapa kamu lewatnya?""Jam empat sore pas pulang sekolah.""Berangkat sekolahnya nggak lewat situ?""Nggak apa-apa. Diantar Bapak."Aku hanya mengangguk dua kali tanda mengerti."Makasih jilbabnya ya?" Ia mengangkat plastik yang isinya jilbab itu. Sementara ia sendiri mengenakan jilbab baru warna biru langit. Muda dan segar."Nggak usah berterima kasih untuk sebuah kewajiban.""Iya, sekali lagi terima kasih, Mas Paranormal.""Panorama!"Ia hanya cekikian
"Kita lompat berdua, Mas. Kita selamat berdua." Istriku memekik ketika kuperintahkan untuk melompat ke sungai Batanghari. Sementara para preman sudah berada di depan mata."Bailah, Lov. Ayo kita lompat bersama." Lov mengangguk. Ia kemudian kubantu naik ke pagar jembatan Gentala Arasy. Ia berhenti dan agak ragu beberapa detik ketika netranya memandang aliran sungai. Sementara langit mendung menggelap dan petir membabi buta. Hujan rintik berkembangbiak, menggerojok bumi sekehendak hati.Lov menatapku sedetik kemudian. Aku mangangguk. Ia pun tanpa pikir lagi melompat. Aku memanjat pagar jembatan pula. Namun ketika aku hendak menyusul Lov, kakiku dipegang salah seorang preman itu. Ia menarikku hingga aku harus turun dari pagar. "Looov!" panggilku pada istriku yang sangat kucintai itu. "Aku akan menemukanmu. Tak peduli seberapa jauh dan lamanya." teriakku sekuat suara yang kupunya.Aku mulai bertarung dengan para preman itu. Untungnya bantuan sudah datang. Jadi aku tak sendirian."Cepat
"Rama takut Cinta kenapa-napa, Bun. Rama takut terlambat menyelamatkan dia.""Kamu juga harus memikirkan kesehatanmu, Nak.""Nggak, Bun. Rama nggak peduli. Tolong Bun, Rama mau berusaha semaksimal mungkin.""Ya sudah kalau begitu. Tapi kamu harus ditemani Zaky ya. Bunda sudah menghubungi dia.""Baik, Bun. Lebih baik kalau ada teman.""Assalamu'alaikum." Tiga orang mengucap salam hampir serentak, membuat kami menoleh ke belakang arah pintu masuk."Bunda," Kasih berlari kecil mendekati. Ia cepat meraih tangan Bunda dan menciumnya. Disusul dengan Rindu dan Bagus."Gimana Cinta, apa sudah ada kabar?" Raut khawatir terpancar di wajah Kasih."Iya, Bun, Ram, gimana Cinta?" Bagus ikut bertanya pula."InsyaAllah masih dalam pencarian. Kita semua tenang, semoga besok sudah ditemukan.""Ya Allah, Cinta. Meski aku sering kesal sama kamu, Dek, tapi sakit rasanya membayangkan kamu sendirian di luar sana," gumam Kasih dengan suara serak."Mbak Cinta," pungkas Rindu sambil terisak. Kepalanya terjatu
Pesawat Emirates yang kutumpangi mendarat sempurna di bandara Soekarno-Hatta, Tanggerang. Setelah lebih seminggu di Leads untuk menemui adikku–Tara, akhirnya aku kembali. Kesibukan setelah ini tentu saja seperti biasa: berjibaku dengan proyek-proyek baru yang ditangani PT. Panorama Aurora. Ah, aku lebih suka menyebutnya dengan nama internasionalnya, Aurora Corporation.Dari bandara Soekarno-Hatta aku terbang lagi ke kota kecilku, Jambi. Rendra menanti di pintu kedatangan. “Gimana perjalanan ke London-nya, Pak?” tanya Rendra basa-basi.“Hmmh, membosankan seperti biasa, Ren.”“Anda selalu merasa bosan akhir-akhir ini.”Aku tak menjawab. Sudah lama rasanya aku tak merasakan warna lagi dalam hidupku. Sejak menyelesaikan kuliah aku hanya sibuk bekerja saja. Tiada waktu untuk memikirkan kesenangan. Sebenarnya ada rasa rindu pada masa-masa yang selalu kuingat. Beberapa tahun lalu, di jalan itu. Di depan gang itu. Kuraba wajahku, tak terasa senyum mengembang. Aku ingat dulu wajah ini pernah
PEMUKIMAN itu rata dengan tanah. Yang tersisa hanya puing-puing yang terlanjur menjadi arang dan abu. Asap masih mengepul di beberapa bagian pagi itu. Katanya, kebakaran dimulai sejak semalam hingga pagi ini baru bisa dipadamkan.Lima belas unit mobil pemadam kebakaran tak cukup, dikerahkan lagi tujuh bantuan pemadam. Itu pun petugas dibantu warga masih kewalahan dalam bertarung dengan si jago merah. Susahnya akses masuk mobil jadi sebab utama. Pun rumah yang berdempetan membuat api tertawa ria mengejek dari jauh, membesar sesuka hati.Aku terpaku saat turun dari mobil.“Rumahnya, ludes.” Ruki bergumam.Aku hanya menggeleng pelan, tak dapat mengucap sepatah kata pun. Mas Rama pun hanya terdiam, menatap sendu.Nun di sebelah sana, ratusan pasang mata hanya dapat menyaksikan rumah mereka dilalap api. Pasrah tak dapat menyelamatkannya. Barangkali hanya satu-dua barang yang bisa diamankan, termasuk baju yang terpakai di badan.Tak banyak yang dapat disaksikan selain isak tangis dari ibu-
“TOTAL biaya tanggungan utang warga kampung Tanjung Kawan sebesar 1,7 milyar, Pak. Terlalu besar untuk dana CSR, atau mungkin kalau Bapak sendiri yang ingin membiayai dulu.” Rendra menyerahkan hitungan utang pemukiman yang berbentuk sebundel laporan itu.“Terlalu besar, Mas.” Tara menimpali.“Tapi gimana, Ra? Kasihan mereka.”“Yah, memang sebenarnya bukan tanggung jawab kita. Itu murni kesalahan mereka sendiri yang sudah berani berutang. Tapi, aku tahu kalau Mbak Cinta sudah niat bergerak ya mau gimana lagi. Aku siap support aja.”Siang itu kami kaman bersama di sebuah café tak jauh dari Aurora Corporation. Bosan makan di dapur umum kantor, kami ingin mencari suasana baru. Café bernuansa alam di jalan Ahmad Yani itu tak terlalu ramai, masih nyaman untuk dikunjungi.Mas Rama masih berpikir. “Mungkin kalau semua CSR dari perusahaan client dikumpulkan, bisa membantu setidaknya.”“CSR perusahan client?” tanyaku tertarik.“Eh, Sayang, makan dulu pastanya. Kamu lagi hamil nanti calon bayiny
“PAK Rama jemput?” tanya Fresha di dalam mobil. Hari sudah mulai sore. Aku dan Mas Rama berjanji untuk bertemu di suatu tempat dan kami akan menuju dokter kandungan. Dokter Meity.“Iya. Sebentar lagi sampai.” Aku sibuk memainkan ponsel, tak menatap pada Fresha.Sudah lima menit aku menuggu Mas Rama di tempat yang disepakati. Pukul 16.05 di arlojiku.Lima menit kemudian, sebuah mobil Mercedes hitam sampai di tempat itu. Melihat mobil Mas Rama itu aku berpamitan pada Fresha dan Dennis. Mas Rama membukakan pintu mobil seperti biasa.“Telat sepuluh menit. Eh, sebelas.” Aku menatap arloji.Mas Rama malah mencubit pipiku dan menariknya.“Auu.”“Shalat ashar dulu, Sayang.”“Iya. Cepetan ke praktek Bunda Meity.”Mas Rama tancap gas. Di perjalanan ia memandangiku dengan tatapan aneh. Alisnya sering terangkat dua kali seperti menggoda. Tapi aku tak tahu maksudnya apa. Entahlah, lelaki kadang memang tak dapat dimengerti. Makhluk aneh.“Jadi mual dan muntah tadi?”“Hmm.”“Kenapa?” Mas Rama malah
SUASANA rumah Bejo mendadak tegang ketika aku mulai tak senang dengan aturan yang ia terapkan semena-mena. Betapa tidak, utang yang awalnya hanya lima juta meranak-pinak jadi 10 juta dalam tiga bulan.Bukan hanya itu, utang itu pun mengganda ketika yang membayar bukan orang yang bersangkutan.“Ini buktinya. Silakan periksa saja. Semua jelas tertulis di perjanjian utang-piutang itu.” Bejo tersenyum mnyeringai. Bibirnya terangkat sebelah tanda ia merasa menang telak.Kuraih kertas yang Bejo letakkan di atas meja. Nama Marsudi tertera sebagai salah satu pihak penanda tangan kontrak. Kubaca lekat-lekat agar tiada satu kata pun terlewat. Sampai ujung tanda-tangannya kubaca, perkataan Bejo ternyata memang benar adanya. Perjanjian itu ditandatangani di atas materai. Kubaca dengan seksama tiap kata dan kupahami maksudnya betul-betul. Tapi mungkin Fresha sebagai sekretaris lebih paham apa isinya. Maka kusodorkan padanya.Fresha meneliti surat perjanjian itu beberapa detik.“Benar, Bu Cinta. Di
“Kali ini biarkan aku mengurus ini, Mas. Aku nggak mau terus-terusan bergantung sama kamu. Aku mau mandiri.”Mas Rama malah berdecak kesal. “Kamu mau hadapin si Joko itu sendiri?”“Kana da Dennis, Setya, Anzu sama Rizal yang aku bawa. Kalau keamanan kamu gak usah khawatir. Kamu fokus aja sama kerjaan. Lagian perusahaan ‘kan lagi berkembang sekarang. Kasihan kamunya kalau pecah fokus.”“Yah mau gimana lagi.”“Boleh Mas ya?”“Boleh,” jawab Mas Rama pelan. “Proposal untuk CSR renovasi rumahnya udah selesai?”“Udah.” Aku mengeluarkan sebundel kertas dan menyodorkan di atas meja kerja Mas Rama. Ia kemudian membuka proposal itu dan membacanya sekilas tiap lampirannya. Suara pintu diketuk. Mas Rama mempersilakan seseorang yang mengetuk pintu itu untuk masuk. Dennis dengan jas abu-abu dan tampilan yang klimis pun beranjak ke ruangan itu.“Saya hari ini menemani Bu Cinta untuk menyelesaikan masalah kemarin, Pak.” Dennis melapor di depan Mas Rama. Mas Rama meletakkan proposal yang dibacanya di
BRAK! Suara sesuatu ditendang keras. Aku dan Sonar yang terkejut serentak menoleh ke luar pintu. Seorang lelaki bertubuh besar tinggi, dengant tato di lengan atas, berbaju tanpa lengan, bercelana jeans, datang dengan wajah bengis.“Pak Tua! Sampai kapan mau nunggak utang!” lanjutnya.Kakek yang sibuk membantu istrinya duduk pun terkesiap. Ia berjalan mendekati pintu dimana lelaki itu berada.“Maaf, Mas Joko, saya belum punya uang.” Suara rintih itu terdengar sangat memelas.“Halah, aku gak peduli ya!” bentak lelaki bernama Joko itu.“Tapi saya harus bayar pakai apa?” Kakek memohon.“Apa aja. Mana sertifikat tanah ini?”“Jangan, Mas Joko. Kami tidak punya apa-apa lagi.”“Aku gak peduli. Utangmu udah sepuluh juta!”Joko mendorong tubuh Kakek hingga ia termundur beberapa langkah. Kakek yang tubuhnya masih terluka itu memegangi perut karena merasa sakit. Ia tersentak kaget.“Ini siapa?” tanya Joko menunjuk ke arah kami. “Wanita cantik ini anakmu?” lanjutnya.“Bu-bukan. Mereka cuma tamu.”
RUKI ternganga melihat aku membawa setumpuk sisa penjualan korannya tadi pagi. Apa lagi kuletakkan selembar uang seratus ribu, barangkali ia tak menyangka. Orang yang ia sakiti membalasnya dengan kebaikan.“Cinta!” panggilnya sambil berdiri dari kursi pajang pinggir jalan itu.“Iya?” Aku berhenti. Tanpa balik kanan menoleh padanya.“Terima kasih.” Matanya berkaca-kaca.“Aku tunggu di Lovamedia.” Kujawab sambil tersenyum, membuat matanya yang kian basah tak mampu membendung air mata yang titik setetes. Senyumnya terkembang di ujung bibir.Aku pun beranjak melewati trotoar hingga sampai di seberang minimarket. Setelah menyeberang dengan hati-hati aku masuk ke mobil dan Setya menjalankan mobil kembali.“Untuk apa bawa setumpuk koran?” tanya Mas Rama yang heran ketika kubawa tumpukan koran itu masuk ke mobil.“Nanti pasti ada gunanya. Mungkin bagi kita sampah, tapi bagi orang lain bisa jadi berkah.”Mas Rama menggeleng sambil tersenyum tipis.Mungkin sekitar lima belas menit kemudian kami
KETIKA sedang menghirup udara segar pagi itu di jalanan kota Lombok, perkataan Mas Rama mengingatkanku pada sesuatu. Barangkali wanita yang hilang itu berada di dalam kasur!Mengapa kupikir demikian?Pertama, saat aku berbaring di atas kasur di kamar itu rasanya keras dan tak nyaman sama sekali. Kedua, barang-barang yang kutemukan di sudut ruangan yang merupakan segulung tali seperti benang dan jarum yang tertancap di tanaman hias. Alat untuk menjahit.Sementara potongan kain yang kudapatkan di dalam tong sampah tak lain adalah isi dari kasur yang dikeluarkan. Yang berkemungkinan pula sebagian besar isinya itu telah dimasukkan ke koper bersama pakaian kotor.“Mungkin aja sih, Lov. Boleh juga insting detektif kamu.” Jawaban Mas Rama saat kuberi tahu pendapatku tentang hilangnya wanita itu. “Kasih tahu polisi yang jaga.”“Kembali lagi ke hotel?”“Iya.”“Ya udah, ayo.”Kami yang kembali lagi ke hotel. Mas Rama menunggu di depan pintu masuk hotel sementara aku menuju lobi dimana dua orang
RUANGAN lobi jadi tempat berkumpul semua penghuni hotel. Sementara meja salah satu ruang di lantai bawah dijadikan ruang interogasi oleh para polisi. Pertama, lelaki yang berhubungan dengan si wanita yang hilang itu diberondong pertanyaan.“Maaf, saya dengar Ibu langsung berkontak dengan lelaki itu.” Seorang lelaki berpakain polisi menegurku ramah. “Bolehkah kami mewawancarai di ruangan sana?”Aku yang berdiri sambil menyilangkan tangan menjawab, “Ya.”Kemudian aku mengekor di belakang lelaki itu dan ikut masuk ke dalam ruang interogasi.“Sejak jam berapa anda di hotel ini?” pertanyaan pertama setelah nama da nasal.“Sejak pukul lima kira-kira.”Mungkin yang bertanya itu adalah seorang detektif. Cepat ia mencatat jawabanku sambil mengangguk pelan.“Bersama siapa?”“Suami.”“Jadi anda berada di kamar 304?”“Ya.”“Malamnya anda sempat pergi keluar, lalu saat kembali anda sempat berkomunikasi dengan pria ini?” Detektif itu menunjukkan sebuah foto yang tak lain dan tak bukan adalah pria y